Share

Bab 4. Sebuah Janji

Zayden melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, ekspresi marahnya itu sama sekali tidak hilang sejak dari rumah tadi. Bahkan terlihat semakin jelas, dan terus menguasainya.

“Sial, apa-apaan itu tadi. Apa dia mau sok berperan menjadi istri yang baik? Hah, benar-benar menjijikkan. Apa dia sedang memainkan trik kotor saat ini, berpura-pura polos untuk mendapatkan perhatianku. Apa trik ini juga yang dia gunakan pada papa, sehingga papa tergoda olehnya, dan mengkhianati mama.”

Bruk!

Mengingat itu, membuat kemarahan Zayden semakin meninggi bahkan sampai memukul setir mobilnya sendiri untuk melampiaskannya.

“Cih, tapi aku berbeda dengan papa. Aku tidak akan semudah itu masuk ke dalam perangkapmu. Karena aku sudah tahu, siapa kau sebenarnya.”

Sementara di mansion, Aara melihat dengan sedih pecahan-pecahan piring yang berserakan di lantai.

Dia mendekat pada pelayan-pelayan di sana yang tengah membersihkannya.

Aara tidak bisa menyembunyikan rasa sedihnya. Kala dia mengingat bagaimana dengan amarahnya, Zayden menghancurkan semua makanan yang sudah dibuatnya sejak pagi buta.

Bahkan setelah mengetahui bahwa itu adalah masakannya, jangankan mencobanya. Dia bahkan tak mau melihatnya dan langsung menyingkirkannya.

Dari situ, Aara bisa melihat kebencian Zayden yang begitu besar padanya. Kebencian yang terasa sangat sulit untuk dihilangkan.

Tapi kenapa, kenapa Zayden bisa sebenci itu padanya. Sebenarnya apa yang sudah dirinya lakukan.

Dia tidak pernah mengingat, bahwa mereka pernah bertemu sebelumnya.

Dan dia juga tidak mengingat, bahwa dia pernah melakukan kesalahan, yang bisa membuatnya menumbuhkan rasa benci sampai seperti ini.

Lalu, apa alasannya. Kenapa dia tidak bisa mengetahui atau mengingatnya.

Aara berjongkok, bermaksud untuk membantu para pelayan membersihkan serpihan kaca itu.

“Nyonya, apa yang Anda lakukan?”

Dia terkejut, lantas berhenti ketika mendengar suara salah satu pelayan yang menegurnya.

“Aku akan membantu kalian membersihkannya. Karena walau bagaimana pun ini adalah salahku. Kalian harus jadi repot seperti ini.”

“Tidak, apa yang Anda pikirkan Nyonya. Ini adalah tugas kami, sudah sepatutnya kami melakukannya.”

“Tapi aku ingin membantu, aku tidak tenang jika hanya terus melihatnya saja.”

“Tidak papa Nyonya, lebih baik Anda istirahat saja. Anda pasti sangat terkejut, bukan?”

Aara terdiam, apa yang dikatakan pelayan ini memang benar. Sikap kasar Zayden yang tidak terduga tadi benar-benar membuatnya sangat terkejut.

Sampai sekarang, bahkan dadanya masih berdebar cukup keras karena rasa terkejut itu.

Aara bahkan harus beberapa kali mengambil nafas dan mengeluarkannya, agar rasa syoknya ini hilang dan perasaannya kembali tenang.

“Apa tidak papa?” tanyanya.

“Tidak papa Nyonya, justru kami akan merasa bersalah jika Anda sebagai majikan kami melakukan tugas kami sebagai pelayan.”

‘Majikan?’ batinnya. ‘Apa itu artinya, mereka menganggapku sebagai nyonya di rumah ini. Bahkan, setelah mereka melihat dengan mata kepala mereka sendiri sikap Zayden padaku. Tapi dengan sopannya, mereka masih menganggapku sebagai majikan?’ lanjutnya.

Di sisi lain, Zayden yang baru saja sampai di kantornya tampak di sambut hangat oleh sekretarisnya Sam yang memang sudah lebih dulu datang di sana.

“Kau sudah melakukan tugasmu?” tanyanya seraya berjalan masuk ke dalam.

“Seperti yang Anda perintahkan Tuan, saya sudah melakukan tugas saya,” jawabnya.

“Bagus, kalau begitu berikan laporannya nanti di ruanganku.”

“Baik Tuan.”

Mereka pun terus berjalan menuju lift, tampak Sam yang menekan tombol panah atas lift, dan seketika pintu lift pun terbuka.

Namun, bukannya masuk. Zayden justru hanya terdiam di tempatnya. Ketika kedua netranya itu menangkap sosok papanya yang ada di dalam lift itu dan hendak keluar.

Seketika, ekspresi Zayden berubah. Menjadi semakin dingin, dan terlihat tidak senang.

“Aku akan menaiki lift lain,” ujarnya dingin lalu pergi dari sana.

“Ya, Tuan?” Sam merasa bingung, ekspresinya langsung terkejut ketika melihat Zayden yang langsung pergi begitu saja.

Dia yang bingung harus bagaimana pun, kemudian membungkuk memberi hormat pada Zion sebelum akhirnya pergi menyusul tuannya.

Zion menoleh ke arah Zayden pergi, wajahnya mengernyit mencoba menerka sikap aneh Zayden padanya.

‘Sikap macam apa itu tadi, ada apa dengannya? Dia bahkan tidak menyapaku, dan langsung pergi begitu saja dengan dingin,’ batinnya bingung.

Zion mencoba untuk menerkanya, hal apa yang membuat sikap putranya seperti itu. Namun, waktunya tidak tepat dan dia harus segera menyelesaikan urusannya.

“Ayo,” ajaknya kemudian pada sekretarisnya Ken.

Dia pun keluar dari lift dengan diikuti Ken di belakangnya.

Tanpa Zion ketahui, Zayden masih berdiri tak jauh dari posisi lift tadi.

Dia menatap tajam pada sosok papanya itu, dan menunjukkan kebenciannya melalui sorot matanya.

“Bahkan setelah mengkhianati mama. Kau tetap bersikap tenang, dan seperti tidak merasa bersalah. Apa karena sekarang, wanita kotor itu yang lebih penting bagimu. Cih, aku membencimu,” ucapnya.

***

Di dalam kamar, Aara tampak duduk di sofa dan melamun. Dia tahu, Zayden melarangnya untuk menyentuh sofa ini apa lagi mendudukinya.

Tapi dia tidak peduli, toh Zayden tidak ada di sini. Jadi tidak akan ada yang berkomentar walaupun dia tidur di sini sekali pun.

“Nanti malam, aku harus pergi ke klub dan mengurus semuanya.”

Deg!

Aara tiba-tiba tersentak, seperti mengingat sesuatu setelah apa yang tadi dikatakannya.

“Zayden selalu mengataiku perempuan kotor, apakah mungkin dia mengetahui pekerjaanku di klub malam?” pikirnya.

Namun, kemudian Aara menggeleng. Mencoba menyangkalnya.

“Tidak mungkin, aku tidak pernah mengatakan hal itu padanya. Jadi, dia tidak mungkin tahu. Tapi, kalau begitu apa alasannya mengataiku seperti itu. Apakah ini ada hubungannya dengan alasan dia membenciku?”

Aara menunduk, menunjukkan ke putus asaan. Mau bagaimana pun dia berpikir, dia tetap tidak menemukan alasan yang tepat yang membuat Zayden begitu membencinya.

“Tidak tahu, aku benar-benar tidak tahu,” ucapnya.

Sementara Aara sedang berpikir dengan keras apa kesalahannya, di luar sana Zayden baru saja sampai di mansion Tan.

Dia datang ke sana, untuk memenuhi janjinya pada mamanya.

Tampak dia yang langsung masuk ke dalam setelah turun dari dalam mobil dan mendapatkan sambutan hangat dari para pelayan yang menyambutnya di depan pintu.

Zayden menghiraukan sambutan itu, dia hanya terus berjalan menuju tempat di mana biasanya mamanya itu berada.

Langkah Zayden terhenti, arah pandangnya itu lurus melihat sosok wanita paruh baya yang tengah sibuk menata makanan di meja makan.

Zayden tak bisa menahan rasa sedihnya, ketika mengingat bagaimana mamanya itu menangis. Kala mengetahui jika suaminya yang amat dicintainya itu sudah mengkhianatinya dan berhubungan dengan wanita lain.

Tampak, Zayden yang mengepalkan tangannya kuat. Dia tidak bisa menerima semua ini, dia marah dan api dendamnya pada Aara semakin mencuat. Hatinya semakin teguh, untuk membuat wanita itu menderita seperti yang sudah dia lakukan pada ibunya.

Di sana, Alya yang menyadari kedatangan Zayden pun lantas menoleh.

Senyum lebar mulai tersungging dari bibirnya, ketika sosok putra kesayangannya itu berada tepat di depannya.

“Zay,” panggilnya.

Zayden tersenyum, dia melanjutkan lagi langkahnya itu lalu menghampiri mamanya.

Saat Zayden semakin mendekat padanya, Alya pun langsung memeluk putra semata wayangnya itu.

Tiba-tiba senyuman itu berubah menjadi sebuah tangisan, tangisan yang membuat Zayden benci ketika mendengarnya.

“Zay hiks, Zay ....”

“Tidak papa Mah, Zay sudah di sini sekarang,” ucapnya mencoba untuk menenangkan mamanya itu.

Ekspresi penuh dendam Zayden tidak bisa dia sembunyikan lagi, suara tangisan ini benar-benar seperti sebuah waktu yang terus mengingatkannya pada tujuan utamanya menikahi Aara.

‘Mama tenang saja, mereka akan mendapatkan balasan dari setiap tetes air mata yang mama keluarkan. Aku berjanji,’ batinnya.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status