LOGINBita menatap lekat pantulan dirinya di cermin kamar hotel. Tubuhnya yang ayu kini terbalut dress berbahan tipis dengan belahan dada rendah. Pakaian itu terasa asing dan memalukan di kulitnya.
Sebelumnya, Pak Hendy menginstruksikan Bita agar membelanjakan uang sepuluh juta itu untuk membeli beberapa pakaian yang indah dan seksi. Dengan uang itu pula Bita diminta melakukan perawatan lengkap di salon kecantikan. Pak Hendy beralasan, penampilan Bita yang menarik sangat dibutuhkan saat bertemu dengan klien perusahaan. Kini, di kamar hotel mewah inilah Pak Hendy memintanya mewakili untuk menemui seorang klien penting karena ia berhalangan hadir. Tugas Bita hanyalah sebagai marketing dari produk yang dipasarkan oleh perusahaan Pak Hendy. Bita tertegun sendiri, ‘Kenapa rasanya janggal, ya? Disuruh membeli pakaian seksi, perawatan kecantikan, lalu menemui klien perusahaan untuk memperkenalkan produk di dalam kamar hotel? Apa sepenting itu sehingga harus dilakukan di dalam kamar?’ Bita mulai ragu. Firasat buruk segera muncul dan menusuk hatinya. Ia menyadari bahwa ia mungkin telah jatuh ke dalam perangkap yang kejam. ‘Tidak! Ini cukup mencurigakan!’ Ia segera menghubungi ponsel Pak Hendy. “Pak, maaf, saya sepertinya tidak bisa melanjutkan pekerjaan ini. Saya mohon ijin pamit,” ujarnya penuh penekanan. Pak Hendy menanggapinya dengan tenang. “Bita, kamu jangan keras kepala begitu. Jika kau butuh pekerjaan, lakukan saja tugas itu. Lagipula, apa kau sanggup mengembalikan uang itu sekarang juga jika mundur?“ Bita tercekat. Uang sepuluh juta itu kini hanya tersisa beberapa juta setelah digunakan untuk membeli pakaian dan perawatan kecantikan sesuai instruksi Pak Hendy. Ia tidak memiliki uang cukup untuk mengembalikannya saat ini juga. “Ba-bapak menjebak saya? Ini penipuan, Pak!“ emosi Bita menanjak. Air matanya sudah menggenang di kelopak matanya. Dari seberang telepon, Pak Hendy tetap menanggapi dengan tenang. “Menjebak? Jangan begitu, Bita. Aku yang menolongmu untuk mendapatkan pekerjaan. Kenapa pikiranmu sepicik itu?!“ Bita tak menjawab lagi. Tubuhnya mendadak terasa lemas. Ponselnya luruh diatas karpet tebal kamar hotel. — Bita masih berkutat dengan keresahannya saat tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu kamar hotelnya. Tok! Tok! Bita terlonjak kaget karena tadi ia sedang melamun, tenggelam dalam penyesalan atas keputusannya menerima uang Pak Hendy. Jantungnya berdebar kencang, memukul-mukul rusuknya dengan irama tak beraturan. Ia menahan napas sejenak, mencoba menenangkan diri, menyadari bahwa ia tidak punya pilihan lain selain bekerja pada Pak Hendy. Dengan langkah perlahan, ia berjalan menuju pintu, setiap gerakan terasa berat dan menekan. Ia meraih gagang pintu dan membukanya dengan sangat hati-hati, seolah takut dengan sosok yang akan ia temui di baliknya. Saat pintu terbuka, Bita terpana. Di depan pintu, sedang berdiri seorang pria yang jauh dari gambaran pria paruh baya yang membosankan. Pria itu tampak sangat tampan dan berwibawa, memancarkan aura kelas atas yang kuat. Wajahnya memiliki rahang tegas dan hidung mancung, menunjukkan karakter yang matang dan dominan. Ia mengenakan setelan jas mahal yang dipotong pas di badan, membalut tubuhnya yang tegap dengan sempurna. Rambut pendeknya disisir rapi ke belakang, memberikan kesan profesional dan bersih. Usianya sekitar tiga puluh lima tahun, dan yang paling menarik perhatian Bita adalah tatapannya; tenang, namun mendominasi. Tatapan yang membuat Bita merasa diperhatikan secara menyeluruh. Bita langsung merasa inferior di hadapan sosok karismatik itu, tetapi ia memaksakan dirinya untuk bersikap profesional sesuai instruksi Pak Hendy. Ia segera menyapa, berusaha menyembunyikan getaran dalam suaranya. "Selamat pagi. Apakah ini Bapak Gelar Aditama yang sudah membuat janji dengan Pak Hendy?" Pria tampan itu tersenyum tipis, sebuah senyum yang elegan dan menggetarkan hati Bita. Senyumnya tidak ramah berlebihan, melainkan penuh percaya diri. "Selamat pagi," balas Gelar Aditama. Suaranya berat dan dalam, seperti resonansi cello. "Ya, aku Gelar Aditama." Pria itu lantas membalas pertanyaan dengan pertanyaan, "Dan kamu Sabita?" Bita mengangguk, terkejut karena namanya sudah diketahui. "Benar, saya Sabita. Maaf, saya—" Gelar segera memotong, tanpa meminta izin, seolah ia adalah pemilik ruangan itu. "Tidak perlu basa-basi. Aku datang untuk urusan yang sudah kita sepakati melalui Pak Hendy." Ia melangkah maju, memangkas jarak antara mereka. "Maaf, aku tidak suka membuang waktu. Aku yakin kamu juga." Bita mundur selangkah, memberi ruang bagi Gelar untuk masuk. Pria itu masuk ke kamar hotel, mengabaikan kemewahan interior, seolah sudah terbiasa dengan lingkungan semacam itu. Gelar berdiri di tengah ruangan, matanya kembali menatap Bita dari ujung kaki hingga ujung kepala, menilai penampilan Bita yang dibalut dress seksi. Tatapannya membuat Bita merasa telanj*ng, meskipun ia masih mengenakan pakaian. Bita berusaha menjelaskan tugasnya sebagai marketing. "Pak Gelar, Pak Hendy berhalangan hadir. Saya diminta untuk mewakilinya dalam urusan marketing produk perusahaan. Bisakah kita mulai pembahasannya sekarang? Atau mungkin Anda butuh materi presentasi?" Gelar Aditama tidak menjawab, ia hanya memiringkan kepalanya sedikit, seolah bingung dengan perkataan Bita. Ia kemudian melepaskan setelan jasnya, menyampirkannya dengan rapi di sandaran kursi. Kemeja putihnya yang mahal menunjukkan otot lengan yang tegap. "Produk perusahaan?" tanya Gelar, nadanya sedikit mengejek. "Aku tidak tertarik dengan materi presentasi, Sabita." Bita merasa bingung dan cemas. "Maksud Anda? Saya tidak mengerti. Bukankah Pak Hendy—" "Ya, aku memang memesanmu melalui Pak Hendy," potong Gelar, kembali menatap mata Bita dengan tatapan mendominasi. Duarr! Bita tercekat, ketakutan yang sesungguhnya mulai menjalar ke seluruh tubuhnya. Ia merasakan darahnya berdesir dingin. "Memesan? Memesan apa?" tanya Bita, suaranya kini bergetar, hampir tak terdengar. Ia berharap ia salah dengar. Ia berharap Gelar sedang membicarakan produk yang dipesan, bukan dirinya. Gelar Aditama tersenyum kecil, sebuah senyum yang kini terasa dingin dan penuh makna. "Jangan naif, Sabita. Bukankah kamu sudah tahu sejak kamu mengenakan pakaian itu dan datang ke kamar hotel ini? Aku memesan dirimu." # #Bita menggeleng pelan. "Jangan menyimpulkan hal yang kau sendiri ragu akan kesimpulannya," ucap Bita, mengacu pada pertanyaan Gelar sebelumnya.Wajah Bita kini telah kembali tenang, menyembunyikan rapat-rapat semua gejolak emosi yang sebelumnya membakar dirinya. Setelah waktu yang lama di kamar mandi, ia menyadari bahwa ia tidak bisa hanya terus marah dan menangis. Kemarahan tidak akan membawanya keluar dari masalah ini. Ia tahu, ia harus tenang, berpikir cerdas, dan menemukan jalan keluarnya sendiri.Bita menarik napas, kini siap melancarkan strateginya. "Bagaimana jika kita membuat kesepakatan?"Gelar mengerutkan kening, merasa aneh dengan kata-kata Bita. Kesepakatan? Itu adalah bahasa bisnis, bukan bahasa tubuh yang ia harapkan dari wanita yang ia bayar."Kesepakatan? Apa maksudmu?" tanya Gelar, kini ia setengah duduk, perhatiannya sepenuhnya terpusat pada Bita.Bita berdiri dari kursi persegi dan berjalan perlahan di sisi ranjang, menjaga jarak, namun memancarkan aura keyakinan ya
Gelar Aditama berusaha menjaga rona wajahnya agar tetap terlihat tenang, tidak terpengaruh oleh gejolak emosi Bita. Ia menatap Bita, yang masih memendam amarah dan kesedihan."Aku bukan sombong, tapi lebih ke arah respek," kata Gelar, suaranya datar, mencoba menjustifikasi tindakannya yang terasa begitu dingin. "Karena sebenarnya, pelanggan seperti aku ini tidak perlu tahu masalah apa yang sedang kamu hadapi, karena aku membayar untuk mendapatkan kesenangan, bukan air mata."Ia sedikit menjeda. "Jadi, dengan aku memberikan respekku padamu seperti ini, itu adalah nilai lebih yang kuberikan."Bita membuang muka, menoleh ke arah jendela kamar hotel yang menyajikan pemandangan ibu kota yang luas."Tidak perlu," jawabnya lirih.Dalam hati Bita, ia merasa harga dirinya benar-benar terinjak-injak. Ia merasa direndahkan ke tingkat yang paling hina. Status wanita yang 'dibayar' terasa tak ubahnya seperti ranjang: hanya bisa ditiduri, pasrah, tanpa memiliki hak untuk berbicara atau mengungkapka
Di atas ranjang king size yang mewah, Bita tergolek lemah tanpa busana, hanya diselimuti oleh selimut putih hotel yang tebal. Kehangatan selimut itu terasa kontras dengan dinginnya kehampaan yang menjalar di hatinya. Di sampingnya, Gelar yang juga tanpa busana tampak sedang asyik membuka ponsel dan membalas pesan, seolah-olah apa yang baru saja terjadi hanyalah interupsi kecil dalam jadwal hariannya.Mata Bita nanar menatap langit-langit kamar yang tinggi. Tatapannya kosong, tanpa gairah, tanpa semangat. Batinnya berbisik, suara yang lirih namun menusuk. ‘Aku sudah melakukan itu… Dia sudah menggagahiku.’Perlahan, air mata Bita menetes, membasahi bantal lembut di bawah kepalanya. Air mata itu adalah luapan dari rasa kecewa, penyesalan, dan kemarahan yang begitu dalam, yang kini bercampur menjadi satu adonan pahit. Ia merasa hancur, terlampau rapuh, dan tertipu.Ia masih terdiam, pikiran-pikiran buruk mulai berputar di kepalanya. Apakah ini pekerjaan yang ia cari?Ia merantau ke ibu ko
Bita melangkah mundur dengan tergesa-gesa, wajahnya pucat pasi, hingga punggungnya mendapati dinding dingin kamar hotel. Ia menempel pada permukaan itu, tak bisa mundur lebih jauh lagi."Tidak, apa maksud Anda? Saya tidak untuk dipesan," ucap Bita, suaranya sedikit bergetar, namun ia berusaha keras mempertahankan ketenangan. "Saya menunggu Anda di sini untuk memperkenalkan produk perusahaan milik Pak Hendy."Gelar Aditama tersenyum, senyuman yang kini terasa sangat meremehkan, bahkan terkesan galak. Ia tidak bergerak mendekat, namun tatapannya mengunci Bita dengan intensitas yang mengintimidasi."Wow, nampaknya ada drama di antara kamu dan Pak Hendy," ujar Gelar santai, ia kemudian mengambil langkah kecil ke samping, seolah mengamati situasi. "Maaf, itu bukan urusanku."Ia kembali menatap Bita. "Yang menjadi urusanku sekarang adalah menikmati apa yang sudah kupesan. Dan perlu kau tahu, aku sudah mentransfer sejumlah uang muka yang tidak sedikit pada bosmu itu."Kepala Bita terasa berd
Bita menatap lekat pantulan dirinya di cermin kamar hotel. Tubuhnya yang ayu kini terbalut dress berbahan tipis dengan belahan dada rendah. Pakaian itu terasa asing dan memalukan di kulitnya.Sebelumnya, Pak Hendy menginstruksikan Bita agar membelanjakan uang sepuluh juta itu untuk membeli beberapa pakaian yang indah dan seksi. Dengan uang itu pula Bita diminta melakukan perawatan lengkap di salon kecantikan. Pak Hendy beralasan, penampilan Bita yang menarik sangat dibutuhkan saat bertemu dengan klien perusahaan.Kini, di kamar hotel mewah inilah Pak Hendy memintanya mewakili untuk menemui seorang klien penting karena ia berhalangan hadir. Tugas Bita hanyalah sebagai marketing dari produk yang dipasarkan oleh perusahaan Pak Hendy.Bita tertegun sendiri, ‘Kenapa rasanya janggal, ya? Disuruh membeli pakaian seksi, perawatan kecantikan, lalu menemui klien perusahaan untuk memperkenalkan produk di dalam kamar hotel? Apa sepenting itu sehingga harus dilakukan di dalam kamar?’Bita mulai ra
Sabita duduk terpekur di atas ranjang kecilnya. Matanya sembab, bekas tangis luap kesedihan yang tadi ia tahan mati-matian di depan Pak Kusen dan Ibunya. Ia meratapi nasibnya yang terasa begitu pahit. Pikirannya dipenuhi amarah dan tekad.‘Ini sudah melewati batas. Aku tak bisa terus-menerus membiarkan mereka bertindak sesuka hati untuk hidupku. Ini tak bisa dibiarkan. Aku harus mengambil langkah!’ bisik Bita dalam hati.Bita bangkit dari ranjang, membuka laci kecil dalam lemarinya, menghitung uang tabungan yang selama ini ia kumpulkan. ‘Uang ini cukup untuk membawaku pergi dari sini. Bukan untuk menghindari masalah, namun agar mereka bertanggung jawab menyelesaikan masalah yang mereka timbulkan sendiri,’ lanjutnya.Tanpa banyak kata, Bita mulai mengemas beberapa pakaiannya yang masih layak. Tujuannya adalah pergi ke Jakarta untuk menemukan masa depannya sendiri, terlepas dari intervensi Pak Kusen dan Ibunya.—Di Jakarta, Bita berhasil menyewa sebuah kamar kos sederhana yang ukuranny







