“Menikahlah denganku.”
“Tidak! Aku tidak mau! Bukannya tugasku hanya menjadi teman kencanmu?!” tolak Kenzie berapi-api.
Kenzo tersenyum miring. “Kau terlalu polos.”
“Apa maksudmu?!” bentak Kenzie.
Lagi, Kenzo tersenyum miring dan menatap Kenzie penuh arti. “Jangan meneriakiku!”
“Sampai kapanpun aku tidak akan mau menikah denganmu, Om! Jangankan menikah, menjadi kekasihmu saja aku akan berpikir satu juta kali!” tegas Kenzie dengan suara yang lebih lantang.
Sebagai wanita normal, Kenzie mengakui ketampanan Kenzo. Laki-laki dengan rahang tegas, bibir ping alami, juga tubuh yang sangat pelukable itu terlihat matang, tampan dan memesona. Namun, untuk menikah dengan lelaki tersebut, ia sama sekali tidak tertarik. Selain karena perbedaan usia, Kenzie hanya ingin menikah dengan pria yang mencintainya, juga dia cintai. Ya, Kenzie tidak mau terjebak dalam hubungan tanpa cinta, terlebih dengan lelaki tua dan berstatus duda.
‘Oh Tuhan! Masa mudaku yang berharga akan terbuang sia-sia jika menikah dengan pria ini,’ batin Kenzie.
“Rupanya kau memiliki kepercayaan diri yang sangat tinggi.”
“Tentu saja. Aku berhak setuju ataupun menolak! Sudah ya, aku rasa tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan, permisi!” Kenzie menarik kursinya. Ia menyambar tas dan melenggang pergi dengan perasaan kesal setengah mati karena merasa dibohongi.
“Tunggu!” Suara Kenzo menginterupsi, membuat Kenzie secara reflek menghentikan langkah.
“Aku tidak akan berubah pikiran,” ujar Kenzie.
“Kau yakin menolak semuanya sebelum mendengar apa yang akan aku tawarkan?”
“Aku tidak tertarik!”
Kenzie hendak melanjutkan langkahnya. Tapi lagi-lagi, suara Kenzo menginterupsi. “Duduklah, beri aku waktu untuk menjelaskan lebih dulu.”
“Sudah kubilang, aku tidak tertarik!” tegas Kenzie.
Tanpa aba-aba, Kenzo mengeluarkan cek dari saku celananya, dan memberikan kertas itu pada Kenzie. Di sana, tertera angka seratus dengan nol berjajar di belakangnya.
“Apa ini?” tanya Kenzie dengan tangan bergetar, dan mata membulat sempurna.
“Uang seratus juta, untukmu.”
“Kau sedang berusaha menyogokku?” Kenzie menatap sinis pada Kenzo. “Aku tetap tidak mau,” sambungnya seraya mengembalikan cek tersebut pada Kenzo. Meskipun butuh uang, Kenzie tidak sudi jika harus menikah dengan lelaki asing, yang saat pertama kali bertemu saja tidak bisa menghargainya.
Kenzo memandangi wajah Kenzie, ia tersenyum tipis. “Kau tidak akan bisa menolakku.”
“Bisa, mengapa tidak?!” Saat Kenzie hendak kembali membuka mulutnya, Kenzo memotong. “Ambil cek ini, dan duduklah, aku akan jelaskan semuanya.”
“Jelaskan apa?! Aku tidak mau dengar!” bentak Kenzie.
Untung saja mereka sedang berada di private room. Karena kalau tidak, bisa dipastikan keduanya akan menjadi pusat perhatian karena Kenzie yang terus berteriak.
“Duduk, Kenzie!” ujar Kenzo tajam seraya menarik paksa pergelangan tangan Kenzie, dan mendudukkannya di tempat semula.
Kenzie sangat kesal, tengannya sudah siap memukul pipi mulus Kenzo. Namun tertahan karena sesuatu dalam dirinya yang tak bisa ia pahami.
“Apa?!” bentak Kenzie.
“Dengarkan baik-baik. Jangan memotong sebelum aku selesai bicara.” Kenzo mengingatkan.
“Katakan! Aku tidak punya banyak waktu!”
Kenzo mengalihkan pandangan, dan membuang napas kasar, kemudian mengatakan beberapa hal yang membuat Kenzie membelalalakkan mata karena terkejut dengan penjelasan lelaki itu.
“Pernikahan kontrak?”
“Hmm. Anggap saja simbiosis mutualisme. Kau butuh uangku, dan aku butuh bantuanmu!”
“Tapi…”
“Aku tahu, kau hanya wanita miskin yang sedang membutuhkan banyak uang untuk membiayai kedua adikmu yang ingin masuk kedokteran, benar bukan?” tutur Kenzo. Pembawaannya begitu tenang, namun terlihat sangat menyebalkan di mata Kenzie.
“Jangan menghinaku!”
“Aku mengatakan yang sebenarnya,” balas Kenzo santai.
“Jadi, pernikahan kita hanya tiga bulan?” Kenzie kembali fokus pada pembahasan awal mereka.
Sudah cukup! Kenzo tak bisa lagi menahan diri. Kesabarannya yang sedari tadi diisi ulang, sudah benar-benar mencapai batas. “Kau bodoh atau bagaimana? Kau tidak dengar ucapanku!” ungkapnya menggebu-gebu. “Lagipula, aku tidak tertarik menikah lebih lama dengan gadis bodoh sepertimu!” tutupnya.
“Apalagi aku. Kau sama sekali bukan tipeku. Sudah tua, duda lagi,” ucap Kenzie tak mau kalah.
“Kau!!!” Kenzo menatap tajam pada Kenzie, merasa jengah dengan cara wanita itu memanggilnya.
“Apa? Benar, kan? Satu lagi, aku memang tidak tertarik denganmu!”
Hening sejenak. Kenzo sibuk mengatur emosi yang sudah memuncak. Sementara Kenzie, wanita itu tengah berpikir keras, menerima tawaran Kenzo atau menolaknya? Jika menerima, bisa dipastikan kehidupan ia dan kedua adiknya akan jauh lebih baik. Masa depan Amanda dan Alea akan terjamin, mereka bisa melanjutkan pendidikan tanpa terkendala biaya. Tapi, bagaimana dengan prinsipnya yang hanya akan menikah atas dasar cinta?
“Kita hanya akan menikah tiga bulan, bukan selamanya. Mengapa reaksimu berlebihan? Pikirkan baik-baik. Aku bisa mencari orang lain kalau kau tidak mau!” beber Kenzo seraya melipat tangannya di depan dada, dengan mata menatap lurus pada Kenzie.
Sebenarnya, Kenzo tidak benar-benar serius dengan ucapannya. Ia berharap Kenzie setuju dan menerima tawaran tersebut. Karena biar bagaimanapun, dari sekian banyak wanita yang dia temui, hanya Kenzie lah yang tidak tertarik padanya.
“Hanya tiga bulan, kan?” beo Kenzie lagi. Ia yang semula menolak dengan tegas, terlihat mulai tertarik, dan meragukan keputusan awalnya. Keadaan ekonomi yang menghimpit membuatnya sulit mempertahankan prinsip hidup yang selama ini ia buat sendiri.
“Ya, hanya tiga bulan,” jawab Kenzo berusaha lebih tenang.
“Om sungguh akan memberikan cek ini padaku, dan uang lima ratus juta setiap bulan?” Kenzie ingin memastikan, ia tidak mau ditipu oleh laki-laki seperti Kenzo.
“Astaga!” Kenzo menyugar rambutnya frustrasi. “Aku tidak pernah main-main dengan ucapanku. Aku akan memberikannya jika kau setuju.”
Kenzie mengangguk antusias. Persetan dengan prinsip, toh pernikahannya dengan Kenzo hanya sebentar. Ia bisa melakukan banyak hal dengan uang tersebut—membeli rumah, membangun bisnis, menyekolahkan kedua adiknya sampai jadi dokter spesialis, bahkan membeli harga diri lelaki yang dulu pernah menolaknya. Lagipula, prinsip hanya boleh dimiliki oleh orang-orang beruang, dan ia tak punya itu.
“Jadi, kau setuju?”
“Ya, aku setuju menikah kontrak dengan Om,” jawab Kenzie masih dengan mata berbinar. Suasana hatinya berubah menjadi sangat baik setelah memikirkan banyak hal menyenangkan yang bisa ia lakukan jika memiliki banyak uang. Kenzie yang sedang membayangkan hal-hal bahagia, lupa akan kehadiran sosok Kenzo yang tengah menatap intens ke arahnya.
“Satu lagi,” Kenzo menggantungkan ucapannya, ia mengangkat dagu Kenzie, hingga keduanya saling bertatapan. “Jangan panggil aku Om!” lanjutnya.
Tatapan Kenzo yang begitu dalam membuat Kenzie menganguk patuh. “Baiklah, aku akan memanggilmu Kenzo mulai sekarang.”
“No, bukan Kenzo.”
“Jadi?” tanya Kenzie bingung.
“Sayang. Panggil aku sayang.”
Belum sempat Kenzie menjawab, Kenzo lebih dulu mendaratkan kecupan singkat di bibir wanita itu. “Tidak ada penolakan!”
“Sinting!” maki Kenzie seraya mengusap bibirnya dengan gerakan kasar.
Kenzo menahan gerakan tangan Kenzie. “Jangan diusap! Atau aku akan melakukan yang lebih dari ini?!”
“Bagaimana bisa kau melakukan lebih dari ini sementara kita tidak saling mencintai?” tukas Kenzie.
Kenzo tersenyum misterius, ibu jarinya mengusap lembut bibir tipis Kenzie. “Rahasia. Nanti, kau akan tahu dengan sendirinya.”
Usai mengatakan itu, Kenzo kembali ke posisi awal, duduk bersandar seraya menatap bola mata Kenzie sambil tersenyum, senyum tipis yang membuat Kenzie terpesona dan kesal di waktu bersamaan. “Om-om gila! Mengapa kau sangat curang dan sok misterius seperti itu?!” hardik Kenzie. “Dimana letak curangnya?” “Kau terlalu banyak permintaan!” Kenzo mengedikkan bahunya, mengabaikan tatapan tajam Kenzie yang siap mengibarkan bendera perang. “Selama menjadi calon istriku, semua pergerakanmu akan diawasi. Jangan melakukan kesalahan, apalagi berkencan dengan pria lain di belakangku!” ucap Kenzo terdengar sangat posesif. Kenzie mengangguk malas. Padahal, ia sedang melakukan pendekatan dengan seorang pengusaha muda yang tampan juga baik hati. Tapi, Kenzie terpaksa mengesampingkan ego demi mencapai tujuannya. “Good girl,” ujarnya seraya mengacak lembut anak rambut Kenzie. “Besok malam kita akan bertemu orang tuaku. Pastikan kau mampu mengambil hati mereka, karena jika tidak…” “Aku bisa,” potong
Kenzo tak peduli pada ucapan Brata dan Lidia yang menentang keputusannya. Ia tetap pada pendiriannya—membawa Kenzie ke hadapan mereka. Malam ini, Kenzo datang menjemput Kenzie, dan mengajaknya bertemu Lidia dan Brata.Selama di perjalanan, Kenzie menanyakan banyak hal, ia sangat gugup. Sedangkan Kenzo, lelaki itu cuek saja, mengabaikan ocehan Kenzie dan memilih fokus pada kemudi.“Sudah sampai,” ucap Kenzo.Benar saja, mobil mewah Kenzo sudah tiba di rumah yang bagi Kenzie lebih terlihat seperti istana.Perlahan tapi pasti, tangan Kenzo menggenggam jemari Kenzie, mereka melangkah bersama, menemui orang tua Kenzo yang auranya begitu menakutkan di mata Kenzie.“Ma, Pa.” Kenzo mencium punggung tangan orang tuanya, sambil terus menggenggam jemari Kenzie.“Selamat malam, Om, Tante” sapa Kenzie berusaha ramah. Ia melakukan apa yang Kenzo lakukan, mencium punggung tangan Brata dan Lidia secara bergantian.“Malam,” balas Brata singkat.“Selamat malam. Siapa namamu?” Lidia menatap Kenzie dari
Tidak ada yang bisa menghalangi Kenzo melakukan keinginannya, termasuk Brata dan Lidia sekalipun. Malam ini, ia akan menikah dengan Kenzie, pernikahan yang sangat tiba-tiba namun tetap tersusun dengan baik. Bagaimana dengan Kenzie? Mau tidak mau ia harus setuju saat Kenzo memberitahu tanggal pernikahan mereka, yang hanya berjarak satu minggu dari makan malam itu. “Ken, kau yakin akan menikahi gadis seperti dia?!” tanya Lidia sekali lagi. “Dia gadis yang baik, Ma, percayalah.” “Darimana kita tahu dia gadis yang baik, kalau latar belakang keluarganya saja tidak jelas.” Brata menambahkan. “Di mana letak tidak jelasnya, Pa? Orang tuanya meninggal dalam kebakaran, dia memiliki dua adik yang masih bersekolah.” “Keluarga lainnya?” “Tidak ada. Kenzo sudah selidiki latar belakang keluarga Kenzie, dia tidak punya keluarga atau sanak saudara, karena orang tuannya anak tunggal dan seorang perantau. Apa lagi yang Mama dan Papa ingin tahu?” jelas Kenzo. Memang benar, Kenzo sudah menyuruh oran
“Amanda!” pelan namun penuh tekanan, begitulah cara Kenzie menyebut nama sang adik.Mendengar suara itu, Kenzo segera mendorong tubuh Amanda. Ekspresinya terlihat santai, berbanding terbalik dengan Amanda yang kini tampak gusar, seolah tertangkap basah tengah berselingkuh dengan suami kakaknya.“Kak?”“Kamu ngapain peluk-peluk suami Kakak? Suka?” cecar Kenzie tanpa memberikan waktu pada Amanda untuk menjelaskan semuanya. Rasa kantuk yang semula masih menggantung di pelupuk mata, mengudara begitu saja.“Gak gitu,” elak Amanda.“Terus gimana? Sekarang jawab jujur, kamu suka sama suami Kakak?” ulang Kenzie.Kenzo yang menyaksikan kemarahan Kenzie pada adiknya, memeluk wanita itu seraya berbisik. “Tidak usah berlebihan, dia hanya tak sengaja memelukku karena takut gelap.”Kenzie melepas tangan Kenzo yang melingkari pinggangnya. Ia menatap tajam Kenzo. “Kalau Om
Kenzie memasuki kafe tempatnya bekerja dengan langkah gontai. Entah mengapa, pemandangan tadi membuat rencana awalnya untuk mengeruk harta Kenzo menjadi tak menarik lagi. Sejak ia memiliki dugaan Amanda menyukai Kenzo, dirinya kehilangan semangat untuk melakukan hal tersebut. Kenzie melakukan pekerjaan seperti biasa, membuat Anggita yang melihatnya mengernyitkan kening. “Zie, kamu masih kerja di sini? Aku pikir…” Anggita tak melanjutkan ucapannya. Ia melihat raut wajah Kenzie yang tampak tak bersahabat, khas seperti wanita yang sedang datang bulan. “Masih,” jawab Kenzie singkat kemudian berlalu, mendatangi pelanggan yang baru saja tiba. Anggita menatap punggung Kenzie yang menjauh, wanita itu menggelang pelan. Setelah ini, ia harus bertanya apa yang terjadi hingga membuat Kenzie seperti kurang bergairah dan tidak seceria biasanya. Menjelang makan siang, Anggita menghampiri Kenzie yang sedang duduk sendiri sambil merenung. Ia duduk di hadapan wanita yang sedang menopang dagu denga
Kenzo memperhatikan Kenzie yang sedari tadi hanya bergulang-guling, ia tersenyum penuh arti kemudian mendekat pada sang istri. Kenzie yang baru sadar akan kehadiran Kenzo terlonjak kaget, saat mendapati lelaki itu berbaring di sampingnya.“Astaga!” ucap Kenzie dengan tangan di depan dada. “Dasar jailangkung,” tambahnya.“Aku ingin bertanya sesuatu padamu,” ujar Kenzo.Kenzie mengubah posisinya yang semula berbaring menjadi duduk sempurna. Matanya mengarah pada jam dinding yang menunjukkan pukul sembilan malam. Sepertinya Kenzo baru pulang beberapa menit lalu, hal itu membuat Kenzie secara spontan beranjak membuka lemari, dan memberikan handuk pada lelaki itu.“Mandi.”“Kau mengajakku mandi?” tanya Kenzo seraya mengerlingkan matanya.“Lupakan, terserah kau mau mandi atau tidak!” tutur Kenzie. Ia meninggalkan Kenzo begitu saja.Kenzo terkekeh pelan mel
“Mengapa fotomu ada di layar ponsel adikku?” Kenzo menggeleng. “Bukannya dia adikmu, mengapa bertanya padaku? Tanyakan saja padanya.” Spekulasi Kenzie bahwa Amanda menyukai Kenzo semakin besar. Ia harus segera mencari Amanda dan membawanya pulang, setelah itu menanyai sang adik perihal dugaanya. Namun, ke mana dia harus mencari Amanda? Sementara Gala, satu-satunya teman wanita itu tak bisa dihubungi. “Awas saja kalau kau berani berbuat macam-macam pada adikku!” gertak Kenzie. “Bukan aku, tapi dia. Dialah yang macam-macam. Sebagai laki-laki normal, aku hanya merespons saja. Pernah dengar istilah tentang kucing dan ikan asin?” tanya Kenzo, ia menatap angkuh pada Kenzie. Kenzie mengepalkan kedua tangannya, emosinya nyaris meledak mendengar betapa santainya Kenzo berucap demikian. “Di mana kau sembunyikan Amanda?!” “Aku? Menyembunyikan adikmu? Cih! Yang benar saja. Kalau aku mau, aku bisa mendapatkan sepuluh wanita seperti dia. Jadi, untuk apa aku menyembunyikannya?” Plak! Kesombo
“Man, Kakak perlu ngomong sama kamu,” ucap Kenzie saat Amanda melintas di hadapannya. Beruntung hari ini merupakan hari libur, jadi Kenzie memiliki banyak waktu untuk berbincang dengan sang adik. “Aku ada janji sama Gala, mau lari pagi,” sahut Amanda. “Sebentar, lima belas menit.” “Gala udah nunggu.” “Sepuluh menit.” Amanda menghela napas. “Oke. Di mana?” Kenzie berjalan menuju taman belakang dengan Amanda yang mengekor di belakangnya. Tempat itu sepi, hanya ada asisten rumah tangga yang sedang berlalu lalang membersihkan rumah dan pekarangan. Kenzo, lelaki itu masih bergulung dibalik selimut, sementara Alea, dia masih di kamar dan belum keluar sedari tadi. “Duduk,” titah Kenzie. Amanda menurut, ia mendaratkan bokongnya di samping Kenzie, namun sedikit memberi jarak. Hal tersebut disadari oleh Kenzie, ia tak mengira jika kejadian malam itu bisa membuat mereka menjadi asing seperti sekarang. “Kamu suka sama suami Kakak?” tanya Kenzie tanpa basa-basi. Untuk sejenak Amanda tak m