Zolanda membanting pintu kamar apartemennya hingga bergetar. Napasnya memburu, rambutnya acak-acakan, dan riasannya mulai luntur karena amarah yang membara.
“Aku kalah darinya? Dari gadis kampung rendahan itu?” gumamnya penuh kebencian. Ia berjalan mondar-mandir, lalu menghentak kaki ke lantai. Ia membuka lemari minuman, menuangkan wine ke dalam gelas kristal, lalu menenggaknya sekaligus. Dingin, tapi tak cukup untuk menurunkan panas di tubuh dan hatinya. Pikirannya melayang pada wajah Pangeran yang begitu lembut saat menatap Cantika. Tatapan yang dulu hanya ia terima saat mereka berdua masih dekat. Tatapan yang kini lenyap, tergantikan oleh rasa cinta pada perempuan lain. “Aku nggak akan kalah semudah ini,” katanya sambil meremas gelasnya sendiri. Tiba-tiba, ia mengambil ponselnya dan menekan salah satu kontak bernama “Reno”. Tak lama kemudian, suara pria di seberang terdengar. “Zol? Tumben nelpon malam-malam…” “Aku butuh kamu sekarang. Datang ke apartemen. Sekarang,” suaranya datar, dingin, namun mengandung bara api. “Hah? Emang kamu… serius?” “Cepat, atau aku cari yang lain.” Klik. Zolanda melempar ponselnya ke sofa, lalu melangkah ke arah lemari. Ia memilih gaun tidur tipis warna merah darah, yang membuat tubuhnya tampak makin menggoda. Setelah berdandan cepat di depan cermin, ia duduk menunggu dengan anggun, namun wajahnya tetap menyimpan amarah yang siap meledak kapan saja. Tak sampai 30 menit, bel apartemennya berbunyi. Ia membuka pintu dan menemukan Reno berdiri dengan wajah penasaran. “Ada apa ini?” Zolanda menariknya masuk tanpa bicara. Pintu ditutup. Lampu ruangan diredupkan. “Aku butuh pelampiasan. Jangan tanya apa-apa. Jangan pikir apa-apa,” bisiknya sambil menatap mata Reno. Tanpa banyak kata, tubuh mereka larut dalam pelukan gelap malam, seperti dua orang asing yang hanya ingin menghilangkan rasa sakit—bukan karena cinta, tapi karena kehancuran. Di sudut kamar, mata Zolanda masih menyala. Bukan karena hasrat, tapi karena dendam. “Simpan tenagamu, Reno. Ini baru awal dari semuanya…” --- Hujan turun deras malam itu, seakan langit ikut menangisi kegundahan hati Cantika. Ia berdiri di bawah teras rumah kecilnya, memeluk dirinya sendiri. Suara derasnya air mengguyur bumi menyamarkan suara tangis yang tertahan. Tiba-tiba, langkah kaki terdengar menembus hujan. Pangeran, basah kuyup dari ujung rambut hingga sepatu, berdiri di depan gerbang rumahnya. “Cantika!” teriaknya. Cantika menoleh, matanya merah. Pangeran membuka pagar dan mendekat. “Aku harus bicara.” “Kamu sudah bicara, Pangeran. Kamu udah tunjukin siapa yang kamu pilih malam itu. Aku nggak perlu penjelasan lagi…” katanya sambil membuang wajah. Pangeran menggenggam kedua bahunya. “Aku antar Zolanda karena rasa tanggung jawab, bukan cinta. Aku nggak bisa biarin dia hancur di depan mataku, tapi bukan berarti hatiku ada padanya.” Cantika menatapnya lekat, air mata turun bersamaan dengan hujan. “Lalu hatimu... ada di mana?” Pangeran mendekat, wajahnya hanya sejengkal dari Cantika. “Di sini,” bisiknya lirih, “di kamu…” Hujan makin deras. Mereka tak bergerak. Hanya mata yang bicara. Lalu, dalam sekejap, bibir mereka saling bertemu dalam ciuman yang hangat di tengah dinginnya malam. Ciuman itu bukan sekadar hasrat, tapi pelampiasan dari rindu yang tertahan, cinta yang dipendam terlalu lama. Tangan Pangeran menarik Cantika ke dalam pelukannya, dan Cantika membiarkan dirinya larut. Mereka masuk ke dalam rumah dalam diam, tubuh masih basah oleh hujan, napas tak beraturan. Baju demi baju terlepas, bukan karena nafsu semata, tapi karena kebutuhan akan kehangatan, keintiman, dan kejujuran. Di dalam kamar, hanya ada mereka berdua. Dunia seakan berhenti berputar. Malam itu, dua jiwa yang lama terikat akhirnya menyatu dalam satu nafas. Saling menemukan. Saling memulihkan. Di antara desah dan bisik pelan, Pangeran membisikkan satu kalimat yang membuat hati Cantika luruh seluruhnya, “Aku mencintaimu, Cantika. Dengan seluruhku…” Dan malam pun menjadi saksi bahwa cinta sejati tak bisa dilawan. Bahkan hujan pun tak bisa meredamnya. Setelah hujan mereda, keheningan menyelimuti kamar sederhana itu. Cantika berbaring di pelukan Pangeran, tubuhnya masih hangat oleh sisa cinta yang mereka bagi sebelumnya. Napas mereka perlahan menenangkan diri, namun dalam dada Pangeran, ada satu keputusan yang mulai mengkristal. Ia menatap wajah Cantika yang tenang dalam tidurnya. Dielusnya lembut pipi gadis itu, lalu mencium keningnya. “Aku nggak akan kehilangan kamu. Apapun caranya…” bisiknya lirih. Cantika membuka mata perlahan. “Kenapa kamu lihat aku kayak gitu?” Pangeran tersenyum samar, lalu menarik Cantika lebih dekat. “Aku serius soal kamu. Tapi aku tahu, Ayah nggak akan pernah merestui kita kalau nggak ada hal besar yang bisa mengubah pikirannya.” Cantika terdiam, menatap mata Pangeran yang begitu yakin. “Maksud kamu…?” “Kalau kamu hamil… dia nggak akan punya pilihan selain menerimamu,” jawabnya jujur. Cantika terbelalak. “Kamu—apa kamu yakin? Ini bukan mainan, Ran…” “Aku nggak main-main. Aku cinta kamu, dan aku mau hidup sama kamu. Kalau ini satu-satunya jalan, aku akan tempuh.” Cantika terdiam, hatinya bergetar. Dalam batinnya bertarung logika dan rasa. Namun ketika Pangeran mengecup bibirnya sekali lagi, dengan penuh kelembutan, ia tahu: ia pun menginginkannya. Malam itu pun menjadi saksi cinta mereka—bukan lagi sekadar pelampiasan rindu, tapi harapan akan masa depan. Pelukan mereka kembali saling mengikat. Ciuman kembali memanas, namun ada tujuan yang lebih dalam kali ini. Di antara bisikan dan peluh, Pangeran mencurahkan cintanya dengan segala yang ia punya. Berkali-kali ia menyatu dengan Cantika, seakan ingin memastikan harapan itu tumbuh. Bahwa suatu hari nanti, akan ada buah cinta yang bisa membuat dunia mereka tak lagi ditentang. Dan di antara lenguh cinta dan bisikan janji, Cantika membiarkan dirinya larut. Tak lagi ragu. Tak lagi takut. Malam itu, tak hanya tubuh mereka menyatu. Tapi juga tekad dan masa depan. --- Mentari pagi menyusup pelan melalui celah tirai jendela, menari di atas selimut yang berantakan. Udara pagi yang sejuk menyelimuti kamar, tapi kehangatan di antara dua insan di atas ranjang masih menyala dengan begitu kuat. Cantika membuka mata perlahan, dan mendapati Pangeran tengah memandangi wajahnya—lembut, dalam, dan penuh arti. “Kamu nggak tidur?” bisik Cantika pelan. Pangeran hanya tersenyum, lalu mengecup ujung hidungnya. “Aku nggak mau tidur. Aku takut bangun dan ternyata semua ini cuma mimpi.” Cantika tertawa kecil. “Gombal pagi-pagi.” Pangeran tidak menjawab, ia justru membalik tubuh Cantika dengan lembut. Matanya memancarkan hasrat, namun bukan sekadar nafsu—ada cinta dan keinginan untuk menjaga. “Aku belum selesai membuktikan cintaku semalam,” bisiknya di telinga Cantika, membuat gadis itu menggigit bibir, malu-malu. Dan pagi itu pun kembali menjadi gelombang kasih yang sulit dihentikan. Nafas mereka kembali memburu, tubuh saling menyatu dalam irama yang lambat tapi dalam. Tak ada kata-kata, hanya desahan dan pelukan yang erat. Mereka seperti dua jiwa yang menemukan rumah satu sama lain. Namun, di tengah keheningan itu… TRRRTT… TRRRTT… TRRRTT… Deru nada dering memecah suasana. Pangeran terdiam sejenak, menoleh ke arah ponselnya yang tergeletak di lantai. Nama di layar menyala jelas: "Ibu". Cantika membeku. Tubuhnya masih dalam pelukan Pangeran, tapi hatinya langsung terguncang. Pangeran menutup matanya sebentar, menarik napas dalam. “Jawab, Ran. Nggak sopan ninggalin Ibu,” ucap Cantika pelan, nyaris berbisik. Tapi Pangeran menggeleng. “Aku nggak mau diganggu sekarang. Aku cuma mau bersamamu…” Ia menangkup wajah Cantika, lalu menciumnya lagi. Kali ini lebih dalam, seakan ingin melawan semua tekanan dunia luar. Namun dering itu terus berbunyi. TRRRTT… TRRRTT… Pangeran menghela napas berat. Dengan enggan ia akhirnya bangkit, meraih ponsel itu dan menekan tombol jawab. “Ya, Bu…” Terdengar suara wanita di seberang, tegas dan khawatir. Pangeran menutup ponsel dengan telapak tangan, memandang Cantika yang duduk berselimut di tempat tidur. “Aku harus ke rumah. Ibu minta aku datang sekarang.” Cantika menunduk. “Aku ngerti…” Pangeran kembali menghampirinya, menarik gadis itu ke dalam pelukan hangat. “Aku akan kembali. Aku janji. Dan kalau harapan kita benar-benar terjadi…” tangan Pangeran menyentuh perut Cantika dengan lembut, “maka aku akan melindungi kalian berdua, apa pun yang terjadi.” Cantika mengangguk, dengan air mata yang tertahan—antara bahagia dan takut. Dan pagi itu, meski dipenuhi cinta dan hangat, mulai diwarnai bayangan tentang dunia luar yang tak akan tinggal diam… --- Setelah menutup telepon dari ibunya, Pangeran masih terduduk di sisi tempat tidur. Wajahnya menegang, pikirannya bercabang antara kewajiban dan rasa. Cantika hanya menatapnya, ragu untuk bertanya. Pangeran mengalihkan pandangan padanya, lalu tersenyum—senyum yang tak sepenuhnya tenang. Ia berdiri perlahan, lalu meraih tangan Cantika. “Ayo…” katanya singkat. Cantika mengerutkan dahi. “Kemana?” “Ke kamar mandi. Kamu belum cuci muka dari tadi malam,” ujarnya sambil terkekeh lembut, mencoba mencairkan suasana. Cantika tertawa kecil, tapi sebelum sempat berdiri sendiri, tubuhnya terangkat. “Pangeran!” teriaknya pelan, terkejut saat pria itu menggendongnya ala pengantin baru. “Biar aku yang bawa. Kamu berat, tapi... manis,” godanya. Cantika memukul pelan dada Pangeran sambil menyembunyikan senyumnya. Mereka masuk ke dalam kamar mandi, dan Pangeran menurunkan tubuh Cantika perlahan ke lantai. Air dari shower mulai menetes hangat, menghapus sisa dingin semalam. Namun, sebelum Cantika sempat meraih sabun atau handuk, Pangeran sudah menariknya kembali ke dalam pelukannya. Tubuh mereka, masih sama-sama terbalut sisa keintiman semalam, kembali bersentuhan. Air mengalir pelan di atas mereka. Tak ada kata-kata, hanya mata yang berbicara. Dalam ketenangan suara air, mereka kembali menyatu—dengan gerakan yang pelan, penuh perasaan, dan sangat dalam. Bukan karena nafsu semata. Tapi karena Pangeran tahu, setelah pintu rumah ini ia lewati nanti, dunia akan mulai ikut campur dalam cerita mereka. Maka pagi ini, di bawah guyuran air, ia ingin memastikan bahwa Cantika tahu satu hal: Bahwa cinta ini nyata. Bahwa ia memilihnya, sepenuhnya. Dan di bawah aliran air hangat dan gemuruh napas yang semakin larut, dua hati itu kembali terikat dalam satu irama, satu bisikan, satu harapan. ---Hujan turun deras malam itu, mengetuk-ngetuk jeruji besi penjara di mana Zolanda ditahan. Cahaya lampu redup tak berdaya menembus kegelapan wajahnya yang bersandar pada dinding lembab. Tapi, matanya masih tajam. Lengkap rencana.Tiba-tiba, ponsel kecil tersembunyi di balik dinding toilet rusak bergetar perlahan."Zolanda."Suara di seberang terdengar tenang. Tapi jelas. mengandung bahaya."Tiga orangku gagal. Mereka ditangkap Pangeran dan Reno."Zolanda tak menjawab. Dia hanya menarik napas dalam-dalam. Lalu, senyumnya muncul pelan-pelan."Jadi… akhirnya mereka menemukan bagian atas dari gunung es."Misteri suaranya kembali berkata. Sekarang lebih lambat, lebih bisu."Tapi mereka belum tahu siapa aku. Aku masih di dalam sistem. Tak ada yang curiga."Zolanda tersenyum lembut. "Kau adalah kartu truf-ku… Si Bayangan."Dia melihat ke selembar kertas di tangannya, peta struktur rumah sakit dan jadwal keamanan terbaru."Kita perubahan permainan. Jika mereka memulai menyerang, kita membuat m
Pagi yang tampak biasa… tapi ada yang berbeda di koridor lantai dua rumah sakit. Seorang perempuan berambut dikuncir rendah berjalan cepat, mengenakan seragam perawat baru dengan ID card bernama “Nadia”. Tak ada yang curiga, bahkan kepala perawat menyambutnya dengan senyum ramah.Padahal, "Nadia" adalah Caca — kembaran Cantika — yang kini menjalankan peran barunya sebagai mata Marsel di dalam.Dengan langkah tenang, Caca menyapu ruangan demi ruangan. Ia mencatat semua hal kecil: siapa yang mondar-mandir di luar shift, siapa yang terlalu sering mendekati ruang Putri dan Putra, siapa yang membawa alat-alat tanpa ijin.Sementara itu, lewat earpiece kecil tersembunyi di balik rambutnya, Marsel terus memberi instruksi.“Fokus ke ruang penyimpanan data. CCTV rumah sakit pernah mati selama 17 menit. Kita yakin itu bukan kebetulan.”Caca merespons cepat. “Akan kuperiksa jalur kabelnya.”**Di ruang CCTV, Caca berpura-pura membantu staf yang kelelahan. Diam-diam, ia mengakses rekaman cadangan
Matahari pagi menyinari perlahan jendela kamar rawat itu. Di dalamnya, Putra mulai bisa duduk sendiri, walau masih dibantu sandaran. Wajahnya belum sepenuhnya pulih, tapi semangat hidupnya… sudah kembali. Putri duduk di samping tempat tidur, memegang buku cerita yang dulu sering mereka baca berdua. “Kau masih ingat ini?” tanya Putri pelan. Putra mengangguk kecil. “Kita dulu suka tiru suara tokohnya…” Putri tersenyum, lalu mencoba menirukan suara tokoh si kucing pintar. “‘Aku tahu jalannya! Ikuti aku, miaw!’” Putra tertawa kecil. Tawa yang sudah lama tak terdengar. Namun di balik kehangatan itu, ada ketegangan yang tak mereka pahami sepenuhnya. Mereka merasa diawasi. Setiap kali suster baru masuk, Putri akan menatapnya lama. Dan Putra—meski belum berkata banyak—bisa merasakan perubahan itu. “Mereka semua… takut,” bisik Putra. Putri menoleh. “Siapa?” Putra menatap langit-langit. “Orang-orang besar… Ayah, Pangeran, Om Marsel… mereka sembunyikan sesuatu.” Putri menund
Langit sore itu mendung, seolah menyimpan sesuatu yang akan pecah dalam waktu dekat. Rumah sakit tampak tenang di permukaan, tapi di dalamnya, ketegangan merayap seperti kabut — tak terlihat, tapi terasa. Marsel sedang duduk di kursi ruang tunggu, menatap layar ponselnya yang kosong. Ia hanya berniat menjaga suasana, menemani Pangeran dan Reno yang masih rapat dengan tim keamanan. Tapi nalurinya sebagai mantan intel tak pernah tidur. Saat itulah, matanya menangkap gerakan kecil yang tidak biasa di ujung lorong. Seorang pria dengan jaket hitam, wajah tertutup masker dan topi, tampak berdiri agak lama di depan ruang perawatan Putri. Ia tidak masuk, hanya memandang ke dalam dari balik kaca. Tapi ada sesuatu dari caranya berdiri… seperti sedang menghitung… atau mencatat. Marsel menyipitkan mata. "Siapa lo..." bisiknya pelan. Ia bangkit dari kursinya, berjalan pelan namun mantap ke arah pria itu. Tapi saat ia makin dekat, pria tersebut langsung berbalik dan berjalan cepat menjauh. “
Pagi itu langit mendung, seolah mencerminkan suasana hati Reno yang dipenuhi amarah dan kegelisahan. Mobil hitamnya berhenti tepat di depan pintu penjara — tempat Zolanda dikurung, namun tetap bisa mengendalikan ancaman dari balik jeruji.Reno berjalan pelan memasuki ruang kunjungan. Tatapannya tajam, rahangnya mengeras menahan emosi. Di balik kaca pemisah, Zolanda duduk santai dengan senyum tipis yang seolah mengejek.“Lama tak jumpa, Reno,” ucap Zolanda, nada suaranya dingin tapi santai. “Bagaimana kabar Cantika... dan Putri?”Reno menahan diri agar tidak meledak di tempat. Tangannya mengepal di atas meja.“Jangan main-main, Zolanda,” suaranya berat, penuh tekanan. “Orangmu nyaris mencelakai Cantika di parkiran. Apa tujuannya? Mau bikin kami takut?”Zolanda mengangkat alis, pura-pura polos.“Cantika wanita cerdas, dia pasti tahu hidup di dunia ini tidak pernah aman, Ren. Lagipula... aku hanya tahanan, apa mungkin aku bisa atur semua itu?”Ia terkekeh pelan, seolah tak merasa bersala
Hari-hari di rumah sakit berjalan lambat, tapi penuh kehangatan. Setelah melewati masa kritis, Putra mulai bisa duduk di ranjangnya, meski tubuhnya masih lemah dan langkah kakinya belum sanggup menopang. Sedangkan Putri, walau memar di tubuhnya perlahan memudar, masih tetap setia berada di sisi sahabat kecilnya itu.Setiap pagi, suster datang membawa sarapan ringan, dan setiap kali Putra kesulitan menggenggam sendok, Putri yang tanpa banyak bicara akan mengambil alih, menyuapinya dengan hati-hati.“Pelan-pelan ya, biar nggak tersedak,” ucap Putri sambil tersenyum, meski dirinya sendiri kadang menahan nyeri di lengan yang belum pulih sempurna.Putra menatap Putri dalam diam, ada rasa haru yang sulit ia ungkapkan.“Kenapa kamu nggak istirahat aja, Putri?” bisiknya pelan.Putri menggeleng, tatapannya penuh keyakinan.“Karena kamu butuh aku. Sahabat nggak ninggalin sahabat, kan?”Ucapan sederhana itu selalu jadi obat paling mujarab bagi Putra. Bukan infus, bukan obat-obatan dari dokter —
Malam mulai turun perlahan, menyelimuti rumah sakit dengan bayangan kelabu yang sunyi. Di ruang perawatan anak, Putri terbangun dari tidurnya dengan nafas berat. Memar di lengan dan kakinya masih jelas terlihat, dan dadanya terasa sesak setiap kali mencoba bangun.Tapi ada satu suara dalam hatinya yang memanggil…“Putra…”Dengan susah payah, Putri turun dari tempat tidurnya. Kakinya masih gemetar, namun mata kecilnya bersinar penuh tekad. Dia tahu Putra sedang kesakitan. Dia tahu, sahabat kecilnya itu butuh dirinya.Tangannya meraba dinding untuk bertahan agar tidak jatuh. Suster jaga malam itu tertidur di meja, membuat jalan menuju ruang ICU sepi… terlalu sepi.Setiap langkah terasa seperti membawa beban seribu kilo. Rasa sakitnya belum sembuh. Tapi hatinya terlalu kuat untuk berhenti.“Sabar ya, Putra… Putri datang…”**Sementara itu, di ruang keluarga rumah sakit, Cantika bersandar di bahu Pangeran. Reno dan Marsel tengah berdiskusi di meja seberang, membicarakan rencana pelacakan
Reno berdiri di balkon lantai dua rumahnya, tatapannya kosong menatap langit subuh yang mulai membiru. Angin dingin menusuk hingga ke tulang, namun pikirannya jauh lebih dingin—membeku dalam kecemasan yang tak kunjung mereda.Sudah empat hari Putri menghilang. Sudah empat malam pula Reno tak tidur. Semua CCTV, saksi mata, hingga jaringan bawah tanah yang ia miliki telah dikerahkan, namun nihil. Seolah Putri benar-benar menghilang dari muka bumi.“Kamu harus makan, Ren…” suara Pangeran yang berdiri di ambang pintu, berusaha terdengar tenang.Reno menggeleng, tatapannya tetap kosong. “Aku CEO, aku bisa lacak orang sejauh benua… tapi untuk menemukan anakku sendiri, aku gagal…”Pangeran menepuk bahu Reno. “Kamu ayah, bukan Tuhan. Kita akan temukan dia. Bersama.”Di ruang tengah, Cantika duduk memeluk Putra yang mulai membaik, namun tetap murung tanpa kehadiran Putri. Sementara Caca dan Marsel bolak-balik membawa makanan, minuman, dan laporan pencarian yang tak pernah ada kabar cerahnya.R
Hari itu mentari bersinar lembut. Putra dan Putri berlarian di halaman rumah, mengenakan seragam SD mereka yang baru. Usia mereka genap 6 tahun. Tawa ceria menghiasi udara, tak ada yang menyangka… badai akan segera datang.Di dalam rumah, Cantika dan Pangeran sedang membereskan bekal anak-anak, sementara Reno membaca koran di teras belakang. Caca dan Marsel sibuk bercanda soal siapa nanti yang akan antar jemput sekolah.Tiba-tiba… sebuah amplop cokelat tergelincir lewat celah pintu pagar.Marsel yang melihatnya pertama kali, segera memanggil, “Pangeran! Ini... kayaknya bukan surat biasa!”Pangeran buru-buru mengambil dan membukanya. Di dalamnya hanya ada satu foto—foto Putra dan Putri sedang tertidur di kamar.Cantika langsung pucat.“Astaga… ini foto semalam…”---Di balik foto itu, tertera tulisan tangan miring yang dikenali semua orang:> “Kalian pikir aku tak akan kembali? Tunggu saja… aku akan menghancurkan ketenangan kalian seperti kalian menghancurkan hidupku. – Z”Pangeran men