Rina membeku, matanya melebar tak percaya. Sementara Fahmi menahan napas, tubuhnya kaku di bawahnya. Hangat dan lembut, sentuhan itu membuat dada mereka sama-sama bergemuruh.
Rina buru-buru menjauh, wajahnya memerah padam. “A-aku … aku nggak sengaja …” suaranya nyaris berbisik. “Rina …” Fahmi menatapnya, masih terengah. Bibirnya terasa hangat, matanya tak bisa lepas dari sosok Rina yang panik. Sunyi memenuhi ruangan itu. Hanya desiran napas mereka berdua yang terdengar. “A—aku harus pulang, terima kasih makanannya .…” Rina pun buru-buru merapikan bajunya dan pergi meninggalkan Fahmi yang masih tak bergerak. Sekeluarnya dari pintu, Rina langsung memijat keningnya yang berkedut. Gila! Aku baru saja berciuman dengan tetangga baruku?! *** Suasana rumah malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Angin dari celah jendela hanya membawa dingin, tidak membawa ketenangan bagi Rina. Ia masih gelisah sejak pulang dari rumah Fahmi, terbayang-bayang kelembutan yang mendarat di bibirnya oleh sang tuan rumah. Juga degup jantung yang tak karuan, debaran yang tak seharusnya dirasakan seorang wanita yang telah bersuami! Saat melewati kamar tamu, Rina mendengar samar suara Ervan dari arah kamar mandi yang jarang dipakai. “Buka semuanya dong … Ah gak seru kalau cuman setengah gitu.” Kening Rina berkerut. ‘Ngapain Ervan ada di kamar itu?’ tanyanya di dalam hati sembari semakin melangkah mendekat. Baru saja hendak mengetuk, telinganya menangkap sesuatu. “Terus ... jangan berhenti ....” Kata-kata Ervan yang semakin terdengar jelas membuar Rina semakin merasa aneh. Jantungnya berdebar sangat cepat. “Ah ....” Jantung Rina semakin berdetak cepat tak karuan, “Ke—kenapa ada suara desahan wanita?!” Ia menempelkan telinganya di daun pintu. Telinganya tidak salah menangkap. Itu jelas suara wanita. Sesekali terdengar desah kecil, samar, namun cukup untuk membuat darahnya mendidih. Dengan panik bercampur marah, Rina mengetuk pintu cepat-cepat. Tok! Tok! Tok! Tak lama kemudian, pintu terbuka. Ervan muncul dengan wajah merengut, rambutnya agak berantakan, hanya bertelanjang dada, dan tangan kirinya menggenggam ponsel. “Ada apa sih? Kenapa gedor-gedor pintu kayak manusia nggak beradab?” bentaknya ketus. Rina menahan napas, mencoba tetap tenang meski dadanya sudah bergemuruh. “Aku barusan dengar suara wanita dari dalam. Kamu sama siapa di kamar mandi?” Dahi Ervan mengernyit, lalu ia menoleh sejenak ke ponselnya. “Apa maksudmu? Nggak ada siapa-siapa selain aku.” “Terus … kok tumben kamu pake kamar mandi ini? Biasanya kan pake kamar mandi yang ada di kamar kita.” “Memang kenapa? Nggak boleh? Ini rumahku. Jadi aku bebas mau pake kamar mandi yang mana.” Rina melirik tajam ke ponsel di tangan Damar. “Aku dengar jelas, Van. Suara tawa perempuan. Ada juga suara… mendesah. Jangan bohong. Kamu video call sama perempuan lain?” Suasana mendadak tegang. Ervan menghela napas panjang, lalu mendengus sinis. “Ya ampun, Rin. Jangan lebay. Aku tadi cuma duduk di closed, sambil nonton video. Suara yang kamu dengar itu suara konten kreator, ngerti? Ya, perempuan itu yang bikin konten. Apa itu salah?” “Video?” suara Rina tercekat. “Iya! Video. Aku dokter spesialis, Rin. Aku nggak punya banyak waktu buat diri sendiri. Bahkan sekadar menikmati waktu luang aja cuma bisa sambil duduk di closed. Apa itu salah? Hah?” nada suaranya makin tinggi. Rina terdiam. Lidahnya kelu. Ada ribuan kata ingin keluar, tapi ia menahan. Karena jika ia paksa, hanya akan berubah jadi pertengkaran besar. Ervan sudah jelas tidak mau mengaku. Dan ia sendiri … tidak punya bukti lain selain telinganya. Akhirnya, ia memilih mundur. “Terserah kamu, Van,” katanya lirih, lalu berjalan pergi meninggalkan Ervan yang masih menatap sinis. Namun di dalam hati, hatinya makin retak. Rasa curiga makin dalam. Pikirannya itu terus menghantuinya sampai keesokan harinya. “Ah, mungkin dengan melakukan sesuatu, rasa curigaku bisa memudar...” Ia memutuskan untuk membuat brownies. Tangannya sibuk menata stroberi di atas permukaan cokelat lembut yang masih hangat, berusaha mengalihkan keresahan dalam hati. Langkah kaki dari lantai dua terdengar menuruni tangga. Rina menahan diri, berpura-pura sibuk dengan apa yang ada di hadapannya, menunggu apakah Ervan akan menyapanya. Namun yang terdengar justru suara datar suaminya. “Aku pergi dulu. Kamu nggak usah tungguin, langsung saja tidur...” Rina terdiam. Bahkan sebelum berangkat kerja pun, Ervan tidak menyentuhnya. Tanpa berpindah tempat, ia menatap punggung suaminya sampai menghilang dari balik pintu. Tiba-tiba ponselnya berdering di meja dapur. Nomornya tak dikenal. Rina mengernyit, lalu meraih ponsel dengan jari yang masih belepotan cokelat. Ternyata bukan panggilan, melainkan pesan. “Halo Rina. Ini Fahmi. Aku dapat nomor kamu dari grup W******p kompleks. Maaf kalau tiba-tiba. Aku cuma mau minta maaf soal kejadian kemarin lusa. Kamu terpeleset di rumahku karena ceceran sirup. Semoga kamu nggak kapok main ke rumahku.” Rina terdiam. Matanya menatap layar ponsel lama. Perasaan campur aduk kembali menyergap. Antara malu, canggung, dan entah kenapa ada perasaan hangat yang menurutnya aneh. Ia tidak membalas. Namun beberapa menit kemudian, ponselnya berdering lagi. Kali ini benar-benar panggilan telepon. Nama di layar: Fahmi. Rina menghela napas, ragu. Tapi jempolnya akhirnya menyentuh tombol hijau. “Halo,” suara Fahmi terdengar di seberang, lembut namun jelas. “Pesanku nggak sempat kamu baca, ya?” Rina tersenyum tipis tanpa sadar, meski hatinya masih penuh pertimbangan. “Bukan begitu. Aku tadi sibuk. Lagi bikin kue, jadi belum sempat balas. Jariku kotor semua,” jawabnya sambil terkekeh kecil, mencoba terdengar biasa. “Oh, pantes. Kupikir kamu lagi capek atau nggak mood. Syukurlah kalau nggak ada apa-apa,” ucap Fahmi ringan, nadanya lega tapi tetap tenang. Rina hendak menjawab lagi, namun tiba-tiba crak!—suara logam dari wastafel terdengar. Ia yang sedang mencuci tangan di bawah kran kaget setengah mati ketika aliran air tiba-tiba menyembur liar ke segala arah. “Ah! Astaga!” pekiknya spontan. Suara pancuran air yang keras masuk ke telinga Fahmi dari ponsel. “Rina?! Ada apa?!” tanyanya panik. “Kran-nya rusak! Airnya muncrat semua! Aduh, ini gimana—” Rina berusaha menutup pancuran dengan tangan, tapi justru membuat air semakin berantakan, membasahi baju dan wajahnya. “Aku datang sekarang!” suara Fahmi terdengar tegas. Belum sempat Rina menolak, sambungan telepon sudah terputus. Beberapa menit kemudian, suara langkah cepat terdengar dari teras. Tanpa mengetuk, pintu terbuka. Rupanya Rina lupa menguncinya tadi. “Rina!” Fahmi muncul dengan napas memburu, kemeja kasual putihnya sedikit terbuka di bagian dada, jelas terburu-buru keluar rumah. Fahmi tertegun melihat Rina basah kuyup di depan wastafel. Blus tipisnya menempel, menonjolkan lekuk tubuh yang tak bisa dihindari pandangan.“Tidak …,” pekik Rina lirih. Derai air mata semakin deras membasahi pipinya.Bahkan layar ponselnya pun terbasahi tetesan air mata itu.Foto terakhir ini menampakkan Ervan mencium bibir wanita berseragam putih-putih itu. Walau diambil dari jarak jauh dan dengan mode zoom, tapi cukup jelas untuk memperlihatkan jika si pria yang ada di dalam foto ini memang suaminya!“Jadi … ternyata alasan kamu sering pulang telat dan dingin sama aku selama satu tahun ini adalah dia?” gumam Rina dengan suara bergetar.“Tega-teganya kamu Van … Salah apa aku sama kamu?” lanjutnya sembari terbayang kembali jika ia rela mengundurkan diri dari jabatannya sebagai manager di sebuah restoran hotel bintang lima demi menjadi istri yang baik dan berbakti.Nafasnya naik turun. Emosinya benar-benar menguasainya. Udara malam pun terasa semakin menusuk.Ia duduk termenung di ruang tamu berjam-jam lamanya. Matanya terus menatap layar ponsel. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Rumah terasa semakin ha
Fahmi cepat mengerjap, lalu mendekat.“Minggir, biar aku yang atasi.”Fahmi mendekat. Otomatis ia pun ikut basah karena semburan air yang muncrat ke mana-mana.Rina melirik ke arah Fahmi yang kini pakaiannya sama seperti dia. Basah kuyup. Kemeja kasualnya menapak jelas pada tubuhnya. Menerawang karena basah, dan hal itu membuat tubuh atletis sixspacknya terlihat jelas.“Tenang aja … Gak apa-apa. A-aku bisa—”“Percaya sama aku,” potong Fahmi cepat. Ia langsung membuka kemejanya yang sudah basah untuk menyumbat sementara pipa yang bocor. Lalu kemudian bertanya pada Rina, “Kamu punya kunci pipa? Atau kunci inggris?”“Ada di kolong wastafel,” jawab Rina secepat kilat.Ia meraih kunci pipa di bawah wastafel, memutar katup utama dengan cekatan. Dalam hitungan detik, semburan air berhenti.Suasana mendadak hening.Rina berdiri terpaku, baju rumah tipisnya menempel di tubuh karena basah kuyup. Rambutnya berantakan, wajahnya masih penuh cipratan air. Pakaiannya lebih basah dari Fahmi tadi. Bah
Rina membeku, matanya melebar tak percaya. Sementara Fahmi menahan napas, tubuhnya kaku di bawahnya. Hangat dan lembut, sentuhan itu membuat dada mereka sama-sama bergemuruh.Rina buru-buru menjauh, wajahnya memerah padam. “A-aku … aku nggak sengaja …” suaranya nyaris berbisik.“Rina …” Fahmi menatapnya, masih terengah. Bibirnya terasa hangat, matanya tak bisa lepas dari sosok Rina yang panik.Sunyi memenuhi ruangan itu. Hanya desiran napas mereka berdua yang terdengar.“A—aku harus pulang, terima kasih makanannya .…”Rina pun buru-buru merapikan bajunya dan pergi meninggalkan Fahmi yang masih tak bergerak.Sekeluarnya dari pintu, Rina langsung memijat keningnya yang berkedut.Gila! Aku baru saja berciuman dengan tetangga baruku?!***Suasana rumah malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Angin dari celah jendela hanya membawa dingin, tidak membawa ketenangan bagi Rina.Ia masih gelisah sejak pulang dari rumah Fahmi, terbayang-bayang kelembutan yang mendarat di bibirnya oleh sang t
Tok … tok … tok …Pagi itu, suara ketukan terdengar di pintu utama rumah Rina. Ia yang sedang merapikan meja makan langsung menoleh. Alisnya berkerut. Jarang ada tamu sepagi ini, apalagi Ervan sudah berangkat lebih dulu ke rumah sakit sejak subuh.Dengan langkah hati-hati, ia mendekat dan membuka pintu. Matanya langsung bertemu dengan sosok pria asing yang berdiri di teras.Seorang pria tinggi, mungkin hampir 180 cm. Tubuhnya tegap dengan bahu bidang, terlihat jelas meski hanya mengenakan kemeja biru laut lengan panjang yang digulung hingga siku dan celana bahan chinos warna abu-abu yang rapi membuatnya terlihat formal sekaligus santai.Rambut hitamnya agak berantakan, seperti baru saja ditata seadanya dengan jari, memberi kesan alami. Rahangnya tegas, kulitnya sawo matang bersih, dan sorot matanya … hangat sekaligus tajam, seakan mampu menembus isi hati orang yang ditatapnya.Rina nyaris kehilangan kata.“Selamat pagi,” sapa pria itu dengan senyum menawan, memperlihatkan lesung pipit
“Tolong … lebih keras, Sayang …,” bisik Rina dengan napas tersengal.Ranjang mereka bergoyang, deritnya beradu dengan detak jantung Rina yang semakin terpompa.Di tengah pergumulan itu, rambut panjangnya terurai, menutupi sebagian wajahnya yang kini menatap suaminya.Tapi yang Rina lihat justru membuat dadanya sesak, Ervan–suaminya, bahkan tak menunjukkan minat, seolah tubuhnya bergerak hanya demi kewajiban dan naluri prianya saja.“Ah …,” suara lirih itu lolos begitu saja dari bibir Rina. Ia meremas rambut suaminya yang berpotongan sangat rapi itu. Tiba-tiba saja suara dering ponsel Ervan berdering.Mendengar dering ponselnya, Ervan langsung melepaskan tubuh Rina. Ia menjauh. Seolah istrinya tidak penting, sedangkan gawainya adalah hal yang paling membuatnya tertarik.Ervan sudah menjauh. Nafasnya berat, tubuhnya jatuh ke sisi ranjang.Rina mengernyitkan keningnya. “Van … Kamu ngapain? Siapa yang kirim pesan malam-malam begini?”Ervan sudah bangkit, meraih baju tidurnya, lalu berjala