Viana menangis, selain syok jatuh dari ketinggian 3 meter, dia juga trauma dengan sakit sekejab yang baru dia rasakan. Dia tidak menyangka, sesakit itu saat tubuh kekurangan oksigen akibat arteri karotis tertekan.
“Apa aku membuatmu senang?” olok Teofilano.
Beberapa saat lalu Teofilano menembak tali Viana hingga putus sesaat setelah kaki perempuan itu menggantung. Selain tahu Viana berubah pikiran, dia masih penasaran dengan Viana kenapa bisa begitu mirip dengan Lauren—perempuan yang pernah menolongnya.
“Menyebalkan!”
Teofilano tertawa, “Bagian mana yang menyebalkan, Viana?”
Viana tahu, Teofilano tidak mungkin tulus menolongnya, “Saya nggak minta tolong sama Bapak! Kenapa Bapak tolong saya?!”
“Ah ya, kamu benar. Kamu terlalu seksi, sampai aku tidak bisa berpikir.”
Kepala Viana menunduk, ‘Kurang ajar!’
Viana segera menutup pahanya yang dikonsumsi Teofilano.
“Rey,” panggil Teofilano, tanpa mengalihkan pandangan sedikitpun dari Viana.
“Ya, Pak.”
“Di mobil masih ada kondom kan?” Teofilano menggoda Viana.
“Masih, Pak,” sahut Reynhart.
“Ambilkan satu!”
Saat ini, sulit bagi Viana untuk tidak berpikir macam-macam mendengar ucapan Teofilano, “Ba—Bapak mau apa?”
“Melanjutkan yang tadi pagi. Yang belum tuntas saat Cintya datang.”
Viana kelabakan. Tidak tahu apa yang harus dilakukan jika Teofilano benar-benar melakukan hal menjijikkan itu di gudang kosong ini. Saat ini dia teringat berita di surat kabar yang sedang heboh. Seorang korban pemerkosaan yang dimutilasi oleh pelakunya.
Semakin lama wajah Viana semakin pucat, melihat Teofilano berjalan ke arahnya setelah menerima alat kontrasepsi itu dari tangan Reynhart.
“Ba—Bapak ti—tidak mungkin kan melakukannya di sini?”
“Kenapa tidak?” tanya Teofilano, ingin tertawa melihat segan di wajah Viana.
Viana terus mundur, “Jangan, saya mohon jangan.”
“Kamu mau di tempat lain?” Teofilano tidak percaya, Viana lebih takut dia sentuh dari pada mati. Tahu gitu dia lakukan ini sejak tadi.
Viana menahan dada Teofilano sembari membuang wajah ke samping, menghindar dicium pria itu. Tapi hingga beberapa detik, Viana bingung Teofilano tidak kunjung menyentuh pipinya.
“Mau di tempat lain?” ulang Teofilano.
Viana bingung menjawab pertanyaan tricky Teofilano. Dijawab mau, takut dibawa ke mansion. Dijawab tidak, takut Teofilano melakukan hal tak senonoh itu di sini. Serba salah.
“Ku hitung sampai 3, kalau tidak bisa menjawab, aku yang memutuskan.”
“Apa?” Viana tidak percaya Teofilano mendesaknya.
“1,” Teofilano tidak peduli, dia mulai menghitung.
Viana panik, belum bisa memutuskan jawaban yang akan diberikan kepada Teofilano, “Sa—saya—”
“2,” lanjut Teofilano, sengaja memotong kalimat Viana.
“Pak! Jangan cepet – ce—”
“3,” Teofilano tersenyum evil, “Kamu ke mansion malam ini.”
Viana menghadiahi dada Teofilano dengan satu pukulan “Bapak curang! Cepet sekali ngitungnya!”
“Bukan aku yang cepet, Viana. Kamu yang kelamaan mikir.”
Rahang Viana jatuh, ada ya orang salah tidak mau disalahkan?
Teofilano mengikat rambut panjang Viana dengan kondom yang dia buka, “Cantik.”
Viana baru bernafas lega setelah Teofilano menjauh, “Bapak nggak memutilasi saya kan setelah itu?”
Teofilano menoleh ke belakang, meskipun tidak bisa menangkap sosok Viana, dia yakin perempuan itu saat ini takut dengan berita yang meresahkan kota Triodes.
“Tergantung,” meski begitu, dia tetap menggoda Viana.
Viana meraih jemari Teofilano. Polisi mengatakan, mereka belum menemukan pelakunya. Entah kebetulan atau kenyataan, dari 5 korbannya semua diberi inisial T.
Mungkinkah itu Teofilano?
Teofilano tertawa melihat Viana ketakutan, “Sebab itu bersikap baiklah kepadaku, supaya aku tidak memutilasimu.”
Viana takut setengah mati. Dia tidak berani membantah Teofilano setelah itu.
Saat ini Viana berada dalam mobil Teofilano. Mereka dalam perjalanan menuju mansion. Dari jauh Viana melihat pos polisi lalu lintas.
Viana menoleh ke Teofilano yang fokus dengan layar ponselnya. Mungkin, ini satu – satunya cara agar bisa lepas dari Teofilano.
Dug! Dug! Dug!
“Tolong! Tolong saya!”
Viana menempelkan wajahnya ke kaca mobil, menggedor dan meminta tolong. Tindakannya itu tertangkap mata polisi lalu lintas.
“Viana!” Teofilano geram. Masalah satu belum usai, Viana sudah membuat ulah lagi.
Usai menuduh Galla mengungkit pemberiannya, Jasmine beranjak dari kursi, meninggalkan Galla yang kehabisan kata-kata.Galla baru saja duduk tenang saat ini ketika ponselnya berdering. Dia angkat telpon.“Ada apa, Ma.”“Kamu apakan Jasmine?!”Galla memejamkan mata sejenak mengumpati Jasmine. Cepat sekali perempuan itu lapor pada Mamanya. “Nggak ku apa-apain.”“Nggak mungkin! Jasmine nggak bakal nangis kalau nggak kamu apa-apain!” berang Vonny.“Ada selisih paham sedikit.”Vonny berdecak. “Kamu itu ngerti nggak sih?! Jasmine sedang hamil anak kamu. Kamu harusnya jaga suasana hatinya tetap happy, bukan malah dibikin sedih seperti ini! Huh! Heran Mama sama kamu. Dikasih tahu nggak ngerti-ngerti!”Galla tahu Mamanya sekarang berubah padanya. Mamanya tak sesabar dulu. Sebab itu Galla mengalihkan pembicaraan. “Adalagi?”“Cepet ceraiin Viana dan nikahin Jasmine! Perutnya sudah mulai besar, apa kamu nggak malu sama keluarganya kalau nunda terus?!”Galla tidak menjawab Vonny. Bahkan dia sudah m
Viana tak berani menatap mata Galla karena takut pria itu tahu bahwa dia berbohong. Viana melangkah menuju walk in closet. Berganti baju dan mencari pil pencegah kehamilan yang dia simpan di dalam tumpukan bajunya.Viana memandang pil itu. Entah sampai kapan dia harus minum pil agar tidak hamil karena Teofilano tidak berhenti-berhenti mengajaknya berhubungan badan sementara Galla tidak mau melepaskannya. Padahal dia takut kandungannya kering jika kelamaan mengkonsumsi obat-obatan seperti ini.Usai minum pil Viana duduk disamping Galla. “Kamu sibuk?”“Nggak terlalu, kenapa?”“Nggak apa.” Viana merangkul Galla sembari meletakkan dagunya di atas bahu pria itu. Melihat layar laptop Galla yang isinya berita ekonomi.Galla menoleh ke Viana, melempar senyum sebelum mengecup bibirnya yang tanpa lipstik. “Aku seneng kamu seperti ini.”“Seperti ini apa?” Viana tidak mengerti.“Kamu memelukku sembari menaruh dagumu di atas bahuku.”Viana tersipu malu. Ini tindakan tak sengaja, tak menyangka Gall
“Trus kamu percaya gitu aja tanpa tanya ke aku?”“Pikirku tanya juga percuma, pasti kamu nggak akan ngaku.” sesal Cherry.Viana hanya bisa menarik nafas, mencoba mengerti Cherry, meski kecewa.Perlahan hati Viana melunak, tidak jadi kesal setelah mendengar cerita Cherry. Sekarang perhatiannya pindah ke Jasmine, Viana tidak menyangka selingkuhan Galla itu mencoba merusak persahabatannya dengan Cherry.Cherry mengulurkan tangan kepada Viana. “Aku minta maaf.”“Ya.” Viana menerima uluran tangan Cherry. Lalu pelukan.“Aku punya rahasia satu lagi.”Viana mengurai pelukan Cherry. “Apa itu?”“Sambil duduk ya, aku capek.”Viana tidak menolak, dia menyusul Cherry duduk di sofa. Penasaran sekaligus gelisah menyergap hatinya, menunggu Cherry menceritakan rahasia selanjutnya.“Well shop yang bikin kamu bangkrut ternyata Jasmine.”Viana tercenggang. “Yang bener.”“Jadi gini. Tiap 3 bulan sekali keluarga Ibu mertuaku ngumpul sama keluarga besar. Tempatnya pindah-pindah. Misal bulan ini di rumah Ib
Dimata Viana, Cherry dulu tomboy dan apa adanya. Tapi setelah menikah menjadi feminim dan seperti bukan dirinya. Viana tahu seiring bertambah usia cara berpikir orang berubah. Makin dewasa dan bijaksana.Kecuali dirinya. Dia tidak mau jadi dewasa karena orang dewasa banyak masalah. Dia tetap ingin menjadi anak kecil yang selalu dilindungi dan dicintai, tak perlu menguatirkan apapun meskipun bumi gonjang ganjing karena tahu ada yang melindungi.Viana memperhatikan Cherry yang tiba-tiba acuh tak acuh padanya. ‘Apa dia sedang PMS?’Ada banyak pertanyaan di kepala Viana. Namun akhirnya memilih diam. Bukankah sudah terlalu sering dia tiba-tiba didiami seperti ini?Viana tidak akan marah, karena sudah latihan sama Vonny dan Gustav.“Cherry aku mau pulang dulu, mataku sudah mulai ngantuk,” pamit Viana. Lalu mengambil tote bag miliknya yang di dalamnya ada ATM dengan saldo 100 juta dollar.‘Jika Cherry tak mau menganggapku sahabatnya lagi, aku akan bersahabat dengan uang mulai sekarang, karena
Viana tidak lupa, tapi tetap saja tidak enak hati kepada Cintya setelah melayani Teofilano sampai tidak kuat berdiri lagi. Jujur saja dia berpikir, jika Teofilano mau seperti ini dan 3x seminggu, kapan waktu untuk Cinta dan Lauren?Viana tahu rasanya diselingkuhi. Dulu dia pikir Galla tak memberinya nafkah batin karena dia tidak menarik, jelek dan perasaan rendah diri tak berdaya lainnya. Ternyata karena sudah puas di luar. Viana tidak mau Cintya dan Lauren tidak kebagian apa-apa seperti itu.Viana : Bagaimana jika kita membuat kesepakatan?Nomor tak dikenal : Apa?Viana : Kita tidak melakukan hal itu lagi sampai kita menikah.Lama Viana menunggu balasan dari Teofilano, tapi tak muncul-muncul sampai dia kembali mengajak bicara Dion. “Kamu yakin mau nungguin aku?”“Iya, yakin. Sudah sana main.”Viana merasa Dion memperlakukannya seperti anak kecil yang butuh main. Akhirnya Viana turun. Berjalan mendekati pagar rumah Cherry lalu menekan bel.“Olive, Tante datang.” Viana memanggil nama a
“Apa ada jalan hidup jadi pelacur?” tanya Viana ketika Teofilano keluar dari kamar mandi dengan handuk hitam polos melilit tubuh bagiaan bawahnya yang mengingatkan akan keperkasaannya di ranjang.Teofilano menatap Viana sekilas sebelummengambil remot AC untuk menyejukkan suhu ruang menjadi 18 derajat celcius. “Kenapa kamu tanya seperti itu?”“Hanya tanya.”Teofilano menatap wajah putih dan rapuh Viana yang seperti tisu. “Kurasa Tuhan tidak pernah membuat jalan hidup seperti itu.”“Lalu kenapa kamu membuat jalan hidupku seperti pelacur?”Teofilano menutup tirai. Ruangan yang tadinya terang karena sinar matahari berubah menjadi gelap. Segelap hati Teofilano setelah melihat orang tuanya ditusuk pisau sampai mati oleh Ayah Viana—Nit King.Sekarang, anak Nit King ada di depannya—polos dan ringkih. Bertanya kenapa dia menjadikan anak itu pelacur. Apa yang harus dia katakan?Teofilano naik ke ranjang mencekik leher Viana dengan tangan kirinya sementara tangan kanan mengepal siap meninju.Vian
Viana meletakkan 1 botol air mineral dan sandwich isi telur, tomat, saus sambal ke pangkuan Teofilano.“Makan! Aku tidak mau kamu pingsan.”Teofilano tertawa. “Terima kasih, Viana. Kuhargai meski kamu memerhatikanku dengan marah-marah. Bukan karena pemberianmu, tapi karena kamu mengingatku dan kepikiran untuk memberi ini.”Ya. Bagi Teofilano hal terindah dari sebuah pemberian adalah orang itu mengingatnya, bukan pada nilai barangnya.Mobil yang Viana tumpangi perlahan bergerak meninggalkan rumah Galla. Seperti biasa, setiran Teofilano sangat halus, baik saat pindah gigi, mengerem, pindah haluan atau mendahului mobil lain. Padahal mobil ini manual.Meski marah, Viana memuji cara Teofilano menyetir mobil, dalam hati. Viana memperhatikan cara Teofilano menyetir mobil. Tangan kiri di tuas gigi, tangan kanan di setir, pandangan lurus ke depan.Viana akui Teofilano memang menggoda imannya. Pertama, pria ini matang dan dewasa. Ya, entah kenapa dari dulu Viana suka pria-pria seperti itu, mata
“Pulanglah,” tolak Viana.“Lamaran kerjamu ditolak.”“What?!” Viana terkejut, sebab dia berharap mendapatkan pekerjaan itu.“Ya. Karena kamu kekeh tidak mau waktu itu makanya diisi orang lain.”Bahu Viana merosot, tidak sadar responnya itu menggundang senyum lawan bicaranya. Akhirnya Teofilano tidak tahan menggoda Viana.“Orang lain itu Stevanie Laurencia King.”“Gak lucu!” Viana kesal merasa dibuat mainan oleh Teofilano. Pria itu dari dulu kalau tidak memaksa ya memperlakukannya seperti anak kecil. Ya. cuma dua hal itu yang dia rasakan sepanjang kenal Teofilano.Viana kesal Teofilano tak berhenti menertawakannya padahal tidak lucu. Dia masuk ke dalam rumah dan mematikan telpon.‘Beberapa tahun bersamaku, tak membuatmu benar-benar mengenaliku. Pikirmu aku takut CCTV? Kamu benar-benar meragukan caraku menyelesaikan masalah!' batin Teofilano sembari terkekeh."Ahh! Oouchh! Pak Teo stop!" Teofilano menirukan desahan Viana, mencibir. "Akan ku buat seminggu 3x kamu melenguh karenaku, Viana
"18.000 dollar!" Vonny melongo, tak menyangka segitu banyaknya uang yang Galla gelontorkan untuk perempuan tak berguna ini! Vonny belum pernah mengurus orang mati, jadi tidak punya gambaran biayanya. Dia hanya menebak tak mungkin dibawah 5.000 dollar karena peti mati Kakek Viana sangat bagus. Ya. Galla menghabiskan uang untuk beli peti mati. Peti yang dia beli dari salah satu pelanggan restorannya itu hampir menelan 70% dari total biaya yang dia keluarkan untuk pemakaman sederhana di tempat pemakaman umum pula. Tak beda jauh dari Vonny, Viana juga terkejut. Viana terkejut, sebanyak itukah sebanyak itukah biaya pemakaman Kakeknya? tapi dia sudah mengambil keputusan tak mau hutang se sen pun kepada keluarga ini. Meski miskin dan tak berguna, Viana tidak mau merepotkan apalagi merugikan orang lain. Begitulah caranya menghargai diri sendiri. "Udah termasuk biaya rumah sakit, ambulan, dan lain-lain?" Viana memastikan Galla sudah menghitung semuanya. "Sudah!" "Ok, akan ku cicil ti