Share

Tentang Jason

“Papa?!”

Jason, bocah berusia delapan tahun itu melepaskan genggaman tangannya dari Anna dan berlari menghambur ke pelukan Sean yang telah siap merengkuhnya dengan hangat.

Sungguh  pemandangan yang hangat kala sepasang ayah dan anak itu saling berpelukan dan menyalurkan kasih sayang seolah telah lama berpisah.

Tak jauh dari sana, wanita muda dengan setelan semi formalnya tampak berdiri menunduk tak nyaman.

Setelah cukup puas melepaskan rindu untuk sang putra, Sean lantas mengalihkan pandangan pada sang wanita muda yang masih berdiri dengan kikuk di tempatnya semula.

“Jadi ... namamu Anna?” tanya Sean datar.

“Benar! Dia ibu guruku, Bu Anna yang kemarin membantuku melukis, Pa.”

Bukan Anna yang menjawab pertanyaan itu, melainkan Jason. Yang tampak bersemangat dan berbinar.

Sean melukis senyuman tipis di wajahnya, mendekatkan sang putra dalam dekapannya sebelum kembali fokus pada Anna.

“Jadi ... kau guru di sini?” tanyanya kemudian.

“Benar,” jawab Anna setengah kikuk, tak mampu mempertemukan netra mereka.

“Jadi ... yang mana pekerjaan utamamu? Yang semalam, atau yang sekarang?”

Mendengar pertanyaan gila yang terlontar dari mulut Sean tak ayal membuat Anna melotot tak percaya.

Terlebih beberapa guru dan wali murid tampak melintas di antara mereka. Tak hanya melintas, tentu saja mereka sambil mencuri dengar.

“Apa maksud Anda?” tanyanya setengah berteriak.

“Kau wanita yang di hotel bersamaku pagi tadi kan?” tanya Sean datar.

“Tuan-“

“Hotel itu apa Pa?”

Anna hampir meledak dalam amarah lagi sebelum lontaran polos dari mulut Jason mengudara. Sean pun tak kalah terkejut dengan pertanyaan polos Jason.

Lelaki bertubuh kekar itu lantas membungkuk sejenak untuk mencium pipi sang putra sebelum akhirnya menyuruh Jason bergabung bersama teman-temannya.

Dan tentu saja ia berniat menahan Anna dan menginterogasinya dengan berbagai pertanyaan setelahnya.

Namun Anna bukanlah gadis bodoh, dengan sigap ia berbalik dan meninggalkan lelaki itu seorang diri di depan pintu masuk.

“Anna! Bu Anna!”

Ia mengabaikan setiap panggilan menyebalkan namun seksi dari Sean dan terus berjalan cepat menuju aula.

Sepanjang acara pun guru muda itu hanya diam dan menunduk, tak banyak melakukan interaksi dengan siapa pun. Anna hanya melakukan tugas seperlunya.

Terlebih Sean yang duduk di barisan paling depan di antara para wali murid tampak menaruh minat terhadapnya.

Meskipun nampak santai dan acuh, sebenarnya Anna tengah berusaha mengendalikan dirinya.

Tubuhnya gemetar dan berkeringat dingin. Ia teramat takut Sean akan membongkar rahasia gelapnya dan mengakhiri kariernya sebagai seorang guru.

Sudah hampir dua tahun sejak ia menerima gelarnya sebagai sarjana, dan baru kali ini ia mendapatkan kesempatan yang layak untuk menempuh karier.

Anna bukanlah gadis pemalas, selama ini ia berjuang dengan kesehatan mentalnya yang buruk untuk segera mendapatkan pekerjaan dan membantu keluarganya terbebas dari hutang.

Pertemuan wali murid sudah berakhir sejak lima menit yang lalu, namun Anna masih tampak sibuk dengan segala berkas di atas meja.

Di saat rekan-rekannya yang lain telah pergi meninggalkan ruangan, guru muda itu masih disibukkan dengan berbagai hal kecil di meja rapat.

“Biar kubantu,” kata Sean.

Anna lantas mendongak dan menatap lelaki di hadapannya dengan tatapan tak percaya.

“Tidak perlu! Ini tugas saya, sebaiknya Anda segera pergi meninggalkan ruangan.”

Tidak ada siapa pun di sana selain mereka berdua dan itu semakin membuat Anna takut juga salah tingkah. Takut jika seseorang berpikiran yang tidak-tidak tentang mereka.

“Kenapa? Aku hanya ingin menolongmu, bukan berniat melakukan apa pun padamu.”

Tatapan mereka bertemu, dan dari sorot matanya dengan jelas Anna mengatakan ‘apa maksudmu?’

“Kau bahkan berani tidur satu ranjang denganku, berada dalam kamar hotel yang gelap bersamaku, tapi tiba-tiba sekarang kau merasa ketakutan dan-“

“Diam!”

Gadis itu melirik ke kanan dan ke kiri, memeriksa apakah ada orang lain yang mendengarkan pembicaraan mereka.

Ia sudah cukup muak dan marah dengan semua perlakuan Sean, terlebih lelaki itu bersikap seolah ia tak mengetahui apa pun.

“Kau ingin menghancurkan karierku ya? Ini caramu balas dendam? Seharusnya aku membunuhmu dan merampas semua harta milikmu sejak semalam!” terianya dengan emosi yang hampir meledak.

Sedangkan Sean hanya menatap wanita di hadapannya itu dengan tatapan datar tanpa berniat menginterupsi.

“Apa yang akan terjadi jika para wali murid tahu seperti inilah kelakuan pendidik anak-anak mereka?”

“Cukup.”

“Aku belum selesai Nona.”

“Kumohon, pergi dari sini sekarang juga.”

Sean menghela nafas berat, ia ingin berbicara lebih jauh namun jadwal padatnya telah menunggu hari ini.

“Baiklah jika itu yang kau inginkan. Kuharap kita tidak akan bertemu lagi setelah ini.”

Dingin dan sunyi yang mampu Anna rasakan setelah kepergian Sean. Wanita itu mematung dengan setumpuk berkas yang hampir tak mampu ia tahan lagi dengan tangan mungilnya.

***

“Bagaimana pertemuannya?”

“Hah ....”

Helaan nafas kasar yang keluar dari mulut Sean sudah cukup menjadi jawaban bahwa pertemuan wali murid itu tak berjalan baik. Begitu pikir Bima.

Tak ada yang lebih buruk dari suasana hati Sean saat ini, bahkan udara kotor Jakarta sekali pun. Niatnya untuk membuka jendela mobil pun urung kala polusi di luar sana semakin memburuk.

“Kau perlu istirahat dari pekerjaan sejenak Sen, Jason juga perlu menghirup udara segar. Pergilah berlibur.”

“Kau benar, lagi pula sudah lebih dari enam bulan saat terakhir kali aku mengunjungi rumah lama di Bandung.”

“So ... kau bisa meninggalkan dunia memuakkan ini dan pergi ke Bandung akhir pekan ini.”

Tak semudah itu, orang lain mungkin menganggap hidup Sean sangat mudah dan sempurna. Memiliki kekayaan, popularitas dan cinta dari setiap orang. Ia bebas melakukan banyak hal.

Namun nyatanya tidak demikian, uang yang banyak malah membuatnya kalap dan tak tenang, popularitas tak memberinya banyak ruang dan cinta dari orang-orang malah memberinya banyak beban.

Hidup sebagai mantan atlet menempatkannya dalam dua posisi sulit. Ia adalah panutan dan kebanggaan, namun di sisi lain dunia impiannya itu sangat keras dan menimbulkan trauma yang mendalam.

“Bim, apa mimpimu di masa depan? Impian yang kau harapkan segera terwujud.”

“Tentu saja aku ingin hidup bahagia dengan semua aset mewah yang kumiliki,  lalu ... memiliki seorang wanita cantik.

Aku mungkin akan membangun bar terbesar di negeri ini jika memiliki semua uang itu, Sen,” jawabnya yang diakhiri kekehan pelan.  

Sean tersenyum tipis, setiap orang menginginkan hal yang sama. Yang tanpa mereka sadari semua itu hanyalah kebahagiaan semu yang dapat lenyap kapan saja.

“Hidupmu sudah sempurna Sen, kau hanya butuh seorang wanita untuk benar-benar menyempurnakannya.”

“Dalam kasusku, justru wanita lah yang menghancurkan semuanya dan membuat hidupku berantakan.”

“Come on, lima belas tahun menjomblo sudah cukup, ok? Kau perlu menemukan pasangan sejatimu, juga sosok ibu yang tepat untuk Jason.”

“Cih! Ibu bagi Jason? Wanita mana lagi yang mampu menjadi ibunya, jika ibunya sendiri menelantarkannya

Bukankah wanita itu mengerikan? Menggunakan kedok sebagai makhluk lemah yang ternyata menyimpan kekejaman.”

“Sen, tidak semua wanita seperti itu,” ucap Bima dengan nada jengah.

“Kau hanya belum mengerti Bim, bahkan seorang wanita muda yang tampak lugu dan suci nyatanya menyimpan rahasia gelap yang menjijikkan. Aku tak bisa membuat putraku berada dekat dengan wanita seperti itu.”

Bima menaikkan sebelah alisnya. “Seorang wanita muda? Siapa?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status