Sementara itu, Tara yang pulang dari tes kesehatan pekerjaannya membawa kabar gembira untuk Rani. Ya, lelaki itu bergembira, paling tidak kecakapannya mencari pekerjaan tidak perlu lagi dia ragukan. Tanpa perlu koneksi dari Mama atau Papa bukan? Dia berhasil punya pekerjaan, dan juga gaji yang mumpuni.
Dia menelusuri selasar rumah sakit, menuju tempat Rani dirawat. Dengan penuh senyuman, dia dorong pintu ruang perawatan.
Ada Rani yang sedang tidur di ranjang pasien. Tara mengecup kening istri—sirinya itu, hinga membuat Rani terbangun.
“Hei, ada apa, kayaknya gembira banget?” tanya Rani lembut.
“Tebak, dong apa?” jawab Tara, dia masih tersenyum. Sambil tadi embawa makan siang yang terlalu sore untuk dirinya dan juga Rani, tentu saja.
“Apa, si, Tar?” aku lagi enggak semangat main tebak-tebakan begini,” ujar ranni, wajahnya masih pucar. Selang infuse masih tertancap di tangannya.
Jelas Tara bingung tak karuan."Bagaimana, Tar? Ibu mau mampir besok. Sekalian akhir pekan nginep di rumah!" tanya Caca, juga dengan suara yang gemetar."Kamu enggak salah?"Rani menegakkan badan, dahinya berkerut."Tar?"Panggilang dari Rani, jelas terdengar Caca. Dia mendengkus sekali lagi, dan terdengar di sambungan telepon."Kenapa, Ca? Kamu enggak suka?" Tara sinis bertanya ke Venca, tentu saja dia tahu suara istrinya itu terdengar."Lebih baik, kamu pikirkan bagaimana caranya, nanti bisa SMS aku."Seketika tanpa salam atau apa pun. Sambungan itu terputus.Tara menatap handphonenya, ingin membanting benda itu. Tetapi dia tahan, biar bagaimana pun, Caca memang tidak patut dipersalahkan.Wajahnya yang merah padam terlalu terlihat oleh Rani."Kenapa, Tar? Venca ngomong apa tadi?" tanya Rani, dia panik tak karuan.Tara mendudukkan badan di kursi sisi ranjang pasien Rani. Dia mengum
Setelah sepanjang perjalanan diisi dengan kecanggungan dan juga saling berdiam diri. Tara dan Venca, sampai di rumah yang belum pernah gadis itu lihat sebenarnya, rumah pemberian orang tua Tara.Venca mematung di depan garasi memandangi rumah cukup besar itu. Di salah satu kawasan rumah menengah ke atas, Bintaro.Lepas Magrib ketika dia sampai, tentu saja rumah itu gelap seperti tak ada penghuni, memang tidak ada yang mengurus sehari-hari. Apalagi, ketika Rani harus dirawat di rumah sakit, dan rumah itu harus ditinggalkan.Tara, sudah masuk duluan ke dalam rumah. Menyalakan lampu taman, teras dan juga beberapa lampu ruangan.Venca menguatkan diri, dia melangkah masuk walau berat. Ini harus dilakukan, dia tahu itu. Walau tidak ada paksaan dan juga suruhan. Entah, badannya hanya mengikuti apa pun yang Tara mau. Walau hatinya dongkol setengah mati.Lelaki itu muncul dari kamar mandi. Gadisnya itu menyusuri dapur yang kotor. M
CM 37Tara yang masih berdiri di ambang pintu, menguap. Lantas mendengkus, dia melewati Caca ngeloyor entah ke mana, ke sofa tampaknya. Melanjutkan tidur, Venca sungguh tidak peduli, dengan cepat dia masuk ke kamar utama yang besar itu. Lelaki itu terpaksa mengalah, demi kepentingannya juga. Kalau nanti ada aduan dari orang tua Venca, bisa hancur semuanya. Dia hanya memikirkan calon anaknya dan istri siri-nya.Sementara, Venca masih menaruh baju-bajunya ke lemari pakaian yang ada. Terburu-buru lantas dia mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Tidak ada hiasan apa pun di dinding juga meja rias. Tampaknya, matahari baru gagah bersinar. Venca, yang masih ada di kamar mendengar ada suara ribut-ribut di depan.Mampus! Detak jantungnya tak terkendali lagi. Jangan-jangan Ibu sama Ayah datang! Sepagi ini, pula!Nggak mungkin, rutuk Venca sendirian. Dia melangkah ke luar juga, demi rasa penasarannya.Dilihat Ibu yang terse
Hari-hari ada orang tua rasanya membuat muak Venca. Belum berganti hari tetapi Ibu rasanya sangat menyebalkan, kuping terasa panas.Sejak selesai makan siang tadi, Ibu selalu menasihati Venca untuk makan selalu berprotein tinggi, Juga Tara yang mesti banyak manak toge.Boro-boro toge, Tara hanya suka sayur sop, lain itu dia suka salad, melihat selain sayuran yang ada di salad dan juga sop, Tara mual setengah mati. Mencium baunya saja dia enggan. Mual!“Nah, ini, sudah Ibu belikan toge, sayur, besok mungkin kita masak saja, ya,” usul Ibu, yang kini memakai daster panjang, menjelang makan malam. “Kamu juga kalau bisa jangan bekerja terlalu berat, kasian lho, organ badanmu, Ca,” usul Ibu lagi. “Apalagi, rahim kamu.”Venca yang sedag mempersiapkan malan malam, matanya mendelik, setahu dia kesehatan bada apakah pantas dibandingkan dengan kesehatan rahim? Lagi pula, bukankah kalau mens teratur setiap bukan itu sudah cukup? Be
“Pokoknya, gue tidur di kasur,” titah Venca kepada Tara.Malam ini Tara sudah menduga tidak akan bisa tidur, ternyata, berdebat dengan Venca, sungguh sial. Uara gadis ini cempreng banget ternyata, mengganggu sekali.Tara tak acuh, dia membaringkan dirinya di ranjang. Tanpa peduli omelan Venca yang menyebalkan di telinga Tara.“Tidur aja situ, di samping gue kalo berani,” tantang Tara. Dia melihat wajah Venca langsung mengkeret ketakutan tentu saja, mukanya juga memerah, walau menunduk. Venca tidur seperti biasa, dia tidak pernah melepas kerudungnya.Tara masih memperhatikan gerak gerik itrinya itu yang sesekali mendelik ke arahnya. Dia mengambil bantal lalu ditaruh di sofa kamar itu. Juga mendengkus, Tara ini sangat menyebalkan. Dia menatap langit-langit kamarnya. Lampu sentral, Tara matikan, hanya ada lampu tidur.“Lo enggak lepas kerudung?” tanya Tara jail.“Enggak!” ketus Venca
"Jadi, kalian harus akur," kata Ibu lagi, wajahnya begitu serius. Ibu hanya beranggapan, kalau pernikahan anaknya harus diselamatkan kalau tidak, akan hancur. "Hormatin suami kamu, Ca, dia itu nanti yang membawa kamu ke Surga, mau kan sampai Surga berdua ...."Venca masih bersungut-sungut, sementara, Tara masih mendengkus, sesekali meledek Venca."Ya, ayo, Ca, minta maaf," cetus Bapak. Terang saja membuat Venca makin dongkol, kenapa dia yang harus minta maaf. Sama Tara lagi, amit-amit!"Maaf, deh," dia mengulurkan tangan ke Tara, yang hanya disenggol oleh lelaki itu."Tara, kenapa kamu enggak cium saja istrimu?" usul Bapak. "Kalian ini kan pengantin baru, harusnya lebih mesra, ibaratnya, kalian masih merasakan, manis-manisnya pernikahan. Sesekali mesra di depan orang tua enggak apa-apa, toh?"Sontak mereka menoleh Bapak. Enggak mungkin! Ruangan itu rasanya beberapa saat dingin, Venca dan Tara membeku sesaat.Namun, Bapak
Paginya, tentu saja jadi pagi yang ribet buat Venca dan Tara. Buat Venca saja sepertinya, Ibu mengetuk pintu pas adzan Subuh menggema."Nduk, jangan lupa bangunkan suamimu," pekik Ibu dari balik pintu. Dia berpikir, pelatihan jadi istri yabg baik dimulai hari ini. Jangan sampai rumah tangga anaknya ini tak karu-karuan.Venca sejak tadi sudah bangun. Dia melirik Tara yang masih lelap, sambil mendengkus. Bagaimana bisa dia mendapat musibah macam ini? Suami yang malas ibadah, dan jiga resek setengah mati."Iya, Bu," jawabnya."Nanti langsung ketemu Ibu di dapur, ya, Nduk. Kalau sudah selesai," ujar Ibu lagi.Mata Venca menerawang, sambil menelisik pikiran. Mau apa Ibu?"Iya!"Tara mendengkus, dia melirik Caca yang ada di kaki ranjang, memakai mukena lengkap."Lo ngapain, si? Teriak-teriak enggak karuan.""Bangun, lo, disuruh sama Ibu. Senin ni, sekarang!" tukas Caca lagi, sambil melepas mukenanya. "B
"Kayaknya, Venca kemarin masih menstruasi, Bu," sanggah Tara cepat-cepat, dia tidak ingin, Ibu dan Bapak berpikiran jauh soal mualnya pagi ini.Hingga Venca muncul dengan santai mengambil sarapannya dan membuat segelas teh manis.Ibu, Bapak dan juga Tara menatap Venca."Ada apa, si?""Lho, kamu enggak tahu, Ca? Tara tadi mual, muntah-muntah di kamar mandi."Mata Venca membesar. "Enggak apa-apa 'kan?" tanya Venca dengan santainya. "Paling masuk angin aja," jawabnya lagi. Dia mulai menyuap lontong sayurnya yang terasa hambar, hanya pedas saja."Ca, Nduk," Bapak merayunya, mana tahunanaknya ini masih malu mengakui kehamilannya kepada Bapak dan Ibunya. "Mungkin ada baiknya, hari ini kalian pergi ke dokter.""Buat apa, Bu?" tanya Venca acuh tak acuh, sementara Tara, menelototi Venca."Periksa kamu, mana tahu kamu 'isi', Ca," timpal Ibu dengan luwesnya.Dalam hati Venca mendecak. "Enggak mungkin, lagi pula, h