Sesuai janji. Pertemuan Bara dan Layla berlanjut ke pertemuan kedua. Dan untuk kali ini Layla membebaskan Bara untuk memilih tempat, karena awal mereka bertemu yang menentukan tempat Layla dan sekarang gantian.
Alhasil, Bara mengajak Layla melipir ke warung tendaan di pinggir jalan. Tenda pecel lele menjadi pilihan Bara karena Layla bilang, dia belum pernah makan langsung pecel lele di tempat. Jadi, Bara membawa Layla ke sana.
Awalnya Layla fine-fine saja, tapi setelah melihat ramainya orang di sana dan juga banyak pengamen, Layla sedikit ragu. Pasalnya, ada hal penting yang akan dibahas dan tentunya butuh keheningan untuk saling memahami dan berkonsentrasi.
Namun, Bara meyakinkan Layla mau di tempat mana pun itu, kalau kita memusatkan atensi kita pada sebuah permasalahan yang di bahas, pasti bisa memahami dan menemukan titik terang.
Alhasil, Layla mengalah.
Di tengah-tengah percakapan, tahu-tahu ada seorang pengamen datang menginterupsi mereka dengan genjrengan gitarnya tepat di depan mereka. Awalnya Layla mau mengusir, dengan air wajah yang menahan rasa kesal. Sebisa mungkin Layla harus menjaga image manis di depan Bara. Namun justru Bara menyerahkan selembar uang lima ribu sampai pengamen itu pergi.
“Jadi gimana, La?” tanya Bara.
Layla mengeluarkan sesuatu dalam tasnya; Surat perjanjian.
“Kamu boleh baca dan pahami isinya. Kalau ada yang keberatan, boleh kita diskusikan lagi sampai nemu titik deal.”
Bara mengangguk-angguk paham dan segera membuka surat perjanjian. Ada namanya yang tercantum di pihak kedua dan nama Layla di pihak pertama. Dia membaca salah satu poin di sana. Jika pihak kedua setuju untuk menikah kontrak. Maka akan mendapat uang kompensasi sebesar 80 Juta. Bara melirik Layla. “80 Juta?”
“Yap. Kenapa? Kurang?”
Tanpa diduga, justru Bara mencoretnya.
“Loh, kok malah dicoret?”
“Nggak perlu uang,” timpal Bara. “Di sini kita sama-sama diuntungkan, istilahnya simbiosis mutualisme atau bisa juga win-win solution. Iya, kan?”
“Tapi, kan, kamu kemarin tanya keuntungan kamu kalau setuju sama ajakan saya. Ya itu keuntungan kamu, Bara. Kenapa malah dicoret?”
Bara tersenyum, dia menatap Layla dengan sorot mata dalam. “Saya nggak butuh uang kamu. Tapi saya butuh status kita nanti. Dan tentu saya pikir nggak perlu pakai nominal uang sebanyak ini segala, kalau kayak gini sama aja kamu beli saya.”
Layla tertegun mendengar perkataan Bara. Di sisi lain, dia bersorak dalam hati, itu artinya dia tidak perlu mengeluarkan uang tabungannya hanya untuk membayar Bara.
“Mending uangnya kamu tabung aja, La. Daripada buat bayar saya?” lanjut Bara sebelum akhirnya dia menandatangani surat perjanjian itu di atas materai.
“T—tapi, boleh saya tahu alasan kamu bisa dengan mudah setuju sama surat perjanjian ini?”
“Jawabannya tetap sama kok, kita berdua sama-sama membutuhkan. Dan hakikatnya manusia akan menghalalkan segala cara, kan, kalau lagi kepepet? Itu udah jadi reaksi alamiah manusia.” Jawaban Bara cukup masuk akal. Meskipun Layla masih bingung juga mengapa Bara menyetujui dengan cepat dan sudi terlibat dalam pernikahan kontrak.
Bahkan Layla bertanya-tanya; Bara kepepet dari segi apa? Perasaan yang kepepet hanya Layla dan tujuan Bara hanya ingin membalaskan rasa sakit hatinya karena ditinggal nikah. Tapi tidak ada penjelasan yang logis tentang itu. Bahkan Layla ingin sekali bertanya pada Bara, tapi Layla rasa kalau bertanya lebih dalam sama saja Layla memaksa masuk ke ranah pribadi Bara.
Jadi, lebih baik untuk tidak tahu-menahu urusan pribadi Bara.
“Dan saya juga paham apa yang seharusnya saya lakukan kalau kita udah nikah nanti,” lanjut Bara dan berpaling menatap surat perjanjian itu, membaca poin-poin lain yang ada di sana.
Tidak boleh mendominasi. Tidak boleh menyentuh. Tidak boleh melakukan perbuatan asusila dan kekerasan. Tidak boleh mengatur. Harus harmonis di depan keluarga.
“Untuk semua ini, saya udah paham,” lanjut Bara. “Saya nggak bakalan melenceng dari surat perjanjian ini,” Bara menjulurkan tangannya.
Layla terdiam. Dia menatap tangan Bara sekejap dan akhirnya menjabat tangan kekar cowok itu.
“Deal, ya?” tanya Bara.
Layla mengangguk. “Oke, deal! Oh iya, kalau masalah tempat tinggal, gimana?”
“Oh, kalau itu nggak usah khawatir. Kebetulan saya udah punya rumah sendiri. Ya ... meskipun kecil, tapi lumayan,” Bara menampakkan senyum yang rupawan. “Dan di sana ada dua kamar. Kamu boleh gunakan kamar tamu, kalau nggak mau satu kamar dengan saya.”
Layla menganggukkan kepalanya. Dia menjatuhkan tanda tangan di sebelah kiri di atas materai. “Oke kalau gitu. Deal ya.”
Bara mengangguk, cowok itu mengambil gelas air teh hangat di depannya, menyesapnya perlahan.
“Jadi, besok ke rumah saya, ya? Ketemu Mama sekalian kita bahas rencana pernikahan kita. Secepatnya.”
Mendengar perkataan Layla, Bara langsung tersedak. “S—secepat itu?”
Layla mengangguk. “Kenapa? Lebih cepat lebih baik, kan? Saya orangnya nggak suka mengulur waktu. Ingat, time is precious”
“Tapi saya perlu ngobrol dulu sama orang tua saya, lho.”
“So? Ya ngobrol aja dulu. Setelah pulang dari sini? Atau besok pagi? Kita ke rumah saya setelah pulang kerja saya, sekitar jam tiga sore, mungkin.”
“T—tapi—”
“Atau mau saya bantuin ngomong?”
***
Bara baru saja sampai rumah. Bara memarkirkan motor CBR hitamnya di teras rumah. Dia melepaskan helm full-facenya, turun dari motor dan duduk di kursi rotan dekat pintu masuk untuk membuka sepatunya, meletakkannya di bawah meja kecil di samping kursi. Lalu bergegas masuk ke dalam rumah.
Melihat sang Ibu duduk di ruang tengah sedang menonton televisi, Bara ikut bergabung di samping sang Ibu. “Belum tidur, Bu?” Bara berpaling menatap jam dinding menggantung di atas sejajar dengan televisi dan menunjukkan pukul sepuluh malam tepat.
“Nungguin kamu,” Ibu berpaling menatap Bara. “Sudah makan?”
“Sudah, Bu.”
“Kenapa wajahnya kayak banyak pikiran gitu?”
Tidak ada jawaban yang keluar, Bara masih diam membisu dan memalingkan wajah ke arah televisi yang menayangkan siaran opera komedi. Ibu menyerongkan duduknya, menatap anak sulungnya itu dalam-dalam. “Kenapa, Nak? Ada masalah apa? Cerita dong sama Ibu.”
“A—aku mau menikah, Bu.”
Kali ini Ibu yang diam membisu. Tatapannya seolah tak percaya dengan ucapan anak sulungnya itu. Namun Ibu segera mencairkan suasana dengan terkekeh geli, meski terpaksa. “Ngaco kamu. Sama siapa? Orang kamu nggak pernah kenalin cewek ke sini. Terakhir itu ...,” Ibu mendadak diam, menggantungkan ucapannya.
“Udah ada penggantinya, Bu. Udah lama juga jadian, cuma masih ragu buat dikenalin ke Ibu,” Bara berpaling menatap Ibu. “Sekarang Bara udah yakin dan bakalan bawa dia secepatnya ketemu Ibu.”
“Emang kamu serius, Nak? Kamu sudah sembuh?”
Bara tersenyum. Menganggukkan kepala. “Untuk apa berlarut-larut, Bu?” tangan Bara menyentuh paha Ibu. “Pokoknya Ibu percaya aja sama Bara. Ini pilihan terbaik Bara.”
“Sudah kamu pertimbangkan baik-baik, kan, Nak? Kamu nggak salah ambil langkah, kan? Maksud Ibu ... kamu udah bener-bener yakin? Pernikahan itu nggak bisa untuk jadi ajang main-main, lho, Nak. Istrimu itu, calon ibu dari anak-anakmu kelak. Jadi kamu harus menimbang-nimbang pilihan kamu.”
Mendengar penuturan Ibu, membuat Bara merasa bersalah. Dia nyaris tidak pernah berbohong pada Ibunya dalam sejarah kehidupannya di dunia. Bahkan dia selalu bercerita tentang apa pun itu pada Ibu, bahkan soal Bara ditinggal nikah oleh kekasihnya. “Besok lusa, Bara bakalan bawa dia ke sini, Bu. Ketemu Ibu, biar Ibu sendiri yang menilai.”
“Orang mana dia? Ketemu di mana?”
“Ng—dia sahabatnya Yunda, Bu. Yunda yang kenalin dia ke Bara. Anaknya baik banget, ramah, mandiri dan pekerja keras. Bara aja sampai salut. Dia itu kerja satu perusahaan sama Yunda juga, butuh perjuangan buat masuk ke perusahaan itu. Ibu tahu sendiri, kan, kalau Bara mau masuk perusahaan Bellerica aja ditolak. Dan dia berhasil masuk dengan kerja keras dia. Bahkan dia merintis karier dari nol sampai diangkat jadi HRD.”
“Biasanya wanita karier susah punya waktu sama keluarga, lho, Nak.”
Bara mengamit tangan Ibu, matanya memandang penuh pengharapan. “Bu, pokoknya Ibu percaya deh sama pilihan Bara kali ini.”
BERSAMBUNG...
Semalaman Layla tidak bisa tidur. Insomnianya kambuh, dengan berbagai masalah yang beruntun dalam hidupnya membuat dia bertanya-tanya, dosa apa yang telah dia lakukan dalam kehidupan sebelumnya? Kenapa dia bereinkarnasi menjadi sosok Layla yang tak henti-hentinya mendapat masalah. Alhasil, yang Layla lakukan hanya mengurung diri di dalam kamar. Pagi ini dia memutuskan untuk tidak masuk kerja dan izin pada Yunda dengan alasan sakit tak enak badan. Yunda sempat cemas, namun Layla meyakinkan sahabatnya itu kalau dia baik-baik saja. Ketika semua orang tidak ada di rumah. Mama pergi bertemu dengan teman-teman arisannya, Papa bekerja dan Kevin sekolah. Alhasil, yang Layla lakukan adalah dia ingin menemui Bara. Layla berencana pergi ke kantor Bara. Dia betul-betul nekat untuk pergi ke sana, karena dirasa tidak ada cara lain lagi selain menemui laki-laki itu tanpa ke rumahnya. Gadis itu mengenakan dress di bawah lutut berwarna krim yang memperlihatkan tubuh rampingnya dan sepasang kaki jen
Layla merasa tubuhnya lelah luar biasa. Selama seharian dia bahkan nyaris belum istirahat. Dia harus menyelesaikan banyak kerjaan di kantor, apalagi banyak berkas-berkas yang harus dia tanda tangan. Belum lagi beberapa karyawan ada yang mengajukan cuti.Layla baru tiba di rumahnya di pukul enam sore tepat. Lapar dan harus berjibaku dengan kemacetan kota Jakarta adalah perpaduan yang harus dihindari. Kepala Layla kini terasa kunang-kunang, bahkan dia sangat lemas saat turun dari mobil.Layla melihat ada beberapa mobil mewah terparkir di pelataran rumahnya. Dia mengernyit heran dan bertanya-tanya, tamu siapa yang datang?Layla berusaha tidak peduli, dia melangkah masuk ke dalam rumah. Pikirannya hanya terpusat pada ranjang kamarnya yang melambai-lambai menunggu sang pemilik datang. Hingga langkah kakinya berhenti tepat di depan pintu utama yang terbuka. Kedua manik matanya menangkap ada tamu yang datang. Keluarga. Terlihat betul-betul asing dan tak Layla kenali.Gadis itu secepat kilat
Ada teori yang mengemukakan bahwa pada umumnya manusia memiliki banyak wajah. Pertama, wajah yang dia tampilkan di muka umum. Kedua, wajah yang dia tampilkan di depan sahabat. Ketiga, wajah yang ditampilkan di depan keluarga.Layla di depan orang-orang di muka umum bisa saja terlihat sebagai Layla yang banyak gaya, elegan, dingin, jutek, mengerikan sekaligus punya tatapan tajam, ditakuti banyak orang dan semena-mena. Berbeda kalau di hadapan keluarga, Layla yang selalu menurut dan kalah telak kalau sudah berurusan dengan Mamanya. Dia tidak bisa membantah apalagi melawan.Makanya Layla sering kali kesal kalau tiap kali ada orang yang bilang, “Sama orang lain aja kayak gitu sikapnya, gimana sama keluarga? Ngelawan aja kayaknya.” Tapi mereka tidak tahu apa yang dirasakan Layla bila sudah ditekan harus perfeksionis di hadapan keluarga.Kali ini, Layla sedang berada di ruang meeting bersama dengan beberapa rekan kerja dan tentunya Yunda. Beberapa karyawan menatapnya bingung, karena Layla s
Yunda memarkirkan mobilnya di pelataran toko kelontong persis sebelah sebuah gang kecil yang hanya muat satu motor. Sesuai permintaan Layla, Yunda memilih untuk ke rumah Bara sekaligus ingin bertanya persoalan yang menimpa mereka. Karena Yunda tidak ingin mendengar hanya sebelah pihak, dia butuh penjelasan dari Layla dan juga Bara.Gadis itu berjalan menelusuri gang yang mengantarnya menuju rumah Bara. Masih ramai orang di sana, ada sekelompok Ibu-ibu yang sedang mengobrol di warung. Ada anak-anak kecil yang berlarian ke sana kemari sembari teriak-teriak. Ada gerobak penjual nasi goreng keliling yang dikerumuni pembeli. Ada sekumpulan laki-laki sedang duduk di pos kamling.Suasana perkampungan di tengah kota Jakarta, jauh dari hiruk-pikuk kendaraan dan gedung-gedung pencakar langit. Suasana menyenangkan dan jiwa bersosialisasi yang sangat tinggi. Yunda tersenyum dan mengucapkan kata ‘Permisi' tiap kali melewati orang-orang di sana dan mereka menyambut serta menjawab dengan sopan dan r
Layla mengendap-endap keluar dari kamarnya. Bahkan dia seperti seekor cucak yang menempel di dinding untuk memastikan bahwa tidak ada orang yang melihat dirinya keluar dari kamar sana.Sesuai janjinya pada Yunda kalau malam ini mereka akan bertemu dan Layla akan menjelaskan secara detail masalah yang sedang dia hadapi bersama Bara. Karena mau bagaimanapun juga, Yunda lah yang sudah memperkenalkan mereka berdua dan Layla tidak mau kalau sampai di cap sebagai teman yang tidak punya akhlak. Sudah diwanti-wanti jangan menyakiti Bara, justru malah membuatnya kembali merasakan trauma. Padahal nyatanya bukan kesalahan Layla.Gadis itu menuruni anak tangga satu per satu dengan sangat hati-hati dan sebisa mungkin tidak menimbulkan suara yang dapat mengganggu. Meski, kemungkinan besar di jam delapan malam, kedua orang tua Layla belum tertidur dan bisa jadi mereka masih menonton televisi.Hingga langkah Layla berhenti tepat di anak tangga paling dasar. Kedua bola matanya menjelajah sekitar. Aman
Bara mengendarai motornya dengan gila-gilaan, bahkan dia tidak peduli dengan suara rentetan klakson kendaraan serta teriakan orang-orang bahwa kecepatan motor Bara bisa membahayakan sekitar. Perasaan cowok itu campur aduk tak karuan, bahkan dia tidak bisa berpikir jernih untuk saat ini. Bara merasa gagal. Gagal membahagiakan orang tuanya. Gagal menjadi anak yang baik dan membanggakan. Perkataan keluarga Layla sungguh berhasil masuk ke dalam kepala Bara, hingga dia tidak bisa berkonsentrasi sampai hampir saja menabrakkan diri. Untung saja dia segera sadar, ketika jarak antara motor Bara dan bak sampah hanya lima meter. Napasnya seolah tercekat, detak jantungnya berdegup kencang dan keringat dingin mulai bercucuran. Bara bingung, dia bingung dengan dirinya sendiri, dia bingung mengapa harus begini. Mengapa kejadian pahit selalu dia rasakan berulang-ulang kali. Bahkan di saat harapannya ada di Layla untuk bisa mengubah seluruh hidupnya, justru semakin menanam luka itu bertubi-tubi tan