Share

Terjebak Jerat Kasih Sang Mafia
Terjebak Jerat Kasih Sang Mafia
Penulis: Saoline

Awal Mula

Dua kotak besar popcorn kuletakkan di atas sofa, berdampingan dengan bantal-bantal dan selimut untuk menyamankan diri selama beberapa jam ke depan. Sebuah televisi layar datar menyala di antara gelap ruang tamu, mempertontonkan sebuah animasi Jepang yang sudah lama masuk dalam daftar ‘ingin kutonton sesegera mungkin setelah deadline berakhir’ karena aku hampir tidak pernah punya waktu untuk sekedar menikmati hobi.

Menjadi penulis merupakan pelarianku dari mimpi lain yang tak tergapai. Belakangan ini aku dihantui pesan-pesan dari editorku, meminta padaku untuk cepat-cepat menyelesaikan dan mengirimkan naskah padanya. Bukan aku tidak mau, hanya malas saja kok. Ah, mungkin itu alasannya cita-citaku menjadi orang kaya tidak kunjung tercapai.

Di sela kesibukanku menonton, ponselku berdering berkali-kali, menjerit pada pemiliknya dan memohon untuk segera diangkat. Sudah sekali kulirik nama yang tertera di layar terang itu, tapi nama yang muncul tak lain dan tak bukan adalah mantanku. Aku tidak tertarik mendengar suaranya di tengah kegiatan healing ini. Awalnya aku mengencaninya karena merasa suaranya mirip dengan salah satu karakter kesukaanku, sayang sekali sifatnya berbalik 180 derajat dari yang kuharapkan. Anggap aku bajingan, tapi setiap wanita berhak memiliki tipe kan?

Ponselku baru tenang setelah dering kesembilan. Sebuah helaan napas keluar dari mulutku. Kutarik satu kotak popcorn dan menjatuhkan yang sudah kosong ke sembarang tempat. ‘Aku’ di saat ini tidak perlu khawatir membereskan sisa-sisa sampah, biar ‘aku’ setelah ini yang membereskan. Jadi kubiarkan diriku hanyut lagi dalam cerita dari animasi di program televisi sebelum ada gangguan kedu–

Ring ring ring!

 Telepon sialan! Kakiku turun dari sofa, perlahan berjalan mendekati telepon rumah yang rasanya sudah tidak ada yang menggunakan ratusan tahun lamanya. Mungkin malah hanya aku dan keluargaku yang masih memakai layanan telepon kabel. Aku mengangkatnya, mendapati suara mama melambung tinggi penuh keceriaan. Tipikal mama.

“Lusa ada acara ulang tahun keseratus sebelas kakekmu, kau tidak lupa kan?”

Seratus sebelas… apa kita sudah merayakan sebanyak itu? Umurnya saja aku tidak ingat, apalagi ulang tahunnya, tentu saja aku lupa.

“Tidaak… aku baru saja mempersiapkan baju untuk berangkat, haha…” aku meringis. Bola mataku bergerak seperti kesetanan, mencari-cari tas yang harus kubawa dan perlengkapan yang harus kusiapkan. Belum lagi hadiah! Oh Tuhan, aku benar-benar lupa. Rasanya jantungku sudah pindah ke perut, detaknya terasa abnormal dan bulir keringat mulai menghias dahi serta pelipis.

“Dengar, aku sudah menjadi ibumu… uhh… berapa tahun? 20?”

“24,” aku menyela.

“24, ya, 24! Dan aku tahu dari nadamu kalau kau sedang berbohong!” suaranya terdengar menuduh. Aku memejamkan mata, bersiap mendengar omelannya yang lebih mirip gerbong kereta api. Tapi bukannya ocehan yang kudengar, melainkan desah napas penuh kekecewaan. “Kau sudah lama tidak pulang, aku merindukanmu, sepertinya aku bahkan sudah lupa dengan wajahmu!”

Ini buruk, aku lemah ketika ia kecewa. “Iya iya… aku akan pulang, tapi aku tidak menyiapkan hadiah.”

“Kakek minta camilan buah kering yang pernah kau beli, sampai jumpa lusa sayang, mama aku menjemputmu di bandara! Kecup manis dah!” dan sambungan ditutup. Aku terdiam, cukup lama untuk mendengar lagu penutup dari animasi yang kutonton berdendang syahdu. Baiklah, aku harus segera memesan tiket pesawat malam ini juga. Kutatap popcorn di atas sofa sejenak. Baiklah, mungkin setelah ini, pikirku sebelum melompat dan menonton episode selanjutnya.

.

.

Karena sedang musim panas, rambut ikalku jadi tambah keriting dan mengembang. Sudah kucoba berbagai cara untuk membuatnya terlihat bagus, tapi pada akhirnya selalu kembali pada ikat rambut serba bisa. Gulungan helai hitam kuiikat di belakang leher. Dengan celana cargo dan atasan crop top khaki, aku menarik koper keluar dari unit apartemen.

Cahaya matahari lantas menyingsing kulit yang terekspos begitu aku menginjak trotoar. Kulipat bibirku menjadi sebaris, membiarkan diri terpapar sinar UV secara langsung. Jalanan di depan apartemen dipenuhi mobil lalu lalang. Kupandangi satu persatu sembari melipat tangan dan menggoyangkan kaki. Sebuah taksi yang kupesan lalu menepi.

Aku membuka pintu penumpang. “Bandara,” ucapku selagi menyamankan diri. Supir taksi menatap lewat kaca kemudian mengangguk dan menginjak pedal gas. Aku bersandar pada jok mobil, menikmati AC selagi bisa. Setelah ini aku harus turun, berjalan beberapa langkah lagi, sebelum akhirnya masuk dan mencari gate penerbangan.

Merasakan deru AC menghempas wajahku membuatku merasa ngantuk. Rasanya berat untuk sekedar membuka mata. Jadi kuputuskan tidur selagi menunggu mobil tiba di depan bandara.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status