Langit sore yang mendung melatari perjalanan mereka ke makam. Ella dan Lorenz duduk dalam kesunyian di dalam mobil. Beratnya percakapan mereka sebelumnya seolah masih membebani mereka. Ella menatap kosong ke luar jendela mobil. Pikirannya terjebak dalam gejolak perasaan yang belum bisa ia pahami sepenuhnya.Di pangkuannya, ada sebuket bunga berwarna putih. Di kursi kemudi, Lorenzo beberapa kali curi pandang padanya. Ia tidak pernah suka diamnya Ella, tapi ia juga tidak mau memaksa Ella bicara setelah apa percakapa berat mereka, setengah banyaknya kenyataan mengejutkan yang baru Ella ketahui.Ia memilih memberikan Ella ruang untuk berpikir, untuk memahami, dengan pikirannya, dengan diamnya. Mereka akhirnya tiba di pemakaman, Lorenzo mematikan mesin mobil kemudia keluar mobil dan membukakan Ella pintu. Ia menggandeng tangan Ella, sedangkan tangan Ella lainnya memeluk sebuket bunga.Angin berembus cukup kencang membawa menerbangkan helai rambut Ella. Lorenzo berjalan di depan dengan lang
“Seline lahir setahun setelah kau lahir, tapi James menelantarkannya. Tidak pernah mengakuinya sebagai anaknya, tidak pernah memberikan nama keluarga kepadanya,” lanjut Lorenzo, tatapannya menatap lurus ke depan seolah menerawang masa lalunya.Ella merasakan campuran perasaan yang kompleks membuat dadanya sesak dan kepalanya pusing karena semua ini terlalu berat untuk diterima.“Dia tumbuh dalam kemiskinan, di sebuah panti asuhan yang kumuh, tanpa mengetahui siapa ayahnya sebenarnya. Ibunya meninggal saat melahirkannya.”Lorenzo beralih menatap dalam Ella. “Kalian mirip. Gen James sangat kuat di tubuh kalian. Membuat kalian terlihat seperti saudara kandung.”Pria itu menghela napas dalam. Tenggorokannya tercekat seiring kata-kata yang keluar dari mulutnya. “James menabrak Seline ketika dia sedang menyeberang jalan. Namun, James bahkan tidak tahu siapa yang dia tabrak. Dia meninggalkan Seline terbaring di aspal seperti sampah.”Alis Ella berkerut dalam, kemarahan menyembul dalam hatin
Rahang Lorenzo mengeras, otot-otot di wajahnya menegang. Tatapannya yang semula hangat kini berubah sedingin es. Hembusan napasnya terdengar berat.“Hubungannya dengan James? Apa maksudmu?” suaranya keluar rendah, tercekat.Kini mereka duduk di pinggir lapangan, di bawah rindangnya pohon oak tua. Daun-daunnya yang lebat melindungi mereka dari terik matahari. Suasana di antara mereka berdua terasa mencekam.Ella meletakkan pistol itu di atas meja kayu yang berada di hadapannya dengan gerakan kasar yang disengaja. Bunyi logam bertemu kayu menghasilkan dentuman keras. Matanya yang memancarkan ketegasan yang tidak bisa diganggu gugat.“Kau tidak bisa lagi menghindar dariku, Lorenzo,” katanya dengan lantang.“Aku tahu bahwa Seline memiliki hubungan dengan James. Jika kau tidak ingin aku mengetahui tentang masa lalumu dengan Seline, maka katakan saja—bagaimana bisa Seline dan James memiliki hubungan?”Lorenzo menatapnya dengan pandangan yang sulit dibaca. Keningnya berkerut, matanya menyipi
“Bagus sekali,” pujinya Lorenzo. Alih-alih marah karena ancaman Ella, Lorenzo justru tertawa kecil. Matanya berkilat dengan ketertarikan yang intens, seolah ada kepuasan tersendiri melihat Ella mampu bertindak melindungi diri dari Lorenzo. Logikanya berfungsi dengan baik meski dalam keadaan yang sulit. Caranya memgang senjata dengan tegas meski sedikit gemetar, tapi tatatapannya tidak menunjukkan keraguan. Gadis itu jauh lebih dari sekadar mampu untuk melindungi dirinya sendiri. “Itulah reaksi yang kuharapkan. Sekarang aku tahu kau bisa melindungi dirimu sendiri ketika diperlukan,” gumam Lorenzo. Dengan gerakan yang sangat cepat dan tegas, Lorenzo menangkap tangan Ella. . Dalam sekali hentakan ia memutar tubuh gadis itu kembali ke posisi semula—punggung Ella menempel pada dadanya, mengarahkan pistol di tangan Ella tepat ke arah target manekin kayu di ujung lapangan. Tangannya mengunci jemari gadis itu dalam genggaman yang protektif. Pandangan Lorenzo tidak pernah lepas dari waj
Perjalanan menuju tempat yang tidak diketahui Ella ini berlangsung dalam keheningan yang mencekam. Ella duduk dengan tubuh kaku di kursi penumpang sambil menatap kosong ke luar jendela. Pemandangan keramaian pusang kota perlahan berganti menjadi area pinggiran kota yang lebih sepi.Lorenzo mengendarai mobilnya ketenangan yang membuat Ella ingin melompat keluar mobil saking ia tidak taha dengan keheniangan ini. Eajahnya tampak dingin, tidak terbaca. Rahangnya yang tegas, matanya menatap lurus ke jalan. Seperti pria iatu masih kesal dengan kejadian semalam.Ella merasakan gatal yang tak tertahankan di ujung lidahnya, ingin bertanya ingin bertanya, ingin berceloteh, ingin mengatakan apa saja yang membuat kesunyian mencengkram ini hilang. Namun, ia tahu Lorenzo tidak akan menjawab dan memerintahkannya untuk tutup mulut.Mobil akhirnya berhenti di depan sebuah bangunan yang tampak seperti gudang besar, mata Ella menyipit membaca papan kayu yang terpasang di atas pintu masuk.“Thunder Rang
Brak!Lorenzo menendang pintu kamar Ella hingga menimbulkan bunyi dentuman yang cukup keras dan bergema di seantero penthouse. Wajahnya terlihat kaku, helaan napasnya berat saat ia mencoba menenangkan sebelum benar-benar lepas kendali.Meskipun seluruh tubuhnya tegang dan rasa jengkelnay sudah mencapai batasnya, tapi gerakan Lorenzo tetap berhati-hati saat ia meletakkan tubuh Ella yang setengah sadar ke atas ranjang. Kemudian melepaskan heels Ella, saat ia hendak beranjak keluar kamar, tiba-tiba Ella meraih pergelangan tangannya.Gadis itu terduduk, pipinya kemerahan karena mabuk, matanya yang setengah tebuka menatap Lorenzo dengan tatapan yang lembut. Ia meraih tangan pria itu dan menggenggamnya.“Lorenzo, kau mau ke mana?” lirihnya dengan suara yang lembut.Lorenzo menghela napas dalam, kemudian menarik kasar tangannya dari Ella. “Istirahatlah,” katanya singkat, nadanya dingin.Namun sebelum kakinya melangkah, tangan Ella yang mencengkeram kerah kemejanya dengan kekuatan yang mengej