Share

Sembilan

Tuan El melepas pelukannya saat Bu Siti menegurnya. Pria itu terlihat sangat gugup lalu mencoba tenang. Sama halnya dengan Bella yang merasa aneh dengan dirinya saat bersama dengan Tuan El.

Bella langsung masuk kamarnya setelah Tuan El kembali menatap wajahnya. Pintu pun langsung di kuncinya agar pria itu tidak bisa masuk. Tangannya memegang dada yang rasanya sangat kencang berdetak. Apalagi, napasnya yang naik turun padahal tidak habis berlari.

“Ada apa denganku? Kenapa sepeti ini?” Bella bergumam sendiri.

Harusnya ia merasa jijik dan benci, tapi malah sebaliknya. Bella tidak mengerti bagaimana bisa hatinya berubah tenang saat pria itu datang. Selama ini Tuan El tak pernah menyentuhnya walau beberapa kali mendekat dan membuat ia panas dingin.

Selalu ada Bu Siti yang mengingatkan, Bella termenung kali ini. Pria bernama Elvaro, bagaimana bisa tiba-tiba datang dan mengatakan sudah membeli dirinya dari Edo. Lalu, mengatakan akan menikahinya setelah perceraian dirinya dan Edo selesai. Kemudian, mengatakan kalau Bella akan menjadi ibu dari anak-anaknya, Bella terus saja berpikir ulang dan sepetinya ia merasa tak masuk akal semua kejadian yang dialaminya.

“Aku rindu Ibu dan Maya, mereka pasti berpikir kalau aku sedang berbahagia dengan Edo.” Bella kembali meneteskan air mata jika mengingat hidupnya seperti ini.

Sementara itu, di halaman rumah Tuan El membuang putung rokoknya. Ia kembali menyalakan yang baru, sesekali ia mengacak-acak rambutnya. Pria itu merasa frustasi jika berdekatan dengan Bella. Apalagi saat tadi, jika tak ingat ada Bu Siti, gairahnya pun tak tertahankan.

Dering ponsel membuat dirinya tersadar dari lamunan. Gegas ia menerima dan mendengar siapa yang bicara

“Baik, langsung eksekusi aja. Saya mau kamu mengurus cepat perceraian mereka.” Perintah itu sangat lantai terdengar lewat sambungan telepon.

“Baik, Tuan.” Suara bas terdengar dari seberang telepon.

Tuan El kembali menutup ponselnya, tapi benda pilih itu kembali berbunyi. Terlihat nama sang istri tertera jelas, pria itu hanya memandang tanpa menjawabnya.

Tidak lama Melanie mengirimkan pesan.

[El, kamu tidak pulang lagi? Aku mau bicara padamu.]

Wajah pria itu datar saat membaca pesan itu. Rasa kecewa sudah membuat dirinya merasa hilang respect pada sang istri.

***

Sementara itu, di sebuah ruangan kecil Melanie sedang menunggu pesan masuk dari Elvaro. Wanita dengan tubuh sexy itu berulang kali mencoba menghubungi Elvaro, tapi tak ada jawaban.

“Mel, sedang apa?” tanya Anggun.

“Biasa, Elvaro enggak bisa di hubungi. Aku pusing dengan sikapnya,” ujar Melani.

“Kenapa memangnya?” tanya Anggun.

“Biasalah, dia meminta anak lagi. Sudah tahu aku tidak bisa untuk saat ini karena sedang ada kontrak dengan iklan. Tapi dia maksa.”

“Halah, kontrak iklan, kamu jangan bohong sama aku. Kamu itu bukan karena ada kontrak hilang, tapi kalau kamu enggak KB takut bingung siapa ayah dari anak kamu kan, secara demi kontrak besar kamu bisa tidur dengan siapa saja.”

“Enggak usah sok tahu, Nggun.”

“Helo, kamu kenal aku berapa lama sih?”

Melanie bergeming, apa yang di katakan Anggun membuat ia tak bisa berkata apa pun. Baginya karir hebat itu impian walau sekaya apa pun suaminya.

“Mendapatkan Elvaro itu adalah karunia. Eh kamu malah mengabaikannya. Memang kamu siap jika ada yang menggantikan kamu di hati suamimu?”

“Nggun, dia itu cinta sama aku. Enggak mungkin berselingkuh karena sebelum nikah pun dia sudah paham pekerjaan aku.”

“Iya, tahu pekerjaan kamu yang terlihat bukan? Kalau yang enggak terlihat enggak kan?”

Keduanya saling pandang, mereka sudah lama kenal. Bahkan apa yang di katakan Anggun selalu kebenaran. Sudah lama ia tak suka dengan sikap sang teman.

“Jangan banyak bicara, hutang kamu masih banyak sama aku, sudah make up saja.”

Jika Melanie sudah menyinggung masalah hutang, Anggun pun diam. Wanita yang sudah ikut Melani hampir 5 tahun sebagai make up artis pribadi Melani pun diam.

Melani memikirkan ucapan sang ibu yang sama tidak jauh dari ucapan Anggun. Wanita itu ingin sekali memiliki anak, tapi ia pun belum siap.

“Shit, mau kamu apa sih Elvaro.”

***

Di rumah megah milik Tuan El, Bella memperhatikan bunga-bunga yang indah di bawah sana. Ia hanya berangan-angan seandainya bisa turun dan merawat mereka, pasti hari-harinya tak akan hampa. Hatinya masih sangat lelah memikirkan jalan keluar untuk kabur.

“Non sedang apa?” tanya Bu Siti.

“Sedang memperhatikan bunga-bunga di bawah. Siapa yang merawatnya?” tanya Bella.

“Ibu di bantu sama Nani, ada apa?”

“Andai aku bisa turun dan merawat bunga-bunga itu, mungkin akan mengobati sedikit perasaan sedih aku, Bu.”

Bella kembali menatap bawah, netranya terlihat sendu. Apa yang sedang terjadi padanya, ia bagaikan burung yang terpenjara dalam sangkarnya.

“Kalau Non mau, bicara sama Tuan. Mungkin dia mau memberikan izin kalau hanya merawat bunga saja.”

“Saya tidak mengizinkannya, Bu.”

Bu Siti dan Bella menoleh ke sumber suara, Tuan El berdiri tegap dengan menatap ke arah Bella. Wanita itu pun langsung menunduk, tidak mampu menatap bola matanya yang menatap lurus ke arahnya.

“Tuan memang kejam.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status