Langit mendung sore itu menyambut langkah lemah Cantika yang turun dari angkutan umum. Tas kecil tergantung di pundaknya, sementara wajahnya tertunduk menahan tangis yang belum juga habis sejak pagi.
Ia melangkah menuju rumah petaknya, tempat tinggal bersama Nenek Wati satu-satunya keluarga yang ia punya. Nenek Wati menyambut dengan senyum hangat, namun raut wajahnya berubah begitu melihat wajah cucunya yang pucat dan mata sembab. “Cantika, kenapa, Nak? Kok kamu pulang cepat?” Cantika berusaha tersenyum. “Aku… cuma rindu rumah, Nek.” Nenek Wati menggenggam tangan Cantika dan menariknya duduk di kursi rotan tua di beranda. “Kamu bisa bohong sama orang lain, tapi bukan sama Nenek. Ada apa?” Tangis Cantika pecah. Ia memeluk neneknya erat-erat. “Mereka usir aku, Nek. Mereka bilang aku nggak pantas. Mereka pikir aku ganggu Pangeran...” “Pangeran? Dokter itu?” tanya Nenek Wati lembut. Cantika mengangguk. “Aku nggak pernah berniat ganggu siapa-siapa. Tapi aku jatuh cinta, Nek. Dan aku rasa… dia juga cinta aku.” Nenek Wati mengelus punggung Cantika. “Cinta nggak salah, Nak. Tapi kadang… dunia memaksa kita percaya bahwa kita salah hanya karena kita bukan siapa-siapa.” --- Sementara itu di rumah sakit, Pangeran mulai menyusun langkah. Ia tahu ada yang janggal. Ia tahu Zolanda punya andil dalam kepergian Cantika. Tapi lebih dari itu—ia ingin tahu kebenaran. Ia menemui suster Fitri, salah satu staf lama yang dikenal jujur. “Suster, kamu pasti tahu sesuatu. Jangan tutupi dariku,” ucap Pangeran penuh tekanan. Suster Fitri menunduk. “Saya takut, Dok. Tapi saya nggak tahan lihat ketidakadilan. Sebenarnya… Cantika tidak pernah ingin pergi. Tapi Ayah Dokter… datang sendiri dan memaksanya keluar. Ada foto-foto… dan gosip aneh yang menyebar dari staf belakang. Saya yakin, semua itu ulah Zolanda.” Mata Pangeran memerah. Rahangnya mengeras. Ia langsung menuju ruang ayahnya tanpa menunggu waktu. Begitu tiba, pintu dibanting terbuka. “Kenapa Ayah perlakukan dia seperti itu?” teriak Pangeran. Sang Ayah mengangkat wajahnya perlahan dari balik tumpukan berkas. “Karena aku menyelamatkan masa depanmu.” “Dengan menghancurkan orang yang aku cintai?” “Cinta?” Sang Ayah tertawa pendek. “Kau baru bertemu gadis itu sebulan. Itu bukan cinta. Itu ilusi.” “Itu realita untukku!” bentak Pangeran. “Aku akan cari dia. Dan aku akan pastikan kau tahu… siapa yang pantas untukku.” Ia keluar dengan napas memburu, matanya tajam penuh tekad. Tak peduli seberapa kuat pengaruh sang Ayah atau liciknya Zolanda—ia tahu hatinya telah memilih. --- Malamnya, Zolanda melihat Pangeran pergi dari rumah sakit dengan tergesa. Ia mengangkat alis, curiga. Ia lalu menghubungi seseorang. “Awasi dia. Lihat ke mana dia pergi. Dan pastikan… dia tidak pernah bertemu Cantika lagi.” --- Sementara itu, Cantika duduk di samping Nenek Wati yang tertidur di ranjang kayu. Ia menatap langit-langit yang remang, mencoba melupakan semua luka yang mendalam. Tapi suara motor berhenti di depan rumah membuatnya menoleh. Ia bangkit, membuka pintu perlahan. Dan di sana… berdiri sosok yang membuat jantungnya seketika berhenti berdetak. “Pangeran…” Pangeran mengangguk, wajahnya penuh emosi. “Aku cari kamu ke mana-mana.” Air mata Cantika kembali menetes. “Kenapa kamu ke sini? Nanti mereka marah.” “Aku nggak peduli lagi siapa yang marah. Aku cuma peduli kamu.” Cantika terpaku. Tapi sebelum ia bisa menjawab, tiba-tiba suara klakson mobil keras terdengar dari kejauhan. Siluet mobil hitam berhenti tidak jauh dari sana. Dari balik kaca… terlihat Zolanda yang menatap dengan senyum sinis. --- Mobil hitam itu berhenti tepat di depan rumah sederhana Cantika. Dari balik kaca, Zolanda menatap tak percaya. Wajahnya menegang melihat Pangeran berdiri di depan gadis yang selama ini ingin ia singkirkan. Zolanda segera membuka pintu mobil dan turun. “Pangeran!” panggilnya tajam. Pangeran menoleh pelan, wajahnya kaku. Cantika langsung panik dan mundur satu langkah ke belakang. Zolanda berjalan cepat menghampiri mereka, tumit sepatunya memukul aspal dengan keras. “Apa yang kamu lakukan di sini?” suaranya menekan. “Aku datang untuk melihat Cantika. Ada yang salah dengan itu?” balas Pangeran dingin. Zolanda menoleh ke Cantika, menatapnya dari atas sampai bawah. “Gadis ini… kamu rela hancurkan keluargamu demi dia?” Cantika menunduk. “Aku nggak mau jadi perusak hubungan siapa pun. Kalau aku jadi masalah, aku akan pergi.” “Tidak!” sahut Pangeran cepat. Ia menatap Cantika. “Kamu tidak salah. Justru kamu satu-satunya orang yang membuat aku merasa hidup.” Zolanda menggeram, tapi masih menjaga wajahnya tetap tenang. “Kalau kamu laki-laki terhormat, antarkan aku pulang dulu. Baru setelah itu kamu bisa pikirkan apa pun yang kamu mau.” Pangeran menarik napas dalam-dalam. “Baik.” Ia berbalik pada Cantika. “Tunggu aku. Aku akan kembali.” Cantika hanya bisa mengangguk pelan. --- Perjalanan mengantar Zolanda ke apartemennya terasa sangat sunyi. Di dalam mobil, hanya suara AC yang terdengar. Zolanda menatap ke luar jendela, menyembunyikan rasa geram yang menggelegak dalam dadanya. Begitu mobil berhenti di pelataran apartemen, Zolanda membuka pintu, tapi tak segera turun. “Kalau kamu tinggalkan aku demi perempuan itu, kamu akan menyesal, Pangeran,” ujarnya pelan tapi tajam. “Kamu mungkin dokter yang hebat, tapi tanpa nama keluargamu, kamu bukan siapa-siapa.” Pangeran memalingkan wajah ke arahnya. “Kalau nama keluarga berarti harus mengorbankan cinta dan kejujuran, mungkin aku memang bukan siapa-siapa. Tapi aku masih manusia.” Zolanda membanting pintu dengan keras saat turun, meninggalkan Pangeran sendiri di dalam mobil. --- Pangeran memutar balik mobilnya dan melaju cepat ke rumah Cantika. Jalanan malam lengang, tapi pikirannya penuh gelombang. Begitu sampai, ia melihat lampu rumah Cantika masih menyala. Ia mengetuk pelan. Tak lama kemudian, pintu terbuka. Cantika berdiri di sana, memakai sweater tipis, rambutnya tergerai, dan mata masih bengkak. “Pangeran…” Pangeran melangkah masuk tanpa banyak kata, lalu duduk di kursi ruang tamu. “Aku sudah antar Zolanda. Aku ingin bicara sama kamu. Dari hati ke hati.” Cantika duduk berseberangan, berusaha menenangkan diri. “Aku tahu aku datang dari dunia yang berbeda. Aku tahu kamu punya tanggung jawab besar, dan kamu harus memilih,” ucap Cantika lirih. “Tapi aku bukan pilihan yang masuk akal.” Pangeran tersenyum miris. “Cinta tidak pernah masuk akal. Kalau cinta harus masuk akal, maka dunia ini nggak akan punya cerita indah.” Ia menggenggam tangan Cantika. “Aku nggak peduli dengan jabatan, dengan perjodohan, atau dengan semua tekanan itu. Aku cuma peduli satu hal: apakah kamu masih mau percaya padaku?” Cantika menatap mata Pangeran, dan untuk pertama kalinya sejak hari itu, senyum kecil mengembang di bibirnya. “Aku percaya.” Pangeran menarik napas lega dan memeluknya erat. Untuk sesaat, waktu seakan berhenti. Tapi mereka tahu, ini belum akhir. Perjalanan mereka masih panjang. Dan Zolanda belum akan menyerah. Di luar sana, di dalam kamar apartemen mewahnya, Zolanda menatap layar ponsel dengan raut penuh kebencian. “Aku belum kalah, Cantika. Bahkan belum mulai…” ---Langit senja mulai berubah kelabu ketika rombongan mobil hitam itu melaju kencang di jalur pegunungan yang sunyi. Suara ranting patah di bawah ban, serta kabut tipis yang menggantung di udara, menambah aura ketegangan yang tak bisa dihindari.Cantika duduk memeluk Putri di dalam mobil, sementara Caca menggenggam tangan kecil Mario erat-erat. Di mobil lain, Marsel dan Caca bergantian menatap ke belakang, memastikan tak ada kendaraan asing yang mengikuti mereka.Pangeran berada di depan, menyetir bersama Reno, dan putra menuntun jalan menuju tempat persembunyian baru yang hanya diketahui oleh segelintir orang. Lokasinya jauh dari kota, dikelilingi tebing curam dan hutan lebat. Tak terjangkau sinyal, tak terdeteksi drone, dan tak tercatat di peta.“Kau yakin ini tempatnya?” tanya Reno, menahan degup jantung yang masih kacau pasca-teror terakhir dari Zolanda.“Yakin,” jawab Pangeran mantap. “Ini tempat terakhir yang bahkan aku sembunyikan dari semua dokumen pribadi. Bahkan pasukan kita pu
Petir menyambar langit seperti dentuman perang, seolah alam pun ikut merasakan teror yang menyelimuti keluarga Pangeran. Mobil-mobil hitam berderet keluar dari gerbang besar rumah mereka, melaju membelah malam menuju tempat yang hanya diketahui oleh Pangeran, Reno, dan Marsel sebuah rumah persembunyian lama yang terletak di tengah pegunungan, jauh dari jangkauan siapa pun… atau setidaknya mereka kira begitu. Cantika memeluk Mario erat, sedangkan Putra dan Putri duduk di kursi belakang sambil terus menoleh ke jendela. Caca menggenggam tangan Marsel dengan erat. Ketegangan tak bisa disembunyikan dari wajah siapa pun malam itu. “Aku merasa kita tak benar-benar aman. Zolanda terlalu licik,” bisik Reno dari kursi depan. Pangeran mengangguk pelan. “Tapi ini pilihan terbaik. Kita harus jaga jarak, dan di tempat tinggi ini, lebih mudah mengendalikan titik masuk.” Namun tak seorang pun menyadari... bahwa tepat di belakang konvoi mobil itu, sebuah kendaraan kecil dengan lampu mati mengunti
Pagi harinya, suasana rumah Pangeran tampak biasa saja. Burung-burung bernyanyi, matahari menembus tirai tipis ruang keluarga, dan aroma teh jahe buatan Cantika menguar di udara. Putri duduk di dekat jendela sambil memainkan rambut adiknya, Mario, yang masih menguap ngantuk. Putra tampak sibuk merakit puzzle besar di meja tengah. Caca dan Naila sedang di dapur, tertawa pelan membicarakan resep kue baru.Namun tak ada yang tahu, ancaman perlahan menyusup, nyaris tak terdengar... nyaris tak terlihat.Di kamar belakang, Pangeran dan Reno duduk di depan layar laptop yang terhubung ke jaringan keamanan rumah. Marsel berdiri di samping, memantau aktivitas dari kamera tersembunyi.“CCTV utara sudah dicek. Semua aman,” ujar Reno.“Dan perimeter belakang juga steril,” tambah Marsel.Pangeran mengetuk ngetuk meja. “Tapi tetap ada yang mengganjal. Setelah insiden si Cebol semalam, kenapa Zolanda belum mengirim serangan lanjutan?”“Karena itu bukan caranya kali ini,” gumam Reno. “Dia sudah tahu k
Tawa terdengar dari ruang keluarga sore itu. Matahari menyorot lembut melalui celah tirai, membasuh wajah wajah hangat keluarga yang kini berkumpul kembali. Cantika sedang menyisir rambut Putri yang kini tumbuh menjadi gadis remaja cantik nan ceria. Di sisi lain, Pangeran dan Reno duduk sambil menyeruput teh sembari melihat Mario dan Putra bermain lempar bola di taman kecil belakang rumah.“Lihat itu, Mario makin gesit. Baru lima tahun udah kayak ninja!” kata Marsel sambil tertawa, bahunya sedikit berguncang.“Awas lo, Mas! Jangan salah lempar ke jendela kayak waktu itu!” sahut Caca dari dapur sambil membawa sepiring kue.Mereka tertawa bersama. Tak ada satu pun dari mereka ingin mengusik damai ini. Mereka tahu betapa sulitnya mendapatkan ketenangan setelah bertahun tahun hidup dalam ketakutan dan pelarian. Tapi justru karena itu, mereka sangat menghargai detik-detik ini.Putra duduk di samping pangeran. “Ayah, apa semua akan baik-baik saja sekarang?”pangeran menatap mata putranya, l
Matahari sudah mulai naik ketika mobil hitam yang dikendarai Reno berhenti di tengah sebuah jembatan tua yang sepi di pinggiran kota. Di bagasi belakang, terdengar suara gerutuan… lalu lolongan kecil seperti rubah masuk angin.“Awwwkkk... lepasin Aku! Aku nggak salah apa-apa!” suara serak itu berasal dari makhluk mungil bernama Talo si cebol yang semalam nyaris bikin jantung mereka copot.Marsel menatapnya sambil tertawa geli. “Apa kamu bilang nggak salah denger? kamu lempar bom asap ke dalam mobil, terus nyaris gigit paha Aku! kau bilangnggak salah?”Pangeran membuka bagasi. Talo kini sudah dalam kondisi terikat, bajunya kotor, rambutnya berdiri seperti rambut sapu ijuk habis nyangkut di kipas angin.“saya cuma… disuruh!” Talo merengek. “Zolanda tuh galak banget! Kalo Aku nolak, pasti bakal di buat daging cincang dan di masak pakai kecap!”Reno ngakak. “Zolanda ngancem lu pake kecap?! Ini agen musuh apa kuli nasi goreng sih?”Mereka bertiga sudah kehilangan keseriusan. Bahkan Panger
Malam menyelimuti kota dengan kelam yang pekat. Di sudut terpencil sebuah gudang tua yang tampak tak berpenghuni, dua sosok pria bersembunyi di balik tumpukan kayu. Pangeran dan Marsel, berpakaian hitam-hitam lengkap dengan earpiece komunikasi dan rompi pelindung tipis.“Aku bilang juga apa, kalau pakai rompi ini perut Aku makin buncit keliatannya,” gumam Marsel pelan sambil menarik-narik rompinya.Pangeran menyipitkan mata. “Fokus, Sel. Kita nyusup, bukan catwalk.”Marsel memutar bola mata. “Iya, iya. Tapi lu gak bisa nyalahin Aku kalau rompi ini bikin gerak Aku kayak kangkung dibungkus plastik.”Sinyal masuk di earpiece mereka. Reno dari jarak jauh memantau lewat satelit kecil.“Target bergerak ke arah barat. Ada dua penjaga di dekat pintu masuk belakang. Awas, kamera di pojok kiri atas,” suara Reno terdengar serius.Pangeran memberi isyarat tangan pada Marsel. Dengan hati-hati mereka merayap mendekati tembok samping bangunan. Suara jangkrik mengiringi langkah pelan mereka, sementar