Lorong VIP rumah sakit begitu tenang. Lampu-lampu di langit-langit menyinari lantai yang mengilap, aroma antiseptik menyatu dengan dinginnya udara AC. Pintu bertuliskan VIP Eksklusif terbuka perlahan, menampilkan pemandangan dua perawat perempuan yang baru saja keluar. Mereka tersenyum ramah pada Sarah dan Indra, lalu berlalu.Sarah menahan napas, dadanya sesak. Ia menatap ke dalam ruangan.Bondan terbaring di ranjang dengan selang infus menempel di tangannya. Wajahnya pucat, matanya terpejam rapat. Helaan napasnya pelan, seolah tubuh itu sedang berjuang melawan rasa sakit.“Bondan belum siuman,” ucap Indra pelan, nyaris berbisik.Namun baru saja kalimat itu selesai meluncur, terdengar suara serak tapi jelas dari ranjang.“Aku sudah sadar. Hanya operasi pengangkatan peluru di lengan. Cuma nyerempet.”Sarah terperanjat. Indra spontan menoleh.“Astaga … cuman katamu?” Sarah melangkah cepat ke sisi ranjang, menatap lengan Bondan yang dibalut perban tebal. “Kamu bisa kehilangan nyawa, Da
Rina berdiri terhuyung di bawah payung kecil yang nyaris tak mampu melindungi tubuh mereka berdua. Nafasnya memburu, bukan hanya karena dingin, tapi karena bibir Fahmi baru saja melumat bibirnya tanpa ampun.Dan anehnya, ia tidak mendorong pergi.Ia membiarkan. Ia menikmati. Ia kehilangan kendali.“Mi ….” Suara Rina lirih, terhenti di antara helaan napas.Fahmi tidak menjawab. Ia kembali meraih wajah Rina, menempelkan keningnya di kening perempuan itu. Tatapannya tajam, penuh rasa yang menuntut diakui. “Aku udah terlalu lama nahan, Rin. Aku nggak bisa lagi pura-pura nggak peduli.”Rina menelan ludah, tubuhnya bergetar. “Tapi … ini salah ….”“Terserah orang mau bilang apa. Aku cuma tahu … aku butuh kamu.” Suara Fahmi terdengar parau, nyaris pecah oleh hasrat yang sudah tak bisa ia bendung.Rina tak sempat lagi mengelak. Bibir Fahmi kembali menubruk bibirnya, lebih dalam, lebih liar. Hujan deras jadi musik pengiring, menenggelamkan suara debar jantung mereka.Rina mendesah kecil, jemari
“Aku lihat dari tadi kamu gelisah, Rin. Kamu nggak bisa tidur, kan?” suara Fahmi tiba-tiba memecah keheningan kamar rumah sakit yang dingin.Rina menoleh pelan, matanya masih sembab. Ia duduk di kursi dekat ranjang ibunya, memegang jemari Bu Ratih yang terlelap dengan selang oksigen masih menempel. “Aku … takut, Mi. Takut Mama kenapa-kenapa kalau aku tinggalin sebentar.”Fahmi melangkah mendekat, tangannya masuk ke saku celana jeans. “Perawat di luar bisa jagain. Kita cuma keluar sebentar. Kamu butuh makan, Rin. Kopi juga biar nggak makin drop. Biar semangat.”Rina tersenyum tipis, lalu menggeleng cepat. “Nggak usah, Mi. Aku nggak lapar.”“Lapar nggak lapar, kamu tetep harus isi perut. Aku tahu kamu dari sore belum makan bener.” Suara Fahmi lembut tapi tegas. “Kalau kamu sakit, siapa yang jagain Mama kamu?”Rina terdiam. Kata-kata itu masuk di telinganya, meski hatinya masih berat. Ia menoleh ke mamanya yang tertidur tenang, lalu menghela napas panjang. “Ya udah … tapi sebentar aja, M
Rina masih berdiri di depan pintu ruang rawat, ponsel menempel di telinganya. Suara Ervan di seberang begitu jelas terdengar, datang bersama nada yang menusuk jantungnya.“Aku di rumah sakit, Van. Mama sakit, dirawat di sini,” ucap Rina akhirnya, dengan suara serak menahan tangis. “Aku tadi buru-buru ke sini, jadi belum sempat kasih kabar.”Beberapa detik hening. Lalu terdengar helaan napas berat dari seberang. “Mama kamu sakit?” tanya Ervan singkat.“Iya, Van … Mama drop mendadak. Aku panik. Aku di sini dari sore." Rina menjawab setengah berbohong karena ia baru datang sekitar hampir jam sebelas malam.Ervan tidak langsung menjawab. Hanya bunyi tarikan napasnya yang terdengar. Ada jeda panjang, yang sempat membuat hati Rina berharap. Mungkin, kali ini Ervan akan mengatakan sesuatu yang hangat. Mungkin ia akan langsung menyusul ke rumah sakit.Namun, harapan itu buyar seketika.“Aku nggak bisa ke sana. Besok aku full operasi. Tiga jadwal sekaligus. Aku nggak bisa ninggalin. Kamu tahu
Malam itu berjalan lambat. Fahmi akhirnya menawarkan diri berjaga di samping Bu Ratna. “Kamu tiduran aja, Rin. Di sofa panjang itu. Aku yang di sini.”Rina sempat menolak. “Nggak usah, Mi. Kamu pasti capek. Dari tadi kamu udah nemenin aku. Aku jadi nggak enak hati.”Tapi Fahmi bersikeras. “Aku yang capek … itu nggak penting. Kamu yang harus jaga tenaga buat Mama kamu. Istirahat. Lagian ngapain jadi nggak enak hati sih?”Akhirnya, dengan berat hati, Rina menuruti. Ia rebah di sofa panjang di sudut ruangan. Namun sebelum tertidur, ia sempat menoleh lewat pintu kaca.Yang ia lihat membuat hatinya tersentuh. Fahmi duduk di samping ranjang Bu Ratih. Ia menepikan kursinya hingga dekat sekali. Tangannya membetulkan selimut di dada Bu Ratih dengan hati-hati, bahkan sesekali mengusap pelan punggung tangannya sendiri di atas jemari tua itu.Pemandangan itu menusuk Rina dalam-dalam. Ada rasa syukur … tapi juga ada sesuatu yang lebih, sesuatu yang ia tahu tak seharusnya tumbuh.Rina memejamkan ma
Belum sempat Rina membuka suara lagi untuk menanyakan maksud ucapan Fahmi, apa yang akan diinginkannya besok, suara langkah tergesa terdengar. Seorang perawat menghampiri, mengetuk pintu pelan.“Ibu Rina,” suster itu menunduk sopan, “ibu Anda, Bu Ratna, sudah dipindahkan ke ruang rawat. Kondisinya lebih stabil sekarang.”Degup jantung Rina yang tadi kacau sedikit reda. Ia mengangguk cepat. “Iya … terima kasih, Suster.” Ia bangkit, hampir melupakan Fahmi yang masih duduk di samping. Tanpa banyak pikir, ia mengikuti suster itu dengan langkah tergesa. Fahmi bangun dan berjalan di belakangnya, matanya tak lepas dari punggung Rina yang tampak rapuh sekaligus kuat.Setibanya di ruang rawat, Rina langsung terpaku. Ibunya, Bu Ratna, terbaring lemah dengan selang oksigen yang masih menempel, mata terpejam. Wajahnya pucat, namun napasnya jauh lebih teratur dibanding ketika tadi di IGD. “Mama ….” Suara Rina bergetar. Ia maju perlahan, lalu duduk di sisi ranjang. Jemarinya menggenggam tangan ibu