Mobil hitam itu berhenti tepat di halaman depan rumah. Lampu sorotnya sempat menyoroti pepohonan, lalu padam ketika mesin dimatikan. Dari dalam, seorang pria berjas rapi keluar, membanting pintu mobil sedikit lebih keras daripada biasanya.
Wajah Ervan tampak letih, tapi sorot matanya masih tajam. Tangannya meraih tas kerja dari jok belakang, lalu melangkah santai menuju pintu utama. Sesekali terdengar gumaman kesal dari bibirnya. “Lihat saja kalau ternyata tidak ada hal penting yang dibicarakan. Aku sudah pulang cepat. Padahal deadline jurnal belum selesai,” gerutunya lirih, tapi penuh nada jengkel. Kakinya melangkah mantap menuju pintu rumah. Setiap hentakan sepatunya terdengar jelas, bagai dentuman bagi Rina yang panik di belakang. Di sisi lain, di halaman belakang dekat kolam renang, Rina menahan napas. Gaun tidur tipisnya masih basah, menempel erat di kulit. Rambut panjangnya menetes, menambah kesan kacau. Sementara itu, Fahmi justru masih sempat tersenyum tipis. “Inilah saatnya kalau kamu mau balas dendam, Rin,” ucap Fahmi setengah bercanda, setengah serius. “Biar dia tahu rasanya sakit. Biar dia lihat aku di sini.” “Jangan konyol!” bisik Rina panik. “Cepat pulang. Aku mohon.” Fahmi terkekeh pelan, tapi akhirnya mengalah. Ia berlari lewat jalur samping, menyelinap cepat sebelum Ervan sempat menoleh. Saat yang sama, pintu depan terbuka keras. “Rina!” suara Ervan menggema dari ruang tamu. Jantung Rina serasa berhenti. Ia buru-buru masuk lewat pintu belakang, berusaha menahan gemetar tubuhnya. Namun langkahnya terhenti. Ervan sudah berdiri hanya lima langkah di depannya. Pandangan tajam sang suami menyapu dirinya dari atas hingga bawah. “Kenapa pakaianmu basah, Rin?” tanyanya dingin. “Kamu berenang malam-malam pakai baju tidur?” Rina tercekat. Otaknya bekerja cepat mencari alasan. “Aku … nggak sengaja terpleset,” jawabnya terbata. “Aku jatuh ke kolam.” Alis Ervan terangkat. “Nggak sengaja? Di jam segini?” Rina menunduk, tak berani membalas tatapan. Ervan mendengus, lalu tertawa pendek. Tawa getir yang menusuk hati. “Jangan-jangan kamu begini cuma supaya aku pulang cepat, ya? Sengaja bikin drama biar aku khawatir? Kamu suruh aku pulang hanya untuk lihat kamu basah kuyup?” Nada suaranya ketus, menyakitkan, bahkan ada jejak jijik di ekspresinya. Hati Rina bergetar hebat. Ada yang meletup dalam dirinya. Ia mendongak cepat, menatap suaminya lurus-lurus. “Aku minta kamu pulang,” katanya serak, tapi tegas, “karena aku mau kamu jelaskan ini.” Ia mengangkat ponselnya. Layar ponsel menyala, memperlihatkan foto Ervan—dengan seorang wanita muda, cantik, jelas bukan dirinya. Ervan terdiam. Matanya membesar, wajahnya memucat seketika. “Kenapa kamu terlihat bahagia dan mesra dengan perempuan ini, Van?!” suara Rina meninggi, penuh amarah bercampur perih. “Siapa dia?!” “Dari mana kamu dapat foto itu?” Ervan malah balik bertanya. “Nggak penting aku dapat foto ini dari mana! Aku cuman minta kamu jawab pertanyaanku!” Ervan masih bungkam untuk mengeluarkan sebuah nama. Bibirnya bergerak-gerak, tapi tak ada kata keluar. “Jawab, Van!” pekik Rina, tangannya bergetar memegang ponsel. Keheningan menekan ruangan. Detak jam di dinding terdengar kian nyaring. Ervan menunduk, menarik napas panjang. “Rina …” suaranya lirih. “Jangan panggil aku lembut kayak gitu!” potong Rina cepat. “Jawab pertanyaanku!” Wajah Ervan tegang. Matanya bergantian menatap layar ponsel dan wajah istrinya. “Dia … dia cuma rekan kerja,” ujarnya akhirnya. “Kamu salah paham.” Rina tertawa pahit, getir menusuk. “Rekan kerja? Rekan kerja macam apa yang bisa gandeng tanganmu di café? Yang bisa bikin kamu senyum semanis itu? Yang bisa bikin kamu lupa aku, istrimu sendiri?” Ervan menelan ludah. Keringat dingin membasahi pelipisnya. “Aku sabar, Van,” suara Rina bergetar, penuh luka. “Aku rela kamu sibuk, aku rela kamu pulang larut. Tapi ternyata semua itu bohong. Kamu sibuk bukan karena kerja, tapi karena dia kan?!” Air mata jatuh tanpa bisa ia tahan lagi. “Kamu bahagia sama dia, Van?” Rina mendekat selangkah. “Kamu rela biarkan aku tersiksa sendirian di rumah, sementara kamu bersenang-senang dengan perempuan lain?! Gak punya hati kamu!" Ervan membuka mulut, ingin membantah, tapi kembali tertutup. Hening. Sorot mata Rina penuh kepedihan sekaligus amarah. “Jawab aku, Van … siapa dia sebenarnya?” Tangannya bergetar saat menunjuk layar ponsel tepat ke wajah Ervan. Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Ervan kehilangan kendali penuh. Wajahnya pucat, matanya terbelalak tak percaya. Bibirnya bergetar, pelan-pelan ia menyebut sebuah nama. “Claudia ….” Rina tercekat. Jantungnya serasa berhenti mendengar nama itu keluar dari mulut suaminya. “Claudia …?” pekiknya lirih. “Siapa dia?!” BersambungLorong VIP rumah sakit begitu tenang. Lampu-lampu di langit-langit menyinari lantai yang mengilap, aroma antiseptik menyatu dengan dinginnya udara AC. Pintu bertuliskan VIP Eksklusif terbuka perlahan, menampilkan pemandangan dua perawat perempuan yang baru saja keluar. Mereka tersenyum ramah pada Sarah dan Indra, lalu berlalu.Sarah menahan napas, dadanya sesak. Ia menatap ke dalam ruangan.Bondan terbaring di ranjang dengan selang infus menempel di tangannya. Wajahnya pucat, matanya terpejam rapat. Helaan napasnya pelan, seolah tubuh itu sedang berjuang melawan rasa sakit.“Bondan belum siuman,” ucap Indra pelan, nyaris berbisik.Namun baru saja kalimat itu selesai meluncur, terdengar suara serak tapi jelas dari ranjang.“Aku sudah sadar. Hanya operasi pengangkatan peluru di lengan. Cuma nyerempet.”Sarah terperanjat. Indra spontan menoleh.“Astaga … cuman katamu?” Sarah melangkah cepat ke sisi ranjang, menatap lengan Bondan yang dibalut perban tebal. “Kamu bisa kehilangan nyawa, Da
Rina berdiri terhuyung di bawah payung kecil yang nyaris tak mampu melindungi tubuh mereka berdua. Nafasnya memburu, bukan hanya karena dingin, tapi karena bibir Fahmi baru saja melumat bibirnya tanpa ampun.Dan anehnya, ia tidak mendorong pergi.Ia membiarkan. Ia menikmati. Ia kehilangan kendali.“Mi ….” Suara Rina lirih, terhenti di antara helaan napas.Fahmi tidak menjawab. Ia kembali meraih wajah Rina, menempelkan keningnya di kening perempuan itu. Tatapannya tajam, penuh rasa yang menuntut diakui. “Aku udah terlalu lama nahan, Rin. Aku nggak bisa lagi pura-pura nggak peduli.”Rina menelan ludah, tubuhnya bergetar. “Tapi … ini salah ….”“Terserah orang mau bilang apa. Aku cuma tahu … aku butuh kamu.” Suara Fahmi terdengar parau, nyaris pecah oleh hasrat yang sudah tak bisa ia bendung.Rina tak sempat lagi mengelak. Bibir Fahmi kembali menubruk bibirnya, lebih dalam, lebih liar. Hujan deras jadi musik pengiring, menenggelamkan suara debar jantung mereka.Rina mendesah kecil, jemari
“Aku lihat dari tadi kamu gelisah, Rin. Kamu nggak bisa tidur, kan?” suara Fahmi tiba-tiba memecah keheningan kamar rumah sakit yang dingin.Rina menoleh pelan, matanya masih sembab. Ia duduk di kursi dekat ranjang ibunya, memegang jemari Bu Ratih yang terlelap dengan selang oksigen masih menempel. “Aku … takut, Mi. Takut Mama kenapa-kenapa kalau aku tinggalin sebentar.”Fahmi melangkah mendekat, tangannya masuk ke saku celana jeans. “Perawat di luar bisa jagain. Kita cuma keluar sebentar. Kamu butuh makan, Rin. Kopi juga biar nggak makin drop. Biar semangat.”Rina tersenyum tipis, lalu menggeleng cepat. “Nggak usah, Mi. Aku nggak lapar.”“Lapar nggak lapar, kamu tetep harus isi perut. Aku tahu kamu dari sore belum makan bener.” Suara Fahmi lembut tapi tegas. “Kalau kamu sakit, siapa yang jagain Mama kamu?”Rina terdiam. Kata-kata itu masuk di telinganya, meski hatinya masih berat. Ia menoleh ke mamanya yang tertidur tenang, lalu menghela napas panjang. “Ya udah … tapi sebentar aja, M
Rina masih berdiri di depan pintu ruang rawat, ponsel menempel di telinganya. Suara Ervan di seberang begitu jelas terdengar, datang bersama nada yang menusuk jantungnya.“Aku di rumah sakit, Van. Mama sakit, dirawat di sini,” ucap Rina akhirnya, dengan suara serak menahan tangis. “Aku tadi buru-buru ke sini, jadi belum sempat kasih kabar.”Beberapa detik hening. Lalu terdengar helaan napas berat dari seberang. “Mama kamu sakit?” tanya Ervan singkat.“Iya, Van … Mama drop mendadak. Aku panik. Aku di sini dari sore." Rina menjawab setengah berbohong karena ia baru datang sekitar hampir jam sebelas malam.Ervan tidak langsung menjawab. Hanya bunyi tarikan napasnya yang terdengar. Ada jeda panjang, yang sempat membuat hati Rina berharap. Mungkin, kali ini Ervan akan mengatakan sesuatu yang hangat. Mungkin ia akan langsung menyusul ke rumah sakit.Namun, harapan itu buyar seketika.“Aku nggak bisa ke sana. Besok aku full operasi. Tiga jadwal sekaligus. Aku nggak bisa ninggalin. Kamu tahu
Malam itu berjalan lambat. Fahmi akhirnya menawarkan diri berjaga di samping Bu Ratna. “Kamu tiduran aja, Rin. Di sofa panjang itu. Aku yang di sini.”Rina sempat menolak. “Nggak usah, Mi. Kamu pasti capek. Dari tadi kamu udah nemenin aku. Aku jadi nggak enak hati.”Tapi Fahmi bersikeras. “Aku yang capek … itu nggak penting. Kamu yang harus jaga tenaga buat Mama kamu. Istirahat. Lagian ngapain jadi nggak enak hati sih?”Akhirnya, dengan berat hati, Rina menuruti. Ia rebah di sofa panjang di sudut ruangan. Namun sebelum tertidur, ia sempat menoleh lewat pintu kaca.Yang ia lihat membuat hatinya tersentuh. Fahmi duduk di samping ranjang Bu Ratih. Ia menepikan kursinya hingga dekat sekali. Tangannya membetulkan selimut di dada Bu Ratih dengan hati-hati, bahkan sesekali mengusap pelan punggung tangannya sendiri di atas jemari tua itu.Pemandangan itu menusuk Rina dalam-dalam. Ada rasa syukur … tapi juga ada sesuatu yang lebih, sesuatu yang ia tahu tak seharusnya tumbuh.Rina memejamkan ma
Belum sempat Rina membuka suara lagi untuk menanyakan maksud ucapan Fahmi, apa yang akan diinginkannya besok, suara langkah tergesa terdengar. Seorang perawat menghampiri, mengetuk pintu pelan.“Ibu Rina,” suster itu menunduk sopan, “ibu Anda, Bu Ratna, sudah dipindahkan ke ruang rawat. Kondisinya lebih stabil sekarang.”Degup jantung Rina yang tadi kacau sedikit reda. Ia mengangguk cepat. “Iya … terima kasih, Suster.” Ia bangkit, hampir melupakan Fahmi yang masih duduk di samping. Tanpa banyak pikir, ia mengikuti suster itu dengan langkah tergesa. Fahmi bangun dan berjalan di belakangnya, matanya tak lepas dari punggung Rina yang tampak rapuh sekaligus kuat.Setibanya di ruang rawat, Rina langsung terpaku. Ibunya, Bu Ratna, terbaring lemah dengan selang oksigen yang masih menempel, mata terpejam. Wajahnya pucat, namun napasnya jauh lebih teratur dibanding ketika tadi di IGD. “Mama ….” Suara Rina bergetar. Ia maju perlahan, lalu duduk di sisi ranjang. Jemarinya menggenggam tangan ibu