"Aku sudah mengajukan gugatan cerai."
Nazharina berdiri di ambang pintu, menatap dengan ekspresi yang tidak pernah Arian lihat sebelumnya. Bukan kemarahan. Bukan kesedihan. Tetapi kelelahan yang begitu dalam, hingga membuat matanya tampak kehilangan cahaya. Kata-kata itu menghantam Arian lebih keras dari yang ia kira. Dia diam, membiarkan kalimat itu meresap dalam kesadarannya. "Kenapa?" Itu satu-satunya pertanyaan yang keluar dari mulut pria itu, meski ia tahu jawabannya. Nazharina tersenyum tipis, tetapi bukan senyum yang seharusnya. Itu adalah senyum seseorang yang telah menyerah. "Karena aku sudah lelah. Karena aku sadar, aku tidak pernah benar-benar menjadi bagian dari hidupmu." Dan di situlah, untuk pertama kalinya, Arian merasa hatinya benar-benar sakit. Sejak awal kebersamaan mereka, Arian memang bukan pria yang tahu cara menghangatkan hati. Tidak peka, tidak romantis, dan bahkan tak pernah tahu cara menyembuhkan luka perempuan. Tapi bukan berarti ia tak peduli. Ia memperhatikan. Nazharina yang membuat teh hangat setiap pagi, meski tahu Arian tak pernah menyentuhnya. Yang memastikan jaketnya tergantung di balik pintu, agar ia tak kedinginan saat hujan. Yang membereskan ruang kerjanya tanpa suara, berharap mendapat sedikit pujian atau sekadar ucapan terima kasih. Ia memperhatikan semua itu—tapi diam. Ia tahu, tapi tak pernah menunjukkan. Dan karena diam itulah, kini ia kehilangan segalanya. Nazharina tidak butuh disayangi secara diam-diam. Ia butuh direngkuh. Diakui. Dicintai dengan jujur. Dan Arian gagal memberikannya. --- Mungkin semuanya bermula sejak hari itu—hari ketika orang tuanya memutuskan untuk mengadopsi seorang gadis yatim piatu bernama Nazharina. Setelah proses panjang dan melelahkan, gadis itu resmi menjadi anggota keluarga mereka. Saat pertama kali melangkah masuk ke rumah barunya, Nazharina terlihat terpana. Tapi bukan kemewahan rumah yang membuatnya terdiam, melainkan tatapan hangat Erina, ibunya, yang menyambut seolah menyambut darah daging sendiri. Erina memeluknya erat. “Mulai sekarang, kamu nggak sendirian lagi.” Namun tak semua sambutan sehangat itu. “Arian, ini adikmu sekarang. Namanya Nazharina,” kata Erina ceria, menggandeng si gadis kecil yang menatap penuh harap. Nazharina menyodorkan tangan, ragu. “Hai… senang bertemu denganmu, Kak Arian.” Arian hanya menatapnya datar. Tak menjabat. Tak mengangguk. Tangannya tetap di saku, matanya kosong. Tangan kecil itu menggantung beberapa detik di udara sebelum perlahan ditarik kembali. Nazharina berpura-pura menggaruk hidung, seolah tak terjadi apa-apa. Padahal di balik ekspresi acuh itu, Arian bingung. Ia tidak tahu bagaimana menyambut seseorang yang tiba-tiba jadi bagian dari keluarganya. Hari-hari berlalu. Mereka mulai hidup bersama sebagai kakak beradik, meski tak pernah benar-benar merasa seperti keluarga. Lalu telepon itu datang. Nazharina masih mengingat bunyinya. Keras. Menusuk. Suara di seberang membawa kabar duka yang mengubah segalanya. Erina dan Marco mengalami kecelakaan. Di rumah sakit, Marco dinyatakan meninggal. Sementara Erina—satu-satunya orang yang menjadi tempat berlindung bagi mereka berdua—terbaring sekarat. Di ranjang itu, dengan suara yang nyaris habis, Erina menggenggam tangan Arian. “Arian…” “Iya, Mama. Aku di sini.” “Tolong… jaga Nazharina… jangan biarkan dia sendirian.” “Mama…” “Dan saat dia berumur dua puluh tahun… nikahilah dia.” Arian tertegun. “Mama, itu—” “Janji…” “Mama…” Arian menahan tangis. “Jangan paksa aku—” “Tolong…” Dan detik berikutnya, jantung itu berhenti berdetak. Itulah kata terakhir Erina. Arian ingin berkata bahwa cinta tak bisa diwariskan. Bahwa pernikahan bukanlah bentuk tanggung jawab. Tapi mulutnya kelu—karena itu permintaan dari wanita sekarat yang telah menjadi ibunya sejak kecil. Tahun demi tahun berganti. Dan pada akhirnya, janji itu ditepati. Tak ada pesta. Tak ada cincin. Tak ada pelukan. Hanya dua orang yang duduk bersebelahan di kantor catatan sipil—menandatangani berkas pernikahan. Malam pertama itu... mereka tidur saling membelakangi. Malam-malam berikutnya pun begitu. Hubungan mereka tak pernah berubah, hanya berubah status. Sepuluh tahun menikah, Arian belum pernah menyentuh Nazharina dengan cinta. Sementara Nazharina… menunggu. Setiap hari. Setiap ulang tahun pernikahan. Dan setiap malam saat hujan turun, ia berdiri di balik jendela, berharap Arian memeluknya dari belakang sambil berkata, “Maaf aku lama.” Tapi yang datang bukan pelukan. Bukan permintaan maaf. Bukan cinta. Yang datang hanya keheningan. Dingin. Dan waktu yang mengikis harapan sedikit demi sedikit. Hingga pada suatu malam, di usia 30 tahun, Nazharina berdiri di depan cermin. Menatap wajahnya sendiri yang mulai lelah. Menyentuh dadanya yang kosong. “Cinta tak bisa dipaksa… tapi aku juga tak bisa terus menunggu,” bisiknya. *** Pagi itu, setelah perceraian mereka sudah resmi diputuskan, Nazharina berdiri di ambang pintu dengan koper kecil di tangan. "Terima kasih atas waktumu, Arian. Akhirnya selesai juga. Boleh kita berjabat tangan? Mungkin ini pertemuan terakhir." Tangannya terulur. Lama. Tapi Arian hanya diam. Beberapa detik kemudian, Nazharina menariknya kembali, pura-pura menyeka hidung. Ia tersenyum kecil. “Ternyata nggak boleh.” Nazharina berbalik badan, melangkah pergi. Sebelum masuk mobil, ia sempat menoleh ke arah balkon—tempat di mana ia pernah menanam harap. Tempat Arian selalu berdiri dengan sunyi yang tak pernah mengundangnya masuk. “Selamat tinggal,” ucapnya dalam hati. Mobil pun melaju. Meninggalkan rumah. Meninggalkan kenangan. Dan Arian tetap berdiri di sana. Menatap kosong ke jalan yang semakin sunyi. Kini…Arian bertanya-tanya, apakah ia baru saja kehilangan sesuatu yang sangat berharga dan tak akan pernah bisa ia miliki lagi? Tapi saat itu juga sebuah tekad muncul dari dalam dirinya. Ia akan memperbaiki semua... dengan caranya. “Nazh... aku akan pastikan kau kembali lagi ke rumah ini,” gumamnya pada diri sendiri.“Aku akan pulang. Dan kau, Max, siapkan tim Public Relations terbaik. Kita akan melakukan damage control. Dan cari tahu setiap jejak Shelby. Setiap koneksinya. Setiap orang yang dia ajak bicara.”Maxime mengangguk. “Siap. Tapi Arian, ini akan jadi perang yang kotor. Mereka akan menyerang Nazharina secara pribadi.”Arian menghela napas, matanya menatap ke luar jendela. “Aku tahu. Tapi aku tidak akan membiarkan mereka menyentuhnya. Tidak lagi.”Malam itu, Arian tiba di rumah Nazharina. Ia memeluknya erat, menenangkan tubuh Nazharina yang masih gemetar.“Aku sudah bicara dengan tim PR. Mereka akan mengeluarkan pernyataan besok pagi. Kita akan mengumumkan hubungan kita secara resmi.”Nazharina mendongak, terkejut. “Apa?! Sekarang?”“Ya. Tidak ada lagi yang perlu disembunyikan. Biarkan mereka tahu. Biarkan mereka bicara. Aku tidak peduli.” Arian menatapnya dalam. “Aku hanya ingin kau aman. Dan aku ingin dunia tahu kau adalah milikku.”Nazharina merasaka
“Nazh! Aku tahu kau di dalam! Buka pintunya!”Itu suara Kinoshita.Nazharina menghela napas lega, lalu segera membuka pintu. Kinoshita langsung menerobos masuk, wajahnya penuh kekhawatiran.“Astaga, Nazh! Kau baik-baik saja? Aku nyaris gila mencarimu! Ponselmu tidak aktif, kau tidak masuk kerja, dan... dan ada desas-desus aneh di hotel!” Kinoshita memeluknya erat, lalu menarik diri, menatap Nazharina dari ujung kepala sampai kaki.“Aku baik-baik saja, Kinoshita,” Nazharina tersenyum tipis. “Maaf membuatmu khawatir. Ada... urusan mendadak.”“Urusan mendadak sampai menghilang begitu saja? Aku kira kau diculik lagi!” Kinoshita menghela napas, lalu matanya menyipit. “Omong-omong soal diculik... kau tahu, sejak kejadian yang dulu itu, saat Reynold menghilang, ada banyak bisik-bisik aneh tentangmu. Dan sekarang, setelah kau menghilang lagi, gosipnya makin liar!”Nazharina menunduk. Ia tahu gosip itu. Shelby pasti dalangnya.“Mereka bilang apa?” Nazharina bertanya, suaranya pelan.Ki
Di luar rumah tua tempat pesta digelar, Arian berdiri diam di bawah bayang-bayang pepohonan. Ia tiba sejak dua jam lalu. Timnya menyisir wilayah, tapi tidak ada langkah ceroboh. Tidak malam ini. Ia datang sendiri. Berpakaian hitam pekat, jas yang rapi, dan tatapan yang tajam membelah gelap malam.Maxime, yang mengikutinya diam-diam, mendekat pelan. “Kau yakin tidak mau aku masuk bersamamu?”Arian tak menoleh. “Aku butuh dia merasa aman. Aman untuk menunjukkan kelemahannya. Jika kau masuk, dia akan memasang wajah keras.”Maxime mengangguk. “Jadi... bagaimana rencananya?”Arian hanya menatap bangunan bercahaya itu. “Aku akan bicara. Dan aku akan menang.”**Langkah Arian tenang saat ia memasuki rumah tua itu. Musik hampir padam. Ruangan itu mendadak sunyi saat sosoknya muncul.Julian yang sedang berdiri di dekat bar, terkejut — hanya sedetik. Tapi itu cukup. Ia cepat memulihkan diri, lalu menyeringai. “Arian. Aku tidak tahu kau bisa secepat ini.”“Aku tidak suka terlambat ke pes
Arian menunjuk sebuah area di peta. “Fokuskan pencarian di sekitar sini. Ini adalah rute tercepat dari rumah menuju wilayah terpencil tanpa melewati banyak mata. Dan ada properti yang dulu pernah ia incar untuk proyek gagalnya. Dia mungkin menggunakannya untuk menyembunyikan sesuatu.”Maxime melihat ke titik yang ditunjuk Arian. “Itu akan membutuhkan izin khusus untuk menyisirnya. Wilayah itu dikendalikan oleh... kelompok lama Julian.”“Aku tidak butuh izin.” Suara Arian dingin. “Aku akan masuk sendiri jika perlu. Cari tahu di mana pusat kendali kelompok lama Julian. Jika mereka melindunginya, mereka juga akan hancur.”Ponsel Arian berdering lagi. Nomor Julian. Arian langsung mengangkatnya, menyalakan loudspeaker agar Maxime bisa mendengar.“Sudah menemukan teka-tekiku, Arian?” suara Julian terdengar riang. “Kurasa kau butuh sedikit bantuan.”“Katakan di mana dia, Julian,” Arian menggeram.“Sabar. Aku hanya ingin memastikan kau tahu apa yang akan kau hadapi. Nyonya Laurent baik-
"Arian memang sangat mencintaimu, bukan?" Julian bertanya, suaranya tiba-tiba terdengar... aneh. Tidak sinis lagi, melainkan lebih seperti sebuah pengamatan yang dalam.Nazharina tidak menjawab.Julian hanya mengangguk pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri. "Menarik." Ia menatap Nazharina lagi, senyum tipis kembali ke bibirnya, tapi kali ini terasa berbeda, hampir seperti janji. "Aku akan kembali besok."Pintu gudang tertutup kembali, meninggalkan Nazharina dalam kegelapan. Ia menatap ke arah pintu yang terkunci, merasa ada sesuatu yang aneh dari sikap Julian di akhir. Tatapannya itu... Itu bukan sekadar rival.Dan Nazharina tahu, permainan ini, bagi Julian, baru saja dimulai. Bukan hanya untuk Arian, tapi juga, entah bagaimana, untuk dirinya.***”Malam itu terasa panjang di gudang terpencil. Nazharina tidak bisa tidur. Setiap derit kayu, setiap suara angin, terasa seperti langkah kaki. Ketakutan akan apa yang akan terjadi padanya, pada bayinya, dan pada Arian, terus men
Julian tersenyum miring. "Kau kelemahannya. Titik paling rentannya. Selama ini, aku hanya mendengarnya. Betapa dia terobsesi denganmu. Betapa dia melindungimu. Dan sekarang... aku akan membuktikannya sendiri.""Kau gila!" Nazharina berteriak, amarah dan ketakutan bercampur. "Apa kau tidak tahu aku sedang hamil?! Kau tidak bisa melakukan ini!"Wajah Julian sedikit berubah. Ada kilatan aneh di matanya. "Aku tahu kau hamil," katanya, dengan suara sedikit lebih rendah. "Selamat. Aku ikut senang karena itu akan membuat Arian semakin putus asa.” Nada "selamat" itu terdengar dingin, seperti sarkasme. "Lepaskan aku! Aku mohon!" Nazharina mencoba membuat suaranya putus asa, berharap memancing simpati. "Apa kau tidak punya hati? Aku tidak bersalah! Bayiku tidak bersalah!"Julian bangkit berdiri. Ia menatap Leo. "Pastikan dia tidak kekurangan apapun. Makanan sehat. Air bersih. Dan jangan sentuh dia sama sekali." Suaranya kembali datar. "Aku tidak ingin bayi itu kenapa-kenapa. Aku hanya in