“Amanda!” pelan namun penuh tekanan, begitulah cara Kenzie menyebut nama sang adik.
Mendengar suara itu, Kenzo segera mendorong tubuh Amanda. Ekspresinya terlihat santai, berbanding terbalik dengan Amanda yang kini tampak gusar, seolah tertangkap basah tengah berselingkuh dengan suami kakaknya.
“Kak?”
“Kamu ngapain peluk-peluk suami Kakak? Suka?” cecar Kenzie tanpa memberikan waktu pada Amanda untuk menjelaskan semuanya. Rasa kantuk yang semula masih menggantung di pelupuk mata, mengudara begitu saja.
“Gak gitu,” elak Amanda.
“Terus gimana? Sekarang jawab jujur, kamu suka sama suami Kakak?” ulang Kenzie.
Kenzo yang menyaksikan kemarahan Kenzie pada adiknya, memeluk wanita itu seraya berbisik. “Tidak usah berlebihan, dia hanya tak sengaja memelukku karena takut gelap.”
Kenzie melepas tangan Kenzo yang melingkari pinggangnya. Ia menatap tajam Kenzo. “Kalau Om mau selingkuh, silakan! Tapi bukan sama Amanda, dan kamu…” tatapan Kenzie beralih pada Amanda. “Selama ini apa pernah Kakak larang kamu pacaran sama siapa pun? Enggak, kan. Tapi tolong, jangan suami Kakak,” tutupnya tegas.
Setelah mengatakan itu, Kenzie berlalu begitu saja, meninggalkan dua pasang mata yang masih berdiri di tempat semula, terlihat seperti tak ada tanda-tanda akan mengejar dirinya. Ia masuk kamar dan mengunci pintu dari dalam. Dadanya mendadak sesak, dan ada sesuatu yang memaksa keluar dari kedua matanya. Ya, Kenzie manangis dalam diam.
Belum genap dua puluh empat jam menjadi istri Kenzo, lelaki itu sudah melukai harga dirinya. Bayangkan, hati perempuan mana yang akan baik-baik saja saat menyaksikan sang suami bermesraan dengan saudara kandung sendiri. Jelas tidak ada, kendatipun pernikahan mereka tidak berlandaskan cinta.
“Man, apa sih yang kamu pikirin? Kenapa harus suami Kakak?” gumam Kenzie di sela-sela tangisnya.
Tok tok tok!
Suara ketukan pintu terdengar. Kenzie bisa menebak manusia di balik pintu tersebut, tak lain dan tak bukan adalah Kenzo. Ia tak berniat membukanya, terlalu muak melihat wajah tampak namun menyebalkan lelaki itu.
“Kenzie buka pintunya, kita perlu bicara!” teriak Kenzo.
“Aku tidak mau bicara denganmu!” balas Kenzie.
“Ayolah, jangan bersikap seolah kau cemburu. Atau memang kau cemburu?” tanya Kenzo seraya tersenyum tipis. Senyum yang tentu saja tak bisa dilihat oleh siapapun.
Kenzie bertanya dalam hati, benarkah ia cemburu? Ah, pasti tidak. Mana mungkin dirinya cemburu. Cemburu itu tanda cinta, sementara dirinya sama sekali tak mencintai Kenzo. Ya, Kenzi tidak mencintai Kenzo, begitupun sebaliknya. Ia menangis karena mengkhawatirkan Amanda, itu saja.
“Tidak usah terlalu percaya diri, aku sama sekali tak cemburu. Kau tidak dengar yang kubilang tadi? Kalau mau selingkuh silakan saja, tapi jangan dengan adikku. Dia terlalu berharga untuk orang sepertimu,” sahut Kenzie dari balik pintu.
“Gadis bodoh,” umpat Kenzo. Tak berselang lama, ia sudah berhasil membuka pintu dan berada di depan Kenzie.
“Coba katakan sekali lagi!” titah Kenzo.
Kenzie menegang, saat ini mereka sedang berhadapan, dengan pandangan Kenzo terpusat padanya. “A-apa?”
“Katakan kalau kau tidak cemburu,” ujar Kenzo sambil menatap dalam netra Kenzie, ia melihat genangan air di sana.
Kenzie berusaha terlihat biasa saja, ia membalas tatapan Kenzo. “Aku memang tidak cemburu. Lagian untuk apa aku cemburu? Bukannya pernikahan kita hanya…”
Belum sempat Kenzie menuntaskan kalimatnya, tangan Kenzo sudah menarik pinggang rampingnya, hingga posisi mereka semakin tak berjarak. Kenzo mengamati wajah Kenzie, turun ke bibir, hingga berakhir di leher jenjang wanita itu.
Kenzie tak berkutik, ia sibuk menetralkan degup jantungnya, khawatir Kenzo mendengar dan kembali bicara omong kosong seperti tadi.
“Tidak ada sejarahnya seorang Kenzo menyukai dua wanita sekaligus,” bisik Kenzo sembari mencium ceruk leher Kenzie.
Bulu kuduk Kenzie meremang merasakan sapuan lidah Kenzo dan suara berat lelaki itu. Dan lagi, telinganya masih sangat normal, Kenzie mendengar dengan jelas saat Kenzo mengatakan tidak mungkin menyukai dua wanita sekaligus. Apa itu berarti Kenzo menyukai dirinya?
“Cih! Kau suka sentuhanku, tapi memintaku tidak menyentuhmu!” cibir Kenzo.
Cibiran itu membuat Kenzie kembali pada logikanya. Ia mendorong Kenzo dan menjauh dari lelaki itu.
“Dasar om-om mesum! Pergi! Aku tidak mau melihat wajahmu,” usir Kenzie sambil menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut, menyembunyikan kedua pipinya yang tiba-tiba terasa panas, disertai detak jantung yang bertalu-talu di dalam sana.
***
“Selamat pagi,” sapa Alea yang baru saja bergabung di meja makan sambil mengikat asal rambut panjangnya. Ia menyapu pandangan, menatap tiga orang di sana secara bergantian.
“Pagi,” sahut Kenzo seadanya.
“Pagi, Al,” balas Kenzie singkat.
Sementara Amanda, kakaknya itu hanya diam saja. Dari sanalah Alea bisa menebak bahwa ada sesuatu yang baru saja terjadi, dan tak ia ketahui. Terlebih, Amanda hanya menunduk seraya mengaduk-aduk nasi goreng yang masih terisi penuh.
Alea berpura-pura acuh tak acuh, ia berceloteh ria, menceritakan tidurnya yang begitu nyenyak tadi malam. Hingga suara deritan kursi mengalihkan perhatian mereka, siapa lagi pelakunya kalau bukan Amanda.
“Mau ke mana, Kak? Nasi gorengnya masih banyak lho, habisin dulu,” ucap Alea.
“Berangkat, udah kenyang,” jawab Amanda.
Saat Amanda hendak meninggalkan meja makan, suara Kenzo menginterupsi. “Kebetulan kantorku searah dengan sekolah kalian, mau berangkat bersama?”
Mendengar tawaran tersebut, Alea langsung mengangguk antusias, sementara Amanda menatap Kenzo dengan mata berbinar. Hal itu disadari Kenzie, ia bisa melihat ada sorot bahagia dari netra adiknya. Kenzie mengalihkan pandangan, berusaha terlihat biasa saja bahkan tak peduli.
“Tidak masalah, kan, sayang?” Kenzo bertanya pada Kenzie yang sedang mengunyah suapan terakhir. Sontak, ia tersedak mendengar cara Kenzo bertanya dan memanggilnya.
Uhuk uhuk!
Dengan sigap, Kenzo memberikan segelas air mineral yang langsung ditandaskan oleh Kenzie, ia merasakan nyeri di tenggorokan akibat tersedak tadi.
“Pelan-pelan, tidak ada yang mau mengambil makananmu,” ujar Kenzo.
Kenzie memutar bola matanya dan mendapati Alea terkekeh pelan. “Kenapa ketawa?”
“Enggak,” jawan Alea.
“Jadi bagaimana, tidak masalah kan kalau aku mengantar kedua adikmu lebih dulu?” tanya Kenzo.
Entah mengapa, ada perasaan tak senang dalam diri Kenzie. Padahal seharusnya tidak begitu, harusnya dia senang karena Kenzo berusaha mendekatkan diri dengan dua adiknya. Tapi, untuk apa juga? Bukannya pernikahan mereka hanya pura-pura?
“Tidak masalah,” jawab Kenzie setelah beberapa detik membisu.
“Yeay! Berangkat sama Bang Ken!” sorak Alea girang. “Yuk, Bang,” ajaknya.
“Kalian duluan saja, tunggu di depan, ada berkas yang harus kupersiapkan lebih dulu,” sahutnya.
Alea mengangguk, ia mencium punggung tangan Kenzie, disusul Amanda yang juga melakukan hal serupa. Kemudian mereka berlalu, meninggalkan sepasang suami istri yang masih sibuk dengan pikiran masing-masing.
Beberapa detik setelah kedua adiknya pergi, Kenzie membereskan piring-piring di atas meja. Saat hendak mengangkat piring tersebut, Kenzo menahan pergerakannya.
“Biarkan Bi Minah yang melakukannya.”
“Biar aku saja, Bi Minah sedang melakukan pekerjaan lain.”
“Kau istriku, bukan pembantu.”
“Istri kontrak,” ralat Kenzie. Ia meningalkan Kenzo sambil membawa beberapa tumpukan piring di tangan.
“Dia kenapa? Aneh sekali,” batin Kenzo.
Kenzo mengedikkan bahu, tak mau ambil pusing dengan kelakuan Kenzie yang cukup aneh menurutnya. Ia bergegas mengambil berkas penting di ruang kerja, kemudian menyusul dua adik iparnya.
“Udah, Bang?” tanya Alea basa-basi.
“Sudah,” jawab Kenzo.
“Berangkat sekarang?” tanya Alea lagi.
Kenzo mengangguk sebagai jawaban. Ia mengitari mobil dan duduk di kursi kemudi, Alea memilih duduk di belakang, sementara Amanda, wanita itu sudah bertengger di samping Kenzo seraya tersenyum simpul. Senyum yang hanya bisa dilihat oleh Kenzie, yang tanpa disadari siapa pun sedang menatap kepergian mereka dengan pandangan tak terbaca.
Kenzie memasuki kafe tempatnya bekerja dengan langkah gontai. Entah mengapa, pemandangan tadi membuat rencana awalnya untuk mengeruk harta Kenzo menjadi tak menarik lagi. Sejak ia memiliki dugaan Amanda menyukai Kenzo, dirinya kehilangan semangat untuk melakukan hal tersebut. Kenzie melakukan pekerjaan seperti biasa, membuat Anggita yang melihatnya mengernyitkan kening. “Zie, kamu masih kerja di sini? Aku pikir…” Anggita tak melanjutkan ucapannya. Ia melihat raut wajah Kenzie yang tampak tak bersahabat, khas seperti wanita yang sedang datang bulan. “Masih,” jawab Kenzie singkat kemudian berlalu, mendatangi pelanggan yang baru saja tiba. Anggita menatap punggung Kenzie yang menjauh, wanita itu menggelang pelan. Setelah ini, ia harus bertanya apa yang terjadi hingga membuat Kenzie seperti kurang bergairah dan tidak seceria biasanya. Menjelang makan siang, Anggita menghampiri Kenzie yang sedang duduk sendiri sambil merenung. Ia duduk di hadapan wanita yang sedang menopang dagu denga
Kenzo memperhatikan Kenzie yang sedari tadi hanya bergulang-guling, ia tersenyum penuh arti kemudian mendekat pada sang istri. Kenzie yang baru sadar akan kehadiran Kenzo terlonjak kaget, saat mendapati lelaki itu berbaring di sampingnya.“Astaga!” ucap Kenzie dengan tangan di depan dada. “Dasar jailangkung,” tambahnya.“Aku ingin bertanya sesuatu padamu,” ujar Kenzo.Kenzie mengubah posisinya yang semula berbaring menjadi duduk sempurna. Matanya mengarah pada jam dinding yang menunjukkan pukul sembilan malam. Sepertinya Kenzo baru pulang beberapa menit lalu, hal itu membuat Kenzie secara spontan beranjak membuka lemari, dan memberikan handuk pada lelaki itu.“Mandi.”“Kau mengajakku mandi?” tanya Kenzo seraya mengerlingkan matanya.“Lupakan, terserah kau mau mandi atau tidak!” tutur Kenzie. Ia meninggalkan Kenzo begitu saja.Kenzo terkekeh pelan mel
“Mengapa fotomu ada di layar ponsel adikku?” Kenzo menggeleng. “Bukannya dia adikmu, mengapa bertanya padaku? Tanyakan saja padanya.” Spekulasi Kenzie bahwa Amanda menyukai Kenzo semakin besar. Ia harus segera mencari Amanda dan membawanya pulang, setelah itu menanyai sang adik perihal dugaanya. Namun, ke mana dia harus mencari Amanda? Sementara Gala, satu-satunya teman wanita itu tak bisa dihubungi. “Awas saja kalau kau berani berbuat macam-macam pada adikku!” gertak Kenzie. “Bukan aku, tapi dia. Dialah yang macam-macam. Sebagai laki-laki normal, aku hanya merespons saja. Pernah dengar istilah tentang kucing dan ikan asin?” tanya Kenzo, ia menatap angkuh pada Kenzie. Kenzie mengepalkan kedua tangannya, emosinya nyaris meledak mendengar betapa santainya Kenzo berucap demikian. “Di mana kau sembunyikan Amanda?!” “Aku? Menyembunyikan adikmu? Cih! Yang benar saja. Kalau aku mau, aku bisa mendapatkan sepuluh wanita seperti dia. Jadi, untuk apa aku menyembunyikannya?” Plak! Kesombo
“Man, Kakak perlu ngomong sama kamu,” ucap Kenzie saat Amanda melintas di hadapannya. Beruntung hari ini merupakan hari libur, jadi Kenzie memiliki banyak waktu untuk berbincang dengan sang adik. “Aku ada janji sama Gala, mau lari pagi,” sahut Amanda. “Sebentar, lima belas menit.” “Gala udah nunggu.” “Sepuluh menit.” Amanda menghela napas. “Oke. Di mana?” Kenzie berjalan menuju taman belakang dengan Amanda yang mengekor di belakangnya. Tempat itu sepi, hanya ada asisten rumah tangga yang sedang berlalu lalang membersihkan rumah dan pekarangan. Kenzo, lelaki itu masih bergulung dibalik selimut, sementara Alea, dia masih di kamar dan belum keluar sedari tadi. “Duduk,” titah Kenzie. Amanda menurut, ia mendaratkan bokongnya di samping Kenzie, namun sedikit memberi jarak. Hal tersebut disadari oleh Kenzie, ia tak mengira jika kejadian malam itu bisa membuat mereka menjadi asing seperti sekarang. “Kamu suka sama suami Kakak?” tanya Kenzie tanpa basa-basi. Untuk sejenak Amanda tak m
“Lantas untuk siapa? Anakmu?”“Tidak usah banyak tanya, bersiaplah, lima belas menit dari sekarang kita berangkat,” putus Kenzo.Kenzie tercengang. Bagaimana bisa Kenzo meminta bersiap hanya dalam waktu lima belas menit?“Kau gila? Lima belas menit terlalu singkat, aku butuh paling tidak tiga puluh menit untuk bersiap.” Kenzie mencoba bernegosiasi.“Baiklah, sepuluh menit,” tutup Kenzo seraya meninggalkan Kenzie yang sedang bersungut-sungut kesal.“Om-om gila!”“Sembilan menit lagi, pergunakan waktumu sebaik mungkin, kalau tidak kau akan kehilangan kesempatan emas ini,” sahut Kenzo dengan langkah lebarnya.“Brengsek!” umpat Kenzie. Ia segera berlari menuju kamar, membuka lemari dan memilih satu pakaian yang pas. Pilihannya jatuh pada dress selutut dengan motif bunga. Ada tali yang menggantung di area dada, juga kerutan di sekitar paha yang memperlihatk
Aura meninggalkan kediaman Kenzo dengan harga diri yang sudah tinggal separuh. Ia merasa sangat terhina diperlakukan demikian oleh lelaki yang dulu amat memujanya. Sekarang, di depan matanya, Kenzo lebih memilih wanita lain, ia tidak akan tinggal diam. Aura bertekad akan membalas perlakuan Kenzo, dan membuat lelaki itu sadar betapa kualitas dirinya jauh di atas wanita tadi. Masih dengan emosi meluap, Aura menghubungi seseorang dan memaki orang tersebut. “Siapa wanita yang bersama Ken?!” “Maksudku siapa dia? Dan mengapa bisa menjadi istri Kenzo?” “Brengsek! Tidak ada gunanya!” Tut! Aura memutus panggilan sepihak, kemudian memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. Ia perlu bertemu seseorang untuk mengembalikan suasana hatinya yang sangat buruk karena perbuatan Kenzo. Meninggalkan Aura dengan segala kemarahannya, Amanda dan Gala sedang bersantai di bawah pohon rindang dengan sebotol air mineral di tangan masing-masing. “Kemarin kamu ke mana, Gal?” “Aku pergi nemenin Tante, Man.”
“Tidak perlu ke kamar mandi, aku bisa membantumu menuntaskannya kalau kau mau.” “Terima kasih. Tapi maaf, asetku terlalu berharga untuk wanita sepertimu!” balas Kenzo tajam. Ia berlalu dari hadapan Amanda yang secara terang-terangan menggodanya. Bukannya menyerah karena mendapat respons tidak menyenangkan, Amanda justru merasa sangat tertantang. Ia akan memanfaatkan waktu kurang dari tiga bulan untuk menarik perhatian Kenzo. Amanda sangat yakin, cepat atau lambat Kenzo akan luluh dan bertekuk lutut di hadapannya. “Manda? Ngapain kamu di sini? Katanya lari pagi sama Gala?” tanya Kenzie. Ia terkejut mendapati Amanda berada di depan ruang kerja Kenzo. “Udah pulang,” balas Amanda seraya berlalu. Kenzie menatap punggung Amanda yang menjauh seraya mengeleng-gelengkan kepala. Ia merasa seperti sudah kehilangan sosok Amanda, adiknya berubah karena alasan yang tidak benar-benar dia pahamu. “Semoga kita bisa seperti dulu, Man, Kakak rindu,” gumam Kenzie. Meninggalkan Kenzie yang sedang be
Belum sempat Kenzie menjawab, suara ketukan pintu mengalihkan fokus mereka. Sontak, keduanya menatap ke arah yang sama.“Siapa itu?” tanya Kenzie.“Mana kutahu,” jawab Kenzo kesal.“Aku akan melihatnya lebih dulu.”“Tidak usah, biar aku saja.“Baiklah.”Kenzo turun dari ranjang dan berjalan ke arah pintu, kemudian dia menarik handel dan melihat Bi Minah berdiri di hadapannya dengan wajah bersalah. Lelaki itu kembali menutup pintu, tak ingin Kenzie mendengar apa yang akan ia katakan pada wanita paruh baya tersebut.“Ada apa? Bukannya sudah kukatakan jangan mengetuk pintu saat aku dan istriku sedang berada di kamar?!” ketus Kenzo.“Ma-maf, Tuan, tapi ada hal mendesak,” jawab Bi Minah gugup, ia sangat takut melihat wajah tak bersahabat Kenzo.“Aku tidak peduli apa pun itu! Pergi, dan jangan ganggu aku!” usir Kenzo.Bi Minah sema