"Davino, Mamah titip anak mamah ya. Tolong awasi Samira dari pergaulan yang tidak baik di sana, jaga hati dan raganya. Arahkan dia jika langkah nya penuh keraguan. Mamah percaya kamu laki-laki dewasa dan bijaksana. Tolong bimbing Samira ya. " Mamah Wulan mengelus pundak Davino saat menantunya menyalimi tangannya. Ia memberikan sedikit wejangan sebelum mereka benar-benar pergi ke Jerman.
Paspor dan Visa Samira sudah siap. Hari ini juga mereka akan terbang ke sana menempuh hidup baru dengan status baru di Jerman.
"Pasti mah, saya pasti memastikan Samira dalam keadaan baik. Saya cukup minta do'anya dari mamah dan papah. " Ucap Davino.
"Pasti, mamah dan papah akan selalu mendoakan kebaikan untuk kalian. " Mamah Wulan mengusap air matanya. Ia tersenyum lega pada Davino. Setidaknya Samira akan aman bersama suaminya.
Sementara Samira masih menangis dalam pelukan papah Abraham. Meski berat di tinggal putri semata wayangnya, namun setidaknya papah Abraham sudah tenang sekarang. Karena akan ada yang menjaga Samira di kejauhan sana.
"Papah tau pernikahan kalian begitu mendadak tanpa adanya cinta. Tapi seiring berjalannya waktu, pasti benih cinta tumbuh dalam rumah tangga kalian. Cobalah saling menerima dan mengasihi, terutama kamu Samira, jangan lagi bertingkah kekanak-kanakan. Kamu sudah menjadi seorang istri sekarang. Bersikaplah lebih dewasa dalam hal apapun. Hargai Davino dan hormati dia. Jangan banyak membantah, menurut lah jika Davino mengarahkan mu pada kebaikan. Dia pasti akan menjadi suami yang baik karena sudah dewasa.
Dan Davino,... Jaga putriku seperti aku menjaganya. Dia permata kami. Bimbinglah Samira pada jalan kebaikan. Aku harap sekeras-kerasnya pertengkaran tidak ada kekerasan didalamnya. Papah pasti akan melakukan tindakan jika Samira tidak dalam keadaan baik, fisik maupun batinnya. " Kata papah Abraham, ia melepaskan pelukan putrinya lalu mengecup pucuk kepala Samira.
"Saya mengerti pah, Terimakasih untuk segala arahannya. Doakan yang terbaik untuk kami. '' ucap Davino.
" Sudah jangan menangis lagi. Hubungi papah jika sudah sampai ya? " Papah Abraham menghapus jejak air mata yang ada di pipi Samira.
Samira sesenggukan sambil mengangguk.
Mereka sudah di bandara sekarang. Mamah Wulan dan papah Abraham memang mengantar Samira dan Davino sebelum melepas kepergiannya.
Davino mengulurkan tangannya pada Samira.
"Apa? " Balas Samira sambil menatapnya tidak suka.
"Samira jangan seperti itu, balas rangkulan tangan suamimu. " Mamah Wulan meraih tangan Samira dan menyatukannya di genggaman Davino.
Samira mencoba menarik tangannya kembali, namun Davino menggenggam nya begitu erat.
"Mah, pah. Kami pamit." Ucap Davino.
"Mahh… pahhh… ciummm… " Kata Samira.
Hufhhhh,, Davino menghembuskan nafasnya pelan.
Sepertinya agak sulit membimbing Samira, gadis itu masih terlalu kecil untuknya. Bukan kecil dalam segi fisik, melainkan sifat dan karakternya yang terlihat masih seperti anak kecil. Samira masih manja pada kedua orang tuanya.
~~~~~~~~~~~~~~
Perlu 16 jam 23 menit untuk tiba di Jerman. Selama itu pula mereka terdiam menyelami pikirannya masing-masing.
"Om… " Samira mengeluh pelan.
"Om? " Ulang Davino seraya mengernyitkan keningnya, panggilan 'Om' yang Samira sematkan untuknya terdengar sangat mengganggu di telinganya. Apakah dia setua itu sampai dipanggil Om? Batin Davino.
"Om, tolong koperku. Ini ber.. att. " Keluh Samira.
"Hufhhhh.. " Tidak banyak Protes meski sebenarnya ingin. Davino langsung mengambil alih koper istrinya.
"Om, Om senang rumput ya? " Tanya Samira.
Davino melirik ke arah Samira sambil mengangkat alisnya sebelah. Maksudnya kenapa Samira bertanya seperti itu? Apakah tidak ada pertanyaan yang sedikit lebih berbobot? Akh! Davino lupa, Samira kan masih kecil. Dia pasti bertanya sekedarnya saja, yah seperti anak TK yang masih polos.
"Kenapa memang nya? " Tanya Davino datar.
"Ini terasnya rumput semua. Kalau di Indonesia kan sudah pasti di kon block. " Kata Samira sambil memperhatikan teras rumah Davino. Semuanya nampak segar di pandang, rumput teras itu begitu rapih dan hijau, Samira menyukainya.
Berbeda dengan rumahnya di Indonesia, kalau di Indonesia garasi sampai ke teras semua sudah di kon block. Tapi matanya jadi segar mendapat warna baru yang akan ia lihat setiap hari disini.
Davino tidak menyahut, menurutnya pertanyaan Samira tidak begitu penting untuk dijawab. Samira seperti anak TK yang akan bertanya sesuai yang ia lihat saja, tanpa memikirkan nilai bobot dari pertanyaan nya.
Davino membuka kunci pintu rumah nya dengan password. Ia berjalan lebih dulu meninggalkan Samira yang masih memperhatikan sekeliling rumah barunya, rumah Davino maksudnya.
"Om? " Samira langsung melangkah masuk menyusul Davino. Kenapa pula Davino tidak mengajak nya masuk, sepertinya laki-laki itu cuek-cuek saja. Batin Samira.
"Wahhh rapih banget. Wangi lagi. " Samira memejamkan matanya, menghirup aroma masukulin yang menaungi ruang dalam rumah.
"Om pakai pembantu ya? " Samira menyusul langkah Davino ke dalam kamar. Davino meletakkan koper mereka di sudut ruangan.
"Tidak ada pembantu disini. " Jawabnya singkat.
"Kok rapih banget rumahnya. Ini beneran om yang bersihin semuanya? Biasanya kan laki-laki itu pemalas dan jorok. " Cerocos Samira.
Bukan langsung menjawab, Davino malah melangkah lagi keluar kamar menuju lemari pendingin.
Dughhh..
Wajah Samira menubruk punggung Davino saat laki-laki itu menghentikan langkahnya. Samira masih mengagumi dan memperhatikan interior rumah Davino yang simple tapi elegan itu. Begitu modern dan maskulin.
Dinding itu berwarna abu-abu tua, kemudian berdampingan dengan warna abu-abu muda, Jadi tidak semua berwarna gelap tapi sangat pas di matanya. Setiap barang di sana tertata dan tersusun begitu simetris dan pas.
"Kenapa ikutin saya terus? " Tanya Davino seraya menenggak minuman botol di tangannya.
"Kan Om belum jawab pertanyaan aku. "
"Yang mana? "
Samira mendengus kesal, ternyata dari tadi bibirnya ngoceh tapi Davino tidak mendengarkan nya dengan baik.
"Itu lhoo. Apa Om yang bersihin rumah ini sendirian? Aku si kurang yakin. Soalnya kan kebanyakan laki-laki itu pemalas dan jorok. "
"Sini duduk, " Davino mempersilahkan istrinya untuk duduk. Mereka duduk di mini bar saat ini.
Tapi bedanya tidak ada soda ataupun bir. Hanya ada air mineral di sana, terlalu sederhana batin Samira. Tidak seperti mini bar yang kebanyakan ia tonton di drama Korea.
"Saya tidak pakai jasa pembantu disini. Kamu tadi bilang kebanyakan laki-laki itu pemalas dan jorok, tapi tidak semua laki-laki kan? Dan saya bukan termasuk dalam kategori yang kamu sebutkan itu. Saya suka kebersihan Samira. Saya harap kamu juga begitu, harus rapih, bersih dan wangi. "
Samira mengangguk paham.
"Berapa usiamu Mir? "
"Delapan belas tahun Om. Kita beda dua belas tahun. " Kata Samira, seolah menekankan perbedaan usia mereka yang terpaut jauh.
"Iya saya tau, jadi kamu mau terus panggil suamimu ini Om? "
"Iyalah, Om kan usianya jauh di atas aku. Kalau di panggil kakak rasanya ketuaan. Kalau di panggil Mas ih geli akunya. " Samira mengedikkan bahunya, sebenarnya bukan panggilan Mas yang membuatnya bergidik, tapi karena ia menyadari sosok dihadapan nya adalah suaminya.
"Emang saya terlihat setua itu? " Selidik Davino.
"Engghh… . Enggak sih. Gak terlihat begitu tua, tapi kalau di sandingkan sama aku, jelas banget kelihatan tuanya. "
Glekhhhh..
Dasar Samira, terlalu polos dan ceplas ceplos. Namanya juga anak kecil. Davino mencoba memaklumi ucapan Samira yang sebenarnya menyentil harga dirinya.
Perasaan, banyak perempuan yang naksir bahkan mendekatinya terang-terangan. Tidak ada yang menyebut nya tua, Davino biasa di sebut tampan dan mempesona. Tapi si istri kecilnya itu, baru saja menyinggung soal umur, awas aja Samira. Untung Davino orang nya tidak ambil pusing dan sabar.
"Oke terserah. Kamu bisa beres-beres? " Tanya Davino.
"Beres-beres rumah maksudnya? Yaa bisa aja sih. Aku biasa beresin kamarku sendiri. Tapi kalau untuk beresin rumah ini sendirian.. kayanya aku bisa jompo dini deh Om. " Mata Samira mengelilingi setiap sudut ruangan. Tidak terlalu megah, tapi cukup luas jika ia harus mengerjakan semuanya sendiri.
Samira tau, istri itu identik dengan bersih-bersih rumah dan melayani suami. Meskipun pada hakikatnya bukan begitu, tapi kebanyakan orang Indonesia seperti itu, padahal yang tanggung jawab atas rumah dan segala isinya adalah suami. Tapi jika istri bersedia membantu akan ada pahala tersendiri nantinya, begitu yang Samira tau.
"Saya gak bilang kamu harus mengerjakan semuanya sendiri. Kita bisa bagi tugas. Saya tidak suka jika pakai pembantu selagi kita masih bisa. Saya tidak suka ada orang asing masuk ke area privasi saya. "
"Lahh kita kan orang asing Om. "
"Kamu kan istri saya. "
"Ohh iya lupa. "
Dasar Samira, Samira. Davino membatin.
"Om.. "
"Hmm? "
"Nanti kita tidur sekamar? " Tanya Samira was-was.
"Memang kamu mau tidur di mana? " Tanya balik Davino. Ada ada saja Samira ini. Namanya suami istri harus tidur sekamar dong. Davino juga mau kali ada yang menghangatkan ranjangnya.
"Isss.. Orang nanya malah di tanya balik. Aku serius Om. Kita tidur sekamar? " Kedua ujung jari telunjuk Samira saling menyentuh seirama. Agaknya dia sangat penasaran dengan jawaban Davino.
Mereka kan jauh dari orang tua, jadi gak masalah dong kalau mereka pisah kamar? Lagian Samira takut. Dia belum siap malam pertama. Batin Samira.
"Iya, kita sekamar. Kamu istriku Samira. Suami-istri itu harus tidur di kamar yang sama. Jika kamu mau tidur di kamar yang lain, maka sekalian saja tidur diluar, saya tidak mengizinkan. " Tegas Davino.
Yaa meskipun mereka tidak saling kenal sebelumnya, tapi Davino tetap ingin merasakan hangatnya ranjang bergoyang. Oh astaga, nampaknya dia memang sudah menunggu terlalu lama untuk hal itu. Tapi sekalinya menikah, malah nikah dengan anak kecil. Samira pasti belum bisa diajak bikin anak.
Artinya sebelum dan sesudah nikah, sama saja. Nasib nasib. Sabar ya Davino.
"Tapi apa pacar Om gak marah kalau tau Om sekamar sama aku? "
"Pacar? Kamu sudah punya pacar Samira? " Lagi.. Lagi. Davino justru bertanya balik.
"Uhmm pacar belum sih. Tapi kalau calon pacar ada hehe.. " Ucap Samira cengengesan.
Oke, itu tidak penting untuk Davino. Dia hanya ingin tau status istrinya saja. Tapi karena belum ada cinta dihatinya, jawaban Samira terdengar enteng di telinganya. Tidak masalah, namanya juga anak-anak anggap saja angin lalu. Begitu fikir Davino.
"Kamu bisa nyapu? "
"Bisa Om. "
"Bisa nyuci baju? "
"Bisa Om. "
"Bisa masak? "
"Uhmm sedikit. "
"Kalau muasin suami? "
Deghhhhh…
Hah?!!
"Mau peluk cium. " Ucap Samira dengan manjanya membuat Davino langsung merengkuh tubuh istrinya dengan gemas. Entah siapa yang memulai, tapi bisa dipastikan itu diawali oleh Davino yang menempelkan bibirnya di atas bibir sang istri. Samira melebarkan matanya saat Davino tiba-tiba menempelkan bibir nya di atas bibir Samira. Tentu saja, meski sudah pernah berciuman, namun rasanya selalu menggetarkan jiwanya. Apalagi sekarang, mereka baru saja saling berbincang ringan dari hati ke hati. Samira sedikit terkejut sebelum akhirnya mampu menetralkan dirinya. Samira memejamkan matanya, melihat sang istri yang seolah memberi lampu hijau. Kini Davino, mulai berani untuk menggerakan bibirnya di atas bibir Samira. Davino memagut dan menghisap bibir yang jadi candu dan kerinduannya. "Aku mencintaimu Samira. " Ucap Davino melepaskan pagutannya. ""Aku juga mencintai Om. " Balas Samira yang padahal hatinya bergemuruh hebat didalam sana. Kemudian, Davino kembali melahap bibir ranum sang istri. Di
"Akhh Om… uhhh, geli banget. "Tok, Tok, Tok!! TOK, TOK, TOK!!!! "Shit! Pengganggu saja! Sepertinya kita harus pindah rumah agar tidak ada yang mengganggu. " Keluh Davino. Davino melangkah lebar dengan mulut yang terus menggerutu kesal. Siapa di balik pintu sana yang berani mengganggu kemesraan nya dengan sang istri? Jengkel sekali. Ingin rasanya mengabaikan, tapi ketukan pintu dan suara bel itu justru semakin bising dan mengganggu. Cklek, "Ada apa?! " Tanya Davino ketus dengan raut wajah tak bersahabat. "Dokter Vander? " Ucap Davino mengendalikan emosinya, dia harus profesional untuk teman seprofesi nya. "Dokter Davino, maaf mengganggu waktunya. Tapi kita ada panggilan dari rumah sakit sekarang juga. Keadaan benar-benar genting, Dokter Deby sudah menghubungi anda namun tidak ada jawaban. Beruntung saya sedang dijalan menuju rumah sakit dan berbelok ke rumah anda untuk memberitahu soal ini. " Ucap Dokter Vander cepat karena situasi mereka benar-benar terdesak. Meski Davino seh
BUGH! "Fuck! " Umpat Davino seraya memegangi sudut bibirnya yang terkena pukulan tiba-tiba dari Arfa."Akh!! Mas Arfa!! Apa-apaan sih?! Om, sudah Om! Jangan bertengkar lagi. " Samira menatap marah pada Arfa yang tiba-tiba memukul suaminya, kemudian dia langsung menghadang tubuh Davino yang siap menyerang Arfa. "Sudah, tenang. " Kata Samira menenangkan suaminya, sementara Davino langsung diam ketika Samira memeluknya dari samping, sepertinya Davino sudah menemukan pawangnya. "Dia menyakitimu lagi Mir? " Tanya Arfa nyalang menatap Davino yang tak kalah sengit menatap tajam. "Mas maaf, sepertinya aku salah paham. Om Davino tidak menyakitiku, maaf ya Mas sudah membuat khawatir. Sampaikan maafku juga pada Tante. " Ucap Samira dengan mata mengiba. Sungguh malu sekali, dia menyimpulkan terlalu cepat. Ketika Samira mendengar nama Dinha disebut, dia langsung mengirimkan pesan pada ibunya Arfa jika Davino kembali membohonginya. Tapi ternyata semua hanya salah paham ketika Samira melihat b
"Makan yang lahap ya, ini jus buah untukmu. Katakan apa yang kamu mau? Aku pasti akan mengusahakan nya, paham? " Davino bertutur begitu lembut diiringi senyuman hangatnya, dia mengusap perlahan perut Samira yang masih rata, sementara Samira terdiam merasakan sentuhan hangat dari suaminya. Andai sosok Dinha tidak pernah ada, mungkin masa kehamilan di trimester pertamanya akan terasa hangat. Namun sayang, setelah kejadian itu, Samira justru lebih menutup dirinya, seseorang yang biasanya ekspresif itu, kini nampak pasif. Samira hanya mengangguk patuh, beberapa hari belakangan ini, Davino benar-benar memperlakukannya bak tuan putri. Mual sedikit saja Samira langsung dapat perhatian intens, Davino bahkan selalu memberinya pijatan setiap malam sampai dia benar-benar tertidur lelap. "Aku senang kamu kembali, aku kacau saat kamu pergi Mir. " Davino membawa istrinya ke dalam dekapannya, entah sudah berapa puluh kali Davino mengatakan itu. Tapi sepertinya, laki-laki itu tidak pernah bosan m
"Wajahmu tampak pucat, langsung istirahat ya? Atau mau makan dulu? Kamu sudah makan belum? Mau makan apa? " Rentetan pertanyaan keluar dari bibir Davino ketika mereka sudah tiba di rumah. Rumah yang Samira tinggalkan sejak tiga minggu yang lalu. Selama perjalanan, Davino merasa cemas pada gelagat Samira yang terlihat tidak nyaman, sesekali wanita itu memegangi perutnya, sesekali terlihat meringis, dan sesekali terlihat sedang menahan mual. Tapi Davino urung untuk membuka pertanyaan, dia masih sangat terbebani dengan perasaan bersalahnya pada sang istri. Sampai tiba dirumah, barulah Davino menumpahkan segala pertanyaan yang ia tahan sejak perjalanan tadi. Samira menggelengkan kepalanya sebagai jawaban, membuat Davino tidak puas dengan jawaban istrinya, Davino memegangi kedua bahu Samira dari belakang seraya mengelus nya begitu lembut, menggiring Samira ke dalam kamar mereka, kamar yang terlihat kacau tidak seperti biasanya. Samira sampai diam sejenak mendapati ruangan yang biasanya
Hari ini, Davino memutuskan untuk menjemput istrinya, tiga minggu sudah ia tidak melihat Samira, dan hari ini dia harus membawa pulang sang istri. Tidak bohong, ada rasa rindu yang terselip di bagian dalam perasaannya, ada rasa kecewa dan amarah yang ingin ia ceritakan pada sang istri, kini perasaan dan pikirannya mantap untuk mempertahankan rumah tangga mereka, Davino agaknya telah mencintai istri kecilnya meski tanpa ia sadari kapan cinta itu tumbuh dalam hatinya. Dan nampaknya, ia sedang mematahkan statement 'Jika laki-laki hanya jatuh cinta sekali seumur hidup, sisanya hanya melanjutkan hidup. ' karena di kehidupannya yang sekarang, dia masih mencintai wanita lain selain cinta pertamanya. Semua bisa terasa jelas, jika kisah masa lalunya sudah selesai, Davino tidak lagi menginginkan Dinha ataupun kisah kenangan mereka. Dia sudah menutup buku tentang masa lalunya. Davino hanya menginginkan istrinya untuk merajut kisah cinta yang sempurna dalam ikatan janji suci pernikahan, untuk di