Share

05. Penawar: Bocah Kecil

Bibir ini tertawa nyaring dengan pipi basah yang dapat kurasakan asinnya.

Mengapa pengaduan pelecehan sialan itu makin menganga, seolah senjata makan tuanBukankah dalam kasus ini Anggara yang bersalahNamun, aku yang dicaci!

Pertanyaan demikian berputar kusut di benakku bersama cairan penghapus dahaga luka. Berbotol-botol alkohol telah kerongkongan ini tenggak, tapi mengapa Kaneena masih mampu membaca judul-judul artikel tak berperi? "Mengapa hanya namaku saja yang dijatuhkan oleh mereka? Mengapa tidak ada nama Anggara?!" Suraiku terjambak kasar akibat sakit yang tak berujung. Ini tidak adil. Setidaknya, jika Kaneena hancur, penghancurnya pun sama. Bagiku, Anggara tak cukup hanya dengan dijebloskan ke penjara!

Hening .... Bahkan, dinding ruangan ini pun seolah tak sudi mendengar keluhku. Mereka beralih tertawa, mencemooh bahwa Kaneena berhak mendapatkan kehancuran.

"Bisa diam tidak, sih?!" geramku, pada mereka. "Ah, ya." Aku mengangguk dengan senyuman miring. "Aku lupa. Bukankah Kaneena artis papan atas yang sangat terkenal? Aku ...." Aku tak tertarik melanjutkan ucapan ketika menemukan Willis di depan wajah ini. Namun, mengapa tampak buram? Apakah ia hanya buah dari halusinasi akibat aku yang terlampau banyak minum? Menyadari ketololan, gelengan ini menunduk, meresapi sesak di dada.

"Kaneen ...."

Kini, aku beralih ke kaca raksasa, pembatas ruangan dan udara ngilu milik semesta. Suara Willis amat nyata, tapi aku tak sudi menyorotnya dengan keburaman. "Jika menjadi artis adalah nasibku, mengapa Tuhan menghancurkan semuanya?"

***

Aku membuang pandangan ke kiri, memperhatikan titik-titik air yang membasahi kaca mobil. Siang ini, Jakarta dibasuh oleh hujan. Polusi dan kerumunan menyingkir dari tengah jalan, memilih berteduh di depan ruko-ruko. Tak jarang mereka menepi untuk sekadar mengenakan jas hujan, atau menetap agak lama akibat lupa membawa perlengkapan.

Nyaris tiga minggu aku menjadi pengangguran. Apa yang dapat Kaneena lakukan jika seluruh kontrak dibatalkan dan tak satu pun agensi baru sudi menerima kami—aku dan Willis?

"Mereka takut merugi jika memiliki artis berskandal sepertiku." Aku terkekeh samar, kemudian menyorot Willis. "Apakah ini salahku?"

Pria itu menggeleng tegas.

"Mereka hanya iri padaku yang mampu mendapatkan segalanya." Aku berdecak kesal sembari menyilangkan lengan di dada. "Banyak artis lain yang terjerat skandal. Namun, hanya skandalku yang seolah dibesar-besarkan."

Tak menggeleng, Willis mengangguk. "Kau harus mengurangi sifat sok angkuhmu."

Kuselami netra pria itu dari kaca bagian langit-langit mobil. Seumur bersamanya, baru kali ini Willis berkomentar secara intens perihal watakku. "Aku hanya tak ingin dianggap remeh, berlebih tampak menyedihkan di mata mereka." Netraku berputar malas, mengingat kekejian di mana Kaneena dikasihani. "Aku mengaku cantik, bukankah aku memang cantik? Aku mengaku kaya, bukankah aku memang kaya?"

Willis tampak menarik napasnya berkali-kali. "Bukan begitu konsepnya, Kaneen."

Aku berdecak malas. "Sayang sekali, konsepmu dan konsepku tidak bertemu."

***

Kali ini, aku terpaksa mendekam di apartemen. Tak ada yang dapat bosanku lakukan selain menyaksikan drama sedih atas tragedi. Karena jika membuka i*******m, artikel, f******k, atau hal lain yang berbau dunia maya, hanya berisi cacian dan makian untuk seorang Kaneena.

Aku beranjak, meraih kutek sebelum mendarat di tempat semula sembari bersenandung pelan. "Persediaan stok untuk merawat diri masih selangit. Jadi, daripada sakit kepalaapa salahnya aku memanfaatkan mereka?" Ketika hendak bersantai, notifikasi pesan meluapkan rasa penasaranku untuk memeriksanya.

From: Willis

Kaneena, coba lihat acara gosip sore ini. Penting!

Dengan pergerakan malas, aku mengganti siaran televisi setelah mencomot cookies.

Petisi boikot Kaneena dari dunia hiburan mencapai satu juta dalam dua jam.

Jantungku merosot hingga perut bersama senyuman miris. "Aku baik-baik saja, bahkan jika tidak menjadi artis sekalipun!"

***

Karena tak banyak aktivitas yang dapat dilakukan, aku kerap menghabiskan waktu untuk menemani ibu. Namun, ketenangan kami terganggu karena mendengar tangisan anak kecil dari depan kamar. Aku keluar sebelum mendekat. "Mengapa menangis, hei?!" Tubuh ini berjongkok, berusaha memperhatikan wajahnya lamat. Namun, bocah itu masih bisu. "Kau bisu?!" Aku menggeram sebelum memutar mata malas. Jika diperkenankan jujur, aku sangat membenci makhluk cengeng yang kerap menyusahkan sekitar seperti ini.

"Bola adek hilang." Akhirnya, makhluk sialan itu berbicara juga. Sesuai pradugaku, menikah dan memiliki anak amat merepotkan.

Entah mengapa, beberapa tahun terakhir, aku tak menyukai anak kecil. Pertama, mereka terlampau bodoh dan polos, sama sekali tidak memahami sekitar. Kedua, mereka tak mampu memberikan perlawanan, bahkan jika hendak dibunuh sekalipun. Ketiga, mereka tak peduli jika aku kata-katai.

"Jika bolanya hilang, dicari, bukan malah menangis." Aku mengembuskan napas kasar berkali-kali, berusaha memupuk kesabaran. Jika bocah ini adikku, telah sedari tadi kumaki hingga ia beranjak dewasa—seusia Kian.

Tak kunjung diam, bocah cengeng itu makin histeris.

"Diam tidak?!" Emosi ini telah meninggi dan hendak berlalu sebelum membeku karena bocah itu memeluk pahaku.

"Bantu adek mencali bola. Ayah tidak ada." Ia makin mengetatkan dekapan.

Aku lelah, banyak pikiran, dan malas memerankan drama hari ini. Namun, ketika hendak melepas dekapan bocah sialan itu, aku berbalik. "Beli yang baru saja!"

Balita itu mencebik sedih, kemudian menggeleng. "Tidak. Bola itu pembelian bunda. Adek tidak ingin membeli yang balu ...."

Tuhan, aku ingin segera memasukkan anak ini ke sungai agar ia diam untuk selamanya. Aku memutar mata kesal. "Ya, sudah, pergi sana! Aku sibuk dan banyak urusan!"

"Tante, bantu adek mencali bola!" Kini, ia menarik-narik ujung bajuku.

Aku meringis ngeri. "Aku bukan tantemu!"

"Adek tidak memiliki teman selain ayah, tapi ayah sedang pelgi." Balita tiga tahunan itu makin merengek. "Tante ...."

Dengan perasaan gondok, aku mendarat pada bangku panjang di depan ruangan ibu. Kemudian, memainkan ponsel dan membiarkan bocah sialan itu terdiam sembari bersandar di lengan kiriku. "Lebih baik kau mati saja daripada merepotkan orang lain seperti ini! Dasar anak setan," gumamku, yang mendapatkan sorot polos dari netranya. Seperti perkiraan, ia tak peduli meskipun aku kata-katai.

Agak lama kami membeku di tempat semula.

"Ucapanmu sangat tidak pantas untuk putraku. Kau tidak diajarkan caranya bersosialisasi dengan manusia? Atau kau memang bukan manusia?"

Keterkejutanku mendongak. Nada ucapan pria itu datar, tapi isinya amat menusuk. Bibir ini beku karena kesal setelah menyadari bahwa sosok yang berdiri di hadapan kami adalah Dosen Pembimbing Akademik Kian dan ... aku melirik balita laki-laki yang telah mendengkur halus di lengan ngilu ini. "Jadi, ia anakmu?" Aku melempar senyuman sinis. Tuhan, mengapa aku baru menyadari jika bocah sialan itu adalah anak pria berkemeja merah hati? "Ajarkan anakmu untuk tidak merepotkan orang lain!"

***

Sialan. Bocah mengesalkan itu bahkan telah kusumpahi mati, tapi mengapa ia malah mengajak makan es krim bersama sang ayah di kafe tertutup seperti ini? Jika kenakalannya tidak histeris di depan ruangan ibu, demi Tuhan, aku lebih baik terkunci di kamar mandi daripada seruangan tertutup dengan mereka. Sayangnya, kami seolah berjodoh dan kerap bertemu.

"Ayah, ini tante yang menemukan bola adek dulu." Netra bocah itu berbinar terang sementara sosok yang ia panggil "ayah" hanya menyorotnya datar.

Aku berdehem karena canggung, kemudian menyuap bersendok-sendok es krim agar partikel dingin itu segera tandas.

"Tante, telima kasih. Adek senang." Gigi mungilnya seolah melambai.

Aku mengedikkan bahu sebelum terkesiap karena anak itu memeluk lengan ini, akibat posisi kami yang bersebelahan. "Aku bukan tantemu." Bukankah aku telah mengatakan tidak menyukai anak kecil?!

Makhluk sialan itu seolah tak memedulikan ucapanku. "Bunda sedang sakit dan seling tidul. Jadi, adek tidak memiliki teman selain bibi. Saat ini, bibi sedang pulang kampung kalena anaknya sakit. Tante mau, 'kan, menjadi teman adek?" Netranya berkedip sangat polos.

Aku hanya beku. Makhluk mungil ini adalah definisi bebal yang sesungguhnya.

"Tante ...."

"Kau tuli?" Pria itu berdehem, hingga sorotku jatuh pada wajahnya.

Setelah menyadari satu hal, netra ini berputar malas dengan napas terhela. Aku mendekatkan wajah, mengabaikan gurat kakunya. "Katakan pada anakmu bahwa aku tidak menyukai dan tidak ingin menjadi temannya. Paham?" Raga ini beranjak setelah meraih tas selempang di punggung kursi. "Terima kasih es krimnya. Lain kali, jika memiliki anak ... dijaga. Jangan dibiarkan melanglang buana dan mengusik ketenangan orang lain!"

Pria itu menyorotku tajam. Giginya beradu dengan wajah memerah, seolah menahan amarah. Namun, apa peduliku?

"Tante akan ke mana?" Seolah tak memedulikan ucapanku, bocah setan itu kembali memeluk lengan ini sebelum kusentak hingga tangannya terayun di udara.

Aku memutar mata malas. "Pulang. Bukankah ayahmu sudah ada? Jadi, sana pulang! Aku sibuk!" Aku mengenakan kacamata dan topi, meninggalkan isak histeris makhluk cengeng yang tak ingin ditinggal itu.

***

Entah mengapa, semenjak aku menemukan bola milik bocah sialan itu, ia kerap berkunjung ke depan kamar inap ibu. Ah, namanya Azillo. Terkadang ia memanggil dengan suara mungilnya, tak jarang mengetuk pintu kamar sebelum suara lembut yang menyebalkan itu menghilang. Karena tak sudi, tentu saja aku abai. Banyak permasalahan hidup yang harus Kaneena pikirkan daripada bermain bersamanya! Tuhan, tolong. Jangankan bermain, bertemu saja emosi ini mendidih.

Ketika mendengar langkah mungil itu, aku memutar mata malas. Sebentar lagi .... "Satu ... dua ... ti—"

"Tante, adek datang. Tante masih tidak ingin belmain belsama adek?"

Aku mengembuskan napas gondok, kemudian melirik ibu yang sedang terlelap damai.

"Tante, adek ingin main!" Kali ini, bocah itu meninggikan suaranya.

Rasa kesalku meluap, membawa tungkai ini untuk melangkah tergesa, kemudian mendelik geram setibanya di depan pintu kamar. "Heh! Bisa diam tidak? Ibuku sedang tidur!" Aku beralih pada pria yang tiba di sisinya.

Pria itu berjongkok sebelum mengusap wajah sang putra. "Adek, bukankah Adek telah berjanji untuk tidak bermain selain di depan kamar?"

Bocah sialan itu melirikku dan sang ayah bergantian.

Pria itu mengangkat sang putra ke gendongan. Tanpa kata, berlebih melirik sedikit pun, ia berlalu hingga dada ini makin gondok. Sehari saja makhluk sialan itu tak mengunjungiku, pasti hidup ini akan lebih tenang.

Aku mengembuskan napas lega semendaratnya di sofa kamar rawat inap ibu sebelum kembali terkesiap karena histeris yang amat familier memekakkan telinga. Histeris pilu itu bercampur dengan panggilan-panggilan untuk sang bunda. Perlahan, rasa penasaran ini mengintip dari celah pintu, menemukan makhluk sialan itu yang tengah memberontak. Ia mengejar brankar berisi wanita muda yang ... aku tak mampu melihat lebih jelas karena ditutupi oleh tubuh beberapa perawat.

"Ayah, mengapa bunda tidak bangun-bangun?! Mengapa tubuh bunda ditutup kain?" Wajah dengan isak tangisnya mendongak setelah tertangkap oleh pelukan sang ayah. "Bukankah tadi pagi bunda masih belmain belsama adek?"

Aku tak menemukan jawaban pria itu selain sorot sendu dengan wajahnya yang memerah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status