Share

Bab 4 l Pengakuan.

"Siapa lagi kalo bukan kau!" seru Riya.

Mendengar tuduhan kukuh sang ipar, Awan mendekatkan wajahnya ke arah Riya. Lalu berbisik. Hampir tak terdengar sama sekali jika saja Ayla tidak dengan sengaja menajamkan indra pendengarnya karena penasaran.

"Ini ulah adikmu sendiri. Inilah karmamu," bisik Awan diakhiri tawa kecil lalu menutup mulutnya saat menyadari Ayla tengah memperhatikannya.

"Tidak!" teriak Riya.

"Tidak mungkin! Rida sudah mati! Dia tak bisa membalaskan dendamnya padaku!" teriaknya lagi dengan ketakutan.

"Awan selamatkanlah aku! Kumohon Awan aku tahu kau dendam padaku, maafkanlah aku! Tolong aku Awan!" raung Riya sembari menggapai-gapai udara mencari Awan.

"Paman, aku mohon bantulah ibu. Aku tak bisa melakukannya sendiri. Kumohon paman." Ayla memelas dengan suara yang teramat memilukan. Ia sungguh tak tahan melihat kondisi sang mertua yang mengkhawatirkan.

"Ya, Ayla. Sebaiknya kita bawa ibu mertuamu ini ke rumah sakit sebelum anak bodohnya kembali. Ayo!" Setelah menghela nafas beberapa kali, Awan pun meluluh. ia segera meraih lengan Riya dengan agak kasar lalu menyeretnya.

"Bantu aku memapahnya," pinta Awan.

"Baik paman."

Ayla yang tengah melongo segera mendekat lalu meraih tangan Riya yang masih terus menggapai-gapai dengan pandangan kosong. ia terus meronta mencoba melepaskan diri dari mereka sambil menceracau tak karuan. Mengabaikan dorongan dan tepisan tangn Riya, Awan dan Ayla terus memapahnya menuju ke arah luar.

"Paman, sepertinya Ibu mau muntah lagi," kata Ayla yang merasakan tubuh Riya mengejang kuat lalu menggeram, dan benar saja. Sedetik kemudian Riya memuntahkan kembali cairan merah kental tepat di halaman rumah.

"Awan ... Panggilkan putramu ... Panggilkan Irfan. Tolong aku, hanya dia yang bisa menolongku," pinta Riya dengan lirih dan terputus-putus.

Awan mendesah lalu mendudukkan Riya di kursi panjang halaman rumah.

"Benar Paman! Irfan kan mahasiswa kedokteran! Mungkin dia bisa membantu Ibu untuk penanganan sementara! Nanti saat mas Arta pulang, kita panggil dokter untuk rawat ibu di rumah!" usul Ayla seolah teringatkan.

"Dia bahkan tak sudi mendengar namanya, bagaimana bisa aku membujuknya." Awan bergumam lemah, bahkan Ayla pun tak mendengarnya.

Di saat keheningan menyelimuti ruang, tetiba sebuah mobil yang melesat dengan cepat berhenti tepat di halaman rumah.

"Mas Arta!" seru Ayla sumringah.

Dengan tergesa, pria berusia 23 tahun itu turun dari dalam mobil lantas berlari berhambur menghampiri Ayla. Alis tebalnya tertaut dengan ekspresi wajah penuh kecemasan. Wajah tampannya yang tegas terlihat lusuh akibat kelelahan. Sepertinya ia baru saja mengebut sepanjang perjalanan. Terlihat dari nafasnya yang tersengal-sengal.

"Ibu kenapa!" tanya Arta setengah berteriak.

Arta melirik Ayla, Awan, dan sang Ibu secara bergantian. Namun bukannya menjawab, Ayla malah menarik lengan sang suami lalu memintanya untuk membawa sang Ibu segera.

"Ayo bawa Ibu ke rumah sakit Mas! Sepertinya Ibu keracunan!" seru Ayla tanpa babibu.

Arta mengangguk lalu meraih sang Ibu lantas memapahnya ke dalam mobil dibantu oleh Awan. Ayla yang mengekori mereka langsung duduk di bangku belakang lalu dengan sigap menyandarkan kepala sang mertua ke bahunya dengan perlahan, diapit oleh Awan di sisi lainnya. Tanpa menunggu apapun lagi, Arta segera mengambil kemudi lantas melajukannya.

Namun saat mobil hendak melaju tiba-tiba Nengsih datang dengan seorang pria paruh baya menghalangi jalan tepat di depan mobil yang hendak melesat.

Ckit!

Arta menginjak rem sekuat tenaga saat melihat Nengsih membentangkan lengannya di depan mobil yang ia tumpangi.

"Berhenti!" teriak Nengsih sembari membentangkan kedua tangannya lebar-lebar.

"Nengsih! Apa-apaan kau ini?" tanya Arta setengah jengkel.

"Mas! Jangan bawa Ibu kemana-mana. Biar Bah Sana obatin ibu!" kukuhnya.

"Nengsih kamu jangan halangi jalan! Mas lagi buru-buru!" geram Arta sembari menyeka keringat di wajahnya yang terlihat mengucur dari dahi hingga lehernya.

"Arta! Aku yakin Ibumu mendapat suatu kiriman yang tak baik. Biar aku coba melihatnya dulu," ucap pria tua yang tak lain adalah Sana, sang dukun tersohor di desa mereka.

"Biarkan Bah Sana melihat dulu Ibu Mas!" kukuh Nengsih.

"Arta. Tak akan beres jika terus mengulur waktu. Sebaiknya biarkan saja pria itu masuk. Sambil bawa Ibumu ke rumah sakit," usul Awan menengahi.

"Benar Mas! Aku juga ikut! Biar wanita itu keluar saja!" ucap Nengsih sambil menunjuk Ayla yang sejak tadi menyimak percakapan mereka.

"Nengsih! Jangan kurang ajar kamu sama istri Mas!" bentak Arta membela sang istri.

"Sudahlah Mas. Yang penting Ibu sembuh. Biar aku tunggu di rumah saja. Biar cepat juga," kata Ayla mengalah.

"Lagipula malas kalo harus semobil dengan Nengsih kalo lagi kumat sifat kekanakkannya," tambah Ayla setengah bergumam.

"Yasudah, cepat naik!" titah Arta dengan wajah tak enak hati membiarkan Ayla turun dari mobilnya.

"Sayang, kamu tunggu di rumah ya. Nanti Mas kabari kalo sudah di rumah sakit. Jangan banyak pikiran," ucap Arta lembut.

Ayla pun mengangguk dengan senyuman. Sementara ayla turun perlahan, Nengsih langsung merangsek masuk hingga menyenggol bahu Ayla cukup keras. Dengan sengaja.

"Aw!" ringis Ayla.

"Ayla, Mas berangkat dulu," pamit Arta.

Tanpa mengalihkan lagi pandangannya pada Ayla, Arta pun langsung ngebut saat ayla melambaikan tangan. Dengan perasaan hampa, Ayla menarik lengannya yang terambang di udara, ke belakang punggungnga.

"Hati-hati Mas!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status