Share

06. Belajar Menjadi Pengasuh

Dulu, Kaneena merasa aman dengan apa yang ia miliki hingga tak berpikir bahwa hari jatuh akan tiba. Aku berpikir akan menjadi artis selamanya, tapi Tuhan mencabut seluruh yang hidup ini miliki hanya dengan sekedipan mata. Ya, sedikit manusia yang berpikir panjang. Namun, mulai detik ini, aku akan menjadikan kegagalan sebagai pelajaran. Percayalah, denda yang harus dibayarkan ke agensi akibat cinta buta kami bukan miliaran melainkan triliunan.

Dulu, ibu mendoktrin Kaneena untuk menjadi artis dan mengatakan bahwa kami akan kaya raya, kemudian hidup bahagia hingga mimpiku menjadi seorang dosen harus pupus. Tak apa asalkan mereka bahagia, tentunya. Namun, ketika aku menjadi artis—mengikuti doktrin ibu, bahkan hidup dengan harta melimpah sekalipun—percayalah, hati ini hampa. Tidak ada kebahagiaan selain ambisi untuk mencapai kesenangan fisik, bukan jiwa. Dari sana aku belajar satu inti kehidupan, yaitu jangan pernah mendoktrin orang lain untuk mengikuti keinginanmu, bahkan darah dagingmu sekalipun hingga ia silau dan membiarkan mimpi kecilnya lepas begitu saja, beralih mati-matian mewujudkan mimpi orang lain yang belum tentu mampu ia jalani.

Besar pengeluaran daripada pemasukan, membuat otakku melilit. Berapa banyak pun harta yang dimiliki, lambat laun mereka akan habis. Kemudian, tergantikan dengan kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi. Kini, aku menyadari bahwa Kaneena tak hanya diboikot dari dunia hiburan melainkan juga Indonesia.

Napasku tertarik berkali-kali sembari menyorot ibu yang terlelap tenang, kemudian melangkah ke ruang dokter dalam kehampaan. Semendaratnya di sana, aku tersenyum getir. Pasalnya, gurat lesu pria matang itu amat kentara.

"Kondisi Bu Arumi memburuk. Kami telah melakukan yang terbaik, tapi Tuhan seolah berkehendak lain." Pria itu mengembuskan napas berkali-kali sembari menyorotku putus asa, terpancar jelas kegundahannya.

"Apakah—"

"Perihal sumsum tulang belakang, kami masih belum mendapatkan pendonor yang sesuai." Pria itu menambahkan.

Netraku menyatu, kemudian memperhatikan beberapa lembar kertas yang pria itu sodorkan, berisi hasil pemeriksaan terakhir perihal riwayat kanker ibu.

"Baik, Dok. Terima kasih atas informasi yang Dokter beri. Saya undur diri." Aku melangkah keluar ruangan.

Di sepanjang lorong rumah sakit, hanya hati ini yang tahu bahwa aku tengah meratap. Kemoterapi yang kerap ibu lakukan seolah tak membuahkan hasil. Kondisinya memburuk karena sel-sel baik di tubuh wanita itu pun ikut mati sementara sel kanker tak menunjukkan kata menyerah.

Ketika menyorot ujung lorong, aku menemukan Kian sebelum memeluknya erat. Adikku telah lesu, tapi ketegaran ini akan berusaha menunjukkan bahwa tak satu pun pantas disesali hingga tungkai kami yang beiringan tiba di kafe rumah sakit. Kuperhatikan, ia memutar-mutar sedotan sementara netra ini hanya mampu menyorot dalam kebahagiaan palsu.

"Kaneen, kau serius aku berhak mendapatkan beasiswa itu?" Netranya menyorotku penuh ragu. Entah berapa kali Kian menanyakan hal yang sama.

Keyakinan ini mengangguk. Bagiku, ia amat berhak. "Bukankah aku telah memintamu mengurus semuanya?" Lidahku berdecak. "Aku telah mengurus asuransi pendidikanmu. Berdoa saja agar asuransi tersebut cukup."

Jakun Kian naik turun. Ia seolah ragu dan bimbang, berhasil membuatku merasa kesal.

"Apa lagi yang kau ragukan, Ki? Jika aku hanya lulusan Sekolah Dasar, kau harus lulusan S3." Aku berucap penuh keyakinan agar ia tak menerima ragu meskipun ungkapan semangat ini tak jauh berbeda dengan omelan.

Kian terkekeh samar, kemudian mengacak rambutku penuh geram. "Kaneen ... Kaneen."

"Adik tidak sopan." Aku memutar mata malas. Pasalnya, Kian tidak pernah memanggilku "kakak". "Sudah berulang kali—"

"Kak Kaneen yang keras, tapi baik. Terima kasih, Kak." Pria itu memasang ekspresi imut.

Kobaran di dada ini tersiram air es. Kian seolah sengaja menggodaku sembari mencubit pipi ini. Hanya padanya aku sudi bersikap baik hati.

"Apa pun itu, beritahu aku. Kau hanya memilikiku untuk berbagi." Pria itu menambahkan.

Aku tak mengangguk ataupun menggeleng selain beku dengan ucapannya. Wajar aku amat menyayangi Kian. Pasalnya, pria itu penurut dan tidak suka melakukan hal-hal negatif.

"Nanti malam, aku ke Jogja." Pria itu mengembuskan napas berat, seolah ada batu yang menghimpit dadanya. "Mungkin aku akan sibuk mengurus semuanya. Jadi, aku akan jarang mengunjungimu dan ibu."

Aku paham. Kian bukannya tidak tahu kesulitan sang kakak yang tengah terpuruk. Namun, jika ini yang dapat ia lakukan untuk membahagiakanku, pria itu pasti sudi.

"Pak Rayen yang akan membantuku mengurus semuanya."

Mendengar nama pria yang ber-image buruk di otak ini, napasku berembus malas. Namun, apa boleh buat? Nyatanya, Baeck Rayen memang sosok yang berperan penting di dunia pendidikan Kian. Jika demi masa depan Kian, aku menjunjung tinggi toleransi.

Hening ....

"Sebenarnya, siapa Baeck Rayen itu?" Aku memutar gelas sembari melirik ketenangan Kian, kemudian mengaliri cairan pekat sebagai pengobat dahaga.

"Dosen Pembimbing Akademikku." Kini, Kian melirik ponselnya sekilas sebelum menyorotku lagi. "Ia memiliki balita berusia tiga tahun."

Aku terdiam, mencerna sesuatu sebelum penasaran dengan satu hal setelah kejadian beberapa hari lalu. "Istrinya sedang sakit?"

"Dosenku yang satu itu amat tertutup." Ia mengedikkan bahu, tampak berpikir. "Aku pernah bertanya perihal wanita yang dipanggil 'bunda' oleh Azillo, tapi Pak Rayen tidak memberi penjelasan apa pun selain alasan saudara."

Alisku bertaut. Bukankah Azillo kerap memanggil wanita itu dengan sebutan "bunda"? Jadi, tak ada salahnya jika ia mengaku bahwa sosok tersebut adalah sang istri. "Sakit apa?" Aku memajukan wajah. Sialan. Bahkan, tak ada yang meminta, tapi bibir ini seolah berucap dengan sendirinya.

Kian memutar mata malas. "Jika ingin tahu, tanya saja sendiri. Bukankah telah kukatakan bahwa Pak Rayen amat tertutup?"

"Apakah dosenmu itu ...." Aku tersentak ketika seseorang berdehem di sisi kiri kami. Dengan gengsi setinggi langit, wajah ini mendongak angkuh, seolah tak ada perbincangan serius apa pun tentang dirinya. "Ah, maksudku dosen wanitamu, apakah ada yang seusiaku?" Sialan. Semoga pria itu tidak mendengar pertanyaan-pertanyaan yang kulayangkan untuk Kian sebelum ia menampilkan wujud.

Kian tersenyum geli. "Pak, kakak saya penasaran dengan kehidupan Bapak. Sesekali diajak jalan, Pak. Agar ia tidak seperti mayat hidup."

Gigiku beradu, menyorot Kian dengan dada geram. Adik sialan!

***

Aku mengembuskan napas berkali-kali. Tuhan, harus sampai kapan lagi bocah sialan ini menjadi benalu?

To: Kian

Sialan! Mengapa harus aku, sih, yang menjadi tempat penitipan bocah cengeng ini?

From: Kian

Kami ada urusan mendesak. Hanya tiga jam. Pak Rayen mengatakan bahwa ia tidak bisa meninggalkan Azillo di rumah sakit dengan saudaranya yang sakit. Jadi, kami terpaksa menitipkannya padamu.

To: Kian

Cepat pulang. Jika tidak, aku akan membunuh anak ini!

Aku mengembuskan napas berkali-kali setelah melayangkan pesan. Namun, baru hendak melangkah ke arah di mana bocah itu berada, ponsel kembali berdering keras yang kuraih dengan pergerakan malas. "Halo, Ki ...."

"Tolong jaga anakku sebentar. Banyak yang harus kami urus perihal beasiswa. Seharusnya, kau yang berterima kasih." Ucapan pria itu amat ketus dan tak manusiawi.

"Cepat pulang, atau aku akan membu—"

"Kau pikir, aku tidak dapat membunuh adikmu?"

Mataku membola, hendak melayangkan protes tambahan, tapi sambungan telepon Kian lebih dulu terputus. "Sialan!"

***

Demi Tuhan! Andai Kian tidak bersamanya dan pria itu pun tidak menelepon sepuluh menit sekali, rasa geram telah menyiksa anak ini agar ia tidak menempel terus padaku. "Geser, Zillo. Aku bisa sesak napas jika kau menempel terus begini!"

Bocah itu mendongak, menyorot wajah kesalku. "Tante, adek kedinginan."

Tuhan, memiliki anak benar-benar harus ekstra sabar. Jika begini, aku yang mulanya tak ingin memiliki anak, menjadi benar-benar tidak ingin memiliki anak!

"Kau tidak memiliki tangan? Kaki?" Aku memutar mata malas, kemudian meraih selimut di ujung kakinya.

Kini, posisi kami sedang tengkurap di kasur. Aku sibuk dengan laptop yang berisi sebuah cerita fiksi sementara anak itu sibuk bersandar pada bahu ini, entah apa yang ia lakukan.

"Selimutnya belat." Bibir bocah itu mengerucut polos, masih berusaha membenahi selimut yang aku jatuhkan pada tubuhnya ketika netra ini menyorot kesal.

Dengan pergerakan cepat, aku membantunya meskipun setengah hati. "Dasar anak setan," gumanku.

Bocah itu hanya menyorot santai. "Setan itu apa, Tante?"

Tawa bodoh ini nyaris menyembur, agak tidak percaya bahwa Zillo tidak mengerti makna "anak setan". Muncul ide licik di benakku. "Setan itu artinya tampan." Aku mengangguk penuh semangat, berusaha meyakinkannya. "Ya, anak setan itu anak yang tampan."

Wajah anak itu berbinar tanpa dosa, menyentak dadaku untuk makin dalam merasa berhasil membodohinya.

"Telima kasih, Tante. Illo tampan, sama sepelti ayah." Ia tersenyum cerah.

Aku ingin muntah mendengarnya. Namun, bocah itu benar. Sang ayah memang tampan meskipun perilakunya bak setan.

"Siapa yang sakit?" Karena merasa diberi kesempatan, aku bertanya demikian. Ya, barang kali bocah bodoh ini dapat memberi rasa penasaranku beberapa informasi penting perihal keluarganya, sebagai senjata Kaneena untuk mengolok-olok pria sialan itu.

"Bunda." Bibir bocah itu mengerucut. Kepalanya menunduk lesu dengan netra yang tidak seberbinar tadi. "Bunda sakit."

"Bunda itu ibumu?" Aku berusaha membuka celah lagi agar ia lebih terbuka. Pasalnya, penjelasan anak ini dan Kian agak berbeda. "Ibu yang melahirkanmu?"

"Hu'um."

"Sakit apa?" Netra ini penuh intimidasi.

"Adek tidak tahu." Ia mengedikkan bahu, kemudian menggeleng. Kutemukan sorot sendu itu yang seolah ingin mengadu, tapi ada keterbatasan.

Tak memedulikannya lagi, aku fokus pada tulisan. Dalam kisah klasik yang tertoreh oleh jemari Kaneena, ada dua insan egois. Mereka mencengkeram untuk saling melukai. "Miris." Aku berdecak malas. Demi Tuhan, menulis kisah tentang Rhea dan Ares membuatku sakit kepala.

Di sana mengisahkan tentang dosen dan mahasiswi berkarakter kuat. Sang dosen telah menikah sepuluh tahun, tapi mengaku masih lajang karena ada misi yang harus ia perjuangkan untuk Rhea dan kehidupan gadis itu. Hingga Rhea bertekuk lutut akibat tragedi pemerkosaan oleh preman jalanan, mereka menikah dan mendambakan buah hati. Namun, setelah dinyatakan hamil, di saat itu pula Rhea tahu bahwa sang suami telah beristri dan ia adalah madu.

Lenganku terasa ringan. Ketika menoleh ke bocah sialan itu, napas ini terembus lega. Ia telah terlelap damai dengan tubuh tengkurap, menggunakan lengan mungilnya sebagai tumpuan. "Bagus. Tidur yang nyenyak. Jika perlu, jangan bangun lagi." Aku bergumam, tidak sungguh-sungguh. Jika anak itu mati, bisa-bisa Baeck menghancurkan bumi ini.

Ia masih mendengkur halus.

Aku hendak beranjak, mengambil segelas air sebelum urung ketika bocah itu menggigil. Kuguncang pelan tubuhnya, tapi Nihil. "Hei!"

"Bunda ...."

"Bocah!" Aku agak meninggikan suara, tapi masih nihil. Mengingat satu hal, refleks ini mengambil segelas air putih, kemudian memercikkannya ke wajah Zillo.

Ia berkedip pelan. "Tante—"

"Kau mengigau. Bisa diam tidak?!" geramku.

"Tante, adek lindu bunda. Tante, adek ingin dipeluk." Mulanya, wajah polos itu hanya merah, tapi beralih mengeluarkan isak tangis.

Aku mengembuskan napas lelah, kemudian memunggunginya setelah mendarat di kasur. "Aku sibuk!"

***

Sialan. Sorot pria itu seolah menyalahkan karena sang putra demam sungguhan.

"Bukankah kau mengatakan akan kembali setelah tiga jam?" Aku menyilangkan lengan malas. "Tiga jam aku menjaganya. Di jam-jam berikutnya, bukan tanggung jawabku lagi!"

Pria itu mengusap wajah, tampak sangat geram sementara Kian menyorotku tak kalah gila. Mereka benar-benar memberi vonis bahwa aku bersalah. Memang manusia-manusia sialan yang tak tahu diri.

"Biasa saja. Tidak perlu menatapku begitu." Aku menggaruk tengkuk yang tidak gatal, kemudian melangkah keluar kamar. Namun, ketika hendak menyentuh pintu, bocah itu merengek yang sontak menyebabkan langkah ini terhenti sebelum menoleh.

"Ayah, adek lindu bunda." Zillo menyorot sang ayah dengan bibir mengerucut. Wajahnya masih pucat.

"Nanti kita bertemu bunda, ya, Sayang ...."

Bahuku mengedik geli. Benar-benar drama mengesalkan antara ayah dan sang buah hati.

"Bukan salah tante." Bocah itu melirikku dengan sorot sayunya. "Adek sedali tadi bobok di samping tante."

Anak pintar! Dada ini bersorak senang. Mendengarnya, aku menyilangkan lengan. "Aku pikir, kalian tidak tuli. Bahkan, aku yang mengurusnya seharian." Netraku berputar malas.

Demi Tuhan, niat jahatku tak akan terealisasikan karena ada Kian yang berada di bawah ketiak pria sialan itu.

"Sekalang, adek ingin bobok, tapi dipeluk tante."

Petir seolah menyambar kepalaku, berlebih ketika mereka menyorot dengan ekspresi tak terbaca. Ini benar-benar kiamat dunia.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status