Kenzie memasuki kafe tempatnya bekerja dengan langkah gontai. Entah mengapa, pemandangan tadi membuat rencana awalnya untuk mengeruk harta Kenzo menjadi tak menarik lagi. Sejak ia memiliki dugaan Amanda menyukai Kenzo, dirinya kehilangan semangat untuk melakukan hal tersebut.
Kenzie melakukan pekerjaan seperti biasa, membuat Anggita yang melihatnya mengernyitkan kening.
“Zie, kamu masih kerja di sini? Aku pikir…”
Anggita tak melanjutkan ucapannya. Ia melihat raut wajah Kenzie yang tampak tak bersahabat, khas seperti wanita yang sedang datang bulan.
“Masih,” jawab Kenzie singkat kemudian berlalu, mendatangi pelanggan yang baru saja tiba.
Anggita menatap punggung Kenzie yang menjauh, wanita itu menggelang pelan. Setelah ini, ia harus bertanya apa yang terjadi hingga membuat Kenzie seperti kurang bergairah dan tidak seceria biasanya.
Menjelang makan siang, Anggita menghampiri Kenzie yang sedang duduk sendiri sambil merenung. Ia duduk di hadapan wanita yang sedang menopang dagu dengan tatapan kosongnya.
“Ada masalah, Zie?” tanya Anggita memulai pembicaraan.
Kenzie menggeleng sebagai jawaban. Namun, Anggita tahu sahabatnya itu berbohong. Ia menatap dalam netra Kenzie, dan dapat menemukan kesedihan di sana.
“Zie, kalau ada apa-apa cerita, aku tahu kamu lagi gak baik-baik aja,” ucap Anggita lirih. Ia mengusap pundak Kenzie pelan. Saat itulah Kenzie mencondongkan tubuhnya menjadi lebih dekat dengan Anggita. “Amanda, kayaknya dia suka sama om-om duda itu,” bisiknya.
“Hah!” Anggita berteriak, dengan sigap Kenzie menutup mulut sahabatnya tersebut.
“Jangan kenceng-kenceng, Ta,” lirih Kenzie.
“Hehe maaf.” Anggita terkekeh pelan. “Kamu yakin?”
“Yakin banget,” jawab Kenzie. Ia semakin mencondongkan tubuh, menceritakan beberapa kejadian yang membuatnya berasumsi demikian. Penjelasan Kenzie tak luput dari perhatian Angita, wanita itu mengangguk-angguk saat sang sahabat mengucapkan kalimat demi kalimat yang mengganggu pikirannya sedari tadi.
“Jangan berpikir aku cemburu, sama sekali enggak, Ta!” ujar Kenzie di akhir ceritanya.
Anggita mengiyakan ucapan sahabatnya, meskipun ia bisa melihat kecemburuan dari nada bicara dan sorot mata Kenzie. “Iya, Zie, aku percaya. Tapi, alangkah baiknya kamu tanya langsung sama Amanda, jangan diem-dieman, apalagi sampe musuhan,” ungkapnya.
“Enggak, lah, ngapain juga sampe musuhan karena om-om itu. Kamu kan tahu dia bukan tipeku,” tutur Kenzie mendenial perasaannya.
“Iya. Aku cuma takut kamu sama Amanda jadi renggang karena ini. Padahal bisa jadi yang terjadi di antara kalian itu cuma kesalahpahaman.”
Kenzie diam memikirkan ucapan Anggita. Sebagai kakak, ia merasa Amanda lah yang harus menyapa dirinya lebih dulu. Tapi sejak kejadian semalam, bahkan saat hendak berangkat sekolah, sang adik hanya mencium punggung tangannya tanpa bicara apa-apa. Apa Amanda tak merasa bersalah dan merasa perlu menjelaskan kejadian sebenarnya, jika yang dia lihat tadi malam hanyalah kesalah-pahaman belaka?
“Gak tahu deh, Ta, aku pusing.”
***
Sepanjang perjalanan tak ada yang berbicara, semua sibuk dengan pikiran masing-masing. Namun, Kenzo sadar ada sepasang mata yang sedari tadi mencuri pandang padanya. Ya, siapa lagi kalau bukan Amanda.
Kepekaan Kenzo tak perlu diragukan lagi, ia juga tak merasa heran jika Amanda bersikap demikian, mengingat banyaknya wanita yang juga terpesona dengan ketampanan dirinya. Itulah yang membuat ia memilih Kenzie, wanita yang secara terang-terangan mengaku tak tertarik padanya.
Kenzo suka sesuatu yang menantang dan berbeda, bukan hal biasa-biasa saja yang bisa dengan mudah ia dapatkan.
“Bang, kalau nanti aku sama Kak Manda udah lulus kuliah, kita boleh kerja di kantor Abang gak?” tanya Alea memecah hening.
Kenzo menoleh sekilas kemudian mengangguk. “Tentu.”
“SMA aja belum lulus, udah ngomongin kerja.” Amanda menimpali.
“Gak apa-apa dong, namanya juga usaha.”
“Emangnya boleh, Bang?” tanya Amanda. Ia menggunakan kesempatan tersebut untuk menatap wajah Kenzo lebih lama, menikmati ciptaan Tuhan yang begitu sempurna.
“Boleh. Kalian bercita-cita menjadi dokter gizi, kan?”
Keduanya mengangguk. Alea lah yang paling terlihat antusias. Pasalnya, profesi tersebut sudah menjadi cita-citanya sedari dulu. Sementara Amanda, ia yang memang cenderung pendiam dan kurang ekspresif hanya merespons dengan senyum tipis.
“Kalian bisa mendaftar menjadi ahli gizi di Mahardika Hospital.”
“Memangnya rumah sakit sebesar itu mau menerima kami?”
Bukan tak yakin pada kemampuan dirinya, hanya saja Mahardika Hospital termasuk dalam jajaran rumah sakit terbaik di negeri ini. Alea sedikit ragu bisa bekerja di sana.
“Mau.”
“Abang yakin?”
“Yakin. Tapi ingat, meskipun itu rumah sakit keluarga, kalian harus tetap kooperatif dan mengikuti rangkaian seleksinya dengan baik.”
“Keluarga Abang punya rumah sakit?” Alea yang sedikit lemot dalam beberapa hal, bingung dengan maksud Kenzo yang mengatakan rumah sakit keluarga.
“Hmm. Mahardika Hospital.”
Alea menganga tak percaya. Ia tak menyangka jika suami kakaknya lebih kaya dari yang dia pikirkan. Kenzie benar-benar beruntung mendapat suami tampan, mapan, juga menyenangkan seperti Kenzo. Setidaknya, itulah yang Alea dan orang lain pikirkan sebagai orang yang sama sekali tak tahu perihal surat perjanjian pernikahan yang telah mereka sepakati.
“Sudah sampai,” tutur Kenzo saat mobilnya berhenti di depan gerbang sekolah yang terlihat sangat biasa saja di matanya.
“Oh iya,” sahut Alea yang baru tersadar dari kekagumannya pada sosok Kenzo. Ia segera turun dari mobil itu tanpa menunggu Amanda yang masih sibuk dengan pikirannya.
Amanda tak kunjung beranjak, padahal bel akan berbunyi kurang dari sepuluh menit lagi. Ia memilin seragam sekolahnya, seraya menggigit bibir bawah. Hal itu membuat Kenzo mengerutkan kening, merasa aneh dengan tingkah adik iparnya itu.
“Ada yang ingin kau katakan?” tanya Kenzo.
Amanda tak langsung menjawab, ia diam sejenak kemudian mengangguk mantap. Sepertinya, ini saat yang tepat untuk mengatakan sesuatu yang sudah lama tersimpan. Saat akan membuka mulut, suara ketukan kaca menghentikan aksi tersebut.
“Gala, kamu ngapain?” tanya Amanda pada sosok laki-laki yang mengetuk kaca.
“Nyusulin kamu, yuk,” ajaknya sambil membuka pintu.
Amanda mendengkus kesal. Gala sudah menggagalkan niatnya, kalau sudah begini ia harus mencari waktu lain, dan pasti sangat sulit, mengingat belum tentu Kenzo akan mengajaknya berangkat bersama lagi besok.
“Lain kali gak usah sampe dijemput, Gal, tunggu di kelas aja,” ucap Amanda yang dibalas anggukan singkat oleh Gala.
Kenzo sama sekali tak tertarik dengan dua remaja tersebut. Setelah Amanda benar-benar turun, ia melajukan mobilnya dengan kecepatan rata-rata, meninggalkan area sekolah itu.
Kenzo tiba di gedung dengan tinggi menjulang sepuluh menit setelahnya. Saat hendak mengambil berkas, netranya menangkap sebuah ponsel pintar berwarna merah muda tergeletak di kursi yang tadi ditempati Amanda. Kenzo mengambil benda itu, tanpa sengaja tangannya menekan tombol power, yang membuat layar menyala secara otomatis. Ekspresi Kenzo sedikit berubah saat mendapati sesuatu di layar.
“Siapa dia sebenarnya?”
Kenzo memperhatikan Kenzie yang sedari tadi hanya bergulang-guling, ia tersenyum penuh arti kemudian mendekat pada sang istri. Kenzie yang baru sadar akan kehadiran Kenzo terlonjak kaget, saat mendapati lelaki itu berbaring di sampingnya.“Astaga!” ucap Kenzie dengan tangan di depan dada. “Dasar jailangkung,” tambahnya.“Aku ingin bertanya sesuatu padamu,” ujar Kenzo.Kenzie mengubah posisinya yang semula berbaring menjadi duduk sempurna. Matanya mengarah pada jam dinding yang menunjukkan pukul sembilan malam. Sepertinya Kenzo baru pulang beberapa menit lalu, hal itu membuat Kenzie secara spontan beranjak membuka lemari, dan memberikan handuk pada lelaki itu.“Mandi.”“Kau mengajakku mandi?” tanya Kenzo seraya mengerlingkan matanya.“Lupakan, terserah kau mau mandi atau tidak!” tutur Kenzie. Ia meninggalkan Kenzo begitu saja.Kenzo terkekeh pelan mel
“Mengapa fotomu ada di layar ponsel adikku?” Kenzo menggeleng. “Bukannya dia adikmu, mengapa bertanya padaku? Tanyakan saja padanya.” Spekulasi Kenzie bahwa Amanda menyukai Kenzo semakin besar. Ia harus segera mencari Amanda dan membawanya pulang, setelah itu menanyai sang adik perihal dugaanya. Namun, ke mana dia harus mencari Amanda? Sementara Gala, satu-satunya teman wanita itu tak bisa dihubungi. “Awas saja kalau kau berani berbuat macam-macam pada adikku!” gertak Kenzie. “Bukan aku, tapi dia. Dialah yang macam-macam. Sebagai laki-laki normal, aku hanya merespons saja. Pernah dengar istilah tentang kucing dan ikan asin?” tanya Kenzo, ia menatap angkuh pada Kenzie. Kenzie mengepalkan kedua tangannya, emosinya nyaris meledak mendengar betapa santainya Kenzo berucap demikian. “Di mana kau sembunyikan Amanda?!” “Aku? Menyembunyikan adikmu? Cih! Yang benar saja. Kalau aku mau, aku bisa mendapatkan sepuluh wanita seperti dia. Jadi, untuk apa aku menyembunyikannya?” Plak! Kesombo
“Man, Kakak perlu ngomong sama kamu,” ucap Kenzie saat Amanda melintas di hadapannya. Beruntung hari ini merupakan hari libur, jadi Kenzie memiliki banyak waktu untuk berbincang dengan sang adik. “Aku ada janji sama Gala, mau lari pagi,” sahut Amanda. “Sebentar, lima belas menit.” “Gala udah nunggu.” “Sepuluh menit.” Amanda menghela napas. “Oke. Di mana?” Kenzie berjalan menuju taman belakang dengan Amanda yang mengekor di belakangnya. Tempat itu sepi, hanya ada asisten rumah tangga yang sedang berlalu lalang membersihkan rumah dan pekarangan. Kenzo, lelaki itu masih bergulung dibalik selimut, sementara Alea, dia masih di kamar dan belum keluar sedari tadi. “Duduk,” titah Kenzie. Amanda menurut, ia mendaratkan bokongnya di samping Kenzie, namun sedikit memberi jarak. Hal tersebut disadari oleh Kenzie, ia tak mengira jika kejadian malam itu bisa membuat mereka menjadi asing seperti sekarang. “Kamu suka sama suami Kakak?” tanya Kenzie tanpa basa-basi. Untuk sejenak Amanda tak m
“Lantas untuk siapa? Anakmu?”“Tidak usah banyak tanya, bersiaplah, lima belas menit dari sekarang kita berangkat,” putus Kenzo.Kenzie tercengang. Bagaimana bisa Kenzo meminta bersiap hanya dalam waktu lima belas menit?“Kau gila? Lima belas menit terlalu singkat, aku butuh paling tidak tiga puluh menit untuk bersiap.” Kenzie mencoba bernegosiasi.“Baiklah, sepuluh menit,” tutup Kenzo seraya meninggalkan Kenzie yang sedang bersungut-sungut kesal.“Om-om gila!”“Sembilan menit lagi, pergunakan waktumu sebaik mungkin, kalau tidak kau akan kehilangan kesempatan emas ini,” sahut Kenzo dengan langkah lebarnya.“Brengsek!” umpat Kenzie. Ia segera berlari menuju kamar, membuka lemari dan memilih satu pakaian yang pas. Pilihannya jatuh pada dress selutut dengan motif bunga. Ada tali yang menggantung di area dada, juga kerutan di sekitar paha yang memperlihatk
Aura meninggalkan kediaman Kenzo dengan harga diri yang sudah tinggal separuh. Ia merasa sangat terhina diperlakukan demikian oleh lelaki yang dulu amat memujanya. Sekarang, di depan matanya, Kenzo lebih memilih wanita lain, ia tidak akan tinggal diam. Aura bertekad akan membalas perlakuan Kenzo, dan membuat lelaki itu sadar betapa kualitas dirinya jauh di atas wanita tadi. Masih dengan emosi meluap, Aura menghubungi seseorang dan memaki orang tersebut. “Siapa wanita yang bersama Ken?!” “Maksudku siapa dia? Dan mengapa bisa menjadi istri Kenzo?” “Brengsek! Tidak ada gunanya!” Tut! Aura memutus panggilan sepihak, kemudian memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. Ia perlu bertemu seseorang untuk mengembalikan suasana hatinya yang sangat buruk karena perbuatan Kenzo. Meninggalkan Aura dengan segala kemarahannya, Amanda dan Gala sedang bersantai di bawah pohon rindang dengan sebotol air mineral di tangan masing-masing. “Kemarin kamu ke mana, Gal?” “Aku pergi nemenin Tante, Man.”
“Tidak perlu ke kamar mandi, aku bisa membantumu menuntaskannya kalau kau mau.” “Terima kasih. Tapi maaf, asetku terlalu berharga untuk wanita sepertimu!” balas Kenzo tajam. Ia berlalu dari hadapan Amanda yang secara terang-terangan menggodanya. Bukannya menyerah karena mendapat respons tidak menyenangkan, Amanda justru merasa sangat tertantang. Ia akan memanfaatkan waktu kurang dari tiga bulan untuk menarik perhatian Kenzo. Amanda sangat yakin, cepat atau lambat Kenzo akan luluh dan bertekuk lutut di hadapannya. “Manda? Ngapain kamu di sini? Katanya lari pagi sama Gala?” tanya Kenzie. Ia terkejut mendapati Amanda berada di depan ruang kerja Kenzo. “Udah pulang,” balas Amanda seraya berlalu. Kenzie menatap punggung Amanda yang menjauh seraya mengeleng-gelengkan kepala. Ia merasa seperti sudah kehilangan sosok Amanda, adiknya berubah karena alasan yang tidak benar-benar dia pahamu. “Semoga kita bisa seperti dulu, Man, Kakak rindu,” gumam Kenzie. Meninggalkan Kenzie yang sedang be
Belum sempat Kenzie menjawab, suara ketukan pintu mengalihkan fokus mereka. Sontak, keduanya menatap ke arah yang sama.“Siapa itu?” tanya Kenzie.“Mana kutahu,” jawab Kenzo kesal.“Aku akan melihatnya lebih dulu.”“Tidak usah, biar aku saja.“Baiklah.”Kenzo turun dari ranjang dan berjalan ke arah pintu, kemudian dia menarik handel dan melihat Bi Minah berdiri di hadapannya dengan wajah bersalah. Lelaki itu kembali menutup pintu, tak ingin Kenzie mendengar apa yang akan ia katakan pada wanita paruh baya tersebut.“Ada apa? Bukannya sudah kukatakan jangan mengetuk pintu saat aku dan istriku sedang berada di kamar?!” ketus Kenzo.“Ma-maf, Tuan, tapi ada hal mendesak,” jawab Bi Minah gugup, ia sangat takut melihat wajah tak bersahabat Kenzo.“Aku tidak peduli apa pun itu! Pergi, dan jangan ganggu aku!” usir Kenzo.Bi Minah sema
“Rhea, apa yang terjadi, mengapa kau menangis, sayang?” tanya Lidia saat Rhea tiba-tiba datang dan menghambur ke pelukannya. Hari masih sangat pagi, namun Rhea sudah berada di rumah mewah Brata dengan mata sembab dan hidung merahnya. “Ah, tidak apa-apa Tante, hanya flu saja,” elak Rhea. Ia sengaja berbohong demi menarik simpati Lidia dan Brata. Karena dia yakin, meskipun mereka mengizinkan Kenzo menikah dengan wanita lain, keduanya tetap berharap dirinya yang menjadi menantu di rumah ini. “Sejak kapan kau pandai berbohong, hm?” Lidia menatap Rhea penuh selidik. Brata yang sejak tadi menyaksikan interaksi keduanya, tampak penasaran juga. Ia mendekat dan memeluk mesra pinggang sang istri. “Ada apa, Lid?” “Mas, tolong hubungi Kenzo, suruh dia kemari, anak itu harus diberi pelajaran,” ucap Lidia seraya menggandeng Rhea dan membawanya ke kamar. Tanpa berniat menolak, Brata segera menghubungi putra semata wayang yang setelah menikah tak pernah sekalipun datang atau sekadar bertanya kaba