Ana menatap wajah pria yang kini ada di hadapannya, dibelainya sisi wajah pria itu penuh kasih sayang. Tampak senyum bahagia terpancar dari wajah Ana.
"Jodoh adalah takdir, tidak bahagia hidup dengannya adalah konsekuensi saat aku berkata bersedia."
Laki-laki itu melihat mata Ana yang basah lalu menciumnya. "Aku mencintaimu Ana, sangat mencintaimu."
_
_
Lima bulan yang lalu
[ Aku ingin menemuimu, siang ini aku tunggu di tempat favorit kita ]
Begitulah kira-kira isi pesan yang dibaca Anarita, gadis berumur dua puluh enam tahun yang biasa disapa Ana itu, terlihat senang sekaligus cemas. Setelah putus kontak, untuk pertama kalinya sang mantan kekasih yang bernama Arga, kembali mengirimkan pesan kepadanya.
Ana mengguyar kasar rambutnya, bingung antara harus senang atau sedih untuk mengungkapkan perasaannya ketika mendapat pesan itu.
Anarita Maylafaisha, menyandang gelar istri Zidan Narendra dua tahun silam. Semua orang terdekat Ana tahu, sebelum menikah dengan Zidan, gadis itu sudah memiliki seorang kekasih bernama Arga, pemuda yang merupakan cinta pertamanya sejak SMA.
Namun, Arga yang hanya seorang vokalis band, dianggap tidak pantas bersanding dengan Ana oleh orangtua gadis itu. Pekerjaan Arga dinilai tidak mapan karena hanya mengandalkan panggilan manggung dari satu kafe ke kafe lain. Hingga oleh orangtuanya, Ana dijodohkan serta dipaksa menikahi seorang pemuda yang merupakan teman kakak laki-lakinya. Zidan Narendra, seorang Direktur di sebuah perusahaan properti ternama.
Kini di sinilah Ana berada, membangun biduk rumah tangga dengan pria yang tidak ia cintai sama sekali. Bagi Ana, Zidan adalah laki-laki baik tapi entah kenapa rasanya masih ada ruang kosong dan kehampaan di relung hatinya yang tidak bisa diisi oleh suaminya.
"Aku berangkat kerja dulu," ucap Zidan berpamitan pada Ana yang termangu di tepian tempat tidur. Pria itu mengecup kening istrinya dan hanya mendapatkan balasan seulas senyum terpaksa dari Ana.
Dua tahun menjalani hidup bersama, keduanya tidak pernah sekalipun membahas tentang masa depan apalagi anak. Bahkan Ana sempat berpikir mungkin suaminya tidak menginginkan buah hati yang terlahir dari rahimnya.
Setelah Zidan pergi, Ana kembali membaca pesan dari sang mantan kekasih. Ia tiba-tiba merasa bersalah ketika mengingat dialah yang meminta berpisah dari laki-laki itu.
[Baiklah, aku akan datang]
Ana akhirnya membalas pesan Arga. Jauh di dasar hatinya masih ada rasa bersalah. Ia juga ingin sekali bertemu meski hanya menyapa atau saling tatap. Setelahnya, ia berlari ke kamar ganti, memilih gaun mana yang cocok untuk ia kenakan. Ana sampai melempar serampangan beberapa gaun miliknya ke lantai.
"Ini tidak cocok! Ini tidak cocok! Ini juga tidak cocok! Aghh ... kenapa tidak ada yang cocok!" gerutunya.
Ana merasa bingung, ia beranggapan jika gaun-gaun itu tidak akan mempercantik dirinya di hadapan Arga. Entah kenapa, Ana ingin sekali tampil cantik dan sempurna di hadapan mantan kekasihnya yang sekarang sudah menjadi bintang itu.
-
-
-
Ana datang lebih awal dari waktu yang ia janjikan, jantungnya berdegup kencang. Ia bahkan tampak sesekali menarik napas lalu mengembuskannya perlahan. Berulang kali Ana melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan, harap-harap cemas.
"Lima belas menit lagi," gumamnya.
TRING!!!
Suara lonceng yang terpasang di pintu Coffe shop favorit mereka berbunyi nyaring, menandakan jika ada pengunjung lagi yang masuk ke sana.
Ana menatap ke arah pintu, ia bisa melihat seorang laki-laki menggunakan masker berwarna hitam berjalan ke arahnya. Jantungnya semakin berdegup tak terkendali, waktu seakan terhenti ketika laki-laki itu berdiri tepat di hadapannya.
"Hai!" sapanya.
Arga Rakawicaksana, sosok yang namanya pernah terukir indah di hati Ana, laki-laki yang pernah mengisi hari-harinya yang sepi. Arga masih sama seperti dahulu, meskipun senyumnya terhalang masker, tapi matanya jelas memancarkan kehangatan dan binar memujanya.
"Oh, ha-hai," sapa balik Ana tergagap.
Ana tidak menyangka jika bisa bertemu lagi dengan cinta petamanya itu, tatapannya tak beralih dari Arga yang sudah mendudukkan diri di kursi yang tepat berhadapan dengannya.
Mereka tampak saling tatap, sejenak terasa hening hingga pelayan datang untuk mencatat pesanan mereka.
"Apakah Anda sudah ingin memesan?"
"Espresso," jawab Arga yang tatapannya masih tidak beralih dari wajah Ana.
"Ice Latte less sugar."
"Baik, mohon tunggu sebentar!"
Pelayan itu meninggalkan meja Ana dan Arga tanpa merasa curiga bahwa sosok pria yang berkunjung ke Coffe shop tempatnya bekerja adalah seorang vokalis band yang tengah naik daun.
"Maaf Ana, aku tidak mungkin membuka maskerku di sini."
"Ah ... Iya, tidak apa-apa."
Ana yang sadar jika Arga terus menatapnya menjadi gugup, ia sampai menyematkan helaian rambut ke belakang telinga berulang kali—salah tingkah.
"Kamu, masih suka kopi pahit?" tanya Ana membuka percakapan mereka ketika pesanan mereka sudah tersaji di meja.
Arga tak langsung menjawab pertanyaan mantan kekasihnya itu, ia lebih memilih membuka masker, mengambil cangkir kopi lantas menyesapnya perlahan.
"Aku suka pahitnya kopi karena membuatku selalu mengingat akan cinta kita yang kandas dan berakhir dengan duka," jawab Arga seraya menaruh kembali cangkir ke meja.
DEG! DEG! DEG!
Jawaban Arga membuat jantung Ana semakin berdetak kencang. Kisah cinta mereka tidak akan berakhir duka jika saat itu dirinya lebih berani menentang keputusan kedua orangtuanya.
"Ga, aku--." Ana menjeda ucapannya ketika melihat Arga yang mengangkat jari telunjuk ke udara di hadapannya, mengisyaratkan agar Ana tidak bicara sepatah kata pun.
"Arga ya!"
Suara seorang wanita tiba-tiba terdengar. Arga menoleh, terkejut mendapati beberapa orang mendekat. Ya, ia lupa bahwa fans garis kerasnya pasti tahu sosoknya meskipun ia sudah mengenakan masker. Ana pun menunduk, dengan sengaja menyesap minumannya.
Suasana menjadi tidak kondusif. Arga langsung menghubungi managernya agar mengirimkan bantuan ke sana.
"Ana maaf!" ucapnya sambil meladeni permintaan para fansnya yang kebanyakan adalah kaum hawa.
Sementara Arga sibuk dengan penggemarnya. Ana memilih menatap wajah laki-laki yang pernah membuat hari-harinya bahagia itu. Satu persatu Kenangan bersama sosok mantan kekasihnya pun kembali melintas di pikiran Ana.
Jika dua tahun lalu Ia tidak menikah dengan Zidan, mungkinkah hubungannya dengan Arga masih baik-baik saja?
Satu setangah tahun yang laluAna terlihat berlari memasuki kafe milik orangtuanya, gadis itu lupa jika hari ini tambatan hatinya ada jadwal manggung di sana, ia terengah-engah ketika membuka pintu kaca, mengatur napasnya lantas melangkahkan kaki masuk.Ana bernapas lega ketika melihat Arga masih bernyanyi menghibur pengunjung malam itu. Ia lantas duduk di meja dekat dengan panggung mini yang terdapat di kafe milik orangtuanya. Senja Kafe nama kafe milik keluarga Ana memang selalu mengadakan live musik setiap malam Sabtu, dan band Arga adalah salah satu yang rutin mengisi live musik di sana, mereka sudah memiliki penggemar setia.Masih menikmati alunan lagu yang dibawakan Arga, telapak tangan kanan Ana terlihat menyangga dagu dengan siku yang bertumpu pada meja, matanya tidak teralihkan dari Arga yang sesekali melirik ke arahnya."Hah ... suaramu memang mengagumkan, hati 'ku saja meleleh," gumam Ana sembari menghela
Hari itu Shima, kakak ipar Ana baru saja pulang dari rumah sakit pasca melahirkan, rumah orangtua Ana tentu saja ramai dengan kedatangan keluarga dan sanak saudara kakak iparnya itu.Sebuah mobil SUV berwarna silver berhenti di pelataran rumah orangtua Ana. Pemuda berbadan tegap juga berwajah tampan turun dari mobil dengan membawa kotak berbentuk persegi panjang agak besar yang dibungkus dengan kertas kado."Permisi! Saya mau bertemu dengan Aditya," ujar pemuda itu kepada salah satu pembantu rumah tangga orangtua Ana yang kala itu sedang berada di halaman dengan nada sopan."Oh, sebentar Mas!"Pembantu rumah tangga yang berumur empat puluhan tahun itu lantas masuk rumah dan memanggil Aditya, kakak Ana."Eh ... ayo masuk!" ajak Aditya begitu tahu siapa yanga datang mencarinya.Pemuda itu lantas masuk mengikuti Aditya dan duduk di ruang tamu.
"Bu."Aditya yang baru selesai membantu istrinya menjaga sang anak langsung duduk di sebelah ibunya yang sedang bersantai di teras rumah. Menyadari kedatangan putra kesayangannya tentu saja membuat wanita itu langsung menghentikan aktifitasnya bermain ponsel."Zidan kayaknya benar-benar suka sama Ana, deh!" ujar Aditya seraya menyambar kue yang ada di atas meja dan memasukannya ke mulut."Apa benar?" tanya ibunya yang langsung terlihat antusias, terlihat senyum merekah di wajah wanita itu."Iya, kemarin dia menanyakan hal-hal yang menyangkut tentang Ana, katanya dia merasa cocok dengan Ana," ungkap Aditya kepada ibunya, mengingat setelah kencan yang dilakukan Zidan, pemuda itu langsung mengungkapkan pada Aditya jika dirinya benar-benar menyukai sang adik.Tentu saja hal itu seperti angin segar yang berembus di musim panas, mungkin ini adalah kesempatan orangtua Ana menjodohkan putrinya itu pada pri
Sore itu Ana terlihat bingung ketika ibunya meminta Arga untuk datang ke rumah dan ingin bicara dengan mereka. Namun, ia juga bahagia, berpikir mungkin saja jika ibunya kini berubah pikiran dan sudah bisa menerima hubungan keduanya juga berniat merestui mereka.Ana berdandan secantik dan semanis mungkin, jika memang benar kalau mereka akan mendapat restu, tentu saja Ana harus dalam keadaan yang sempurna untuk menyambutnya.Ana menyambut bahagia ketika Arga datang dan baru saja turun dari motor kesayangannya, pemuda itu tampak melepas helm yang ia kenakan kemudian mengulas senyum pada Ana yang sudah berdiri di sampingnya."Apa penampilanku sudah rapi?" tanya Arga pada kekasihnya itu.Ana mengangguk, ia sedikit menepuk dan mengangsurkan tangannya di bagian depan kemeja Arga untuk sekedar merapikan pakaian yang dikenakan kekasihnya. "Sudah rapi."Arga kembali mengulas senyum mendengar perkata
Beberapa hari setelah kedua orangtua Ana meminta agar gadis itu harus berpisah dengan Arga, mereka mulai membatasi kegiatan Ana. Bahkan gadis itu diantar dan jemput saat bekerja, dimaksudkan agar Ana tidak punya waktu untuk bertemu dengan kekasihnya.Malam itu, Ana sedang berada di kamarnya. Ia sedang berbalas pesan dengan Arga yang kala itu sedang manggung di kafe milik orangtuanya. Gadis itu meminta maaf karena tidak bisa datang, mengingat jika kedua orangtua maupun kakaknya masih mengawasi dirinya serta tidak membiarkannya pergi ke mana pun selain bekerja."An!"Ibu Ana sudah berada di kamar gadis itu, membuat Ana yang sedang berbaring dengan posisi telungkup terkejut dan langsung bangun menatap ibunya."Minggu depan, Zidan akan membawa lamaran ke sini. Jadi, kamu harus bersiap-siap untuk meyambutnya," kata ibunya menjelaskan, wanita itu sudah menerima lamaran Zidan secara lisan dan tinggal menunggu prosesi resmi
Hari di mana diadakannya lamaran pun datang. Kala itu Ana benar-benar berpikir untuk kabur, sudah satu minggu setelah tragedi di mana Aditya menghajar Arga, Ana dikurung di kamarnya dan tidak diizinkan keluar ataupun bekerja.“Mbak, tolong rias dia secantik mungkin!” pinta ibu Ana kepada perias yang ia sewa untuk mendandani putrinya.Ana hanya melirik dengan wajah datar, ia benar-benar merasa tertekan dengan keadaan yang sedang ia alami. Kini dirinya hanya bisa pasrah, membiarkan para perias itu mendandani dirinya, memoles dan membubuhkan aneka make up ke wajahnya.___Keluarga Zidan sudah tiba di rumah Ana dengan berbagai hadiah yang sudah dipersiapkan. Ayah Zidan tidak ikut mengingat kondisinya yang tidak memungkinkan untuk diajak. Hanya ada dua adiknya dan juga beberapa kerabat terdekat yang akan mengikuti dan menyaksikan prosesi lamarannya.Mereka sudah duduk di tempat y
Ana terlihat duduk dengan peluh yang bermanik di kening dan pelipisnya, wajahnya terlihat pucat tidak secerah biasanya. Sudah hampir dua bulan setelah pertunangan dirinya dengan Zidan, Ana tidak diperbolehkan keluar rumah, dia pun dipaksa berhenti dari pekerjaannya.Hari ini ia bisa keluar atas izin orangtuanya. Namun, ia juga memiliki peraturan dan syarat yang harus dilakukan. Ana terus ditekan untuk segera meninggalkan Arga mengingat jika pernikahannya sudah tinggal sebulan.Arga menatap Ana yang terus menunduk dengan wajah pucat, gadis itu juga terlihat terus meremas jemarinya.“An!” panggil Arga.“Arga aku ingin hubungan kita berakhir!” Ana langsung mengutarakan maksud kedatangannya pada Arga, gadis itu tidak berani menatap wajah kekasihnya.Ana diperbolehkan keluar hanya untuk memutuskan hubungannya dengan Arga, orangtuanya tidak ingin jika Ana masih menjalin hubungan dengan pemuda itu. Bahkan,
Pernikahan yang sejatinya penuh kebahagiaan dan doa terbaik untuk melangkah menuju masa depan tidak berlaku bagi Ana. Meski para tamu dan keluarga berpesta menyambut suka cita pernikahan itu, nyatanya Ana sama sekali tidak bahagia.Sehari setelah pernikahan Ana dan Zidan, gadis yang kini sudah resmi menjadi milik Zidan itu sedang sibuk berkemas. Zidan mengatakan jika ingin mengajak Ana segera pindah ke rumahnya karena dia tidak bisa meninggalkan ayahnya yang sakit terlalu lama.“Ingat An! Kamu sudah jadi istri Zidan, jangan berbuat sesuatu yang bisa mempermalukan keluarga kita, apa kamu paham?” Ibu Ana menasehati gadis itu dengan sedikit penekanan.Ana sedang berkemas, ia akan pindah ke rumah Zidan hari ini. Sebagai seorang ibu, wanita itu benar-benar seakan sedang mengorbankan kebahagiaan putrinya sendiri.Ana tidak menanggapi perkataan ibunya, ia fokus memasukan pakaiannya ke koper. Dalam hati ia merasa mungkin ke