Share

Delapan

Senyum tipis ke luar dari bibir Melanie. Sudah lama tak ada yang memujinya selain penggemar dan produser film. Wajah itu merona, lalu menyambut hangat senyum Leo.

Bak gayung bersambut, Leo senang saat ia mulai menebar pesona pada artis cantik yang selama ini hanya ia kagumi lewat televisi.

Melanie tampil sangat sempurna, ia berusaha untuk mendapatkan projects kali ini. Bos Sebuah perusahaan kosmetik itu terkesan dengan penampilan wanita yang selalu menjaga tubuhnya.

“Melanie, saya pun senang bertemu dengan Anda.”

Kesan pertama begitu menggoda, tidak butuh waktu lama untuk membujuk. Saat itu Leo pun setuju jika Melani menjadi salah satu brand ambasador alat kosmetik miliknya karena wajah dan postur tubuh wanita itu begitu menarik.

Gading yang senang dengan kabar itu pun langsung memeluk artisnya. Sementara, Leo meminta untuk berbicara empat mata dengan Melanie.

Melanie duduk berhadapan dengan Leo, pria itu cukup menarik dengan wajah tak kalah tampan dari sang suami. Mereka berbincang dengan santai.

“Jadi, kamu sudah bersuami?” tanya Leo.

“Iya, seperti itu,” jawab Melanie malas. Wanita itu paling tidak suka jika membicarakan sang suami. Apalagi hubungan mereka sedang tidak baik-baik saja.

“Oke, ganti topik. Rasanya kamu tidak mau membahas masalah suamimu. Kita bahas yang lain, bagaimana kalau nanti kita atur waktu untuk waktu yang lebih lama,” ujar Leo.

Melani menyunggingkan senyum, lalu mengambil ponsel Leo dan menyimpan nomornya di benda pipih itu.

Kesan pertama sungguh menggoda, jika tidak ada pekerjaan lain pun Leo sanggup berlama-lama bersama dengan Melanie.

***

Tuan El duduk di halaman dengan menyesap teh hangat. Tangan satu mengambil makanan yang di sediakan oleh Bu Sumi. Di otaknya masih terus berputar masalah Bella, ia harus secepatnya menikahi wanita itu agar Bella tak mencoba kabur lagi seperti beberapa hari lalu.

“Tuan, apa sudah selesai makan. Mau saya rapikan,” ujar Bu Siti.

“Bu, bisa duduk sebentar. Saya mau bicara,” ujar Tuan El.

Bu Siti duduk di samping Tuan El, wanita tua itu sudah bekerja lama dengan pria itu hingga tak ada rasa canggung. Ada beberapa hal yang akan Tuan El bicarakan.

“Bu Siti tahu bagaimana pernikahan saya dan Melanie, kan?”

“Tahu Tuan, saya pun mengerti maksud Tuan membawa Nona Bella. Wanita itu pantas menjadi ibu dari anak Tuan nanti karena dia tangguh walau pun sempat bersikap bodoh dengan percobaan bunuh dirinya. Lalu, apa yang Tuan cemaskan?” tanya Bu Sumi.

“Saya hanya mencemaskan bagaimana jika Melanie tahu ada Bella di antara pernikahan kami. Kemarin saja kamu bertengkar lagi,” ujar Tuan El.

“Tuan, ini bukan salah Tuan. Saya kenal Nyonya Melani, saya tahu bagaimana keluarga Tuan mendesak keturunan. Sayangnya, istri Tuan tak memperhatikan itu.”

Tuan El kembali menyalakan putung rokoknya. Ia menyesap hingga mengepulkan asap ke udara. Saat pertama kali melihat foto Bella, ia sudah tertarik dengan paras ayunya.

Bella salah satu wanita paling beruntung, hanya saja dirinya akan menjadi duri dalam rumah tangga Tuan El. Tarikan napas dalam pria itu terlihat sangat tertekan. Walau sangat di takuti, pria dengan tato burung elang di tangannya juga kini merasakan dilema.

“Aku benci Melanie. Kenapa aku tak berpikir saat menikahinya. Harusnya aku berpikir saat dia mengatakan akan mengikuti apa yang kumau.”

Bu Siti menatap miris sang tuan. Gurat lelah di wajahnya sangat terlihat, ia sudah mengenal pria itu bertahun-tahun.

“Tuan, apa Nyonya Melani tahu kalau Tuan ada di sini bersama saya?” tanya Bu Siti.

“Tidak.”

Merasa tidak ada yang perlu di bicarakan, Bu Siti pun memilih masuk untuk merapikan beberapa pekerjaan di dapur. Wanita itu terkesiap saat melihat Bella sedang mencuci beberapa piring.

“Non, jangan. Nanti Tuan marah, Non lebih baik duduk.”

“Bu, enggak apa-apa. Masa membantu saja Tuan marah, kecuali saya kabur,” ucapnya dengan senyum.

Bella kembali mengelap piring, ia pun sejak malam memikirkan keluarganya yang mungkin berpikir jika dirinya aman bersama dengan sang suami. Akan tetapi, jauh berbeda dengan apa yang mungkin mereka pikirkan.

Bella berada di rumah megah yang mungkin dulu menjadi impiannya, tapi kini ia memastikan tak akan bahagia apalagi bersama dengan Tuan El yang telah membelinya.

Kali ini Bella terlihat sangat berbeda. Wajahnya pun tidak terlihat pucat, lalu matanya sudah tak ada bekas menangis. Bella benar-benar sudah beradaptasi dengan keadaan.

Tuan El muncul sembari memperhatikan Bella. Sedikit rasa bersalah telah membuat wanita itu menderita, tapi ia pun tak bisa membiarkan dirinya berada di tangan Edo yang bisa saja menjualnya pada orang lain.

“Sepetinya kamu sudah siap menjadi Nyonya Elvaro,” ujar Tuan El.

Bella menoleh pada sumber suara, pria itu berdiri dengan memasukkan kedua tangan ke saku. Pesona Tuan CEO itu sedikit membuat Bella tak berkedip, tapi ia kembali menyadarkan diri bahwa pria di hadapannya sama saja seperti Edo, suaminya.

“Aku tidak punya pilihan bukan, tetap di sini dan menjadi tawananmu.” Seulas senyum terpancar dari bibir Bella. Namun, tangan kecilnya mengepal keras dengan menahan segala emosi.

“Calon istriku tepatnya,” ujar Tuan El meralat.

“Sama saja. Aku tak bisa bergerak di sini, anggap saja aku tawananmu.”

“Iya, tawanan cinta. Apa kau tidak merasakan sesuatu saat melihat aku?”

“Melihat apa, tidak ada yang spesial kecuali jiwa aroganmu. Lagi pula, aku tidak tahu bagaimana latar belakang dirimu. Apa kamu masih single atau pria beristri yang tidak puas dengan satu wanita.”

Suasana menjadi panas, tatapan keduanya begitu tajam hingga membuat Bu Siti tidak nyaman. Bella yang tadinya mencoba tenang, ini terbawa emosi.

“Cukup sudah, Non Bella. Lebih baik Non duduk, Ibu siapkan masakan, hampir sore. Kalian mau makan malam bukan?”

“Tidak.” Keduanya berbarengan menjawab.

Bu Siti menelan saliva, lalu membaurkan keduanya saling pandang. Tuan El merasa geram karena sejak tadi Bella seolah-olah menantang dirinya. Namun, saat menelisik dari atas hingga kaki, Tuan El akhirnya menemukan sesuatu yang ada di diri Bella.

“Bella, hari ini kamu cantik dengan drees merah selutut itu.” Tuan El memandang penuh takjub.

Sontak rona wajah Bella berubah merona sebab beberapa kali pria itu terus memuji. Bella menunduk malu, sedangkan Tuan El malah melangkah menghampirinya.

Bella masih menunduk sampai ia melihat kedua kaki Tuan El berada tidak jauh dari posisinya. Ia sadar jika wajahnya terangkat, Bella akan melihat wajah pria itu sangat dekat.

Bella memundurkan langkahnya, sayangnya Tuan El menangkap tubuhnya hingga mendekap ke pelukan tubuh besarnya.

“Ehem, Tuan. Jangan lupa belum halal dan ada saya.”

Comments (1)
goodnovel comment avatar
fitri sabana
banyak yg typo kak
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status