“Rei, Caca dijodohin sama orang tua, dan segera melaksanakan pernikahan bulan depan.”
“Caca bercanda?” Rei tidak percaya, dalam hati, apakah dia hanya menakutinya, agar mereka cepat bertemu. Caca menarik napas yang terlalu terdengar dipelantang ponsel, lalu, Rei tahu, ini semua bukan permainan atau bukan bualan gadis itu saja. “Terus, rencana Caca apa, kamu tahu kan, bagaimana perasaan Rei?” Jantung Caca menderap tak karuan, tetapi memang dia harus tanyakan juga.“Apa Rei serius sama Caca?” Hening, entah berapa lama, haraoan Caca hanya pada Rei seorang, tiada yang lain, dan juga berharap saat ini Rei mengungkapkan semua cintanya. Tidak, mungkin sekadar beri pengharapan minggu depan dia akan datang ke Jakarta, walau tidak mungkin. Rei menghela napas dalam. “Caca masih ragu?”“Ragu Rei, Caca enggak tahu apakan memang benar yang Ibu bilang tadi, perasaan yang Rei punya itu hanya ilusi Caca aja, dan semua pengharapan ini hanyaRevan, tersenyum miris sebenarnya dalam hati.“Sebenernya, besok lo mulai kerja, pelan-pelan bisa tanya sekretaris buat segala kerjaannya. Karena gue udah kasih catatan. Dan, lusa gue mau ke Jakarta.”“Wah, gue sebagai orang yang lo bayar, ya, manut aja,” jawab Gibran, wajahnya menatap Revan yang tetiba murung. “Lo kenapa?”“Enggak ada. Ke Jakarta, mau melamar gadis.”“Serius? Terus, lo jalan sendirian?’Revan mengangguk.“Enggak ajak nyokap atau bokap?” tanya Gibran semakin penasaran.Revan menggeleng, bimbang dalam hati. “Gue juga udah berbohong sama gadis itu,” tambahnya.“Maksudnya bohong?”“Gue pura-pura jadi anak seorang buruh tani.”“APA?! Zaman segini masih lo sembunyiin identitas, gimana kalo dia tiba-tiba tahu, terus marah sama lo. Ngomong-ngomong ketemu sama dia di mana?”“Gue, acak nomor telepon, terus, nyasar ke nomornya dia.”“HAH?” Mata Gibran membesar. “Gue salah denger kayaknya
[Ca, Insyaallah, Rei bakalan datang ke Jakarta, ke rumah Caca, mau ngomong sama papa kamu. Lusa.]Satu pesan singkat dari Revan berhasil membuat semangat Caca bangkit. Dia sedang rebahan ketika pesan itu hadir di ponselnya. Lantas saja, dia menegakkan badan, tersenyum sambil mengigit bibirnya, melukiskan buncahan rasa yang ada dalam hatinya.Tak kuasa, suaranya saja gagal keluar dari mulutnya. Napasnya seperti terhenti begitu saja. Matanya berkaca-kaca, terharu dan juga tidak tahu harus berbuat apa.Dalam hatinya tentu saja, harus memberi kabar ke Ibu dan Ayah. Perihal kedatangan pujaan hati—yang akhirnya datang.Buncahan dalam hatinya terlalu berlebihan hingga dia tak mampu berkata. Ibu dan Kak Rani yang malam itu ada di ruangan televisi, menatap aneh kepada Caca.“Bu,” sapanya, dadanya naik turun. Dia mengambil duduk, di samping kakaknya.“Hm?” balas Ibu. Matanya beralih ke Caca ketika melihat gelagat anak itu yang senyum-senyum send
Tentu saja, Caca memberitahukan perihal kedatangan Rei ke rumah. Dan, tepat dihari kedatangan, seisi rumah disibukkan oleh persiapan.Bukan persiapan akan dilamar, ibu dan bapak Caca bersiap menolak kehadiran Rei, tentu alasannya karena tidak sepadan dalam status sosial.Caca, menyiapkan diri, berusaham menenangkan degup jantung yang tidak menentu. Rei, tiudak berkata apa-apa, sehari sebelum kedatangannya. Bahkan, pria itu cenderung menghilang dari peredaran.Hal ini membuat gadis itu khawatir setengah mati. Walau pun beberapa hari ini saling menelpon untuk menjelaskan arah ke rumah Caca.Gadis itu khawatir, dalam bayangannya, Rei akan naik kendaraan umum dari kampungnya—yang jauh di Jawa Tengah sana. Lalu, pertama kali ke Jakarta, pastinya akan asing sendirian. Andai saja Caca bisa menjemput, dia juga bisa paling tidak menyetir. Namun, Rei berhasil meyakinkan kalau dia bisa sendirian. Walau Caca menjelaskan kalau tarif taksi agak mahal, untuk ren
“Papa serius, Tara, kalau kamu memutuskan untuk melamar Rani, kamu boleh meninggalkan rumah ini. Dan juga perusahaan Papa,” ancaman itu membuat nyali Tara menciut. “juga kamu boleh meninggalkan semua yang Papa kasih sebagai fasilitas hidup.” Lanjut Papa lagi, mata lelaki paruh baya itu membesar. Napasnya tersengal.Jelas sekali, Tara ketakutan tak karuan, bagaimana nanti hidupnya yang terbiasa hidup enak. Apa iya, Rani akan mau hidup susah, apa adanya?Rasanya enggak mungkin.“Gimana, Le? Kamu ogah kan hidup susah, cari kerjaan lagi sana-sini, heh?” sindir Mama, perempuan ini paham betul seberapa banyak kedewasaan anaknya ini. Maka dari itu dia diminta lekas menikah, selain umur yang sudah hampir tiga puluh.“Kamu, silakan hidup di luar sana, tanpa fasilitas dan tentu saja, Papa akan pastikan, tidak ada satu pun perusahaan yang akan menerima kamu.”Tara semakin tegang, enggak mungkin seperti itu, sia-sia ijazah S2-nya yang dari Japan University
“Harusnya elo ke Jakarta kemarin,” Gibran membesarkan mata, menatap Revan yang pagi ini tetiba muncul di kantor. Dan langsung ke ruangan wakil direkturnya.Sahabatnya itu melangkah dengan lemas, lalu duduk di kursi, sambil melemaskan bahu.Wajah tampan lelaki itu rasanya sekarang tidak berbentuk, rambutnya berantakan, mungkin pakaian yang sama untuk beberapa hari? Entah, yang jelas, dekil.Gibran mendengar kabar bahwa ayah Revan harus operasi jantung. Namun, apa karena itu dia urung ke Jakarta. Bagaimana keadaan Caca nanti?“Bokap kan kena serangan jantung,” jawabnya. “Ambu enggak karuan sedihnya waktu ayah operasi, nangis terus. Gue enggak tega lah, ninggalin mereka.” Lelaki itu mengendikkan bahu. “Yah, rasanya enggak tahu diri banget kalau tetap pergi, cuma mau ketemu pujaan hati.”Benar tebakan Gibran, walau seharusnya Revan bisa izin sebentar untuk ke Jakarta. Jarak bukan masalah, dia bisa menempuhnya dalam waktu singkat dengan kendar
Pagi itu, Gibran stand by di rumah sakit menjemput Revan. Dia menepati janji untuk mengantarnya ke Jakarta.Sahabat itu tentu saja melihat Revan semringah—yang rapi dengan balutan kemeja batik. Mirip orang mau lamaran.“Wah, keren banget, lo. Nggak sangka totalitas juga.”Revan hanya tertawa kecil, “ya, tentu saja. Oh iya, Bran, kayaknya mesti ngerepotin elo ni, ambu gue mau ikut, jadi jemput dulu ke rumah gue,” kata Revan dengan santun.Tentu saja, dia sangat berterima kasih kepada Gibran yang mau menyetir ke Jakarta dan juga menemaninya.“Ay, ay, Captain! Alhamdulillah lagian kalo nyokap elo mau ikut,” tutur Gibran tulus.Revan hanya tersenyum lebar, tidak terbayangkan sebelumnya, hari ini, hari yang paling membahagiakan untuknya. Semalam dia memimpikan bagaimana wajah gadisnya nanti. “Lo bawa cincinnya ‘kan?” tanya Gibran, lelaki itu memutar setir, menuju rumah mewah milik orang tua Revan yang ada di kawasan Kota Bandung.&
“Tidak bisa begitu, Venca!” sentak bapak langsung, tanpa segan atau apa, dia sudah tidak memikirkan lagi perasaan anaknya atau apa. Yang ada dalam pikirannya, malu, jika anaknya menyukai orang lain.“Tapi, Pak, paling enggak, Bapak dengarkan alasan Rei kenapa kemarin dia enggak datang ke sini,” mohon Venca dengan mata yang berkaca-kaca dan juga suara yang bergetar.“Kemarin Bapak sudah beri dia kesempatan, bukan? Kenapa tidak datang? Sekarang, sore nanti, Tara akan datang untuk lamaran dan tunangan, malu kalau kamu menolak dia demi bersama Rei, Rei yang enggak jelas itu. Mau ditaruh di mana muka Bapak dan Ibu, Venca?” suara Bapak menggelegar dengan mata yang merah menyala.Caca tidak bisa apa-apa, dia hanya menunduk sedih. Entah berapa lama dan sedang di jalan mana Rei sekarang, hatinya beku, hingga tubuhnya dingin.Di meja makan dia terisak, dipandangi Ibu dan Bapak.Sementara, Raden memilih diam, melihat amarah Bapak yang sepertinya mel
Revan, mengakui semuanya, dalam hatinya, dia ingin Venca menerima apa adanya.Namun, sepertinya, gadis itu terlanjur kecewa, Rei berbohong. Andai saja dia mau terus terang, mungkin bapak Caca mau mempertimbangkan menerima pemuda itu.Rei, menunduk, serba salah, dia juga tidak tahu harus berbuat apa. Lantas saja, dia melanjutkan apa yang tadi dijelaskan.“Saat ini, saya sedang merintis usaha sendiri di Bandung, bidang kontraktor. Dan, Alhamdulillah, sedang berkembang,” katanya lagi.Bapak Hadipranoto—ayah Venca masih menatap Rei dengan tajam. Tangannya bersedekap, dia menunggu semua penjelasan dari Revan, satu hal yang ada dalam pikirannya: tidak boleh Venca berjodoh dengan orang selain dari daerah asal bapaknya. Tidak boleh, bisa jadi aib untuknya.Hening sejenak, tegang dan juga diwarnai dengan kecanggungan. “Revan, apa kamu asli orang Bandung?” Suaranya sedikit rendah sekarang.“Iya, Pak, ambu dan ayah asli sana, teta