Nela merasa sangat gelisah, biasanya dalam kondisi seperti ini dia akan meraih Alqur'an dan membacanya. Tapi saat ini dia sedang datang bulan. "Kau kenapa ? Jika kau sakit minta izin saja pada wali kelas," bisik Linda. Dia melihat sahabatnya ini tak seperti biasanya."Aku merasa gelisah, jantungku terus berdebar, dan aku merasa seperti sedang di awasi.""Jika kau berhalangan bacalah zikir, dan teruslah beristigfar di dalam hati. Biasanya yang membuat hati gelisah itu gangguan dari setan, jika tidak, mungkin saja asam lambungmu sedang naik," saran Linda.Nela memejamkan matanya dan terus berzikir, saat itu dia melihat sebuah bayangan membuatnya tersentak dan berkeringat dingin. Linda menyentuh tangan Nela yang gemetar, saat ini guru mata pelajaran fisika tidak masuk sehingga sebagian siswa keluar kelas."Atur nafas dan istigfar."Angin tiba-tiba berhembus dengan kencang, siswa berlari masuk ke dalam kelas. Ketua kelas langsung menutup pintu.Siswa siswi duduk di bangkunya masing-mas
Mendengar isak tangis tertahan, Nela membuka matanya."Syukurlah kau sudah sadar, terima kasih ya Allah."Linda tak henti-hentinya memeluk dan mencium Nela. Dia bahkan menghapus air matanya dengan seragamnya. Dia tak perduli beberapa pasang mata sedang menatapnya.Nela berusaha untuk bangun, Linda dan beberapa ibu-ibu membantunya bangun."Kau tahu rasanya aku mau pingsan saat melihatmu masuk dalam pusaran angin puting beliung, tapi bagaimana kau bisa berada di halaman mesjid ?""Mungkin angin membawaku kembali ke sini," jawab Nela sambil tersenyum."Tidak lucu tau..."Merek berdua lalu tertawa, sehinga membuat warga geleng-geleng kepala."Tadi kami melihatmu terbawa angin nak, bisa kau ceritakan pada kami apa yang terjadi ?"Imam mesjid datang menghampiri Nela dan Linda yang kini duduk bersandar pada tiang penyangga mesjid."Kami mau pulang ke desa Pohe, lalu kami melihat pusaran angin di kejauhan. Akhirnya kami berhenti di rumah kosong itu, tak taunya angin menghantam atap rumahnya,
Merasa di pecundangi, nenek Kolona melampiaskan kemarahannya pada pohon-pohon dan binatang yang ada di hutan itu. "Dasar pengecut....!"Nenek Kolona ingin membakar semua hutan ini, dia sudah bersiap-siap melampiaskan amarahnya namun terdengarlah sebuah panggilan yang mengharuskannya segera keluar dari hutan itu. Dia berlari bagaikan kilat dan berhenti di pertapaan Sonu.Nenek sihir ini segera masuk dan duduk bersimpuh di hadapan seorang pria paruh baya dengan tubuh tinggi menjulang nyaris menyentuh atap rumah. Dia adalah sekretaris kerajaan yang ditugaskan Raja untuk memanggil kembali nenek Kolona."Dengarkan titah Raja, satu karena telah melanggar aturan kerajaan, maka hanya dalam jangka waktu satu minggu target harus sudah di bawa ke kerajaan. Dua, tak ada alasan bagi Putera Mahkota untuk tinggal di dunia manusia, tiga, jika melanggar maka keduanya akan menjalani hukuman selama seribu tahun di sumur tua."Nenek Kolona dan Sonu Batista bersimpuh menerima titah Raja. Setelah itu sekr
Sonu berhasil membawa Melati di sebuah hotel yang cukup mewah. Melati bagaikan terhipnotis dengan ketampanan Sonu, dia bahkan telah melupakan mantan tunangannya.Melati melihat Sonu mengeluarkan uang yang banyak, membuat matanya berbinar bahagia. Apalagi ketika Sonu meletakkan uangnya begitu saja di atas meja. Melati rasanya rela memberikan keperawanannya untuk pria tampan ini."Ceritakan padaku mengapa kau menangis ?"Sonu beebaring di ranjang ukuran besar dengan seprei putih bersih. "Tunanganku memutuskan hubungan sepihak tanpa memberitahu alasannya.," jawab Melati lalu memberanikan diri berbaring disamping Sonu."Hmm, dan kau menyesalinya ?""Tidak, bukankah aku sudah bertemu dengan pria yang lebih tampan darinya ?!" Melati menyembunyikan wajahnya di balik dada bidang Sonu.Sonu tersenyum penuh arti, dibelainya rambut Melati penuh kelembutan. Tangannya mulai mencari beberapa area sensitif yang membuat Melati terus mendesah. Udara di dalam kamar sedingin es seakan mendukung aksi So
Nenek Kolona merasa sangat marah, dia merasa sangat malu. Selama ini belum pernah ada yang bisa mengalahkannya. Di dunianya lawan yang bisa menghadapinya hanyalah Lady Sina dari kerajaan Goro. Tetapi tak mungkin Lady Sina datang ke dunia manusia untuk membantu gadis kecil itu. Pikir Nenek Kolona.Dia kembali ke pertapaan namun tak menemukan Sonu di sana."Anak badung itu kemana ?"Nenek Kolona sedang kesal, akhirnya dia mencari keberadaa Sonu, saat dia menerawang keberadaan cucu kesayangannya itu, terlihatlah Sonu sedang memeluk erat seorang wanita."Ah sial...!"Akhirmya nenek Kolona memilih tidur, walau masih sangat penasaran dengan kakek tua yang telah melawannya, namun akhirnya dia memilih tidur.Sonu tidur sambil memeluk Melati, namun kemudian dia terbangun saat melati bergerak dan menyentuh area sensitifnya, dan pergulatan itupun terjadi, kali ini lebih liar. Melati bahkan meminta lebih, dan ini kesempatan Sonu untuk mengatakan siapa dirinya. Dia ingin tahu apakah Melati bersedi
Nela kembali bersekolah setelah libur selama beberapa hari akibat cuaca buruk. Dewi tetap mengikutinya ke sekolah seperti biasa. Tak ada lagi yang perlu di khawatirkan karena Batista tak terlihat lagi.Kini yang harus di hadapi Nathan adalah ibu tirinya. Nathan telah memaafkan ibunya atas penggelapan mobil dan saham ayahnya di penggilingan. "Ibu, aku tak lagi mempermasalahkan soal mobil ayah, marilah kita lupakan semua yang terjadi dan memulai dengan sesuatu yang baru. Kuharap ibu lebih memperhatikan Nela karena aku akan kembali bekerja di perusahaan."Ningsih hanya menatap Nathan tanpa bersuara, dia bersorak girang karena dia akan leluasa menyiksa Nela."Satu hal lagi bu, Giri dan Nita tetap akan berada di rumah ini sampai aku kembali. Nela akan naik ke kelas tiga dan sebentar lagi akan menghadapi ujian, mohon ibu memberikan dukungan padanya. Aku sudah membelikannya motor baru, hari ini motor itu akan di antar."Ningsih tak tahu jika Nathan telah membeli sebuah rumah yang cukup besa
Nela menyukai rumah baru ini, hanya satu lantai tetapi lumayan besar dengan empat kamar tidur."Aku akan mengajak Linda tinggal di sini kak.""Terserah padamu, apa kau ingin tinggal di sini sekarang ?" "Setelah ujian kenaikan kelas selesai kak.""Baiklah kalau begitu."Ujian kenaikan kelas telah berlalu, kini Nathan bersiap-siap kembali ke dunia lain bersama Dewi. Dia sudah memastikan segala sesuatunya aman-aman saja. "Paman Giri, aku titip Nela. Sewaktu-waktu aku akan kembali lagi.""Iya dek Nathan, hati-hati di jalan. Aku akan memperlakukan Nela seperti adikku sendiri, jangan khawatir."Giri dan Nita meyakinkan Nathan akan menjaga Nela. Ningsih mengintip mereka dari balik pintu kamar."Bu, aku pamit !" Seru Nathan di depan pintu kamar Ningsih. Namun dia tak kunjung membukanya.Nathan tidak perlu repot-repot menunggu Ningsih keluar dari kamar, hubungannya dengan Ningsih akhir-akhir ini renggang. Mereka jarang bertegur sapa. Sejujurnya ia bahkan tidak perduli pada ibu tirinya itu."
Nela ikut naik ke lantai dua menyusul Giri, dia merasa bersalah karena telah membuat Nita mengalami luka akibat pukulan sebilah bambu.Sebelum dia naik ke lantai dua, dia mengambil sisa tanaman yang tertinggal di halaman, menumbuknya sebentar sampai halus lalu ditaruhnya di piring kecil.Nita terlihat masih meringis kesakitan."Maafkan aku bi, karena aku bibi kena getahnya.""Tidak sayang, sudah kewajiban bibi untuk melindungimu.""Paman, bantu aku mengoleskan obat ini ke tubuh bibi."Giri yang sedang menahan amarah membuka pakaian Nita dengan sangat hati-hati. Matanya berkaca-kaca tatkala melihat darah yang keluar dari luka memanjang di tubuh isterinya. Dia tak bisa membayangkan bagaimana jika bilah bambu itu mengenai Nela. Pasti anak itu akan pingsan.Nela berusaha mengoleskan daun yang sudah di raciknya ke seluruh permukaan luka di punggung Nita. "Tahan sebetar ya bi, ini sedikit perih."Nita meringis, diapun membayangkan bagaimana jika Nela yang mengalaminya. Dia saja harus menah