Abby dan pria berkumis tebal dengan jas kulit berwarna coklat membungkus tubuhnya, kini tengah duduk di tempat yang sama seperti beberapa hari sebelumnya. Pria itu tiba-tiba meminta untuk bertemu kembali, padahal baru dua hari lalu Abby menerima hasil kerjanya.
Terlebih setelah kekalahan Abby dalam perang bisnis beberapa waktu lalu, pria itu kebetulan mengikuti juga perkembangan berita tersebut, membuatnya tak sabar untuk menyampaikan hasil investigasinya. Senyum terulas di sisi wajah Abby. Lipstik merah menyala yang terpoles di bibirnya menambah kesan dominan dan mungkin antagonis bagi sebagian besar orang yang tidak mengetahui latar belakang wanita itu. Pertemuan tak berlangsung lama, informasi yang dia dapat dari detektif itu cukup sebagai penunjuk arah baginya. Hanya tinggal menyusun rencana untuk langkah selanjutnya. Sepeninggal sang detektif, Abby mengambil ponsel, kemudian menekan sebaris nomor dan menunggu jawaban dari seberang. Dia membenarkan duduk, melipat kaki dengan anggun, seolah dirinya akan berhadapan langsung dengan lawan bicaranya. Segala gerak-geriknya menarik perhatian beberapa pasang mata yang berada di ruangan itu memandangnya tak berkedip. “Hai, Zac, aku hanya ingin mengabarkan kalau aku menerima undanganmu,” ucap Abby sembari menyunggingkan senyum tipis. “Setelah sekian lama? Abby, kau membuatku gelisah karena berpikir mungkin kau marah karena ajakanku. Omong-omong, tunggu, kau memanggilku apa tadi? Zac? Kurasa aku menyukainya,” kelakar Zac yang berhasil membuat lawan bicaranya tergelak. “Ayolah ... jangan menggodaku,” ucap Abigail, tersipu. Kali ini dia benar-benar tersipu. Namun, dengan cepat dia tepis perasaan yang sesaat muncul mengganggu fokusnya. “Maaf, maaf, aku hanya senang melihat wajahmu yang memerah. Baiklah, aku akan merapikan apartemen agar tidak memalukan saat kedatangan tamu istimewa.” Abigail menutup pembicaraan dengan tawa singkat, kemudian beranjak dari tempatnya untuk bersiap memenuhi undangan Zac. *** Zachary membuka pintu saat terdengar suara bel pintu dan menemukan Abby berdiri dengan cocktail dress dan sebotol sampanye di tangannya. Senyum terulas di wajah Zac ketika matanya bertemu manik mata biru milik gadis di hadapannya. Dia mengecup pipi Abby kemudian mempersilahkannya masuk. Membiarkan tamu istimewanya itu memindai seisi ruangan dan berkeliling sementara dirinya menyulut lilin yang tertata di meja makan. Perlahan Abby melangkah mendekat pada Zac yang sedang sibuk mempersiapkan segalanya. “Hmm ... kau menyiapkan semua ini sendiri?” tanya Abby, yang dibalas tawa oleh pria pemilik lesung pipi yang berdiri di sampingnya. “Apa kau yakin aku pria yang biasa menyiapkan segalanya sendiri, Abby? Tentu tidak. Pelayan yang melakukan semua ini.” Abigail menatap pria itu dengan sebelah alis terangkat. “Kenapa wajahmu seperti itu? Maaf jika tidak bisa mengesankanmu di makan malam pertama kita,” kelakarnya, disambut tawa renyah Abby. “Kau benar, ketampananmu mendadak turun satu tingkat, Zac, sungguh.” Abby menutup mulut dengan tangannya, berusaha menyembunyikan gigi putihnya saat tertawa. “Ouch! Kau terlalu jujur dan itu menyakitkan, kau tahu?” ucap Zac, sembari memegang dadanya, kemudian ikut tertawa. Dia tak ingin berlama-lama dan membuang waktu Abby yang dia yakini, pasti tak menyukai hal-hal yang bertele-tele. Maka, dia menarik kursi, mempersilahkannya duduk dan menikmati makan malam yang mereka selingi beberapa obrolan ringan yang tidak berhubungan dengan pekerjaan. Zac akan selalu membawa obrolan kembali pada sesuatu yang lebih santai setiap kali, secara tak sengaja, Abby membahas tentang bisnis dan perusahaan. Undangan makan malam mereka akhiri dengan bersantai di balkon apartemen Zac. Keduanya kembali mengobrol sembari memandang gemintang di langit malam itu. “Aku tidak percaya gadis secantik kau tidak memiliki kekasih. Kau pasti sudah jadi idola sejak kecil,” ujar Zac sembari menyesap sampanye di tangannya. Matanya tak lepas memandang sosok cantik di hadapannya. Meski berusaha untuk tetap mengingat kekasihnya, tetap saja pesona Abby saat ini sulit untuk dia tolak. Hanya memandang saja tak ada salahnya, bukan? “Aku serius, Zac. Tak ada pria mana pun yang pernah mendekat apalagi menjadi kekasihku. Aku sangat pemilih.” Abby kembali menyesap minumannya. Zac masih tak mampu mengalihkan pandangannya dari Abby. Hingga akhirnya manik mata gadis itu membalas tatapannya. Dia dapat memperkirakan ke mana arah pembicaraan mereka, sekaligus apa yang akan terjadi selanjutnya. Akan tetapi, dia sengaja tidak menghindari kejadian yang akan terjadi beberapa detik dari sekarang, karena itulah tujuannya memenuhi undangan Zac. Dan benar saja. Zac perlahan mendekatkan wajah kemudian dengan lembut menyentuhkan bibirnya pada bibir ranum Abby. Ini bukan ciuman pertama, tetapi sesaat cukup mengejutkan baginya karena sekian lama tak pernah lagi mengalaminya setelah ciuman pertamanya. Dan apa yang ia hadiahkan untuknya, membuatnya terbuai untuk sesaat. Sementara itu, Zac yang sesungguhnya telah memiliki kekasih, tak dapat menahan ketertarikannya pada Abby dan beberapa menit membiarkan dirinya hanyut di dalam pesona Abby dan momen yang terjadi antara mereka. Dia bukanlah tipe pria yang suka berganti kekasih. Hubungannya dan sang kekasih sudah berlangsung sejak mereka berada di bangku kuliah. Namun, berada di dekat Abby membuatnya melupakan gadis yang telah ia pacari beberapa tahun. Ciuman antara dirinya dan Abby menjadi semakin intens dan dalam. Zac yang memang tak ingin menolak momen itu, membiarkan dirinya terjebak dalam romansa saat ini, sementara Abby mulai menyadari apa yang mereka lakukan sudah kelewat batas. Terlalu cepat bagi Zac mendapat banyak hal darinya. Tidak semudah itu, tidak sekarang. Perlahan Abby mendorong tubuh Zac menjauh darinya, melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya, dan tersadar bahwa waktu sudah terlampau larut baginya. “Uhm, m-maafkan aku, kurasa aku harus pulang sekarang. Ini sudah terlalu larut.” Zachary tersenyum tipis menanggapi perkataan Abby dan seluruh sarafnya masih belum bisa bereaksi dengan benar setelah kecupan itu. “Satu hal lagi yang mulai kutahu tentangmu, kau adalah Cinderela yang terdampar di zaman modern,” kelakarnya, membuat Abby mau tak mau ikut tertawa. “Yeah, kau boleh menganggap seperti itu. Namun, satu hal, ayahku sangat galak. Dia akan mengurungku di kamar jika tahu aku pulang terlampau larut.” “Benarkah? Luar biasa. Artinya dia sangat perhatian padamu.” Zac membulatkan mata, yang sontak membuat Abby makin tergelak. “Aku bercanda, Zac. Baiklah, aku harus pergi. Terima kasih atas makan malamnya.” Zac mengangguk dan mengantar gadis itu keluar menuju ke lift. “Terima kasih atas waktumu.” Sekali lagi Zac mengecup bibir Abigail, kemudian mengusap ujung bibir gadis itu dengan ibu jarinya. Abby menyadari pipinya memerah sehingga untuk menepisnya, dia menundukkan wajah sebentar, barulah menyunggingkan senyum, kemudian berlalu dan menghilang di balik pintu lift yang menutup. *** Abby membuka amplop coklat di tangannya, membaca kembali deretan nama yang tertulis dalam daftar. Nama pemegang kekuasaan tertinggi dari keluarga Emerson adalah salah satu yang menjadi musuh bebuyutan ayahnya. Dia mulai berusaha kembali ke masa itu untuk mengingat seperti apa penampakan pria yang datang bersama wanita delapan belas tahun lalu. Wajahnya berbeda dengan ayah Zac, yang tampil di atas panggung. Lalu siapa pria yang menghajar ayahnya hingga mengalami kelumpuhan? Apa hubungannya dengan ayah Zac dan apakah dia juga terdaftar sebagai musuh ayahnya? Sayangnya, nama Zachary Emerson tak ada dalam daftar. Tentu saja. Saat itu mungkin Zac masih berusia sama sepertinya dan tidak mengetahui kejahatan apa yang diperbuat ayah dan ibunya. Abby jadi penasaran bagaimana reaksinya andai dia mengetahui bahwa orang tuanya adalah seorang penjahat yang telah menghancurkan kehidupan anak lain yang seusia degannya? Apakah Zac akan tetap memuja dan membanggakan sosok ayahnya? Ataukah akan berpikiran sama seperti Abby, bahwa pria itu tak lebih dari iblis berwujud manusia yang tega merebut sesuatu dengan cara kotor. Abby membuka brankas, mengambil pena dan kertas yang sudah tergambar sebuah bagan. Beberapa nama tertulis di sana. Dia menggores tinta dan menuliskan nama Zachary Emerson. Kemudian membubuhkan angka satu lalu memasukkan berkas itu kembali ke dalam brankas. Senyumnya tersungging miring, teringat kembali malam di mana Zac mencuri sebuah kecupan darinya. “Zachary Emerson, permainan dimulai darimu, sayang ...”Abby dan pria berkumis tebal dengan jas kulit berwarna coklat membungkus tubuhnya, kini tengah duduk di tempat yang sama seperti beberapa hari sebelumnya. Pria itu tiba-tiba meminta untuk bertemu kembali, padahal baru dua hari lalu Abby menerima hasil kerjanya.Terlebih setelah kekalahan Abby dalam perang bisnis beberapa waktu lalu, pria itu kebetulan mengikuti juga perkembangan berita tersebut, membuatnya tak sabar untuk menyampaikan hasil investigasinya. Senyum terulas di sisi wajah Abby. Lipstik merah menyala yang terpoles di bibirnya menambah kesan dominan dan mungkin antagonis bagi sebagian besar orang yang tidak mengetahui latar belakang wanita itu. Pertemuan tak berlangsung lama, informasi yang dia dapat dari detektif itu cukup sebagai penunjuk arah baginya. Hanya tinggal menyusun rencana untuk langkah selanjutnya. Sepeninggal sang detektif, Abby mengambil ponsel, kemudian menekan sebaris nomor dan menunggu jawaban dari seberang. Dia membenarkan duduk, melipat kaki dengan
Seorang wanita duduk di kursi kerjanya sejak pagi buta. Dia tak bisa memejamkan mata malam tadi. Berbagai pikiran berkecamuk mengganggunya. Dia masih berusaha mencari siapa pun yang menyebabkan seorang gadis kecil harus terpisah dari orang tuanya. Merenggut masa kecilnya yang terpaksa harus dia jalani tanpa kasih sayang orang tua. Abby hanya bisa mendesah pasrah setiap kali mengingat kehidupannya yang berubah jadi mimpi buruk sejak kedatangan wanita yang mengaku mengandung anak dari ayahnya. Dia masih ingat potongan kejadian kala itu. Dia masih berusia 12 tahun, bahagia menanti kehadiran adik yang akan meramaikan rumahnya. Dia gembira karena akan memiliki teman bermain. Akan tetapi, kebahagiaan itu seketika musnah ketika wanita yang mengaku kekasih gelap ayahnya datang dengan membawa kabar mengejutkan. Saat itu ibunya menangis histeris, memukul dada ayahnya yang berusaha menjelaskan dan menenangkan wanita itu. Suara benda jatuh, dan benda pecah berkeping-keping tak henti menjadi mu
Abby berjalan keluar ruangan demi menemui Zachary yang katanya sudah menunggu di lobi. Dia tak ingin tergesa dan sengaja membiarkan lelaki itu menunggu. Itu hukuman atas sikapnya yang telah memperolok dirinya atas kekalahannya di bursa saham. Ketika tiba di hadapan Zac, lelaki itu seketika berdiri dan menatap Abby dengan tatapan yang tak mampu dia terjemahkan. Apakah itu salah satu bentuk pelecehan juga? Karena Abby tidak suka ditatap seperti itu. “Maaf jika membuatmu menunggu lama,” ujar Abby berusaha untuk tenang meski enggan berbasa-basi dengan lelaki itu. Tujuan utamanya adalah menghancurkan dengan menjadi musuh, bukan dengan menjadi teman apalagi menanggapi sikap genit lelaki player seperti Zac. “Apakah kau ingin kita bicara di ruanganku atau ...” “Tunggu. Apakah kau benar Abigail Genovhia yang berbicara denganku di telepon tadi?” “Menurutmu?” Zac tertawa pelan lalu merutuki kebodohan pertanyaannya. Tentu saja dia Abigail, siapa lagi? “Tidak, maksudku ... kau sangat berbed
Abby masih memusatkan konsentrasi di depan layar besar di mana tampak tampilan diagram dan grafik yang menunjukkan jumlah dan besaran saham yang sudah terdaftar dalam bursa saham. Dia tak akan melewatkan kesempatan untuk memperluas kekuasaannya di dunia bisnis dan hal itu harus dia lakukan dengan komitmen yang kuat. Terlebih saat ini, dia memiliki rival baru. Sementara itu, pegawai lainnya akan secara bersamaan melakukan hal yang sama dan ketika nantinya ada salah satu saham yang memiliki prospek bagus, mereka akan dengan segera menghubungi Abby dan melakukan pembelian setelah mendapat persetujuannya. Kali ini, musuhnya bukanlah generasi tua Emerson yang bahkan sudah tak mampu mengangkat kaki tanpa bantuan tongkat, melainkan sang putra mahkota. Zachary Emerson. Meski baginya, Zachary tergolong baru di bidang saham, tetapi Abby tak boleh meremehkannya. “Nona Genovhia, saham di bidang pertambangan telah dimunculkan. Perusahaan mana yang kau incar?” tanya salah satu pegawai melalui s
Abby mematut tubuh di depan cermin yang ada di ruangannya. Dia memutuskan untuk tidak pulang, melainkan langsung bersiap di kantor karena tak ingin membuang waktu. Dia tak boleh terlambat karena rencananya dimulai dari acara ini. Dia melangkah dengan gemulai memasuki ballroom. Ratusan tamu undangan telah berada di sana, berbaur dan percakapan mereka pastilah tak jauh dari bisnis. Abby bosan membicarakan bisnis di acara pesta. Kecuali hari ini. Karena dia akan menebar jaring mulai dari sini. Jika suasana hatinya sedang bagus, mungkin tak masalah jika dia berbincang dengan beberapa orang. Hanya beberapa orang penting saja. Lainnya tidak. Akan tetapi, tiba-tiba dia tidak ingin berbaur dengan siapa pun. Kecuali putra mahkota keluarga Emerson. Dia lantas memilih tempat di sudut ruangan, sengaja agar tak terlihat karena dia tidak suka jika orang-orang dengan otak bisnis yang kotor lantas mendekat padanya. Siapa yang tidak mengenalnya? Seorang pebisnis wanita yang menjadi salah satu kand
Seorang pria berdiri di dalam ruangan, tatapannya tertuju pada wanita yang melangkah masuk. Dia tidak tahu apa yang membuat suaminya terlihat begitu buruk: rahang yang mengeras dan mata yang memerah menatapnya dengan seksama dengan lembar kertas di tangannya. "Apakah ini yang kau lakukan padaku selama ini, Abby?" Pertanyaan pria itu membuat wanita yang dipanggilnya Abby terbelalak. "A-apa yang kau bicarakan, Zac? Dan apa yang kau lakukan di kamarku?" "Jawab saja pertanyaanku!" "Zac, ada apa ini? Kita baik-baik saja, tidak ada yang terjadi pagi ini. Kita bahkan bercinta dan mencoba memperbaiki pernikahan kita. Lalu sekarang—apa yang terjadi, sayang?" Abby mengikis jarak antara dia dan Zac, mengelus rahangnya, dan menatap matanya. "Apakah ada seseorang yang mengatakan sesuatu padamu?" "Tidak ada yang memberitahuku tentang apa pun—bahkan kau. Aku baru saja mengetahui sendiri bahwa semua yang telah kita lalui hanyalah omong kosong bagimu. Kau menikah denganku untuk suatu tujuan." "A