Happy Reading
***** "Bu, sudah!" teriak Aisyah histeris. Tubuh gadis dengan berat sekitar 42 kg itu ambruk, terjatuh di lantai dan tak sadarkan diri. Jiwanya kembali terguncang mendengar alasan Haritz yang sebenarnya. Jika, Haritz tidak mencintainya selama ini. Apa arti kedekatan yang terjalin bertahun-tahun lamanya itu? "Ais," panggil Endang. Dia dengan cepat memegang kepala putri agar tidak sampai membentur lantai yang keras hingga menyebabkan cedera. "Pak ini gimana?" Burhan menoleh pada istrinya. Cepat, dia memindahkan Aisyah ke sofa panjang di ruangan tersebut. Setelahnya, dia menatap nyalang pada lelaki yang sudah sangat mengecewakan sang buah hati. "Kamu memang lelaki munafik. Jadi, selama bertahun-tahun kamu sengaja memberi harapan palsu pada putriku. Sekarang dengan entengnya kamu mengatakan nggak cinta pada Aisyah," kata Burhan. Sebuah pukulan kembali melayang di wajah Haritz. Bukan lagi tamparan ringan seperti yang dilakukan Endang, tetapi Burhan mengerahkan semua energinya menghantam lelaki di depannya. Emosi yang sempat dipendam kini dikeluarkan semua oleh Burhan. Tak ada lagi rasa takut, jika lelaki yang dia pukul nanti akan melaporkan perbuatannya kepada polisi. Dalam diri lelaki paruh baya tersebut, hanya ada kemarahan dan kekecewaan atas sikap Haritz. "Maafkan saya, Pak," kata Hatitz. Menyeka darah yang keluar dari bibir akibat pukulan tadi. "Maaf, katamu? Enak sekali kamu mengatakannya. Asal kamu tahu Aisyah banyak berkorban untukmu. Dia selalu menjadikan dirimu prioritas utama. Tapi, apa balasan yang dia dapatkan? Kamu seenaknya saja mengatakan nggak cinta. Cuih!" umpat Burhan. Tendangan pun melayang di perut si lelaki sehingga membuat darah kembali keluar dari bibir pemuda dengan kulit kuning langsat tersebut. "Silakan pukul saya sampai puas, Pak. Asal setelah itu, saya bisa berpisah dan nggak diganggu lagi sama Aisyah," ucap Haritz menantang kesabaran sang kepala keluarga. Burhan kalap, beberapa kali dia melakukan pukulan serta tendangan pada lelaki yang sangat dicintai putrinya itu. "Pak, sudah," pinta Endang setelah melihat luka Haritz. Burhan mengentikan pukulannya setelah merasa puas. Namun, tatapannya tetap tidak berubah, begitu benci pada Haritz karena luka yang ditorehkan pada sang putri. "Pak, dia bisa mati kalau kamu terus memukulnya. Lebih baik, kita urus anak kita saja daripada terus melampiaskan kemarahan padanya," bisik Endang berusaha menasihati dan menyadarkan sang suami. Bisa jadi, tindakan pemukulan itu akan menyebabkan masalah tersendiri nantinya. Burhan menoleh pada Aisyah yang matanya terpejam erat. Segera membopong putri semata wayangnya ke kamar. Keselamatan dan kejiwaan putrinya jauh lebih penting saat ini. "Urus dia, Bu," pinta Burhan pada istrinya. Tatapannya mengarah tajam pada Haritz. "Iya. Bapak bawa Aisyah naik saja," sahut Endang disertai anggukan penuh kepatuhan. Walau sangat benci dengan tindakan Haritz yang sudah sangat menyakiti hati putrinya. Namun, Endang juga tidak tega melihat keadaannya setelah dipukuli oleh Burhan tadi. Sedikit berbelas kasih, perempuan paruh baya itu mengulurkan tangan, berusaha membantu Haritz. "Sudah cukup kamu menyakiti putri kami. Sekarang pergilah! Jangan pernah hadir dan terlihat dalam hidup Aisyah. Putriku terlalu berharga untuk lelaki sepertimu. Ibu harap, nggak akan ada lagi korbanmu setelah ini," usir Endang. Kesadarannya mulai kembali. Walau bagaimanapun, takdir tidak bisa dipaksakan. Mungkin inilah jalan terbaik bagi Aisyah, meski sangat menyakitkan. "Bu, tolong maafkan. Saya, hanya mengatakan apa yang ada dalam hati dan perasaan diri saya sendiri. Rasa cinta saya pada Aisyah memang telah habis. Jadi, saya nggak bisa dan nggak mungkin untuk menikahinya. Bukankah pernikahan itu harus dibangun berdasarkan rasa cinta agar langgeng nantinya?" Haritz mengatakannya dengan amat pelan seakan dia memiliki beban di hatinya. Endang memutar bola matanya, malas sekali mendengar semua ucapan lelaki yang hanya memberikan harapan palsu pada putrinya. "Pergi! Pergi!" usir Endang disertai gerakan tangan mengibas ke arah luar. "Jangan coba memberi alasan apa pun untuk membenarkan semua tindakanmu. Di mata Ibu, kamu hanyalah pecundang." Haritz perlahan meninggalkan rumah Aisyah. Sekalipun sekujur tubuh terluka, tetapi ada kelegaan di hatinya kini. Kelegaan karena telah mengatakan alasan pada Aisyah tentang batalnya pernikahan mereka secara langsung. Berkali-kali Haritz mengatakan dan meyakinkan hatinya. Bukankah cinta itu tidak bisa dipaksa? Jadi, apa yang sudah dia lakukan adalah benar. Baru saja keluar dari rumah Aisyah, suara ponsel Haritz berdering nyaring. Garis bibirnya terangkat ketika sebuah nama terlihat di layar. "Ya," kata Haritz. "Apa kamu sudah menyelesaikan semua masalah dengan Aisyah?" tanya seseorang di seberang sana.Happy Reading*****Burhan memutar bola matanya. Niat semula ingin menggoda putri semata wayangnya dengan mengajukan syarat bahwa Aisyah harus menikah jika ingin mencari kerja ke Surabaya lagi. Namun, ketika mengingat jika semua itu tidak mungkin, sang kepala keluarga pun urung mengatakannya. "Pak, apa syarat yang harus Ais lakukan untuk bisa kembali kerja ke Surabaya lagi?" rengek Aisyah. "Lupakan saja, anggap Bapak nggak pernah ngomong seperti tadi. Pokoknya, kamu harus berusaha mendapatkan pekerjaan di sini dulu," kata Burhan setengah memaksa dan berharap putrinya berubah pikiran."Bapak, ih," ucap Aisyah manja dengan melingkarkan kedua tangannya di pinggang Burhan. "Kamu itu putri Bapak satu-satunya. Jadi, Bapak ingin selalu melihatmu di rumah setiap kali Bapak pulang, sebelum kamu menjadi seorang istri nantinya." Lelaki paruh baya itu merengkuh Aisyah dalam pelukan. Mencium puncak kepala putrinya berkali-kali. *****Kemilau kekuningan dari sinar mentari mengenai wajah Aisyah
Happy Reading*****Kedua tangan Zaki terangkat, lalu lelaki itu menggoyang ke kanan dan kiri. "Bukan begitu maksudnya, Ais.""Lalu, apa yang Mas maksud? Bukankah kalimatmu tadi dengan jelas mengatakan jika aku lebih baik memperbaiki sikap dengan orang lama. Siapa lagi orang lama yang dekatku jika bukan dia yang sudah membatalkan pernikahan ini," kata Aisyah masih dengan nada jengkel.Zaki menggaruk kepalanya yang tak gatal. Menatap Bibi dan juga omnya. Sementara sang penghulu menatapnya aneh. Kebingungan harus menjawab apa atas perkataan Aisyah tadi, lelaki itu memilih untuk menghindar saja."Om, aku pamit dulu. Ada hal yang masih harus aku kerjakan," kata lelaki yang sejak kecil selalu membuat aisyah menangis. Zaki pamit pada Burhan, langsung berdiri, melangkahkan kakinya."Buru-buru sekali, Mas. Kita belum ngobrol, lho," timpal Burhan, "Masak cuma gara-gara omongan tadi Mas Zaki tersinggung. Kamu kan tahu gimana Ais, dari dulu pasti meminta penjelasan sejelas-jelasnya atas perkata
Happy Reading*****Burhan menatap keponakannya dengan senyuman. "Panjang ceritanya, Mas," jelasnya pada Zaki."Bukannya mereka sudah pacaran lama dan saling mencintai?" tambah Zaki masih dengan rasa penasaran yang begitu kuat.Burhan mengembuskan napas panjang. Berat rasanya mengungkap hal yang menjadi aib keluarga. Apalagi saat ini keadaan Aisyah masih tidak baik-baik saja."Pak, saya tidak akan memaksa njenengan jika memang tidak bisa menceritakan alasannya," kata sang penghulu."Pihak laki-laki membatalkan rencana pernikahan ini, Pak." Burhan akhirnya mengeluarkan apa yang mengganjal di hati. Raut kesedihan kentara sekali di wajahnya."Kok, bisa?" tanya Zaki dan sang penghulu bersamaan."Bukankah pernikahan ini atas keinginan mereka berdua, Pak?" tambah Rosyid.Burhan kembali mengembuskan napas panjang. "Takdir, kita nggak pernah tahu apa yang terjadi di masa depan," jawabnya bijak.Diam-diam, Zaki mengepalkan tangannya. Rasanya, dia ingin sekali memukul lelaki yang telah memperm
Happy Reading*****Beberapa hari berlalu sejak kejadian pembatalan pernikahan oleh Haritz. Putri semata wayang Burhan tersebut terus mengurung diri di kamar. Walau kedua orang tuanya sudah membujuk bahkan berusaha mengajak keluar. Namun, kenyataannya luka karena patah itu sangat dalam.Hari ini, dia berniat menghirup udara segar. Jadi, dia beranjak dari pembaringan. Aisyah mengamati pantulan wajahnya di cermin. Kulit itu tak sebersih biasanya, pori-pori tampak membesar, noda jerawat tampak jelas, melingkar hitam. Dua hari saja semua telah berubah. Koleksi make up milik Aisyah sama sekali tak tersentuh olehnya beberapa hari ini.Semua aktifitas berhenti, hanya untuk memikirkan, mengapa dan mengapa cinta itu bisa dengan mudahnya lenyap. Apa karena wajahnya seperti ini hingga Haritz mengatakan bahwa cintanya sudah habis."Tapi, aku dulu sangat menjaga kulit wajahku. Nggak mungkin, Hany karena wajahku kusam, Mas Haritz tega mengatakan kalimat yang begitu menyakitkan," gumam Aisyah sambi
Happy Reading*****Mendung bergelayut manja di langit siang hari ini. Memberikan kesyahduan pada setiap insan yang berada di bumi. Menutupi panasnya mentari serta panas perasaan dicampakkan oleh seseorang yang sangat dicintai."Pak, kenapa Ais belum bangun juga? Padahal, sekarang sudah hampir Ashar," ucap Endang disertai usapan di kepala putri semata wayangnya."Sabar, Bu. Kita tunggu sampai Ashar. Jika dia belum bangun juga, kita terpaksa harus membawanya ke rumah sakit." Sejak tadi, Burhan juga cemas dengan keadaan putrinya. Namun, dia berusaha tetap tenang dan mengatakan pada dirinya sendiri bahwa semua akan baik-baik saja.Perlahan bola mata Aisyah bergerak-gerak, jemarinya juga mulai merespon sentuhan dari Endang. Kemudian, gadis berkulit kuning langsat itu membuka mata dengan sempurna. memandang kedua orang tuanya bergantian. Kesedihan di mata keduanya terlihat dengan jelas."Pak, Bu, maaf," ucap si gadis setelah berhasil duduk sambil bersandar di kepala ranjang. Aisyah menamp
Happy Reading*****"Bu, sudah!" teriak Aisyah histeris.Tubuh gadis dengan berat sekitar 42 kg itu ambruk, terjatuh di lantai dan tak sadarkan diri. Jiwanya kembali terguncang mendengar alasan Haritz yang sebenarnya. Jika, Haritz tidak mencintainya selama ini. Apa arti kedekatan yang terjalin bertahun-tahun lamanya itu?"Ais," panggil Endang. Dia dengan cepat memegang kepala putri agar tidak sampai membentur lantai yang keras hingga menyebabkan cedera. "Pak ini gimana?"Burhan menoleh pada istrinya. Cepat, dia memindahkan Aisyah ke sofa panjang di ruangan tersebut. Setelahnya, dia menatap nyalang pada lelaki yang sudah sangat mengecewakan sang buah hati. "Kamu memang lelaki munafik. Jadi, selama bertahun-tahun kamu sengaja memberi harapan palsu pada putriku. Sekarang dengan entengnya kamu mengatakan nggak cinta pada Aisyah," kata Burhan.Sebuah pukulan kembali melayang di wajah Haritz. Bukan lagi tamparan ringan seperti yang dilakukan Endang, tetapi Burhan mengerahkan semua energin