Home / Romansa / Terjebak Cinta Sang Dokter / Bab 5 Luka, Nafsu, dan Balas Dendam

Share

Bab 5 Luka, Nafsu, dan Balas Dendam

Author: Tediber
last update Last Updated: 2025-04-16 16:29:24

Zolanda membanting pintu kamar apartemennya hingga bergetar. Napasnya memburu, rambutnya acak-acakan, dan riasannya mulai luntur karena amarah yang membara.

“Aku kalah darinya? Dari gadis kampung rendahan itu?” gumamnya penuh kebencian. Ia berjalan mondar-mandir, lalu menghentak kaki ke lantai.

Ia membuka lemari minuman, menuangkan wine ke dalam gelas kristal, lalu menenggaknya sekaligus. Dingin, tapi tak cukup untuk menurunkan panas di tubuh dan hatinya.

Pikirannya melayang pada wajah Pangeran yang begitu lembut saat menatap Cantika. Tatapan yang dulu hanya ia terima saat mereka berdua masih dekat. Tatapan yang kini lenyap, tergantikan oleh rasa cinta pada perempuan lain.

“Aku nggak akan kalah semudah ini,” katanya sambil meremas gelasnya sendiri.

Tiba-tiba, ia mengambil ponselnya dan menekan salah satu kontak bernama “Reno”.

Tak lama kemudian, suara pria di seberang terdengar. “Zol? Tumben nelpon malam-malam…”

“Aku butuh kamu sekarang. Datang ke apartemen. Sekarang,” suaranya datar, dingin, namun mengandung bara api.

“Hah? Emang kamu… serius?”

“Cepat, atau aku cari yang lain.”

Klik.

Zolanda melempar ponselnya ke sofa, lalu melangkah ke arah lemari. Ia memilih gaun tidur tipis warna merah darah, yang membuat tubuhnya tampak makin menggoda. Setelah berdandan cepat di depan cermin, ia duduk menunggu dengan anggun, namun wajahnya tetap menyimpan amarah yang siap meledak kapan saja.

Tak sampai 30 menit, bel apartemennya berbunyi. Ia membuka pintu dan menemukan Reno berdiri dengan wajah penasaran. “Ada apa ini?”

Zolanda menariknya masuk tanpa bicara. Pintu ditutup. Lampu ruangan diredupkan.

“Aku butuh pelampiasan. Jangan tanya apa-apa. Jangan pikir apa-apa,” bisiknya sambil menatap mata Reno.

Tanpa banyak kata, tubuh mereka larut dalam pelukan gelap malam, seperti dua orang asing yang hanya ingin menghilangkan rasa sakit—bukan karena cinta, tapi karena kehancuran.

Di sudut kamar, mata Zolanda masih menyala. Bukan karena hasrat, tapi karena dendam.

“Simpan tenagamu, Reno. Ini baru awal dari semuanya…”

---

Hujan turun deras malam itu, seakan langit ikut menangisi kegundahan hati Cantika. Ia berdiri di bawah teras rumah kecilnya, memeluk dirinya sendiri. Suara derasnya air mengguyur bumi menyamarkan suara tangis yang tertahan.

Tiba-tiba, langkah kaki terdengar menembus hujan. Pangeran, basah kuyup dari ujung rambut hingga sepatu, berdiri di depan gerbang rumahnya.

“Cantika!” teriaknya.

Cantika menoleh, matanya merah.

Pangeran membuka pagar dan mendekat. “Aku harus bicara.”

“Kamu sudah bicara, Pangeran. Kamu udah tunjukin siapa yang kamu pilih malam itu. Aku nggak perlu penjelasan lagi…” katanya sambil membuang wajah.

Pangeran menggenggam kedua bahunya. “Aku antar Zolanda karena rasa tanggung jawab, bukan cinta. Aku nggak bisa biarin dia hancur di depan mataku, tapi bukan berarti hatiku ada padanya.”

Cantika menatapnya lekat, air mata turun bersamaan dengan hujan. “Lalu hatimu... ada di mana?”

Pangeran mendekat, wajahnya hanya sejengkal dari Cantika. “Di sini,” bisiknya lirih, “di kamu…”

Hujan makin deras. Mereka tak bergerak. Hanya mata yang bicara. Lalu, dalam sekejap, bibir mereka saling bertemu dalam ciuman yang hangat di tengah dinginnya malam.

Ciuman itu bukan sekadar hasrat, tapi pelampiasan dari rindu yang tertahan, cinta yang dipendam terlalu lama. Tangan Pangeran menarik Cantika ke dalam pelukannya, dan Cantika membiarkan dirinya larut.

Mereka masuk ke dalam rumah dalam diam, tubuh masih basah oleh hujan, napas tak beraturan.

Baju demi baju terlepas, bukan karena nafsu semata, tapi karena kebutuhan akan kehangatan, keintiman, dan kejujuran.

Di dalam kamar, hanya ada mereka berdua. Dunia seakan berhenti berputar.

Malam itu, dua jiwa yang lama terikat akhirnya menyatu dalam satu nafas. Saling menemukan. Saling memulihkan.

Di antara desah dan bisik pelan, Pangeran membisikkan satu kalimat yang membuat hati Cantika luruh seluruhnya,

“Aku mencintaimu, Cantika. Dengan seluruhku…”

Dan malam pun menjadi saksi bahwa cinta sejati tak bisa dilawan. Bahkan hujan pun tak bisa meredamnya.

Setelah hujan mereda, keheningan menyelimuti kamar sederhana itu. Cantika berbaring di pelukan Pangeran, tubuhnya masih hangat oleh sisa cinta yang mereka bagi sebelumnya. Napas mereka perlahan menenangkan diri, namun dalam dada Pangeran, ada satu keputusan yang mulai mengkristal.

Ia menatap wajah Cantika yang tenang dalam tidurnya. Dielusnya lembut pipi gadis itu, lalu mencium keningnya.

“Aku nggak akan kehilangan kamu. Apapun caranya…” bisiknya lirih.

Cantika membuka mata perlahan. “Kenapa kamu lihat aku kayak gitu?”

Pangeran tersenyum samar, lalu menarik Cantika lebih dekat. “Aku serius soal kamu. Tapi aku tahu, Ayah nggak akan pernah merestui kita kalau nggak ada hal besar yang bisa mengubah pikirannya.”

Cantika terdiam, menatap mata Pangeran yang begitu yakin. “Maksud kamu…?”

“Kalau kamu hamil… dia nggak akan punya pilihan selain menerimamu,” jawabnya jujur.

Cantika terbelalak. “Kamu—apa kamu yakin? Ini bukan mainan, Ran…”

“Aku nggak main-main. Aku cinta kamu, dan aku mau hidup sama kamu. Kalau ini satu-satunya jalan, aku akan tempuh.”

Cantika terdiam, hatinya bergetar. Dalam batinnya bertarung logika dan rasa. Namun ketika Pangeran mengecup bibirnya sekali lagi, dengan penuh kelembutan, ia tahu: ia pun menginginkannya.

Malam itu pun menjadi saksi cinta mereka—bukan lagi sekadar pelampiasan rindu, tapi harapan akan masa depan.

Pelukan mereka kembali saling mengikat. Ciuman kembali memanas, namun ada tujuan yang lebih dalam kali ini. Di antara bisikan dan peluh, Pangeran mencurahkan cintanya dengan segala yang ia punya.

Berkali-kali ia menyatu dengan Cantika, seakan ingin memastikan harapan itu tumbuh. Bahwa suatu hari nanti, akan ada buah cinta yang bisa membuat dunia mereka tak lagi ditentang.

Dan di antara lenguh cinta dan bisikan janji, Cantika membiarkan dirinya larut. Tak lagi ragu. Tak lagi takut.

Malam itu, tak hanya tubuh mereka menyatu. Tapi juga tekad dan masa depan.

---

Mentari pagi menyusup pelan melalui celah tirai jendela, menari di atas selimut yang berantakan. Udara pagi yang sejuk menyelimuti kamar, tapi kehangatan di antara dua insan di atas ranjang masih menyala dengan begitu kuat.

Cantika membuka mata perlahan, dan mendapati Pangeran tengah memandangi wajahnya—lembut, dalam, dan penuh arti.

“Kamu nggak tidur?” bisik Cantika pelan.

Pangeran hanya tersenyum, lalu mengecup ujung hidungnya. “Aku nggak mau tidur. Aku takut bangun dan ternyata semua ini cuma mimpi.”

Cantika tertawa kecil. “Gombal pagi-pagi.”

Pangeran tidak menjawab, ia justru membalik tubuh Cantika dengan lembut. Matanya memancarkan hasrat, namun bukan sekadar nafsu—ada cinta dan keinginan untuk menjaga.

“Aku belum selesai membuktikan cintaku semalam,” bisiknya di telinga Cantika, membuat gadis itu menggigit bibir, malu-malu.

Dan pagi itu pun kembali menjadi gelombang kasih yang sulit dihentikan. Nafas mereka kembali memburu, tubuh saling menyatu dalam irama yang lambat tapi dalam. Tak ada kata-kata, hanya desahan dan pelukan yang erat. Mereka seperti dua jiwa yang menemukan rumah satu sama lain.

Namun, di tengah keheningan itu…

TRRRTT… TRRRTT… TRRRTT…

Deru nada dering memecah suasana. Pangeran terdiam sejenak, menoleh ke arah ponselnya yang tergeletak di lantai. Nama di layar menyala jelas: "Ibu".

Cantika membeku. Tubuhnya masih dalam pelukan Pangeran, tapi hatinya langsung terguncang. Pangeran menutup matanya sebentar, menarik napas dalam.

“Jawab, Ran. Nggak sopan ninggalin Ibu,” ucap Cantika pelan, nyaris berbisik.

Tapi Pangeran menggeleng. “Aku nggak mau diganggu sekarang. Aku cuma mau bersamamu…”

Ia menangkup wajah Cantika, lalu menciumnya lagi. Kali ini lebih dalam, seakan ingin melawan semua tekanan dunia luar.

Namun dering itu terus berbunyi.

TRRRTT… TRRRTT…

Pangeran menghela napas berat. Dengan enggan ia akhirnya bangkit, meraih ponsel itu dan menekan tombol jawab.

“Ya, Bu…”

Terdengar suara wanita di seberang, tegas dan khawatir. Pangeran menutup ponsel dengan telapak tangan, memandang Cantika yang duduk berselimut di tempat tidur.

“Aku harus ke rumah. Ibu minta aku datang sekarang.”

Cantika menunduk. “Aku ngerti…”

Pangeran kembali menghampirinya, menarik gadis itu ke dalam pelukan hangat. “Aku akan kembali. Aku janji. Dan kalau harapan kita benar-benar terjadi…” tangan Pangeran menyentuh perut Cantika dengan lembut, “maka aku akan melindungi kalian berdua, apa pun yang terjadi.”

Cantika mengangguk, dengan air mata yang tertahan—antara bahagia dan takut.

Dan pagi itu, meski dipenuhi cinta dan hangat, mulai diwarnai bayangan tentang dunia luar yang tak akan tinggal diam…

---

Setelah menutup telepon dari ibunya, Pangeran masih terduduk di sisi tempat tidur. Wajahnya menegang, pikirannya bercabang antara kewajiban dan rasa. Cantika hanya menatapnya, ragu untuk bertanya.

Pangeran mengalihkan pandangan padanya, lalu tersenyum—senyum yang tak sepenuhnya tenang. Ia berdiri perlahan, lalu meraih tangan Cantika.

“Ayo…” katanya singkat.

Cantika mengerutkan dahi. “Kemana?”

“Ke kamar mandi. Kamu belum cuci muka dari tadi malam,” ujarnya sambil terkekeh lembut, mencoba mencairkan suasana.

Cantika tertawa kecil, tapi sebelum sempat berdiri sendiri, tubuhnya terangkat.

“Pangeran!” teriaknya pelan, terkejut saat pria itu menggendongnya ala pengantin baru.

“Biar aku yang bawa. Kamu berat, tapi... manis,” godanya.

Cantika memukul pelan dada Pangeran sambil menyembunyikan senyumnya. Mereka masuk ke dalam kamar mandi, dan Pangeran menurunkan tubuh Cantika perlahan ke lantai. Air dari shower mulai menetes hangat, menghapus sisa dingin semalam.

Namun, sebelum Cantika sempat meraih sabun atau handuk, Pangeran sudah menariknya kembali ke dalam pelukannya. Tubuh mereka, masih sama-sama terbalut sisa keintiman semalam, kembali bersentuhan.

Air mengalir pelan di atas mereka. Tak ada kata-kata, hanya mata yang berbicara. Dalam ketenangan suara air, mereka kembali menyatu—dengan gerakan yang pelan, penuh perasaan, dan sangat dalam.

Bukan karena nafsu semata.

Tapi karena Pangeran tahu, setelah pintu rumah ini ia lewati nanti, dunia akan mulai ikut campur dalam cerita mereka. Maka pagi ini, di bawah guyuran air, ia ingin memastikan bahwa Cantika tahu satu hal:

Bahwa cinta ini nyata. Bahwa ia memilihnya, sepenuhnya.

Dan di bawah aliran air hangat dan gemuruh napas yang semakin larut, dua hati itu kembali terikat dalam satu irama, satu bisikan, satu harapan.

---

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terjebak Cinta Sang Dokter    Bab 41Kabut Pegunungan dan Teror yang Memburu

    Langit senja mulai berubah kelabu ketika rombongan mobil hitam itu melaju kencang di jalur pegunungan yang sunyi. Suara ranting patah di bawah ban, serta kabut tipis yang menggantung di udara, menambah aura ketegangan yang tak bisa dihindari.Cantika duduk memeluk Putri di dalam mobil, sementara Caca menggenggam tangan kecil Mario erat-erat. Di mobil lain, Marsel dan Caca bergantian menatap ke belakang, memastikan tak ada kendaraan asing yang mengikuti mereka.Pangeran berada di depan, menyetir bersama Reno, dan putra menuntun jalan menuju tempat persembunyian baru yang hanya diketahui oleh segelintir orang. Lokasinya jauh dari kota, dikelilingi tebing curam dan hutan lebat. Tak terjangkau sinyal, tak terdeteksi drone, dan tak tercatat di peta.“Kau yakin ini tempatnya?” tanya Reno, menahan degup jantung yang masih kacau pasca-teror terakhir dari Zolanda.“Yakin,” jawab Pangeran mantap. “Ini tempat terakhir yang bahkan aku sembunyikan dari semua dokumen pribadi. Bahkan pasukan kita pu

  • Terjebak Cinta Sang Dokter    Bab 40 – Kepindahan Dramatis

    Petir menyambar langit seperti dentuman perang, seolah alam pun ikut merasakan teror yang menyelimuti keluarga Pangeran. Mobil-mobil hitam berderet keluar dari gerbang besar rumah mereka, melaju membelah malam menuju tempat yang hanya diketahui oleh Pangeran, Reno, dan Marsel sebuah rumah persembunyian lama yang terletak di tengah pegunungan, jauh dari jangkauan siapa pun… atau setidaknya mereka kira begitu. Cantika memeluk Mario erat, sedangkan Putra dan Putri duduk di kursi belakang sambil terus menoleh ke jendela. Caca menggenggam tangan Marsel dengan erat. Ketegangan tak bisa disembunyikan dari wajah siapa pun malam itu. “Aku merasa kita tak benar-benar aman. Zolanda terlalu licik,” bisik Reno dari kursi depan. Pangeran mengangguk pelan. “Tapi ini pilihan terbaik. Kita harus jaga jarak, dan di tempat tinggi ini, lebih mudah mengendalikan titik masuk.” Namun tak seorang pun menyadari... bahwa tepat di belakang konvoi mobil itu, sebuah kendaraan kecil dengan lampu mati mengunti

  • Terjebak Cinta Sang Dokter    Bab 39 Ancaman Tersembunyi

    Pagi harinya, suasana rumah Pangeran tampak biasa saja. Burung-burung bernyanyi, matahari menembus tirai tipis ruang keluarga, dan aroma teh jahe buatan Cantika menguar di udara. Putri duduk di dekat jendela sambil memainkan rambut adiknya, Mario, yang masih menguap ngantuk. Putra tampak sibuk merakit puzzle besar di meja tengah. Caca dan Naila sedang di dapur, tertawa pelan membicarakan resep kue baru.Namun tak ada yang tahu, ancaman perlahan menyusup, nyaris tak terdengar... nyaris tak terlihat.Di kamar belakang, Pangeran dan Reno duduk di depan layar laptop yang terhubung ke jaringan keamanan rumah. Marsel berdiri di samping, memantau aktivitas dari kamera tersembunyi.“CCTV utara sudah dicek. Semua aman,” ujar Reno.“Dan perimeter belakang juga steril,” tambah Marsel.Pangeran mengetuk ngetuk meja. “Tapi tetap ada yang mengganjal. Setelah insiden si Cebol semalam, kenapa Zolanda belum mengirim serangan lanjutan?”“Karena itu bukan caranya kali ini,” gumam Reno. “Dia sudah tahu k

  • Terjebak Cinta Sang Dokter    Bab 38— Damai yang Rapuh

    Tawa terdengar dari ruang keluarga sore itu. Matahari menyorot lembut melalui celah tirai, membasuh wajah wajah hangat keluarga yang kini berkumpul kembali. Cantika sedang menyisir rambut Putri yang kini tumbuh menjadi gadis remaja cantik nan ceria. Di sisi lain, Pangeran dan Reno duduk sambil menyeruput teh sembari melihat Mario dan Putra bermain lempar bola di taman kecil belakang rumah.“Lihat itu, Mario makin gesit. Baru lima tahun udah kayak ninja!” kata Marsel sambil tertawa, bahunya sedikit berguncang.“Awas lo, Mas! Jangan salah lempar ke jendela kayak waktu itu!” sahut Caca dari dapur sambil membawa sepiring kue.Mereka tertawa bersama. Tak ada satu pun dari mereka ingin mengusik damai ini. Mereka tahu betapa sulitnya mendapatkan ketenangan setelah bertahun tahun hidup dalam ketakutan dan pelarian. Tapi justru karena itu, mereka sangat menghargai detik-detik ini.Putra duduk di samping pangeran. “Ayah, apa semua akan baik-baik saja sekarang?”pangeran menatap mata putranya, l

  • Terjebak Cinta Sang Dokter    Bab 37 – Si Cebol di Atas Jembatan

    Matahari sudah mulai naik ketika mobil hitam yang dikendarai Reno berhenti di tengah sebuah jembatan tua yang sepi di pinggiran kota. Di bagasi belakang, terdengar suara gerutuan… lalu lolongan kecil seperti rubah masuk angin.“Awwwkkk... lepasin Aku! Aku nggak salah apa-apa!” suara serak itu berasal dari makhluk mungil bernama Talo si cebol yang semalam nyaris bikin jantung mereka copot.Marsel menatapnya sambil tertawa geli. “Apa kamu bilang nggak salah denger? kamu lempar bom asap ke dalam mobil, terus nyaris gigit paha Aku! kau bilangnggak salah?”Pangeran membuka bagasi. Talo kini sudah dalam kondisi terikat, bajunya kotor, rambutnya berdiri seperti rambut sapu ijuk habis nyangkut di kipas angin.“saya cuma… disuruh!” Talo merengek. “Zolanda tuh galak banget! Kalo Aku nolak, pasti bakal di buat daging cincang dan di masak pakai kecap!”Reno ngakak. “Zolanda ngancem lu pake kecap?! Ini agen musuh apa kuli nasi goreng sih?”Mereka bertiga sudah kehilangan keseriusan. Bahkan Panger

  • Terjebak Cinta Sang Dokter    Bab 36: Misi Diam-diam di Balik Malam

    Malam menyelimuti kota dengan kelam yang pekat. Di sudut terpencil sebuah gudang tua yang tampak tak berpenghuni, dua sosok pria bersembunyi di balik tumpukan kayu. Pangeran dan Marsel, berpakaian hitam-hitam lengkap dengan earpiece komunikasi dan rompi pelindung tipis.“Aku bilang juga apa, kalau pakai rompi ini perut Aku makin buncit keliatannya,” gumam Marsel pelan sambil menarik-narik rompinya.Pangeran menyipitkan mata. “Fokus, Sel. Kita nyusup, bukan catwalk.”Marsel memutar bola mata. “Iya, iya. Tapi lu gak bisa nyalahin Aku kalau rompi ini bikin gerak Aku kayak kangkung dibungkus plastik.”Sinyal masuk di earpiece mereka. Reno dari jarak jauh memantau lewat satelit kecil.“Target bergerak ke arah barat. Ada dua penjaga di dekat pintu masuk belakang. Awas, kamera di pojok kiri atas,” suara Reno terdengar serius.Pangeran memberi isyarat tangan pada Marsel. Dengan hati-hati mereka merayap mendekati tembok samping bangunan. Suara jangkrik mengiringi langkah pelan mereka, sementar

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status