Fahmi beranjak berdiri dari kursi, lalu berjalan mendekat. Ia meraih tangan Rina. Sentuhan itu, meskipun hanya sekilas, cukup untuk menyalurkan semua ketegangan dan kelegaan yang ia rasakan.“Kita nggak bisa di sini,” bisik Rina, matanya melirik cemas ke ujung koridor, ke arah Dr. Wisnu dan Ervan menghilang. “Ervan akan kembali. Atau perawat bisa lihat. Kita harus cari tempat lain.”“Lalu kita bicara di mana? Aku kengen Rin ….”“Aku juga nggak tau …,” pekik Rina lirih bercampur tegang.“Tangga darurat,” ujar Fahmi sigap, langsung bangkit. “Cepat!”Mereka berdua berjalan cepat dan hampir berlari, menuju pintu bertanda ‘EXIT’ merah menyala yang tersembunyi di balik dinding. Begitu masuk, aroma pengap dan dingin langsung menyambut mereka. Mereka memilih anak tangga paling atas, di mana suara bising rumah sakit hampir tidak terdengar.Rina langsung menyandarkan tubuhnya ke tembok semen yang dingin, menatap Fahmi dengan mata berkaca-kaca.“Kamu gila, Fahmi. Kamu bilang mau jaga jarak. Ken
Hampir pukul sebelas siang ketika mobil Fahmi memasuki area parkir Rumah Sakit Sentosa di Bogor. Ia mematikan mesin, namun tetap duduk di balik kemudi. Jantungnya berdebar kencang, bukan karena kelelahan menyetir, tapi karena perasaannya yang campur aduk.Ia sudah melanggar janji untuk menjaga jarak. Fahmi tahu, kedatangannya ini berbahaya. Ia bisa saja menghancurkan semua upaya Rina untuk berpura-pura normal di depan ibunya, atau lebih buruk Rina akan marah karena ia tidak bisa menepati janji.“Bodoh. Kenapa aku ke sini?” gumam Fahmi, tapi sepasang kakinya sudah terlanjur membawanya keluar dari mobil.Fahmi berjalan menyusuri koridor rumah sakit yang bersih. Ia berhenti saat mencapai deretan kamar rawat VIP. Kamar Bu Ratih berada di ujung, pintunya sedikit terbuka, menyisakan celah tipis. Ia memilih duduk di kursi tunggu empuk yang berjarak sekitar sepuluh meter dari pintu, di dekat jendela. Dari sana, ia bisa melihat pintu, namun sulit terlihat dari dalam.Fahmi menarik napas panjan
Mendengar kalimat Fahmi yang dingin dan mematikan di telepon, seolah ada bongkahan es yang menghantam Aqila. Ia benar-benar syok. Selama ini, Aqila mengira Fahmi sudah berdamai dengan masa lalu mereka, bahwa pria itu sudah memaafkan perselingkuhannya dan menerima kondisi pernikahan mereka yang hambar. Ia berpikir, dengan mempertahankan status dan tetap menjadi ibu yang baik bagi Kekey, semuanya akan baik-baik saja.“Fahmi … jangan bercanda. Aku lagi di Bali, nggak lucu!” Aqila berusaha menertawakan, namun suaranya terdengar pecah.“Aku nggak bercanda, Qila. Aku serius. Sampai ketemu di Jakarta. Aku sudah putuskan. Kita pisah,” tutup Fahmi, nadanya tak terbantahkan.“Kamu masih menyalahkan aku?”“Bukan cuman soal itu … Pernikahan kita sudah hambar. Kamu juga tidak pernah mendengarkan saran atau nasehatku.”“Apa karena sudah dua bulan ini kita tidak berhubungan ranjang?” tanya Aqila lirih. “Aku kan udah jelasin sama kamu Fahmi … Aku lagi banyak kerjaan. Pulang-pulang tuh aku capek.”“T
Pagi itu di Cianjur, suasana rumah mewah bergaya kolonial milik mertua Fahmi terasa dingin dan sepi, bertolak belakang dengan hiruk pikuk di rumah sakit Bogor di mana Rina berada. Fahmi sudah bersiap. Kekey, putrinya yang berusia lima tahun, sudah rapi dengan ransel kecil bergambar Unicorn.“Kita pulang, Nak. Kita lihat rumah, ya?” bisik Fahmi, mengecup pipi Kekey.“Asik! Kekey bisa makan es krim malem-malem!” seru Kekey riang, membuat Fahmi tersenyum hangat.Namun, senyum itu langsung membeku begitu ia memasuki ruang tengah. Bu Sintia, Mamanya Aqila, sudah menunggu dengan wajah masam dan tangan terlipat di dada, seperti hakim yang siap menjatuhkan vonis.“Mau ke mana kamu pagi-pagi begini, Fahmi?” tanya Bu Sintia, nadanya lebih terdengar seperti perintah.“Saya mau bawa Kekey pulang, Ma. Saya kan sudah bilang semalam,” jawab Fahmi sopan, meski hatinya sudah mencelos melihat aura judes Bu Sintia.Bu Sintia tertawa sinis, tawa yang menusuk hingga ke ulu hati. “Pulang? Kamu pikir kamu b
Di apartemennya, Claudia membaca pesan singkat dari Ervan, yang ia kirim setelah mematikan panggilan darinya.‘Sudah aku bilang jangan ganggu aku dulu. Nanti aku hubungi.'Claudia menggeram kesal. Matanya nyaris keluar membaca pesan tersebut. Di saat ia baru saja 'melayani' Ervan di ranjang istrinya, kini ia diperlakukan seperti pengemis perhatian! Ia nyaris saja melempar ponsel impor keluaran terbaru itu ke dinding. Ponsel itu, yang merupakan hadiah dari Ervan tiga bulan lalu, kini terasa panas di tangannya.Ia buru-buru mengetik balasan, berusaha meluapkan kekecewaannya."Kamu pikir aku boneka, Van?! Kamu datang ke sini cuma buat aku pake, terus kamu buang gitu aja?! Aku nggak peduli sama mertua kamu! Aku mau kamu sekarang, Van! Aku kangen! Aku cinta sama kamu!"Ia menekan tombol kirim, tetapi hasilnya membuatnya semakin murka. Centang satu."Sialan!" umpat Claudia keras. Ia menghentakkan kakinya ke lantai, rambutnya yang basah dan berantakan semakin menambah kesan liar pada penamp
“Sudah lewat tengah malam kalian belum tidur?” Suara itu, suara yang seharusnya membawa kehangatan seorang suami, kini terdengar dingin dan asing bagi Rina. Di ambang pintu, Ervan berdiri, memancarkan aroma parfum mahal yang ia semprotkan sejak dari rumah, senyumnya adalah topeng sempurna dari pengkhianatan yang baru ia lakukan di ranjang pernikahan mereka. Rina terkesiap melihat kedatangan Ervan. Di saat ia dan Mamanya, Bu Ratih, baru saja mencapai titik klimaks emosional soal dugaan hubungan terlarangnya bersama Fahmi, Ervan mendadak tiba. Dunia seolah sedang mengejeknya.“Er … Ervan?” Rina tergagap.Bu Ratih juga terlihat terkejut, namun dengan sigap ia kembali bersikap biasas di depan suaminya. Ekspresi marahnya kepada Rina sebelumnya langsung lenyap, digantikan senyum lega.Ervan berjalan santai ke tengah ruangan, seolah ia baru saja pulang dari mencari nafkah, bukan dari ranjang selingkuhannya. Langkahnya tenang, membawa aura kepura-puraan yang nyaris sempurna.“Ma, gimana kea