Share

09. Jatuh Sakit

Katanya, taraf ikhlas itu tergantung jarak kita pada Tuhan. Makin renggang hubungannya secara vertikal, maka ikhlas makin tak berwujud. Namun, satu yang membuatku tersadar bahwa Tuhan terkadang amat menyebalkan.

Mengapa Ia harus menciptakan larangan jika insan tak selalu mampu mengontrol keinginannya? Ini seputar surga dan neraka, tapi bagaimana dengan insan yang amat terluka akibat aturan-Nya?

Hal yang amat Kaneena benci dari Tuhan adalah, Ia tak menyelamatkanku ketika Kaneena diperkosa oleh sang ayah. Kepercayaan ini pada Tuhan tergerus karena sakit yang kuderita. Aku yakin bahwa luka ini tak akan sembuh.

Kibasan lembar putih membuatku tersadar dari lamunan. Setelah menyadari sesuatu, denyutan di kepala ini memekat.

Lorong kelam di hadapanku memberi pertunjukan. Di ujungnya amat menyilaukan, tapi mengapa pemilik bangunan mirip galeri foto kosong ini tak memberi lampu sebagai penghubung ruangan? Ia seolah tahu bahwa Kaneena tak memiliki rasa takut.

Tungkai ini terayun pelan, sedikit mengendap. Rasa penasaranku mendominasi ketika semilir angin memecah tatanan rapi rambutku hingga mulai tampak tak berbentuk, layaknya pemotretan di tepi pantai atau di dalam ruangan yang didukung oleh kipas berangin kencang.

Makin melangkah, aku makin ingin tahu apa saja yang ada di bangunan ini. Pasalnya, tak ada suara apa pun selain senyap yang setiap butir mengisi rasa penasaran dan mencampakkan ketakutan. Merasa telah berada di tengah perjalanan, aku menoleh ke belakang, hanya berisi tirai putih tadi yang rupanya tak lain dan tak bukan adalah penutup kaca raksasa. Di seberang kaca raksasa tersebut menampilkan padang ilalang yang telah mengering.

Tubuhku menggigil ketika nyanyian dingin makin menerpa kulit. Ngilu menembus ke sumsum tulang, belum lagi kibasan rambut yang menandakan bahwa siang ini cukup membuat bulu kuduk meremang meskipun terik di padang ilalang menampilkan kenyataan. Ketika menunduk, memperhatikan tubuh, alis ini bertaut. Rasa asing mulai merayap, mencabik sesuatu di dada yang mampu membuatku meringis pelan. Pasalnya, Kaneena tak pernah memiliki gaun seperti ini. Namun, atmosfer yang helainya hantarkan memberiku lagu luka.

Ini tempat apa, sih, sebenarnya? Tanpa sadar, hatiku mendumal sebelum terkesiap karena benturan kaca dan lantai amat memekakkan. Setelahnya, pekikan-pekikan nyaring seorang pria yang disanggah dengan isak tangis pilu menggetarkan jiwa dan ragaku. Tidak tahu pasti apa yang ada di ujung lorong sana, tapi mengapa aku gemetar dan ketakutan?

CukupMasSampai kapan kau menyiksa kami? Suara itu berisi isak tangis, terdengar amat memilukan, penyebab dada ini berdenyut kesakitan.

Dahiku berkerut, merasa amat familier. Namun, Kaneena masih belum mampu mencerna selain raga yang telah bergetar hebat tanpa sebab. Langkah tungkaiku melemah. Tanpa sadar, pipi ini pun basah.

Mana anak haram itu?!

Jeritan wanita yang amat familier di telingaku makin pekat. Ia terisak di sela dentuman hebat pada tubuh. Aku ingin marah, mencaci, dan membunuh pria di siluet kelam yang kini mulai tampak, tapi mengapa raga seolah melemah?

Air mataku mengalir deras. Gigi ini beradu geram. Di sana, Kenedi tengah memukuli ibu dengan telapak tangannya sebelum mencambuk tubuh wanita itu menggunakan ikat pinggang. Luka pecutan di tubuh ibu menusuk jantungku. Pita suara ini hendak mencegah, tapi mengapa ia tak mampu mengeluarkan apa pun?

"Hentikan!" Akhirnya, suaraku lepas.

Namun, dua manusia yang tengah baku hantam seolah tak menyadari kehadiran ini. Di sana Kenedi makin keras menyiksa ibu, padahal tubuh wanita itu telah membalu. Menemukan ulah sadisnya yang amat tak berperi, amarahku meluap hebat. Namun, tubuh ini tak mampu melakukan apa pun. Tuhan, tolong! Tak satu pun anak sudi menerima sang ibu yang disiksa nyaris sekarat. Ini luka dan menyakitkan!

Aku terduduk lemas sebelum terisak pilu karena merasa tak mampu melakukan apa pun di tengah ketidakberdayaan ibu. Pukulan demi pukulan yang pria itu layangkan adalah luka. Tidak sanggup dengan pertengkaran mereka, rasa takut ini meringkuk sembari memeluk lutut.

Tulangku makin bergetar. Namun, isak tangis ini berubah menjadi keterkejutan hebat ketika seseorang menarikku paksa. Ia berjubah hitam, tapi tak satu pun makhluk mampu membuatku ketakutan. Hanya masa lalu yang dapat menyebabkan Kaneena lemah lunglai. Hendak melawan, tapi sendi ini tak dapat dilemaskan.

Pria itu menyeretku, melewati lorong-lorong kelam di sela rasa takut yang mulai menggerogoti karena mungkin saja aku akan diberi pertunjukan lebih hebat dari sebelumnya.

"Berhenti!" Itu suaraku, amat nyaring. Namun, mengapa ia tuli?

Seolah tak peduli, pria itu melemparku ke ruangan yang sama, tapi kali ini pencahayaan amat redup. Kosong. Namun, baru hendak menarik napas, anggapanku lebur, dan pria itu menjadi gumpalan asap kelam. Aku kembali fokus pada sekeliling sebelum memaku dengan tubuh bergetar ketika siluet Kaneena kecil tengah histeris.

Napasku tersengal, sesak. Kehidupan seolah merampas nyawa. Bayangan itu ... bayangan yang amat aku benci, di mana Kenedi mencoba melucuti helai sang putri.

Ketakutan Kaneena kecil mulai mengaliri jiwaku. Tungkai ini berusaha beranjak, meninggalkan ruangan. Namun, ia seolah tertancap pada ubin. Lututku pun mulai bergetar.

JanganJanganAyah! Itu suara nyaring masa kecilku yang menyimpan ribuan kenangan pahit.

Aku menggeleng. "Berhenti," gumanku yang masih dipenuhi rasa lemas. Pertunjukan demikian benar-benar merenggut keberanianku, memecah kepingannya menjadi butiran rasa takut.

Ayah, jangan lukai Kaneena .... Suara kecil itu masih menggema di tengah pekatnya rasa takutku yang menjadi.

Tenang, Sayang. Ayah tidak akan melukai Kaneena. Pria itu menyeringai, makin dalam membuatku muak.

Ketakutan ini menggeleng pelan. Siluet tajam kekejian makin mengentak jiwa insan ketika punggung Kaneena kecil membentur dinding karena pertahanannya. Mengapa pria itu masih menyisakan luka? Bahkan, Tuhan telah menghukumnya dengan kematian.

Tapi Ayah membuka baju Kaneena. Kaneena malu!

Aku menjerit dengan sisa tenaga pada raga. Sakit. Sakit. Rasanya kematian seolah menjemput. "Tolong, henti—"

Kaneena!

Panggilan itu membuatku tersadar. Kupeluk Kian erat di sela isak tangis ketika wujudnya tampak nyata.

"Kau mimpi buruk, Kaneen?"

Aku menggeleng. Tidak tahu. Namun, siluet menyakitkan itu kerap datang, merusak kepingan-kepingan sembuh. Menyadari sesuatu, aku berdehem, kemudian melepas pelukan Kian sebelum mengusap wajah yang telah basah. "Ah, aku mimpi terbentur tiang listrik dan itu amat menyakitkan, Ki."

Pertama, Kaneena tak sudi terlihat menyedihkan di hadapan insan kecuali diri sendiri. Kedua, Kian tidak tahu apa pun perihal traumaku. Ketiga, ia tak pernah tahu pula seberapa bejatnya seorang Kenedi.

Aku terkesiap ketika seseorang berdehem dari arah lain. Ketika menoleh, netra ini membola. Ada rasa tidak terima bercampur malu. "Hei, mengapa kau ada di sini?!" sambarku ketus.

Baeck meletakkan sang putra yang telah terlelap di pangkuannya ke sofa ruangan ini, kemudian menjatuhkan selimut di atas tubuh anak sialan itu.

"Pathetic." Lembut dan lirih, tapi aku mampu mendengar ucapannya dengan jelas.

Demi Tuhan, pria itu ingin sekali kusumpahi mati. "Heh, jaga bicaramu. Yang menyedihkan itu kau!" Telunjukku mengacung geram sebelum berdecih. Usapan Kian yang seolah meminta sang kakak untuk tenang bagaikan angin lalu. "Kau ayah menyedihkan yang harus mengurus sang putra karena istrimu sakit keras." Dada ini bersorak senang ketika wajah Baeck tampak pucat sebelum berubah menjadi kepingan amarah.

Kian menyentuh pundakku. "Sudah, Kaneen. Kau ini mengap—"

Secepat emosiku yang meluap, sorot ini beralih pada Kian. "Kau tidak dengar? Dosenmu baru saja mengatakan aku menyedihkan, Ki? Kau pikir, aku akan menerima itu semua?!" Gigiku beradu geram.

"Ada trauma hebat di hidupmu."

Mendengar suara pria sialan itu, aku beralih cepat ke arahnya.

"Sepertinya, kau butuh psikiater. Demi Tuhan, kau adalah wanita paling menyedihkan—"

"Hentikan, bajingan!" Telunjukku mengacung geram. Raga ini hendak beranjak, menamparnya menjadi kepingan pria malang. Namun, Kian menarikku. Rasa lemas ini pun mulai merasuk. "Pria sepertimu tidak pantas memiliki istri. Kau tidak tahu caranya memperlakukan wanita!"

Baeck mendekati ranjangku. Seringaiannya adalah rasa geram di jiwa ini yang makin menjadi. Netra pria itu memerah penuh amarah. Telapak tangannya tergenggam hingga putih. "Kaneena!"

"Hentikan!"

Kami berdua menoleh ke arah Kian. Pria itu telah tersengal, mungkin akibat menahan kesal.

"Pria itu—"

"Kaneen," ia menyorotku tajam, "bersikap dewasa sedikit." Pria itu beralih pada Baeck yang berkali-kali mengusap wajah. "Pak, silakan Bapak keluar. Biarkan Zillo di sini. Saya yang akan mengantarnya pulang. Jika kalian berdua disatukan, isinya hanya pertengkaran."

Tanpa kata, Baeck berlalu yang kuperhatikan dalam bungkam. Pasalnya, kepala ini makin berdenyut, membuatku memilih berbaring. "Kau tidak takut didepak olehnya? Kau mengusir pria sialan itu."

Kian mengedikkan bahu. Bibirnya mengerucut. Tampak menggemaskan, tapi aku tahu ia sedang marah.

"Ki—"

"Aku tidak salah apa pun. Usiran tadi hanya upaya untuk melerai." Ia meninggalkanku, kemudian berbaring di sisi Zillo. "Pak Rayen pun cukup dewasa untuk paham."

Entah mengapa, ucapannya membuatku berkecil hati. Alis ini bertaut. "Apakah kau pikir aku tidak dewasa?"

Kian menyorotku aneh setelah berbalik. Ada sesuatu di tengah netranya, tapi entah apa. "Apakah aku mengatakan kau kekanakan? Sudah, Kaneen. Sebaiknya kau tidur. Sembuhkan jiwa dan ragamu." Ia mengusap lengan Zillo karena bocah itu mulai gelisah. "Kau masih memiliki tanggungan beberapa minggu ke depan. Pak Rayen telah mengirimkan setengahnya ke rekeningmu."

Mengingatnya, napasku berembus lelah. Sialan!

***

Aku membuang muka ketika Baeck memasuki kamar ini. Untuk apa pria itu menampilkan batang hidungnya?

"Aku diminta Kian menggantikannya untuk menjagamu selama ia tidak ada." Pria itu jelas tahu isi kepalaku. Mungkin tatapan dan pergerakan memunggunginya telah cukup membuat Baeck berkesimpulan.

"Lantas, kau sudi?" Aku masih tak sudi menoleh, tapi helaan napas pria itu masih mampu telinga ini dengar.

"Seburuk-buruknya kau, aku tetap berterima kasih karena telah sudi merawat Zillo." Baeck menarik bahuku keras hingga raga ini berhasil telentang. Ia memaksaku mengunyah apel dengan ekspresi datar.

Keengganan ini menolak, tapi nihil.

"Kau sakit begini pun—"

"Karenanya!" Kuperjelas agar pria itu makin paham.

Percayalah, mengurus balita seusia Zillo tidak mudah. Jujur, ia tidak nakal, tapi amat menyusahkan karena tidak dapat melakukan apa pun seorang diri. Jika permintaan manusia menyebalkan itu tidak dituruti, tak jarang ia histeris. Malam itu, terpaksa pula aku menurut ketika Zillo ingin kami berendam di tengah busa. Bukankah anak itu amat kurang ajar?

"Asam lambungmu naik."

Kutantang sorotnya, masih tidak bersahabat dan tidak akan pernah. "Dari mana kau tahu?" Alis ini terangkat sebelah.

Setelah terjaga, tiba-tiba aku berada di rumah sakit. Bahkan, hingga detik ini, Kaneena tak ingin tahu apa penyebab ia tampak menyedihkan.

"Kau pikir, siapa yang menjadi walimu?" Ia berdecak malas, penyebabku makin kesal. "Pikirkan juga siapa yang membiayai rumah sakit ini."

Aku berusaha duduk sebelum memegang kepala karena denyutan di dalamnya. Kuraih apel yang telah pria itu kupas dengan sentakan kasar. "Oke, thanks. Di mana ia?" Enggan ribut, aku berusaha mengalihkan topik. Pasalnya, netra ini tak menemukan Zillo sedari kemarin.

"Siapa?"

"Bocah kecil yang amat menyusahkan itu." Aku memutar mata sangat malas.

"Tante ...."

Mataku memicing sejenak sebelum menyorot Baeck dengan tatapan kesal. Namun, entah mengapa pria itu menerbitkan senyum penuh makna.

"Illo, tante mencari Illo." Pria itu mengedikkan dagu ke arahku. "Tante baru saja mengatakan bahwa ia sangat merindukan Illo." Baeck beranjak, memberi space untuk sang buah hati, sama sekali tak mengghiraukan ekspresi dendamku.

Napas ini tertarik kesal ketika lengan mungil bocah sialan itu melingkar pada tubuh.

"Ibu Peli, jangan sakit. Illo sedih."

Gigiku beradu geram, menyorot Baeck yang tersenyum menang. Hentikan drama sialan ini!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status