Share

7. Mau dibantu?

Author: Autumn
last update Last Updated: 2025-11-28 14:17:26

Valeria terbangun di tengah malam, tenggorokannya terasa kering. Dia mengerjapkan matanya perlahan, mengamati sekeliling. Di sofa tampak Teo tidur dengan posisi duduk, melihatnya membuat Valeria iba.

Valeria menggeser perlahan tubuhnya, dia tak ingin sedikit gerakannya dapat membangunkan Teo. Tangannya terulur meraih sebotol air.

“Nih!”

Teo menyerahkan sebotol air mineral yang sudah dibukakan tutupnya. Tanpa banyak bicara pria itu kini duduk di samping tempat tidurnya membuat sebuah getaran pelan ranjang.

Tubuh Valeria seketika membeku sesaat, entah sejak kapan pria itu sudah berada di dekatnya. Tidak, kali ini terlalu dekat untuk mereka.

‘Kenapa harus dia sih. Di saat seperti ini, bukankah seharusnya suamiku yang ada di sini? Bukan pria ini, lelaki yang jelas-jelas tak ada hubungan apapun denganku.' Valeria mengembuskan napas perlahan.

Valeria hanya mampu menatap Teo dengan tatapan yang sulit diartikan.

“Mau di bantu?” tanya Teo menatap kedua mata Valeria lekat.

Deg!

Valeria buru-buru mengambil sebotol air dari tangan Teo, dan segera duduk memposisikan dirinya dengan benar.

“Ehem, aku bisa sendiri,” sahut Valeria menetralkan tenggorokannya yang terasa kering. Dia buru-buru meminum air itu dengan susah payah.

‘Kenapa sih, ngeliatin sampe segitunya?'

“Bisa menjauh sedikit nggak sih?” protes Valeria merasa tak nyaman.

“Menjauh? Untuk apa? Bukankah kita sudah pernah melakukan yang lebih dari sekarang ini?” sahut Teo dingin.

“Apaan sih, nyebelin banget. Seharusnya kamu nggak usah nolongin aku, biarin aja aku mati,” ucap Valeria asal. Apalagi mengingat Jason yang sama sekali tak menganggap dirinya, bukankah lebih baik jika dirinya mati saja.

“Kalau kamu mati,” suara Teo merendah, lirih tapi tajam, “aku yang akan paling hancur, Vale.”

Valeria tersentak kecil, dadanya seperti diremas. Ada sesuatu pada suara itu … sesuatu yang tak pernah ia dengar dari Teo sebelumnya. Bukan amarah. Bukan dingin. Tapi gentar. Ketakutan.

Teo mendekat ke arah Valeria, condong ke arahnya. Jarak mereka hanya sejengkal. “Jangan pernah bilang hal bodoh itu lagi,” gumamnya dengan suara dalam dan beratnya. Jemarinya terulur, menyentuh pelipis Valeria dengan hati-hati, seolah takut menyakiti bagian mana pun dari tubuh yang penuh memar itu.

“Teo… jangan bersikap seperti,-”

Teo segera membungkam bibir Valeria dengan ciuman lembut nan dalam, jemari Teo terulur menyentuh pipi Valeria perlahan, ciuman itu semakin terasa panas, dalam dan saling menuntut.

Valeria bahkan tak sadar telah menutup kedua matanya, seakan menikmati setiap perlakuan manis Teo. Pria itu tiba-tiba melepaskan pangutan bibirnya dan menatap Valeria dalam.

“Tutup mulutmu.”

Nada itu tegas, tapi bukan marah. Lebih seperti … seseorang yang berusaha menahan dirinya agar tidak runtuh di hadapan perempuan yang paling ingin ia lindungi.

‘Sial, kenapa aku malah diem aja gini sih?’

Valeria memalingkan wajahnya, dia memegangi bibirnya yang masih terasa basah karena ulah Teo. Jantungnya bahkan berdegub sangat kencang saat ini. Dia tak sanggup menatap pria yang seolah akan menelannya itu.

Valeria mencengkeram selimut. “Aku tidak mengerti kenapa kamu repot-repot menolongku. Besok aku tetap kembali pada Jason.”

Ucapan bodoh itu tiba-tiba meluncur begitu saja dari bibir Valeria.

Mata Teo menggelap. “Selama aku masih hidup, kamu tidak akan pernah bisa kembali kepada orang itu.”

Deg.

“Kamu … bukan miliknya.” Jemari Teo turun ke rahang Valeria, mengangkat wajahnya pelan agar matanya bertemu dengan mata pria itu. “Dan kamu bukan seseorang yang bisa diperlakukan seperti sampah.”

Deg!

Valeria merasakan napasnya tercekat. Teo terlalu dekat. Terlalu intens. Terlalu … hangat. Desiran panas mulai menjalar dari perutnya ke sekujur tubuh. Valeria kesulitan menelan salivanya.

“Tapi aku istrinya,” bisiknya, hampir tak terdengar.

Teo menahan rahangnya, wajahnya mendekat sedikit lagi. “Secara hukum? Iya. Tapi secara hati? Toh dia belum menyentuhmu bukan?” Mata pria itu bergetar, ada sesuatu yang ditahan mati-matian. “Dia tidak pantas atas dirimu. Sampai kapanpun, kau adalah milikku!”

‘Sial, darimana dia tahu semua itu?’

Valeria menggigit bibir bawahnya, air mata menggenang. “Kenapa kamu berkata seperti itu? Kenapa sekarang?”

Teo menutup mata, menarik napas panjang seakan menahan sesuatu yang sudah bertahun-tahun ia kubur. Ketika ia kembali membuka mata, tatapan itu berubah lebih lembut, lebih dalam, lebih jujur dari yang pernah Valeria lihat.

“Karena aku hampir kehilanganmu hari ini.” Suaranya pecah tipis. “Dan aku … tidak bisa membiarkanmu disakiti olehnya lagi.”

Keheningan menelan ruangan itu. Hanya suara monitor detak jantung yang terdengar.

‘Tuhan, kenapa harus aku sih, yang ngalamin semua ini? Kenapa?’

Teo akhirnya menggeser posisi dudulnya mendekat, tangan besarnya menutupi tangan Valeria, menggenggamnya seolah itu satu-satunya pegangan hidupnya sendiri.

“Mulai sekarang,” ucap Teo pelan, nyaris seperti janji berbahaya, “biarkan aku yang menjagamu. Aku bahkan tak perduli dengan si brengsek itu.”

Valeria menatapnya, bingung, taku, tapi untuk pertama kalinya, ada rasa hangat di dadanya yang membuatnya ingin percaya. Walau sedikit. Walau hanya hari ini.

“Teo ...?"

“Apa?”

“Jangan tinggalkan aku.”

Kalimat itu terucap sebelum Valeria sempat berpikir.

Teo menunduk, menyentuhkan dahinya ke dahi Valeria. Sentuhan lembut tapi intim. Dalam.

“Aku di sini, Vale.”

Suaranya serak.

“Dan aku tidak akan pergi.”

Ruangan itu terasa mengecil. Dunia seakan hanya tersisa mereka berdua.

Untuk pertama kalinya sejak lama, Valeria menangis, bukan karena sakit, tapi karena akhirnya ada seseorang yang memegangnya seolah ia berarti.

Teo mengusap air matanya dengan ibu jarinya. “Istirahatlah. Kamu aman sekarang.”

Dan untuk pertama kali dalam hidup Teo, Ia benar-benar takut akan arti kata aman itu bagi dirinya sendiri.

Valeria masih terisak pelan, napasnya naik turun tidak stabil. Dan Teo … pria itu menatapnya seperti melihat sesuatu yang rapuh sekaligus paling berbahaya untuknya.

Teo mengusap sisa air mata di pipi Valeria, gerakannya pelan tapi penuh tekanan emosi.

“Hei ... Lihat aku” bisiknya.

Valeria menoleh perlahan. Tatapan mereka bertemu.

Dan saat itu, Teo seperti kehilangan kendali terakhir yang ia punya.

Tangan besar Teo naik ke tengkuk Valeria, menahannya lembut namun tegas. “Vale… jangan pernah bilang kamu balik ke dia,” gumamnya serak. “Aku nggak akan kuat.”

Valeria menelan ludah, tenggorokannya kembali kering, bukan karena haus, tapi karena cara pria itu menatapnya seolah dia adalah satu-satunya hal yang membuat Teo tetap waras.

“Teo … jangan beg,-”

Ucapan Valeria terputus ketika Teo menariknya perlahan ke arahnya. Tidak terburu-buru. Tidak marah. Tapi dalam, intens, seolah ia meminta izin dengan cara yang paling berbahaya.

Jarak mereka tinggal setengah napas.

“Kalau lo mau gue pergi,” bisik Teo, suaranya gemetar halus, “bilang. Sekarang.”

Valeria membuka mulut … tapi tidak ada suara yang keluar.

Dan itu sudah cukup bagi Teo.

Dia menurunkan bibirnya ke bibir Valeria, kali ini bukan sekadar membungkam. Ciuman itu hangat, perlahan, tapi penuh kebutuhan yang ditahan terlalu lama. Bibirnya menekan pelan, seolah merasakan dulu garis bibir Valeria sebelum memperdalamnya.

Valeria tersentak, tubuhnya menegang … lalu mencair.

Jantungnya menghantam dada keras, sampai terasa menyakitkan. Tangannya secara refleks mencengkeram kaos Teo.

Teo merespons dengan menarik pinggul Valeria sedikit lebih dekat, ciumannya berubah lebih dalam, lebih menuntut.

Ada desahan samar dari Valeria yang ia sendiri tidak sadari.

Dan Teo … pria itu hampir kehilangan kendali ketika mendengarnya.

“Vale…” gumamnya di antara ciuman, suaranya rendah dan bergetar.

“Apa pun yang kamu bilang … apa pun yang kamu takutin… kamu akan tetap kembali kepadaku.”

Ciumannya bergerak ke sudut bibir Valeria, turun ke rahangnya, lembut tapi penuh rasa memiliki yang tidak dibungkam lagi.

Valeria mengerjap, tubuhnya panas, pikiran kacau.

“S-stop … aku … aku nggak boleh …!”

Teo berhenti. Dahinya menyentuh dahi Valeria lagi, napasnya berat dan tergesa.

Tangan di tengkuk Valeria tetap di sana, menahan, tapi tidak memaksa.

“Bilang kamu nggak mau,” ujar Teo pelan. “Bilang buat aku mundur.”

Valeria terdiam. Dalam hitungan detik, hanya suara napas mereka yang tersisa.

Dan Teo, dia menutup mata, seolah berdoa agar Valeria tidak mengusirnya.

Valeria ingin bilang ya. Ingin bilang tidak. Ingin menolak, ingin menyerah.

Tapi yang keluar hanyalah bisikan patah, “Aku… takut.”

Teo membuka mata. Tatapannya melunak, tapi tetap membara.

Dia menyentuh pipi Valeria dengan ibu jari, lembut, hampir penuh rasa sayang.

“Aku juga,” bisiknya jujur. “Karena kalo aku nyakitin kami sedikit aja … aku nggak bakal bisa hidup sama diriku sendiri.”

Lalu ia menunduk lagi hampir mencium Valeria. Teo menatap Valeria intens, seakan menuntut suatu hal yang lebih.

“Valeria, bolehkah?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terjebak Gairah Liar Kakak Ipar   25. Cucu

    Valeria masuk ke ruang makan pelan-pelan. Suasananya masih terasa dingin.Gerald fokus membaca koran. Teo santai seperti biasa.Viviane mengaduk tehnya pelan, gelagatnya sedikit mencurigakan. Membuat Valeria sedikit waspada. Meskipun terlihat santai, Viviane sering berbicara menusuk hati.Begitu Vale duduk, Viviane langsung mengangkat kepala. Seakan wanita itu sengaja menunggu momen yang pas.“Kamu turun sendiri?”Nadanya manis, tapi dinginnya begitu menusuk. Bahkan ekspresinya masih tampak biasa.“Jason mana? Istri itu biasanya nungguin suami, bukan jalan duluan.” Viviane menoleh ke belakang mengira Jason akan menyusul Valeria.Valeria menahan napas sejenak. “Jason masih di kamar, Ma. Dia masih mandi.”Viviane cuma menggumam pendek. “Hmm… ya, harusnya saling nunggu kalau sudah nikah. Bukannya jalan sendiri-sendiri,” ucapnya sedikit ketus.Valeria masih tampak santai, dia tak mau terjerat dalam kekacauan yang dibuat oleh mertuanya. Teo berhenti mengaduk kopinya. Suaranya keluar datar

  • Terjebak Gairah Liar Kakak Ipar   24. Bermain Api

    “Asal jangan berlebihan saja, kalo kamu mau papa bisa mencarikan kegiatan biar kamu ada kesibukan,” tawar Gerald.“Tidak usah, pa. Saya akan mencari kesibukan sendiri yang memang cocok,” tolak Valeria dengan halus.”Baiklah-baiklah.” Langkah kaki berat terdengar dari arah pintu.Jason berjalan masuk ke ruang makan, rambut masih acak-acakan, mata merah sedikit, kemeja hitam dari kemarin masih nempel bedanya tampak lebih kusut saja.Dia berhenti.Karena seluruh keluarga menoleh.Tapi yang paling membunuhnya adalah Valeria.Karena Valeria menatap Jason, tanpa kemarahan, tanpa tangisan, tanpa tanya, tanpa kecewa.Dia tampak lembut dan elegan.“Jason kamu baru pulang?” ucap Valeria lembut, dan sopan.Seolah dia bukan istri yang ditinggal suaminya semalaman.Jason berkedip cukup lama.Kepalanya kosong karena tidak ngerti kenapa Valeria tidak marah.Valeria mendekat, nada suaranya tetap halus.“Sini, biar aku bantu bawa tasnya ke kamar.”Jason bahkan tidak bisa bereaksi.Dia hanya mematung,

  • Terjebak Gairah Liar Kakak Ipar   23. Sebuah Strategi

    “Tenanglah ... Masih banyak kesempatan. Aku ahli dalam hal itu," bisik Teo lalu melumat bibir Valeria untuk kesekian kali.Kali ini ciuman mereka cukup singkat. “Ayo, kita pulang sekarang!” ajak Teo mulai menyalakan mesin mobil. Melaju perlahan, sebelumnya mereka singgah di sebuah toko untuk membeli obat dan salep untuk Valeria.“Mau aku bantuin pakai?” ucap Teo setelah memasuki mobil. Bukan sebuah godaan, lebih terdengar tulus dan serius.“Ayolah, biarkan aku sendiri. Aku masih bisa melakukan semuanya sendiri. Kita langsung pulang saja,” ajak Valeria.Teo sedikit kecewa, dia segera menyalalan mesin mobil dan membawa Valeria kembali ke mansion.Pintu mobil menutup pelan, hampir tanpa suara. Udara jam empat pagi masih dingin, tipis, dan sedikit berembun. Teo turun duluan, lalu membuka pintu untuk Valeria, gerakannya lembut tapi tetap dengan aura cueknya yang khas.“Pelan,” gumam Teo sambil menahan pintu agar nggak bunyi. “Orang-orang rumah biasanya bangun sebelum jam lima. Kita aman …

  • Terjebak Gairah Liar Kakak Ipar   22. Malam Panas 2

    Teo memanggilnya seperti sebuah mantra.Seperti pengakuan.Gadis itu hanya memejam mata, membiarkan dirinya tenggelam dalam sentuhan Teo.Mobil bergoyang pelan.Jendela berembun semakin tebal.Napas mereka semakin tidak beraturan.Teo menyatukan keningnya dengan Valeria, menatapnya dalam-dalam.Suaranya hampir tidak terdengar.“I’ve wanted you for so long…”Valeria meraih wajahnya, membalas ciuman itu lagi, lebih berani, lebih jujur dari sebelumnya.Teo menurunkan celananya, Valeria sedikit mendongak menatap suatu di bawah Teo sudah berdiri kokoh, seakan siap memasukinya saat itu juga.“Maaf jika itu akan sedikit menyakitimu, aku janji tidak akan lama, kalo kamu tidak sanggup aku akan berhenti kapanpun,” ucap Teo ragu, mengingat miliknya yang berukuran di atas rata-rata. Valeria meneguk salivanya kasar. Dia mengangguk ragu. Teo mendekatkan miliknya ke inti Valeria, mencoba mencari celah sekecil apapun dengan hati-hati.“Tahan baby,” bisik Teo merasa tak tega. “Akhh ... Sshhh!” jeri

  • Terjebak Gairah Liar Kakak Ipar   21. Malam Panas 1

    Mobil Teo berhenti di tempat yang semakin sepi. Lampu jalan ada beberapa yang menyala, sisa lainnnya gelap. Udara di dalam mobil mulai terasa hangat, napas mereka saling mengenai.Valeria masih diam, wajahnya memerah setelah ciuman tadi. Tapi Teo … dia sama sekali belum selesai. Masih ada hasrat yang dia tahan.“Valeria…” suaranya serak, dia seperti sedang menahan sesuatu yang lebih gelap.Valeria menelan ludah. “Hm?”Teo menatap bibirnya, lama, lalu menyapu perlahan menggunakan ibu jari.“Kenapa kamu bikin aku susah nahan diri kayak gini,” bisiknya rendah.Valeria memalingkan wajah, tapi Teo langsung menangkap dagunya dengan dua jari, lembut tapi mantap. Membuat Valeria kembali menatapnya.“Look at me,” ucap Teo pelan. Valeria patuh. Selalu patuh saat Teo berbicara seperti itu.Hujan sisa tadi menempel di kaca, memantulkan pantulan lampu dari kejauhan. Suasana semakin terasa privat, tapi justru itu yang membuat dada Valeria berdebar makin liar.“Teo … aku takut ada orang lewat?”“Let

  • Terjebak Gairah Liar Kakak Ipar   20. Jadikan Aku Sandaran

    “Nomor baru,” gumam Valeria.Seluruh tubuh Valeria kini terasa membeku, dadanya berdenyut nyeri. Dia berpikir jika suatu saat dia akan mendapatkan perhatian Jason. Sayangnya, impian itu harus dia kubur sedalam mungkin saat ini.”Nggak mungkin,” gumam Valeria menyadari siapa pria yang memeluk wanita naked itu. “Jangan dilihat!” ujar Teo meraih ponsel Valeria lalu menyimpannya di dalam saku.“Aku antar pulang,” ucap Teo, suaranya pelan. Dan akhirnya, setelah beberapa detik berdiam, Valeria mengangguk kecil. “iya.”Teo tersenyum tipis bukan kemenangan, tapi kelegaan yang menyakitkan. Dia sadar Valeria sedang tak banyak bicara saat ini.“Good girl.”Dia menuntun Valeria keluar kantor. Dan lift tertutup pelan.“Teo?”“Hm?”“Tolong rahasiakan yang aku lihat tadi ya?” ucapnya menatap lurus ke depan. Hatinya saat ini seakan mati rasa. Meskipun dia belum mencintai Jason, tapi melihat gambar suaminya bermain nakal dengan wanita lain, cukup membuat dadanya berdenyut nyeri. Ternyata semua rumor

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status