เข้าสู่ระบบ"Hai ... Kalian makan saja berdua," ucap Lucy.
"Iya. Kamu pergi saja Luce!" ucap Thomas judes.
Lucy pun memajukan bibirnya dan pergi meninggalkan Brigitta bersama Thomas.
"Sekarang aku tanya sekali lagi. Kita sudah bersama tiga bulan dan biasanya dalam waktu segitu, kita sudah waktunya tinggal bersama, Bri." Thomas menatap Brigitta. "Please?"
"Kalau tinggal bersama, mau tinggal dimana? Kamu saja masih tinggal di asrama."
"Ya di flat kamu lah! Kan kamu sudah punya flat," jawab Thomas dengan entengnya membuat Brigitta terkejut.
"Flat aku? Flat aku kecil, Thom! Hanya ada satu kamar tidur dan tidak ada tempat buat dua orang!" jawab Brigitta yang merasa keberatan.
"Hei, kan kalau kamu masuk shift malam, ada yang jaga kan?"
Brigitta menggeleng. "Tidak, Thomas. Aku tidak bisa ...."
Thomas tampak terkejut. "Kamu tidak cinta aku?"
"Bukan begitu tapi aku belum siap Thomas untuk tinggal bersama," jawab Brigitta.
Thomas mendengus. "Memang kamu tidak cinta aku!" Pria itu pun berdiri dan meninggalkan Brigitta yang terbengong-bengong.
"Astaga ... Ini apa maksudnya?" Brigitta celingukan dan Lucy segera menghampiri dirinya sambil membawa nampan.
"Bagaimana bisa dia meninggalkan kamu begitu saja?" tanya Lucy. "Apa yang sedang terjadi?"
Brigitta hanya bisa menggelengkan kepalanya. "Aku rasa dia ... mau putus sama aku."
"Ada apa?"
Brigitta menceritakan soal permintaan Thomas dan Lucy hanya menggeram kesal.
"Bagus kamu tolak, Bri. Bukan apa-apa, dia akan memanfaatkan kamu terus!" ucap Lucy garang.
"Luce ...."
"Bri, pernahkah kamu berpikir. Kamu tidak pernah tidur dengannya, tidak pernah bagaimana-bagaimana. Tapi dia tenang-tenang saja? Pikir deh!"
Brigitta mulai berpikir. Kami bahkan tidak pernah berhubungan seks karena memang aku yang tidak mau karena tidak ingin ada anak sebelum aku menyelesaikan studi. Apalagi aku sudah berjanji pada mommy dan daddy.
"Pikirkan. Patut dicurigai, kenapa dia ngotot besok minta tukaran shift sama kamu? Itu sudah banyak red flag, Brigett," lanjut Lucy lagi.
Brigette mengangguk. Disaat dirinya sedang berpikir, mata birunya menatap sosok yang duduk di kursi roda sambil menunggu antrian kantin. Blake Oxenberg menoleh ke arah Brigitta yang hanya menunduk.
Kenapa aku harus sering bertemu dengan pria itu ih? Apa karena sekarang aku dapat divisi bedah? - batin Brigitta.
"Ayo, kita makan. Ini aku sudah bawakan sandwich untukmu," ucap Lucy sembari memberikan sandwich ke Brigitta. "Ini air mineral dan susu. Biar kamu kuat!"
Brigitta tersenyum. "Thanks, Luce."
Kedua sahabat itu pun makan siang bersama sembari menceritakan soal acara visite tadi bahkan mereka sama-sama mendapatkan sudden quiz dari para dokter senior.
"Untung aku semalam sempat belajar soal obgyn jadi aman deh!" ucap Lucy.
"Kamu rencana ambil apa besok untuk spesialis?" tanya Brigitta.
"Obgyn. Kamu? Jadi ambil bedah?"
Brigitta mengangguk. "Sepertinya yang divisi bedah yang lebih rumit. Lebih menantang dan banyak puzzlenya."
Suara notifikasi di ponsel masing-masing dan keduanya membaca pesan disana.
"Mentor kita sudah keluar," ucap Lucy.
Brigitta menghela nafas panjang.
"Kamu dapat siapa yang jadi mentor?"
Brigitta hanya mengarahkan jari telunjuknya ke arah Professor Oxenberg yang sedang makan dengan bersama dokter-dokter lainnya.
"Serius?" bisik Lucy.
"Iya. Ini aku sudah dapat listnya. Bayangkan lima tahun sama dia." Brigitta hanya bisa menabahkan diri.
"Kan kamu sudah tahu resikonya, kamu bakalan kuliah sepuluh tahun untuk spesialisasi bedah. Kamu ya harus berkomitmen."
"Dan biayanya juga tidak sedikit karena dari beasiswa dari aku kan cuma mencakup biaya kuliah tapi tidak biaya spesialis," ucap Brigitta. "Aku hanya berharap uang tabungan aku cukup."
Lucy mengangguk. "Mungkin ini jalan terbaik Bri. Thomas tidak membuat kamu pusing!"
Brigitta mengangguk.
Mereka menyelesaikan acara makan siangnya dan kembali ke rumah sakit. Hari ini Brigitta dan Lucy memang mendapatkan shift siang hingga sore. Mereka pun melakukan tugas hari ini dan menjelang pulang, mereka pun mengikuti evening report.
Dokter residen di Inggris (United Kingdom/UK) memiliki batasan jam kerja maksimum 48 jam per minggu berdasarkan regulasi Uni Eropa dan Inggris, meskipun ini bisa dilampaui dalam situasi tertentu. Jam kerja 48 jam per minggu ini dibagi dalam berbagai jadwal jaga dan pelayanan, dengan mempertimbangkan waktu istirahat yang cukup untuk mencegah kelelahan dan memastikan keselamatan pasien.
Brigitta dan Lucy hendak pulang, namun sebuah suara membuat keduanya menoleh.
"Dokter Colby, ke ruangan saya!"
Brigitta melihat Blake Oxenberg duduk disana dan menatap tajam ke arahnya.
"Apa saya melakukan kesalahan, Prof?" tanya Brigitta.
"Masuk saja!" Blake pun membalikkan kursi rodanya.
Brigitta menghela nafas panjang lalu melihat professornya. "Luce, aku pulang naik bis saja. Kamu pulang duluan. Mommy kamu pasti menunggu."
Lucy mengangguk. "Aku duluan Bri."
Brigitta tersenyum dan bergegas mengejar Blake sementara Lucy keluar dari rumah sakit menuju parkiran mobil.
Brigitta dan Blake tiba di ruang kerja pria itu yang terbuka otomatis dari remote yang dipegang olehnya. Brigitta pun masuk dan melihat suasana ruangan itu yang merangkap menjadi ruang praktek. Banyak buku-buku yang terdapat di dalam lemari serta ada model kerangka dan model badan manusia disana.
"Kamu sudah mendapatkan jadwal mentor kamu?" tanya Blake sambil berjalan ke belakang mejanya.
"Iya Professor. Mentor saya adalah anda," jawab Brigitta dengan nada dibuat setenang mungkin.
"Jika kamu menjadi anak mentor saya, ingat! Jangan pernah melakukan hal seperti tadi!"
"Seperti apa Prof? Membantu menenangkan pasien?" balas Brigitta. "Bukankah kewajiban dokter meliputi melayani pasien dengan tulus dan trampil, merujuk pasien jika tidak mampu, menjaga kerahasiaan pasien, memberikan informasi yang jujur dan lengkap tentang penyakit, melakukan pelayanan medis sesuai standar profesi, serta memberikan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan. Dokter juga wajib mengikuti perkembangan ilmu kedokteran dan bertindak adil tanpa memandang status pasien."
Blake hanya menyipitkan matanya. "Kamu terlalu naif!"
"Professor, anda tahu kan rasanya mengalami sakit pasca operasi ... Apa saya salah jika saya berusaha memberikan ketenangan pada pasien yang baru saja mengalami operasi besar? Payudara dia diangkat! Mental dia juga kena Prof!" balas Brigitta. "Saya tahu, seorang wanita akan merasa tidak lengkap tanpa payudara, indung telur dan rahim! Salah satu dari itu hilang, maka dia akan merasa insecure!"
"Darimana kamu tahu?" cebik Blake sinis.
"Karena mommy saya meninggal dari kanker payudara dan saat hanya punya satu payudara ... Dia merasa tidak percaya diri! Saya tahu itu Professor! Jadi saat tahu pasien Smith mengalami hal yang sama, saya seperti melihat mommy saya!" Brigitta menatap tajam ke Blake.
Blake Oxenberg hanya bisa terdiam mendengarnya.
*** bersambung ***
Blake tidak bosan-bosannya memandang putranya yang sedang menikmati kolostrum pertamanya dn dia tidak memperdulikan Dokter Zach masih menyelesaikan tindakannya pada Brigitta. Istrinya menatap judes ke Blake karena dia macam mengalami disfungsi sebagai seorang dokter bedah."Blake! Bagaimana bisa kamu tidak berbuat apa-apa padahal kamu adalah seorang dokter bedah terkemuka di Skotlandia!" desis Brigitta membuat Blake baru sadar bahwa ada orang lain yang menyetuh tubuh istrinya."Sudah selesai, Profesor Oxeberg. Dokter Colby sudah saya jahit," senyum Dokter Zach. "Bukankah anatomi semua manusia sama?"Blake menoleh ke arah Dokter Zach. "I'm so sorry. Aku terlalu fokus dengan Bri dan bayi kami," ucap Blake dengan perasaan tidak enak."Tidak apa-apa. Dokter Colby, aku permisi dulu karena anda sudah ada suami anda. Profesor Oxenberg, tolong jaga istri dan anak anda." Dokter Zach membereskan semua peralatannya dan dibantu oleh Alfred. Dokter Zach membersihkan tangannya kemudian menyalami Bl
Dokter Zach menatap wajah tidak bersahabat Blake dan dia tahu bahwa pria di hadapannya adalah suami Brigitta. Dokter Zach sangat paham kenapa Blake seperti itu apalagi dia juga sudah berjanji pada Brigitta untuk tidak memberitahukan pada siapapun termasuk suaminya sendiri."Senang bertemu dengan ...?" "Blake. Blake Oxenberg," jawab Blake dingin membuat Dokter Zach terkejut saat tahu siapa nama lengkap suami Brigitta. Dia tidak menyangka jika pria yang disebut dengan B oleh Brigitta, adalah pria kaya raya di Skotlandia. "Senang bertemu dengan anda, Dokter ... eh tidak, Profesor Oxenberg." Dokter Zach mengulurkan tangannya dan disambut sedikit ogah-ogahan oleh Blake. "Sekarang, apakah kamu tahu dimana istriku?" tanya Blake tanpa basa-basi dan Dokter Zach hanya tersenyum. "Apakah anda akan membawa Dokter Colby pulang?" balas Dokter Zach tanpa takut. "Aku harus membawa Bri pulang karena dia hendak melahirkan! For god's sake! Aku ingin berada di sampingnya selama proses melahirkan itu
Blake tampak termangu di ruang tengah rumah milik Lucy dan dia bisa membayangkan Brigitta sibuk di dapur, menikmati teh panas sambil memandang luar jendela yang memperlihatkan pemandangan indah. Pemandangan pegunungan hijau dengan domba-domba yang dilepas oleh penggembala untuk merumput, melihat rubah keluar di malam hari guna mencari makan. Blake tidak akan heran jika Brigitta meletakkan piring diatas pagar untuk makanan burung-burung liar yang datang.Pria itu membuka pintu kamar tidur yang dia yakini adalah kamar Brigitta dan tersenyum karena feelingnya benar. Dia melihat baju-baju istrinya masih ada dan sebuah buku tentang kehamilan ada di sisi kanan atas nakas sebelah tempat tidurnya. Blake melihat ada pembatas di buku itu dan membukanya. Matanya mengenali tulisan tangan Brigitta yang mencatat disana dengan banyak note macam-macam."Sangat khas kamu, Bri. Jika ada suatu hal yang kamu pertanyakan atau tidak tahu, pasti kamu berikan catatan disana." Blake tersenyum karena sangat ha
Brigitta melihat kamarnya dan mengakui tidak terlalu berbeda dengan kamarnya kemarin. Brigitta bahkan bisa melihat pemandangan indah dari jendela kamarnya dan suasananya sangat menenangkan hati. Suara ketukan di pintu membuat Brigitta menoleh."Maaf Dokter Colby tapi aku harus kembali ke Killin untuk mengambil semua baju kamu dan perlengkapan semuanya." Dokter Zach tersenyum lembut. "Kamu tenang saja, aku tidak akan terburu-buru karena tahu akan membuat curiga suamimu kan?""Iya kalau Blake masih ada disana ... tapi kalau sudah pulang, aku lebih suka tinggal di Killin." Brigitta menatap serius ke dokter Zach."Jika situasinya sudah kondusif, kita akan kembali ke Killin.""Jika begitu, jangan semua baju kamu aku ambil. Anggap saja kamu sedang piknik ya?" ucap Dokter Zach."Terima kasih Dokter Zach."Dokter senior itu pun pergi meninggalkan Brgitta sendirian di rumah Braemar. Merasa gabut, Brigitta pun mencari kesibukan dengan membersihkan rumah dan membuat makanan dari kaleng makanan
Mary tersenyum ke arah Blake. "Anda mencari wanita yang sedang hamil bernama Brigitta Colby? Maaf, tapi dia sudah pergi, menghilang entah kemana."Blake melongo. "Apa? Anda berbohong!""Anda bisa memeriksa sendiri." Mary mengedikkan dagunya dan Blake pun bergegas masuk ke dalam rumah. Pria itu melihat tanda-tanda Brigitta pergi terburu-buru pergi. Blake menghampiri teko yang ada di atas meja makan dan merabanya dengan punggung tangannya. Masih hangat. Blake merasa istrinya belum terlalu lama pergi karena teko teh itu belum terlalu lama ditinggal di atas meja dan udara sekarang baru masuk musim gugur jadi teh panas bisa menjadi dingin dalam waktu tidak lama."Dimana Brigitta? Dimana istriku?" tanya Blake ke Mary. "Siapa namamu?""Namaku Mary dan aku adalah sesepuh disini anak muda. Siapa namamu?" balas Mary dengan gaya kalem." Namaku Blake dan Brigitta Colby adalah istriku. For God's sake, dia sedang hamil anakku!" seru Blake kesal."Aku tidak tahu Brigitta kemana. Jika kamu memang s
EdinburghAlbert mendapatkan detektif yang berbeda dari apa yang disewa oleh Blake. Dokter bedah itu berharap akan mendapatkan informasi yang akurat dan bisa menemukan Brigitta dan bayi yang masih di dalam kandungannya. Blake tidak mau ada hilang moment saat proses kelahiran anaknya nanti."Apakah detektif yang ini, bisa menemukan Bri?" tanya Blake ke Albert."Saya harap bisa tuan. Semakin banyak orang yang mencari, bukankah kemungkinan ditemukan akan semakin besar?" jawab Albert.Blake mengangguk. "Kamu benar. Aku tetap merasa Lucy tahu semuanya."Albert mengangguk. "Saya juga merasa demikian."***Seminggu KemudianBrigitta merasa akhir-akhir ini suasana di desa Killin tidak nyaman dan seperti ada yang mengawasi dirinya. Dokter Zach yang melihat rekannya tampak tidak nyaman, ikut penasaran kenapa Brigitta seperti itu."Ada apa Dokter Colby?" tanya Dokter Zach saat melihat Brigitta tampak gelisah."Rasanya seperti ada orang yang mengawasi saya, Dokter Zach," jawab Brigitta.Dokter Za







