Home / Romansa / Terjebak Hasrat Terlarang Tetanggaku / Undangan dari tetangga baru

Share

Undangan dari tetangga baru

Author: Risya Petrova
last update Last Updated: 2025-09-12 19:24:04

Tok … tok … tok …

Pagi itu, suara ketukan terdengar di pintu utama rumah Rina. Ia yang sedang merapikan meja makan langsung menoleh. Alisnya berkerut. Jarang ada tamu sepagi ini, apalagi Ervan sudah berangkat lebih dulu ke rumah sakit sejak subuh.

Dengan langkah hati-hati, ia mendekat dan membuka pintu. Matanya langsung bertemu dengan sosok pria asing yang berdiri di teras.

Seorang pria tinggi, mungkin hampir 180 cm. Tubuhnya tegap dengan bahu bidang, terlihat jelas meski hanya mengenakan kemeja biru laut lengan panjang yang digulung hingga siku dan celana bahan chinos warna abu-abu yang rapi membuatnya terlihat formal sekaligus santai.

Rambut hitamnya agak berantakan, seperti baru saja ditata seadanya dengan jari, memberi kesan alami. Rahangnya tegas, kulitnya sawo matang bersih, dan sorot matanya … hangat sekaligus tajam, seakan mampu menembus isi hati orang yang ditatapnya.

Rina nyaris kehilangan kata.

“Selamat pagi,” sapa pria itu dengan senyum menawan, memperlihatkan lesung pipit samar di pipi kirinya. Suaranya dalam, namun tenang, membuat udara sejuk tiba-tiba menyelusup ke dada Rina.

“S–selamat pagi,” jawab Rina, masih tertegun.

Pria itu lalu mengangkat sebuah bingkisan kecil yang dibungkus kertas cokelat dengan pita sederhana. “Perkenalkan, saya Fahmi. Tetangga baru. Saya baru pindah kemarin sore. Maaf kalau sedikit mendadak. Ini ada sedikit bingkisan, sekadar perkenalan.”

Rina membelalakkan mata. “Tetangga baru? Jadi … rumah sebelah sudah ada penghuninya?”

Fahmi mengangguk, senyumnya tak pudar. “Iya. Saya baru bisa menempatinya sekarang. Sebelumnya kosong cukup lama, ya?”

“Betul … hampir setahun kosong. Saya bahkan tak menyangka akan ada yang pindah secepat ini,” jawab Rina, mencoba mengendalikan ekspresinya.

Fahmi mengangguk pelan. “Maka dari itu, untuk lebih akrab dengan lingkungan baru, saya berencana mengadakan acara kecil-kecilan malam ini. Semacam open house. Saya ingin mengenal tetangga sekitar. Kalau tidak keberatan, Mbak .…” Fahmi sempat terdiam, menunggu nama.

“Rina,” ucapnya cepat.

“Mbak Rina ... kalau tidak keberatan, saya harap bisa hadir. Santai saja, acaranya sederhana.”

Rina menerima bingkisan itu, mengangguk kaku. “Terima kasih, Mas Fahmi. Nanti saya sampaikan juga ke suami.”

Fahmi tersenyum, lalu pamit. Tapi sebelum berbalik, sorot matanya sempat menahan tatapan Rina sejenak. Ada sesuatu di sana. Bukan sekadar tatapan basa-basi tetangga baru, tapi tatapan yang entah kenapa membuat jantung Rina berdegup lebih kencang.

Rina buru-buru menutup pintu setelah Fahmi pergi. Tangannya meremas bingkisan itu erat-erat. 'Apa tadi hanya perasaanku saja? Kenapa tatapannya terasa berbeda? Tetangga yang aneh ....'

Ia menggeleng, menepis pikiran itu. ‘Tidak. Mungking pikiranku saja yang buruk!”

***

Malamnya, rumah kembali sepi. Rina duduk di ruang tamu, menunggu. Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam, tapi Ervan belum juga pulang. Pesan singkat hanya berbunyi, “Pasien masih banyak. Jangan tunggu. Makan duluan saja.”

Rina menghela napas. Perasaan hampa itu kembali menyelusup.

Akhirnya, ia memutuskan untuk tetap datang ke acara open house di rumah sebelah, meski sendirian.

Rumah Fahmi terlihat hangat. Lampu-lampu taman kecil di halaman depan menyala lembut, menghiasi pintu yang terbuka lebar. Dari dalam terdengar suara musik, bercampur dengan riuh rendah tawa para tamu.

Beberapa tetangga dari beberapa blok terdekat sudah berkumpul, ada yang duduk sambil ngobrol, ada juga yang menikmati hidangan sederhana yang ditata rapi di meja panjang.

Rina masuk dengan langkah ragu. Tembang lawas November Rain dari Gun Roses terdengar mengalun indah di dalam bangunan rumah bergaya minimalis modern ini.

Fahmi yang tak sengaja menoleh, bertemu tatap dengan netra Rina. Tatapan mereka sejenak terkunci dalam beberapa detik.

Rina mematung dengan jantung yang berdetak lebih kencang dari pada sebelumnya.

Fahmi kemudian buru-buru menghampiri dan menyapa, “Selamat datang, mbak Rina. Senang sekali kamu bisa hadir,” ucapnya tulus.

Rina membalas senyum sekadarnya, mencoba mengabaikan debaran jantungnya.

Acara berlangsung santai. Percakapan ringan, tawa tetangga, dan suasana ramah membuat Rina merasa sedikit nyaman. Namun dalam benaknya, ia tak bisa berhenti membandingkan: Kenapa aku merasa lebih dihargai di rumah orang lain, dibanding di rumah sendiri?

Waktu terus berjalan, hingga satu per satu tamu pamit. Rumah mulai sepi.

Rina yang hendak pulang sempat berhenti di ambang pintu. Ia menoleh, melihat Fahmi sibuk membereskan meja sendirian. Piring-piring kertas, gelas-gelas plastik, dan kantong snack berserakan.

Rina menahan langkah, lalu kembali masuk. “Mas Fahmi, biar saya bantu.”

Fahmi menoleh, jelas terkejut. “Wah, jangan, Mbak Rina. Kamu kan tamu. Saya bisa bereskan sendiri.”

“Tidak apa-apa. Saya hanya mau merapikan piring-piring ini, kok. Lagi pula, rasanya tidak enak membiarkan tuan rumah bekerja sendiri.”

Fahmi sempat menatap Rina dalam beberapa detik, seolah ingin menolak, tapi akhirnya tersenyum kecil. “Kalau begitu … terima kasih. Tapi janji ya, hanya sedikit saja. Saya tidak enak.”

“Iya tenang aja ….”

“Ngomong-ngomong, jangan panggil aku Mas. Panggil aja Fahmi. Rasanya kayak kaku banget dipanggil Mas.”

“Oh gitu … oke. Aku akan panggil Fahmi.”

“Kamu aku panggil …?”

“Rina aja. Nggak usah pake mbak. Biar adil.” Rina ikut tertawa kecil sembari mengambil beberapa piring kertas dan memasukkannya ke kantong sampah.

“Aku beneran jadi ngerasa gak enak loh … aku undang kamu, tapi kamu malah ikutan beresin bekasnya.” Fahmi tersenyum tipis.

“Santai saja. Lagian ini hal sepele.”

Suasana jadi lebih ringan. Mereka mulai mengobrol sambil membereskan meja.

“Fahmi kerja di mana, kalau boleh tahu?” tanya Rina, mencoba membuka percakapan.

Fahmi berhenti sejenak, lalu menjawab, “Aku penulis.”

Rina menoleh cepat, matanya berbinar. “Serius? Penulis?”

Fahmi mengangguk. “Ya. Aku menulis novel online, novel cetak, esai, kadang juga artikel lepas. Bekerja dari rumah, jadi lebih fleksibel.”

Rina mendadak kagum. “Wah … keren sekali. Aku suka baca, meski belakangan jarang. Tapi aku nggak pernah membayangkan bertemu langsung dengan seorang penulis.”

Fahmi tersenyum hangat. “Aku hanya orang biasa. Tapi menulis memang satu-satunya cara aku bertahan. Dan … mungkin juga cara aku melawan kesepian.”

Rina tercekat. Mendadak bibirnya terkatup.

Fahmi bisa menangkap gestur yang tiba-tiba berubah itu. Namun ia berusaha merangkai kata agar obrolan terus berlanjut, ringan tapi penuh arti.

Ada tawa kecil, ada diam yang terasa nyaman. Hingga Rina tanpa sadar menoleh ke jam dinding. Hampir pukul sebelas malam.

“Astaga!”

“Ada apa?” Fahmi jadi terkejut dengan jerit pelan Rina.

“Aku harus pulang. Sebentar lagi suamiku pulang,” jawab Rina panik, berdiri cepat.

Fahmi ikut berdiri. “Oke, biar aku antar sampai depan—”

“Enggak usah … Aku bisa sen—”

Belum sempat Rina menyelesaikan kalimatnya, kakinya menginjak tumpahan sirup yang licin di lantai.

“Ah!” teriaknya tertahan. Tubuhnya langsung oleng.

Refleks, ia meraih apa saja di dekatnya—dan tanpa sadar, tangannya mencengkeram kerah baju Fahmi.

“Rina!” Fahmi terkejut, tangannya cepat melingkar ke pinggang gadis itu untuk mencegah jatuh. Namun justru tarikan Rina membuat keseimbangan mereka ikut buyar. Keduanya terseret ke belakang, terhempas ke sofa.

Bruk!

Tubuh Rina menimpa Fahmi, wajah mereka bertemu begitu dekat. Detik berikutnya, tanpa sempat menghindar—bibir mereka bersentuhan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terjebak Hasrat Terlarang Tetanggaku   Pelukan hangat di kolam renang

    “Tidak …,” pekik Rina lirih. Derai air mata semakin deras membasahi pipinya.Bahkan layar ponselnya pun terbasahi tetesan air mata itu.Foto terakhir ini menampakkan Ervan mencium bibir wanita berseragam putih-putih itu. Walau diambil dari jarak jauh dan dengan mode zoom, tapi cukup jelas untuk memperlihatkan jika si pria yang ada di dalam foto ini memang suaminya!“Jadi … ternyata alasan kamu sering pulang telat dan dingin sama aku selama satu tahun ini adalah dia?” gumam Rina dengan suara bergetar.“Tega-teganya kamu Van … Salah apa aku sama kamu?” lanjutnya sembari terbayang kembali jika ia rela mengundurkan diri dari jabatannya sebagai manager di sebuah restoran hotel bintang lima demi menjadi istri yang baik dan berbakti.Nafasnya naik turun. Emosinya benar-benar menguasainya. Udara malam pun terasa semakin menusuk.Ia duduk termenung di ruang tamu berjam-jam lamanya. Matanya terus menatap layar ponsel. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Rumah terasa semakin ha

  • Terjebak Hasrat Terlarang Tetanggaku   Kiriman foto!

    Fahmi cepat mengerjap, lalu mendekat.“Minggir, biar aku yang atasi.”Fahmi mendekat. Otomatis ia pun ikut basah karena semburan air yang muncrat ke mana-mana.Rina melirik ke arah Fahmi yang kini pakaiannya sama seperti dia. Basah kuyup. Kemeja kasualnya menapak jelas pada tubuhnya. Menerawang karena basah, dan hal itu membuat tubuh atletis sixspacknya terlihat jelas.“Tenang aja … Gak apa-apa. A-aku bisa—”“Percaya sama aku,” potong Fahmi cepat. Ia langsung membuka kemejanya yang sudah basah untuk menyumbat sementara pipa yang bocor. Lalu kemudian bertanya pada Rina, “Kamu punya kunci pipa? Atau kunci inggris?”“Ada di kolong wastafel,” jawab Rina secepat kilat.Ia meraih kunci pipa di bawah wastafel, memutar katup utama dengan cekatan. Dalam hitungan detik, semburan air berhenti.Suasana mendadak hening.Rina berdiri terpaku, baju rumah tipisnya menempel di tubuh karena basah kuyup. Rambutnya berantakan, wajahnya masih penuh cipratan air. Pakaiannya lebih basah dari Fahmi tadi. Bah

  • Terjebak Hasrat Terlarang Tetanggaku   Pelarian yang berbahaya

    Rina membeku, matanya melebar tak percaya. Sementara Fahmi menahan napas, tubuhnya kaku di bawahnya. Hangat dan lembut, sentuhan itu membuat dada mereka sama-sama bergemuruh.Rina buru-buru menjauh, wajahnya memerah padam. “A-aku … aku nggak sengaja …” suaranya nyaris berbisik.“Rina …” Fahmi menatapnya, masih terengah. Bibirnya terasa hangat, matanya tak bisa lepas dari sosok Rina yang panik.Sunyi memenuhi ruangan itu. Hanya desiran napas mereka berdua yang terdengar.“A—aku harus pulang, terima kasih makanannya .…”Rina pun buru-buru merapikan bajunya dan pergi meninggalkan Fahmi yang masih tak bergerak.Sekeluarnya dari pintu, Rina langsung memijat keningnya yang berkedut.Gila! Aku baru saja berciuman dengan tetangga baruku?!***Suasana rumah malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Angin dari celah jendela hanya membawa dingin, tidak membawa ketenangan bagi Rina.Ia masih gelisah sejak pulang dari rumah Fahmi, terbayang-bayang kelembutan yang mendarat di bibirnya oleh sang t

  • Terjebak Hasrat Terlarang Tetanggaku   Undangan dari tetangga baru

    Tok … tok … tok …Pagi itu, suara ketukan terdengar di pintu utama rumah Rina. Ia yang sedang merapikan meja makan langsung menoleh. Alisnya berkerut. Jarang ada tamu sepagi ini, apalagi Ervan sudah berangkat lebih dulu ke rumah sakit sejak subuh.Dengan langkah hati-hati, ia mendekat dan membuka pintu. Matanya langsung bertemu dengan sosok pria asing yang berdiri di teras.Seorang pria tinggi, mungkin hampir 180 cm. Tubuhnya tegap dengan bahu bidang, terlihat jelas meski hanya mengenakan kemeja biru laut lengan panjang yang digulung hingga siku dan celana bahan chinos warna abu-abu yang rapi membuatnya terlihat formal sekaligus santai.Rambut hitamnya agak berantakan, seperti baru saja ditata seadanya dengan jari, memberi kesan alami. Rahangnya tegas, kulitnya sawo matang bersih, dan sorot matanya … hangat sekaligus tajam, seakan mampu menembus isi hati orang yang ditatapnya.Rina nyaris kehilangan kata.“Selamat pagi,” sapa pria itu dengan senyum menawan, memperlihatkan lesung pipit

  • Terjebak Hasrat Terlarang Tetanggaku   Jamah aku!

    “Tolong … lebih keras, Sayang …,” bisik Rina dengan napas tersengal.Ranjang mereka bergoyang, deritnya beradu dengan detak jantung Rina yang semakin terpompa.Di tengah pergumulan itu, rambut panjangnya terurai, menutupi sebagian wajahnya yang kini menatap suaminya.Tapi yang Rina lihat justru membuat dadanya sesak, Ervan–suaminya, bahkan tak menunjukkan minat, seolah tubuhnya bergerak hanya demi kewajiban dan naluri prianya saja.“Ah …,” suara lirih itu lolos begitu saja dari bibir Rina. Ia meremas rambut suaminya yang berpotongan sangat rapi itu. Tiba-tiba saja suara dering ponsel Ervan berdering.Mendengar dering ponselnya, Ervan langsung melepaskan tubuh Rina. Ia menjauh. Seolah istrinya tidak penting, sedangkan gawainya adalah hal yang paling membuatnya tertarik.Ervan sudah menjauh. Nafasnya berat, tubuhnya jatuh ke sisi ranjang.Rina mengernyitkan keningnya. “Van … Kamu ngapain? Siapa yang kirim pesan malam-malam begini?”Ervan sudah bangkit, meraih baju tidurnya, lalu berjala

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status