MasukTok … tok … tok …
Pagi itu, suara ketukan terdengar di pintu utama rumah Rina. Ia yang sedang merapikan meja makan langsung menoleh. Alisnya berkerut. Jarang ada tamu sepagi ini, apalagi Ervan sudah berangkat lebih dulu ke rumah sakit sejak subuh. Dengan langkah hati-hati, ia mendekat dan membuka pintu. Matanya langsung bertemu dengan sosok pria asing yang berdiri di teras. Seorang pria tinggi, mungkin hampir 180 cm. Tubuhnya tegap dengan bahu bidang, terlihat jelas meski hanya mengenakan kemeja biru laut lengan panjang yang digulung hingga siku dan celana bahan chinos warna abu-abu yang rapi membuatnya terlihat formal sekaligus santai. Rambut hitamnya agak berantakan, seperti baru saja ditata seadanya dengan jari, memberi kesan alami. Rahangnya tegas, kulitnya sawo matang bersih, dan sorot matanya … hangat sekaligus tajam, seakan mampu menembus isi hati orang yang ditatapnya. Rina nyaris kehilangan kata. “Selamat pagi,” sapa pria itu dengan senyum menawan, memperlihatkan lesung pipit samar di pipi kirinya. Suaranya dalam, namun tenang, membuat udara sejuk tiba-tiba menyelusup ke dada Rina. “S–selamat pagi,” jawab Rina, masih tertegun. Pria itu lalu mengangkat sebuah bingkisan kecil yang dibungkus kertas cokelat dengan pita sederhana. “Perkenalkan, saya Fahmi. Tetangga baru. Saya baru pindah kemarin sore. Maaf kalau sedikit mendadak. Ini ada sedikit bingkisan, sekadar perkenalan.” Rina membelalakkan mata. “Tetangga baru? Jadi … rumah sebelah sudah ada penghuninya?” Fahmi mengangguk, senyumnya tak pudar. “Iya. Saya baru bisa menempatinya sekarang. Sebelumnya kosong cukup lama, ya?” “Betul … hampir setahun kosong. Saya bahkan tak menyangka akan ada yang pindah secepat ini,” jawab Rina, mencoba mengendalikan ekspresinya. Fahmi mengangguk pelan. “Maka dari itu, untuk lebih akrab dengan lingkungan baru, saya berencana mengadakan acara kecil-kecilan malam ini. Semacam open house. Saya ingin mengenal tetangga sekitar. Kalau tidak keberatan, Mbak .…” Fahmi sempat terdiam, menunggu nama. “Rina,” ucapnya cepat. “Mbak Rina ... kalau tidak keberatan, saya harap bisa hadir. Santai saja, acaranya sederhana.” Rina menerima bingkisan itu, mengangguk kaku. “Terima kasih, Mas Fahmi. Nanti saya sampaikan juga ke suami.” Fahmi tersenyum, lalu pamit. Tapi sebelum berbalik, sorot matanya sempat menahan tatapan Rina sejenak. Ada sesuatu di sana. Bukan sekadar tatapan basa-basi tetangga baru, tapi tatapan yang entah kenapa membuat jantung Rina berdegup lebih kencang. Rina buru-buru menutup pintu setelah Fahmi pergi. Tangannya meremas bingkisan itu erat-erat. 'Apa tadi hanya perasaanku saja? Kenapa tatapannya terasa berbeda? Tetangga yang aneh ....' Ia menggeleng, menepis pikiran itu. ‘Tidak. Mungking pikiranku saja yang buruk!” *** Malamnya, rumah kembali sepi. Rina duduk di ruang tamu, menunggu. Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam, tapi Ervan belum juga pulang. Pesan singkat hanya berbunyi, “Pasien masih banyak. Jangan tunggu. Makan duluan saja.” Rina menghela napas. Perasaan hampa itu kembali menyelusup. Akhirnya, ia memutuskan untuk tetap datang ke acara open house di rumah sebelah, meski sendirian. Rumah Fahmi terlihat hangat. Lampu-lampu taman kecil di halaman depan menyala lembut, menghiasi pintu yang terbuka lebar. Dari dalam terdengar suara musik, bercampur dengan riuh rendah tawa para tamu. Beberapa tetangga dari beberapa blok terdekat sudah berkumpul, ada yang duduk sambil ngobrol, ada juga yang menikmati hidangan sederhana yang ditata rapi di meja panjang. Rina masuk dengan langkah ragu. Tembang lawas November Rain dari Gun Roses terdengar mengalun indah di dalam bangunan rumah bergaya minimalis modern ini. Fahmi yang tak sengaja menoleh, bertemu tatap dengan netra Rina. Tatapan mereka sejenak terkunci dalam beberapa detik. Rina mematung dengan jantung yang berdetak lebih kencang dari pada sebelumnya. Fahmi kemudian buru-buru menghampiri dan menyapa, “Selamat datang, mbak Rina. Senang sekali kamu bisa hadir,” ucapnya tulus. Rina membalas senyum sekadarnya, mencoba mengabaikan debaran jantungnya. Acara berlangsung santai. Percakapan ringan, tawa tetangga, dan suasana ramah membuat Rina merasa sedikit nyaman. Namun dalam benaknya, ia tak bisa berhenti membandingkan: Kenapa aku merasa lebih dihargai di rumah orang lain, dibanding di rumah sendiri? Waktu terus berjalan, hingga satu per satu tamu pamit. Rumah mulai sepi. Rina yang hendak pulang sempat berhenti di ambang pintu. Ia menoleh, melihat Fahmi sibuk membereskan meja sendirian. Piring-piring kertas, gelas-gelas plastik, dan kantong snack berserakan. Rina menahan langkah, lalu kembali masuk. “Mas Fahmi, biar saya bantu.” Fahmi menoleh, jelas terkejut. “Wah, jangan, Mbak Rina. Kamu kan tamu. Saya bisa bereskan sendiri.” “Tidak apa-apa. Saya hanya mau merapikan piring-piring ini, kok. Lagi pula, rasanya tidak enak membiarkan tuan rumah bekerja sendiri.” Fahmi sempat menatap Rina dalam beberapa detik, seolah ingin menolak, tapi akhirnya tersenyum kecil. “Kalau begitu … terima kasih. Tapi janji ya, hanya sedikit saja. Saya tidak enak.” “Iya tenang aja ….” “Ngomong-ngomong, jangan panggil aku Mas. Panggil aja Fahmi. Rasanya kayak kaku banget dipanggil Mas.” “Oh gitu … oke. Aku akan panggil Fahmi.” “Kamu aku panggil …?” “Rina aja. Nggak usah pake mbak. Biar adil.” Rina ikut tertawa kecil sembari mengambil beberapa piring kertas dan memasukkannya ke kantong sampah. “Aku beneran jadi ngerasa gak enak loh … aku undang kamu, tapi kamu malah ikutan beresin bekasnya.” Fahmi tersenyum tipis. “Santai saja. Lagian ini hal sepele.” Suasana jadi lebih ringan. Mereka mulai mengobrol sambil membereskan meja. “Fahmi kerja di mana, kalau boleh tahu?” tanya Rina, mencoba membuka percakapan. Fahmi berhenti sejenak, lalu menjawab, “Aku penulis.” Rina menoleh cepat, matanya berbinar. “Serius? Penulis?” Fahmi mengangguk. “Ya. Aku menulis novel online, novel cetak, esai, kadang juga artikel lepas. Bekerja dari rumah, jadi lebih fleksibel.” Rina mendadak kagum. “Wah … keren sekali. Aku suka baca, meski belakangan jarang. Tapi aku nggak pernah membayangkan bertemu langsung dengan seorang penulis.” Fahmi tersenyum hangat. “Aku hanya orang biasa. Tapi menulis memang satu-satunya cara aku bertahan. Dan … mungkin juga cara aku melawan kesepian.” Rina tercekat. Mendadak bibirnya terkatup. Fahmi bisa menangkap gestur yang tiba-tiba berubah itu. Namun ia berusaha merangkai kata agar obrolan terus berlanjut, ringan tapi penuh arti. Ada tawa kecil, ada diam yang terasa nyaman. Hingga Rina tanpa sadar menoleh ke jam dinding. Hampir pukul sebelas malam. “Astaga!” “Ada apa?” Fahmi jadi terkejut dengan jerit pelan Rina. “Aku harus pulang. Sebentar lagi suamiku pulang,” jawab Rina panik, berdiri cepat. Fahmi ikut berdiri. “Oke, biar aku antar sampai depan—” “Enggak usah … Aku bisa sen—” Belum sempat Rina menyelesaikan kalimatnya, kakinya menginjak tumpahan sirup yang licin di lantai. “Ah!” teriaknya tertahan. Tubuhnya langsung oleng. Refleks, ia meraih apa saja di dekatnya—dan tanpa sadar, tangannya mencengkeram kerah baju Fahmi. “Rina!” Fahmi terkejut, tangannya cepat melingkar ke pinggang gadis itu untuk mencegah jatuh. Namun justru tarikan Rina membuat keseimbangan mereka ikut buyar. Keduanya terseret ke belakang, terhempas ke sofa. Bruk! Tubuh Rina menimpa Fahmi, wajah mereka bertemu begitu dekat. Detik berikutnya, tanpa sempat menghindar—bibir mereka bersentuhan.Fahmi tidak bisa merajut alasan. Semua alasan yang sudah tertata di dalam kepalanya mendadak terasa konyol dan tidak penting.“Aku … aku ke mari karena ingin bertemu denganmu, Rin,” jawab Fahmi jujur, mengakui perasaannya tanpa tedeng aling-aling. “Aku tahu kamar Mama kamu sudah kosong, jadi aku menelepon kamu untuk memastikan. Aku panik kamu sudah kembali ke Jakarta.”Rina mendesah. Ia menatap Fahmi dengan tatapan yang mengingatkannya pada janji mereka. “Bukannya kita sudah janji, ya, untuk sementara jangan ketemu dulu? Sampai suasana tenang? Kita nyaris ketahuan Aqila tadi malam, Mi!”“Aku tahu, dan aku minta maaf soal itu,” Fahmi meraih tangan Rina, tetapi Rina menariknya menjauh. “Tapi, Rin, dengerin aku. Aqila sudah pergi. Dia sekarang sudah di jalan menuju Cianjur lalu pasti menyusul ke tempat di mana keluarga besarnya membawa Kekey holiday. Dia akan lama di sana. Ervan juga sudah pulang duluan ke Jakarta. Aku tahu itu.”Rina terkejut. Matanya membola. “Kamu … kamu tahu Ervan su
Fahmi menginjak pedal gas, mobilnya melaju kencang membelah kepadatan lalu lintas pagi kota Bogor. Pikirannya dipenuhi satu nama: Rina. Percakapan Claudia dengan Ervan tadi, yang ia dengar tanpa sengaja, menjadi informasi vital yang mengubah rencananya. Rina sendirian di Bogor. Ini adalah celah kesempatan yang besar.Ia tidak peduli lagi dengan Aqila untuk sesaat. Fokusnya kini adalah mencari Rina, mengajaknya bicara, dan menghabiskan waktu bersamanya tanpa ada bayangan Ervan yang mengintai.Setibanya di rumah sakit, Fahmi memarkir mobilnya asal-asalan dan langsung bergegas masuk. Ia bergerak cepat menuju area rawat inap VIP. Jantungnya berdebar kencang, bukan karena kelelahan, melainkan karena takut. Takut Rina sudah pergi.“Kamar VIP Bu Ratih,” ucap Fahmi terengah-engah pada perawat yang ditemuinya di lorong.Perawat itu menunjuk ke salah satu kamar di ujung lorong. Fahmi langsung berlari.Sesampainya di depan pintu kamar tersebut, Fahmi menarik napas dalam-dalam, lalu mendorong pin
“Membantu? Membantu apa? Membuat anak kita lupa siapa orang tuanya yang sebenarnya? Kita yang wajib mendidik dan menemani tumbuh kembang Kekey. Orang tuamu sebagai Nenek Kakek boleh main bareng sama cucunya. Tapi nggak menguasai begini!” Fahmi berjalan mendekat, menatap Aqila dengan mata memerah. “Kamu sudah tahu aku nggak suka dengan campur tangan ini, tapi kamu selalu diam! Kamu selalu membiarkan mereka, seolah-olah kamu nggak percaya aku bisa jadi Ayah yang baik! Aku muak dengan semua ini!”Aqila terdiam. Biasanya, ia akan langsung terpancing dan melawan, berteriak bahwa Fahmi tidak punya hak mengatur ibunya. Namun, entah kenapa, firasat dan kata hatinya malam itu memperingatkannya. Kata-kata Fahmi tadi malam terngiang jelas di benaknya, ‘Sisa satu talak lagi yang aku punya untukmu … Aqila.’Ia tidak boleh mengambil risiko. Ia tidak boleh kehilangan Fahmi sekarang. Apa lagi kata-kata Mina yang memberitahunya kalau ada wanita bersama Fahmi!Aqila memilih mengalah. Ia menarik nafas p
“Kamu sudah sarapan, Rin?” tanya Ervan saat mereka bersiap berangkat ke rumah sakit. Ia memegang tangan Rina sejenak, sesuatu yang sudah lama tidak ia lakukan.Rina menarik tangannya perlahan. “Sudah tadi di kamar. Ayo, kita cepat ke rumah sakit. Lebih cepat Mama pulang, lebih cepat kita bisa kembali ke Jakarta.”Ervan mengangguk, menyembunyikan kekecewaannya karena Rina menolak sentuhannya.Sesampainya di rumah sakit, semua berkas kepulangan Bu Ratih sudah selesai disiapkan. Bu Ratih sudah duduk di kursi roda, wajahnya terlihat jauh lebih segar. Rina sudah membayangkan ibunya akan beristirahat di rumah mereka di Jakarta, di bawah pengawasan dokter pribadi.“Mama sudah siap ke Jakarta, kan?” tanya Rina, tangannya memegang bahu sang ibu.Bu Ratih tersenyum dan menggeleng pelan. “Tidak, Sayang. Mama tidak mau ke Jakarta dulu.”Rina dan Ervan saling pandang, terkejut.“Kenapa, Ma?” tanya Rina.“Mama mau di rumah saja. Di sini, di Bogor. Ada Mbak Sumi yang nemenin Mama. Mama belum kuat ka
Rina keluar dari lift di lantai tujuh. Koridor itu terasa sangat panjang dan sunyi, kontras dengan ketegangan mencekam yang baru saja ia alami di lantai sembilan. Setiap langkahnya terasa berat. Ia baru saja lolos dari konfrontasi ganda. Konfrontasi dengan Claudia dan konfrontasi dengan Aqila. Kenangan akan pelukan erat Fahmi di sudut gelap tadi masih melekat, memberikan kehangatan palsu di tengah dinginnya kenyataan. Namun, kini ia harus kembali ke kenyataan yang paling pahit. Kamar 708, tempat suaminya, si pengkhianat manipulatif ulung sedang tidur.Dengan kunci kartu di tangan, Rina membuka pintu kamar 708 perlahan. Ia menggeser pintu itu tanpa suara, mencoba menyelinap masuk seperti tikus.Namun, ia gagal.Sesaat setelah Rina menutup pintu di belakangnya, sebuah suara serak dan berat memecah keheningan.“Dari mana saja kamu?”Rina terkesiap. Ervan tidak tidur nyenyak seperti yang ia bayangkan. Suaminya sudah duduk di tepi ranjang, punggungnya bersandar pada sandaran kepala. Air m
Aqila langsung menoleh, ponsel masih menempel di telinganya. Netra mereka bertemu tatap. “Apanya yang makin kacau, Qi?” tanya Fahmi dengan suara datar. “Kamu ngobrol sama siapa malam-malam begini?”Jantung Aqila berdebar kencang, nyaris meledak. Ia mengambil nafas dalam-dalam, mengatur ekspresi wajahnya agar terlihat kesal, bukan takut. Ini adalah saatnya ia menggunakan profesi sebagai tameng.“Aku ngobrol sama Sasa, temenku, sesama model juga,” jawab Aqila, menurunkan ponselnya sedikit. “Aku kan izin pulang mendadak, padahal masih ada beberapa sesi pemotretan di Bali. Sesi pemotretan mereka jadi kacau. Biasalah, urusan kerjaan. Aku harus menjelaskan ke dia kalau aku nggak bisa balik secepat itu.”“Oh ….” Fahmi mengangguk pelan. Alasan itu terdengar logis. Ia terlalu lelah untuk menginterogasi panggilan telepon pekerjaan. Ia percaya Aqila karena urusan model memang sering serba mendadak dan kacau.“Sudahlah. Katakan saja besok pagi kamu akan selesaikan urusan itu. Sekarang waktunya t







