Malam telah menyelimuti kota ketika Ella kembali ke penthouse. Jessica menemaninya makan malam. Beruntung kali ini Jessica tidak banyak bicara. Meskipun begitu, ia tetap tidak bisa menikmati makan malamnya, ia tidak nafsu makan. Jessica beberapa kali meliriknya heran karena Ella hanya mengaduk-aduk makanannya dan wajahnya terlihat melamun. “Kau tidak suka makanannya?” tanya Jessica membuat Ella mengalihkan pandangannya. Gadis itu menghela napas. Makananannya terasa hambar. Di saat seperti ini, Ella merindukan masakan Karen. Ia merindukan orang tuanya. “Aku sudah kenyang, aku ingin istirahat,” katanya kemudian beranjak ke kamarnya. Ia duduk termenung di tepi ranjang. Masih memikirkan dengan kata-kata Alfonso untuk menikmati hidupnya yang tidak bertahan lama. Ia harus memikirkan dirinya sendiri. Itu artinya ia tidak seharusnya memikirkan kesembuhan Daren atau cara kabur dari Lorenzo. Alfonso benar, ia berhak bahagia dengan atau tanpa penyakitnya. Ia tidak boleh hidup pasr
Mata Ella berkedip, secercah cahaya putih terasa menyilaukan membuatnya kesulitan membuka mata. Bunyi elektrokardigraf mengalun lembut di telinganya diikuti oleh aroma antiseptik yang menyengat hidungnya. Kepalanya terasa berat. Ia memperhatikan sektitarnya, menyadari bahwa dirinya tidak berada di penthouse, tapi di ranjang rumah sakit. Selang infus menusuk di lengannya yang pucat. “Bagaimana keadaanmu?” Suara bariton Lorenzo membuatnya menoleh dengan lemah. Pria itu duduk di kursi samping ranjangnya, tangannya menggengam erat tangan gadis itu. Matanya yang tajam itu sekilas terlihat melembut saat melihat kerentanan Ella. “Kau benar-benar membuatku ketakutan,” bisiknya dengan suara parau. Suaranya sedikit bergetar. Nada yang hampir tidak pernah Ella dengar dari pria yang tegas sepertinya. “Tidak sadarkan diri berjam-jam, kau membuatku tidak bisa bernapas dengan baik, Ella.” “Ocehamu tidak akan membuat keadaanku lebih baik, Lorenzo,” balas Ella dengan suara serak, nyar
Langkah kaki Lorenzo mengalun tegas keluar dari pintu lift, memasuki penthouse. Tangannya bergerak cepat melepas kancing jasnya kemudian meletakan jas tersebut di atas sofa ruang tamu. Matanya melirik Jessica yang sedang duduk di sana. Wajahnya kaku, tatapannya dingin saat menatap wanita itu yang mendekat padanya dengan senyum manisnya. “Ella di mana?” tanyanya datar sembari melepaskan dasinya. “Di kamarnya,” balas Jessica singkat, tangannya terulur hendak membantu Lorenzo melepaskan dasinya. “Tidak perlu,” sergah Lorenzo tegas sambil menepis tangan Jessica. Jessica mendengus pelan, sedikit tersinggung. Namun, ia masih memaksakan senyum manisnya. “Ngomong-ngomong tentang Ella, dia—” “Nanti saja bicaranya,” potong Lorenzo sembari melangkah meninggalkan Jesica. Wajah Jessica berubah kecewa dalam sekejap. Ia memperhatikan Lorenzo yang menaiki anak tangga dengan tangan terkepal. Pria itu menaiki tanga dengan langkah yang lebar-lebar, seolah terburu-buru. Tangannya sibuk m
Ella menggaruk pelipisnya, memutar bola mata jengah. “Apa yang dia inginkan dari kehidupan seseorang yang sebentar lagi akan mati?” batinnya membalas. Ia menarik napasnya lelah. Perubahan emosi yang drastis ini membuatnya pusing. Terlalu banyak hal menyebalkan dalam satu hari. Kesabaran Ella telah mencapai batasnya. Rahangnya mengetat. “Hubunganku dengan Lorenzo itu bukan urusanmu. Tutup mulutmu itu dan keluar dari kamarku,” perintah Ella ketus kemudian menutup pintu tepat di depan wajah Jessica. Ella bersandar pada pintu kayu itu, sembari menarik napas dalam-dalam. Ruangan terasa sunyi, tapi menenangkan. Namun, beratnya ucapan Jessica masih tertinggal di sini. Lorenzo bukan orang mudah jatuh cinta. Itu membuatnya menyadar bahwa selama ini Lorenzo juga tidak pernah mengatakan bahwa pria itu mencintainya. Dia hanya mengklaim bahwa Ella miliknya tanpa benar-benar memberitahu Ella mengenai perasannya. Ella mengacak-acak rambutnya yang sudah berantakan itu. Semua mengenai Loren
Rahang Lorenzo mengetat, matannya menggelap. Tangannya kini mencengkram paha Ella seolah memberi Ella peringatan untuk tidak menguji batas kesabarannya. Ella meringis, kemudian menarik napas dalam, mengumpulkan ketenangannya. Ia meletakkan kedua tangannya mencengkram bahu Lorenzo, menegaskan bahwa ia punya hak untuk bicara. Sambil terus mempertahankan kontak mata dengan Lorenzo. “Kau pria dewasa yang sudah tidak perlu lagi diajarkan tentang batasan, tentang benar dan salah. Jika memang kau menghargaiku, jika memang hubungan ini berarti untukmu maka tunjukan, Lorenzo,” jelasnya tegas. “Teruskan jika kau merasa apa yang kau lakukan itu benar, aku tidak melarangmu. Namun, jangan harap standar yang berbeda untukku. Aku akan melakukan apa yang kau lakukan kepadaku.” Ekpresi keras di wajah Lorenzo berubah. Cengkraman di paha Ella melemah. Mata Lorenzo yang tajam menyipit, sekilas terlihat terkejut. Ella seolah membalikkan situasi, memojokkan Lorenzo. Dominasi Lorenzo mengabur di hadapa
Austin, Texas, Amerika Serikat Mobil SUV hitam itu membelah keramaian kota menuju penthouse Lorenzo setelah mendarat di Texas. Langit sudah gelap saat mereka tiba. Di dalam, Ella duduk membisu, tangannya digenggam erat Lorenzo seolah jika genggaman itu terlepas, Ella akan hilang dalam sekejap. Suara bariton Lorenzo memenuhi ruang mobil. Sibuk berbicara melalui sambungan telepon dengan bahasa Italia yang tidak Ella mengerti. Selama perjalanan, mata gadis itu menatap keluar jendela. Tempat ini, menyimpan banyak kenangan masa lalu mereka. Tempat yang mempertemukannya dengan Lorenzo. Mobil memasuki parkiran basemant VIP. Perjalanan dilanjutkan dengan lift pribadi yang hanya bisa diakses dengan kartu dan sidik jari Lorenzo. Lift meluncur naik ke lantai paling atas. Tangan Lorenzo merengkuh pingang Ella posesif. Merapatkan tubuhnya pada Ella hingga dadanya menpempel pada punggung gadis itu. Panas tubuh Lorenzo membakar punggungnya. “Kau cukup pendiam malam ini,” celetukny
“Berhenti memainkan permainan yang kau tahu kau akan kalah, Sayang,” desis Lorenzo sambil bersandar santai di kursi kulit jet pribadinya. Ia tersenyum puas melihat wajah merajuk Ella di pangkuannya. Pesawat jet itu sudah meluncur di atas awan, ke tujuan yang dihindari Ella. Gadis itu mendengus sembari melirik sinis Lorenzo sebelum membuang wajah menatap jendela. Lorenzo menarik dagunya, memaksa Ella menatapnya. “Kalau kau masih punya pikiran untuk kabur dariku, buang jauh-jauh pikiran itu. Sebelum malam ini aku membuatmu tidak bisa jalan.” Mata Ela membola mendengar ancaman Lorenzo. Tubuhnya merinding. Ia menepis tangan Lorenzo hingga cengkramannya terlepas. Ella memutar tubuhnya, bergerak ke kursi kosong di seberangnya. Namun, tangan Lorenzo mencengkeram kuat pinggangnya. Tidak memberikannya akses ke manapun. “Mau ke mana? Kabur lagi?” tanyanya datar. Ella memutar bola matanya. “Jika bisa aku mau lompat dari jet sialanmu ini,” balasnya ketus. Lorenzo tertawa sinis. “
“Aku harap ini berhasil, kalau ini gagal, hidupku akan seperti di neraka bersama iblis itu,” gumamnya pada dirinya sendiri. Ia menggigit bibirnya saat melihat penampilan Mariah yang memakai barang-barang miliknya dari kepala hingga kaki. Hoodie abu-abunya yang panjang menutupi sebagian besar tubuh Mariah, yang dipadukan dengan rok satin. Ditambah topi baseball hitam menutupi dahinya dan kacamata hitam menutupi sebagain wajahnya. Mariah tampak sangat siap menjalani perannya dalam penyamaran untuk menggelabui anak buah Lorenzo. Ini merupakan rencana yang disusun oleh Thomas. "Terima kasih sudah membantuku, Mariah," kata Ella, suaranya nyaris bergetar penuh rasa syukur. Ia menggenggam tangan Mariah dengan senyum tulusnya. Gadis itu membalas dengan senyum simpul. Wajahnya terlihat tenang, berbanding terbalik dengan kegelisahan Ella. "Ini bukan apa-apa. Hanya bantuan kecil," jawab Mariah. “Sudah siap?” tanya Thomas sembari berjalan mendekat bersama Karen di belakangnya. “Ya,” sah
“Sialan!” Ella membanting pintu mobil sembari mengumpat dan menghentakkan kakinya saat baru saja ia sampai di villa. Gadis itu membuka pintu villa dengan kasar sembari mengacak-acak rambutnya hingga kusut. Ketukan langkah hak sepatunya terasa berat di lantai marmer. Peritah Lorenzo yang seenaknya itu tidak sesuai dengan kesepakatan mereka sepakati. Kebebasan tiga hari. Namun Lorenzo merampas semuanya di saat ia belum merasa bebas sama sekali. Kembali ke Texas berarti masuk ke sarangnya. Ia terkurung dalam kekuasaannya, tempat di mana pengaruhnya kuat di tiap sudut. Langkahnya terhenti ketika medndekati ruang tamu. Tubuhnya menegang ketika melihat Pamela bersama kedua orang tuanya duduk di sana. Tatapan mereka tertuju padanya, Ella merasakan udara mencekam dari ruangan itu. “Ella, kemarilah, ada yang harus kita bicara,” kata Thomas. Pria itu menatapnya dengan ekpresi yang tegas, ia menggerakkan tangannya meminta Ella mendekat. Dengan langkah lambat Ella mendekat, duduk di