Share

Pelarian yang berbahaya

Author: Risya Petrova
last update Last Updated: 2025-09-12 19:25:15

Rina membeku, matanya melebar tak percaya. Sementara Fahmi menahan napas, tubuhnya kaku di bawahnya. Hangat dan lembut, sentuhan itu membuat dada mereka sama-sama bergemuruh.

Rina buru-buru menjauh, wajahnya memerah padam. “A-aku … aku nggak sengaja …” suaranya nyaris berbisik.

“Rina …” Fahmi menatapnya, masih terengah. Bibirnya terasa hangat, matanya tak bisa lepas dari sosok Rina yang panik.

Sunyi memenuhi ruangan itu. Hanya desiran napas mereka berdua yang terdengar.

“A—aku harus pulang, terima kasih makanannya .…”

Rina pun buru-buru merapikan bajunya dan pergi meninggalkan Fahmi yang masih tak bergerak.

Sekeluarnya dari pintu, Rina langsung memijat keningnya yang berkedut.

Gila! Aku baru saja berciuman dengan tetangga baruku?!

***

 

Suasana rumah malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Angin dari celah jendela hanya membawa dingin, tidak membawa ketenangan bagi Rina.

Ia masih gelisah sejak pulang dari rumah Fahmi, terbayang-bayang kelembutan yang mendarat di bibirnya oleh sang tuan rumah. Juga degup jantung yang tak karuan, debaran yang tak seharusnya dirasakan seorang wanita yang telah bersuami!

Saat melewati kamar tamu, Rina mendengar samar suara Ervan dari arah kamar mandi yang jarang dipakai.

“Buka semuanya dong … Ah gak seru kalau cuman setengah gitu.”

Kening Rina berkerut. ‘Ngapain Ervan ada di kamar itu?’ tanyanya di dalam hati sembari semakin melangkah mendekat.

Baru saja hendak mengetuk, telinganya menangkap sesuatu.

“Terus ... jangan berhenti ....”

Kata-kata Ervan yang semakin terdengar jelas membuar Rina semakin merasa aneh. Jantungnya berdebar sangat cepat.

“Ah ....”

Jantung Rina semakin berdetak cepat tak karuan, “Ke—kenapa ada suara desahan wanita?!”

Ia menempelkan telinganya di daun pintu. Telinganya tidak salah menangkap. Itu jelas suara wanita. Sesekali terdengar desah kecil, samar, namun cukup untuk membuat darahnya mendidih.

Dengan panik bercampur marah, Rina mengetuk pintu cepat-cepat. Tok! Tok! Tok!

Tak lama kemudian, pintu terbuka. Ervan muncul dengan wajah merengut, rambutnya agak berantakan, hanya bertelanjang dada, dan tangan kirinya menggenggam ponsel.

“Ada apa sih? Kenapa gedor-gedor pintu kayak manusia nggak beradab?” bentaknya ketus.

Rina menahan napas, mencoba tetap tenang meski dadanya sudah bergemuruh. “Aku barusan dengar suara wanita dari dalam. Kamu sama siapa di kamar mandi?”

Dahi Ervan mengernyit, lalu ia menoleh sejenak ke ponselnya. “Apa maksudmu? Nggak ada siapa-siapa selain aku.”

“Terus … kok tumben kamu pake kamar mandi ini? Biasanya kan pake kamar mandi yang ada di kamar kita.”

“Memang kenapa? Nggak boleh? Ini rumahku. Jadi aku bebas mau pake kamar mandi yang mana.”

Rina melirik tajam ke ponsel di tangan Damar. “Aku dengar jelas, Van. Suara tawa perempuan. Ada juga suara… mendesah. Jangan bohong. Kamu video call sama perempuan lain?”

Suasana mendadak tegang. Ervan menghela napas panjang, lalu mendengus sinis. “Ya ampun, Rin. Jangan lebay. Aku tadi cuma duduk di closed, sambil nonton video. Suara yang kamu dengar itu suara konten kreator, ngerti? Ya, perempuan itu yang bikin konten. Apa itu salah?”

“Video?” suara Rina tercekat.

“Iya! Video. Aku dokter spesialis, Rin. Aku nggak punya banyak waktu buat diri sendiri. Bahkan sekadar menikmati waktu luang aja cuma bisa sambil duduk di closed. Apa itu salah? Hah?” nada suaranya makin tinggi.

Rina terdiam. Lidahnya kelu. Ada ribuan kata ingin keluar, tapi ia menahan. Karena jika ia paksa, hanya akan berubah jadi pertengkaran besar. Ervan sudah jelas tidak mau mengaku. Dan ia sendiri … tidak punya bukti lain selain telinganya.

Akhirnya, ia memilih mundur. “Terserah kamu, Van,” katanya lirih, lalu berjalan pergi meninggalkan Ervan yang masih menatap sinis.

Namun di dalam hati, hatinya makin retak. Rasa curiga makin dalam. Pikirannya itu terus menghantuinya sampai keesokan harinya.

“Ah, mungkin dengan melakukan sesuatu, rasa curigaku bisa memudar...”

Ia memutuskan untuk membuat brownies. Tangannya sibuk menata stroberi di atas permukaan cokelat lembut yang masih hangat, berusaha mengalihkan keresahan dalam hati.

Langkah kaki dari lantai dua terdengar menuruni tangga. Rina menahan diri, berpura-pura sibuk dengan apa yang ada di hadapannya, menunggu apakah Ervan akan menyapanya.

Namun yang terdengar justru suara datar suaminya.

“Aku pergi dulu. Kamu nggak usah tungguin, langsung saja tidur...”

Rina terdiam. Bahkan sebelum berangkat kerja pun, Ervan tidak menyentuhnya.

Tanpa berpindah tempat, ia menatap punggung suaminya sampai menghilang dari balik pintu.

Tiba-tiba ponselnya berdering di meja dapur. Nomornya tak dikenal. Rina mengernyit, lalu meraih ponsel dengan jari yang masih belepotan cokelat. Ternyata bukan panggilan, melainkan pesan.

“Halo Rina. Ini Fahmi. Aku dapat nomor kamu dari grup W******p kompleks. Maaf kalau tiba-tiba. Aku cuma mau minta maaf soal kejadian kemarin lusa. Kamu terpeleset di rumahku karena ceceran sirup. Semoga kamu nggak kapok main ke rumahku.”

Rina terdiam. Matanya menatap layar ponsel lama. Perasaan campur aduk kembali menyergap. Antara malu, canggung, dan entah kenapa ada perasaan hangat yang menurutnya aneh.

Ia tidak membalas. Namun beberapa menit kemudian, ponselnya berdering lagi. Kali ini benar-benar panggilan telepon.

Nama di layar: Fahmi.

Rina menghela napas, ragu. Tapi jempolnya akhirnya menyentuh tombol hijau.

“Halo,” suara Fahmi terdengar di seberang, lembut namun jelas. “Pesanku nggak sempat kamu baca, ya?”

Rina tersenyum tipis tanpa sadar, meski hatinya masih penuh pertimbangan. “Bukan begitu. Aku tadi sibuk. Lagi bikin kue, jadi belum sempat balas. Jariku kotor semua,” jawabnya sambil terkekeh kecil, mencoba terdengar biasa.

“Oh, pantes. Kupikir kamu lagi capek atau nggak mood. Syukurlah kalau nggak ada apa-apa,” ucap Fahmi ringan, nadanya lega tapi tetap tenang.

Rina hendak menjawab lagi, namun tiba-tiba crak!—suara logam dari wastafel terdengar. Ia yang sedang mencuci tangan di bawah kran kaget setengah mati ketika aliran air tiba-tiba menyembur liar ke segala arah.

“Ah! Astaga!” pekiknya spontan.

Suara pancuran air yang keras masuk ke telinga Fahmi dari ponsel. “Rina?! Ada apa?!” tanyanya panik.

“Kran-nya rusak! Airnya muncrat semua! Aduh, ini gimana—” Rina berusaha menutup pancuran dengan tangan, tapi justru membuat air semakin berantakan, membasahi baju dan wajahnya.

“Aku datang sekarang!” suara Fahmi terdengar tegas.

Belum sempat Rina menolak, sambungan telepon sudah terputus. Beberapa menit kemudian, suara langkah cepat terdengar dari teras. Tanpa mengetuk, pintu terbuka. Rupanya Rina lupa menguncinya tadi.

“Rina!” Fahmi muncul dengan napas memburu, kemeja kasual putihnya sedikit terbuka di bagian dada, jelas terburu-buru keluar rumah.

Fahmi tertegun melihat Rina basah kuyup di depan wastafel. Blus tipisnya menempel, menonjolkan lekuk tubuh yang tak bisa dihindari pandangan.  

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Rangga Sebastian
Fahmi, gas!!
goodnovel comment avatar
Marlien Cute
Benarkan Ervan selingkuh... Aku dukung Rina selingkuh sama Fahmi!.
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Terjebak Hasrat Terlarang Tetanggaku   Ingin mesra-mesraan

    Fahmi tidak bisa merajut alasan. Semua alasan yang sudah tertata di dalam kepalanya mendadak terasa konyol dan tidak penting.“Aku … aku ke mari karena ingin bertemu denganmu, Rin,” jawab Fahmi jujur, mengakui perasaannya tanpa tedeng aling-aling. “Aku tahu kamar Mama kamu sudah kosong, jadi aku menelepon kamu untuk memastikan. Aku panik kamu sudah kembali ke Jakarta.”Rina mendesah. Ia menatap Fahmi dengan tatapan yang mengingatkannya pada janji mereka. “Bukannya kita sudah janji, ya, untuk sementara jangan ketemu dulu? Sampai suasana tenang? Kita nyaris ketahuan Aqila tadi malam, Mi!”“Aku tahu, dan aku minta maaf soal itu,” Fahmi meraih tangan Rina, tetapi Rina menariknya menjauh. “Tapi, Rin, dengerin aku. Aqila sudah pergi. Dia sekarang sudah di jalan menuju Cianjur lalu pasti menyusul ke tempat di mana keluarga besarnya membawa Kekey holiday. Dia akan lama di sana. Ervan juga sudah pulang duluan ke Jakarta. Aku tahu itu.”Rina terkejut. Matanya membola. “Kamu … kamu tahu Ervan su

  • Terjebak Hasrat Terlarang Tetanggaku   Sudah sepi

    Fahmi menginjak pedal gas, mobilnya melaju kencang membelah kepadatan lalu lintas pagi kota Bogor. Pikirannya dipenuhi satu nama: Rina. Percakapan Claudia dengan Ervan tadi, yang ia dengar tanpa sengaja, menjadi informasi vital yang mengubah rencananya. Rina sendirian di Bogor. Ini adalah celah kesempatan yang besar.Ia tidak peduli lagi dengan Aqila untuk sesaat. Fokusnya kini adalah mencari Rina, mengajaknya bicara, dan menghabiskan waktu bersamanya tanpa ada bayangan Ervan yang mengintai.Setibanya di rumah sakit, Fahmi memarkir mobilnya asal-asalan dan langsung bergegas masuk. Ia bergerak cepat menuju area rawat inap VIP. Jantungnya berdebar kencang, bukan karena kelelahan, melainkan karena takut. Takut Rina sudah pergi.“Kamar VIP Bu Ratih,” ucap Fahmi terengah-engah pada perawat yang ditemuinya di lorong.Perawat itu menunjuk ke salah satu kamar di ujung lorong. Fahmi langsung berlari.Sesampainya di depan pintu kamar tersebut, Fahmi menarik napas dalam-dalam, lalu mendorong pin

  • Terjebak Hasrat Terlarang Tetanggaku   Selalu kangen Rina

    “Membantu? Membantu apa? Membuat anak kita lupa siapa orang tuanya yang sebenarnya? Kita yang wajib mendidik dan menemani tumbuh kembang Kekey. Orang tuamu sebagai Nenek Kakek boleh main bareng sama cucunya. Tapi nggak menguasai begini!” Fahmi berjalan mendekat, menatap Aqila dengan mata memerah. “Kamu sudah tahu aku nggak suka dengan campur tangan ini, tapi kamu selalu diam! Kamu selalu membiarkan mereka, seolah-olah kamu nggak percaya aku bisa jadi Ayah yang baik! Aku muak dengan semua ini!”Aqila terdiam. Biasanya, ia akan langsung terpancing dan melawan, berteriak bahwa Fahmi tidak punya hak mengatur ibunya. Namun, entah kenapa, firasat dan kata hatinya malam itu memperingatkannya. Kata-kata Fahmi tadi malam terngiang jelas di benaknya, ‘Sisa satu talak lagi yang aku punya untukmu … Aqila.’Ia tidak boleh mengambil risiko. Ia tidak boleh kehilangan Fahmi sekarang. Apa lagi kata-kata Mina yang memberitahunya kalau ada wanita bersama Fahmi!Aqila memilih mengalah. Ia menarik nafas p

  • Terjebak Hasrat Terlarang Tetanggaku   Kemuakan Fahmi

    “Kamu sudah sarapan, Rin?” tanya Ervan saat mereka bersiap berangkat ke rumah sakit. Ia memegang tangan Rina sejenak, sesuatu yang sudah lama tidak ia lakukan.Rina menarik tangannya perlahan. “Sudah tadi di kamar. Ayo, kita cepat ke rumah sakit. Lebih cepat Mama pulang, lebih cepat kita bisa kembali ke Jakarta.”Ervan mengangguk, menyembunyikan kekecewaannya karena Rina menolak sentuhannya.Sesampainya di rumah sakit, semua berkas kepulangan Bu Ratih sudah selesai disiapkan. Bu Ratih sudah duduk di kursi roda, wajahnya terlihat jauh lebih segar. Rina sudah membayangkan ibunya akan beristirahat di rumah mereka di Jakarta, di bawah pengawasan dokter pribadi.“Mama sudah siap ke Jakarta, kan?” tanya Rina, tangannya memegang bahu sang ibu.Bu Ratih tersenyum dan menggeleng pelan. “Tidak, Sayang. Mama tidak mau ke Jakarta dulu.”Rina dan Ervan saling pandang, terkejut.“Kenapa, Ma?” tanya Rina.“Mama mau di rumah saja. Di sini, di Bogor. Ada Mbak Sumi yang nemenin Mama. Mama belum kuat ka

  • Terjebak Hasrat Terlarang Tetanggaku   Menyesal

    Rina keluar dari lift di lantai tujuh. Koridor itu terasa sangat panjang dan sunyi, kontras dengan ketegangan mencekam yang baru saja ia alami di lantai sembilan. Setiap langkahnya terasa berat. Ia baru saja lolos dari konfrontasi ganda. Konfrontasi dengan Claudia dan konfrontasi dengan Aqila. Kenangan akan pelukan erat Fahmi di sudut gelap tadi masih melekat, memberikan kehangatan palsu di tengah dinginnya kenyataan. Namun, kini ia harus kembali ke kenyataan yang paling pahit. Kamar 708, tempat suaminya, si pengkhianat manipulatif ulung sedang tidur.Dengan kunci kartu di tangan, Rina membuka pintu kamar 708 perlahan. Ia menggeser pintu itu tanpa suara, mencoba menyelinap masuk seperti tikus.Namun, ia gagal.Sesaat setelah Rina menutup pintu di belakangnya, sebuah suara serak dan berat memecah keheningan.“Dari mana saja kamu?”Rina terkesiap. Ervan tidak tidur nyenyak seperti yang ia bayangkan. Suaminya sudah duduk di tepi ranjang, punggungnya bersandar pada sandaran kepala. Air m

  • Terjebak Hasrat Terlarang Tetanggaku   Sisa satu talak

    Aqila langsung menoleh, ponsel masih menempel di telinganya. Netra mereka bertemu tatap. “Apanya yang makin kacau, Qi?” tanya Fahmi dengan suara datar. “Kamu ngobrol sama siapa malam-malam begini?”Jantung Aqila berdebar kencang, nyaris meledak. Ia mengambil nafas dalam-dalam, mengatur ekspresi wajahnya agar terlihat kesal, bukan takut. Ini adalah saatnya ia menggunakan profesi sebagai tameng.“Aku ngobrol sama Sasa, temenku, sesama model juga,” jawab Aqila, menurunkan ponselnya sedikit. “Aku kan izin pulang mendadak, padahal masih ada beberapa sesi pemotretan di Bali. Sesi pemotretan mereka jadi kacau. Biasalah, urusan kerjaan. Aku harus menjelaskan ke dia kalau aku nggak bisa balik secepat itu.”“Oh ….” Fahmi mengangguk pelan. Alasan itu terdengar logis. Ia terlalu lelah untuk menginterogasi panggilan telepon pekerjaan. Ia percaya Aqila karena urusan model memang sering serba mendadak dan kacau.“Sudahlah. Katakan saja besok pagi kamu akan selesaikan urusan itu. Sekarang waktunya t

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status