"Hentikan!"
Rei yang merasa telinganya sudah panas, tak tahan untuk menghentikan aksi mereka.
Dari balik semak ia muncul, terlihatlah empat sosok pria dengan wajah garang tengah melucuti pakaian seorang gadis.
"Dia seorang Elf?" Celia dan Rei tak bisa menahan keterkejutan.
"Tolong! Aku mohon tolong aku!"
"Diamlah!"
"Oi bocah! Apa yang kau lakukan, hah? Tidakkah kau sadar akibat dari tindakanmu itu?" salah satu pria itu memelototinya. Rei menggeram dengan tangan mengepal.
Seseorang yang paling kekar di antara mereka tiba-tiba datang dan membisikkan sesuatu pada temannya ini.
"Begitukah?" tanyanya setelah mendengar kalimat yang disampaikan.
Pria kekar itu mengangguk dan menepuk pundaknya, ia mengambil alih untuk menghadapi Rei.
"Aku punya pilihan untukmu, bocah tengik! Jika kau ingin selamat, serahkan wanita itu pada kami! Kalau tidak, selain sesuatu yang buruk terjadi padamu, wanita itu juga akan menerima hal yang sama."
Rei menelan ludah, tapi kemudian ia jadi terpikirkan sebuah rencana "Celia, jangan keluar dari tempatmu!" teriaknya.
Celia diam sejenak, memahami maksud Rei dan berkata "Baiklah sayang. Aku akan pergi, tolong jaga dirimu baik-baik!"
Sa-Sayang?
"Apa? Beraninya kau menantang kami!" pria kekar itu mendatanginya dengan wajah bengis. Detik berikutnya, bogem mentah mendarat ke wajah Rei, ia jatuh terjembab.
"Celia, cepat lari!" Rei yang tengah meringis menahan sakit masih berusaha menjaga akting.
"Oh bagus, aku suka semangatmu, kalian! Cepat kejar wanita itu bagaimanapun caranya!" bentak pria kekar itu memerintah yang lain.
Segera tanpa menunggu perintah kedua, mereka bertiga melesat cepat ke dalam hutan. Si pria kekar menghampiri tubuh Rei yang tergeletak lemas. Ia menarik kerah Rei sampai tubuhnya terangkat. Membuatnya meronta karena tercekik.
"Beraninya kau mengacaukan kesenangan kami!" sahut pria itu semakin geram.
"Hentikan!!"
"Hah, kau wanita yang tadi ya?"
"Lepaskan dulu pria itu."
"Dasar bodoh! Harusnya aku yang mengancammu! Kalau kau tidak mau keluar, aku akan membunuh bocah ini!" si pria kekar menyeringai merasa menang.
Bagian bawah rahang adalah titik keseimbangan tubuh. Seberapapun besarnya, sehebat apapun keseimbangannya, jika serangan di area itu begitu telak, itu cukup untuk merubuhkan musuh. Rei sudah mengumpulkan tenaga, detik berikutnya, tendangan meluncur begitu keras.
"BUUGGH!!"
"...??!?!"
Cengkramannya terlepas, dan pria itu terhempas sebelum akhirnya tersandung akar pohon dan jatuh.
Hampir saja aku mati! Rei megap-megap menghirup banyak oksigen.
"Rei-kun!"
"Terimakasih Celia, tapi kita harus cepat!"
"Kelihatannya gadis itu pingsan."
Rei berusaha melepas ikatan, tapi pandangannya jadi tak fokus karena sebagian besar tubuhnya sudah tersingkap.
Celia yang bisa melihat apa yang Rei lihat tentu membuat reaksi terkejut, "Kau pikir apa yang kau lihat, dasar mesum!"
"Maaf Celia, itu tadi reflek tubuh!" Rei membela diri.
"Dasar mesum!!"
Percakapan tak disengaja itu terdengar oleh si pria kekar yang tengah mengelus rahangnya yang cukup sakit.
"Cepat Rei, dia akan menghampiri kita!" desak Celia melihat tatapan pria sangar itu.
"Selesai! Tapi bagaimana kita membawanya?" pikir Rei mengingat tubuhnya terlalu terbuka, tidak ada waktu untuk memakaikan pakaian ini. Wajah Celia juga pasti merah padam karena serba salah menghadapi situasi.
"Hei! Kau pikir apa yang akan kau lakukan?!" pria kekar itu segera bangkit dan mengejar
Tidak ada waktu berpikir. Dengan tubuh yang masih menahan rasa sakit, Rei membopong tubuh gadis elf itu. Untungnya, ia lebih ringan dari yang diduga. Entah kemana tujuannya, yang penting mereka bisa segera melarikan diri.
Bersamaan mereka sudah lenyap dari pandangan pria kekar, teman-temannya baru datang dengan nafas terengah-engah, "Oi, Enhem! wanita itu terlalu cepat, kita tidak bisa mengejarnya!"
"Loh, dimana wanita itu Enhem? Jangan bilang kau melepasnya bersama pria tadi!"
"Ah, bodoh sekali aku mempercayaimu. Selangkah lagi padahal aku bisa menikmati surga dunia!"
Tapi pria kekar yang dipanggil Enhem itu tak mengubah ekspresinya yang tengah berpikir serius menatap ke depan.
"Enhem! Kau mendengar kami atau tidak?! Beritahu kami kemana dia pergi! Biar kami saja yang mengejarnya!" ucap Yonham dengan kesal.
"Tidak, aku tidak akan membiarkan kalian melakukannya," Enhem menjawab dengan wajah serius.
"Hah? Apa maksudmu bicara begitu?"
"Dengar! ini lebih penting dari pada gadis elf cantik yang kita dapat tadi," Enhem melihat rekannya dengan ekspresi memberi harapan.
***
"Sepertinya mereka tidak lagi mengejar," Rei menghentikan langkahnya dan mengatur nafas. Ia duduk dan membuat gadis itu tidur di pangkuannya.
"Kenapa kau memaksakan dirimu, Rei?" suara Celia terdengar lirih.
"Maaf, tapi setidaknya, kita selamat, hehe."
"Kau selalu saja gegabah!"
"Maaf Celia, maaf."
Rei mengorek isi tasnya dan mengambil barang-barang yang ada di dalam. Celia jadi penasaran dengan apa yang dibawa Rei saat berkencan
"Sayang sekali, mungkin ini sama sekali tidak ada gunanya," kata Rei mengorek isi dompet yang berisi beberapa puluh ribu yen, kartu atm, juga kartu pelajarnya.
"Aku setuju, kehadiran gadis elf dan pakaian dari orang-orang tadi sudah menunjukkan di mana tempat kita berada sekarang," tambah Celia.
"Loh? Untuk apa kau membawa buku catatan saat kita berkencan?" Celia melihat barang itu baru saja dikeluarkan.
"Entahlah, kalau tidak salah ingat, aku membawanya untuk mencatat apa saja kesukaanmu saat kita berkencan itu," jawab Rei datar. Ia tidak sadar kalau jawaban itu membuat Celia jadi terdiam.
"Yah, pokoknya kita akan menjalani hidup yang baru dari nol," Rei memasukkan benda-benda itu lagi, kemudian termenung menatap ke depan.
"Re-Rei-kun?"
"Ada apa, Celia-chan?"
"Kau tidak memikirkan luka-lukamu itu?"
"Ini bukan masalah yang besar."
"Jangan bodoh!"
"Kau tidak perlu khawatir, Celia. Kau tidak ikut merasa sakitkan? Lagi pula, dimana kita bisa menemukan kotak P3K di sini?"
"Jadi kau hanya akan menunggu sampai gadis ini bangun?"
"Apa kau punya pilihan lain? Aku baru saja terluka dan gadis ini mengenakan pakaian minim. Kurasa hanya menunggu yang bisa kita lakukan."
"..."
Rei menyandarkan kepalanya, kemudian terpejam. Saat itu, tiba-tiba sentuhan lembut merayap di pipinya. Kedua mata Rei terbuka dan mendapati gadis elf itu sudah bangun dan membelai pipinya, "Kau berbicara dengan siapa?" tanyanya.
Wajah Rei menghangat, selain wajahnya begitu cantik, suaranya juga terdengar sangat indah.
"Permisi, kami hendak mencari pemimpin karavan dagang Yuminose, bisa tolong antarkan kami padanya?" pinta Rei pada pria paruh baya yang tengah menghirup puntung rokoknya itu."Ah, apa kau juga mau ikut pergi ke kerajaan Guilstone?"Rei mengangguk."Tapi anak muda, mungkin saja perjalanan ini sedikit beresiko, lho," katanya tiba-tiba."Lho, memangnya kenapa?"Pria itu mendekatkan wajahnya untuk membisikan sesuatu, "Ada rumor yang mengatakan bahwa, setiap malam-malam tertentu di jalur desa Bulu Gagak menuju desa Lembah Bergetar, ada sekumpulan hewan iblis yang suka menyerang petualang atau karavan pada malam hari."Fara terkesiap, itu mengingatkannya pada aroma mencurigakan tadi."Apa pemimpin karavan itu juga mengetahuinya?""Tentu saja, tapi bukan berarti tidak akan ada korban meski ia sudah menyiapkan prajurit penjaga, kau hanya perlu berhati-hati jika sudah mantap ingin ikut dengan mereka," ujarnya, lalu ia mengantar mereka k
"Aku tinggal menceritakan situasinya ketika mereka menemukanku," jawab Rei asal."Anda mengatakannya seperti itu hal yang mudah saja," gerutu Fara."Haha," Rei malah tertawa."Mereka hendak melatihku, magister tingkat lanjutan sebagai pelatihnya. Hanya saja, aku merasa ada yang janggal dari keputusan raja tentangku," jelas Rei."Apa mereka membuatmu tidak nyaman?"Rei yang kepalanya dibantalkan pada tangan jadi menoleh ke arahnya, "Bukan begitu, aku hanya merasa suatu saat mereka akan menjadikanku sebagai budak politik," jelasnya, "dan aku tidak mau Celia terlibat.""Hmm, ya pokoknya kalau sampai mereka menyusul kita, aku tidak mau bertanggung jawab," kata Fara."Tenang saja, aku ahli memanfaatkan medan untuk bersembunyi."Rei bangkit, "Sudah saatnya memasang waktu jaga, kita akan gantian berjaga, kau mau duluan istirahat, Fara-chan?"Fara mengangguk, "Baiklah, aku juga sudah cukup mengantuk."Tirai penutup tenda
"Kenapa terkejut? Kau juga kesini jalan kaki, kan?""Muuh, tidakkah kalian terlalu nekat?""Hey, lihatlah siapa yang berbicara," sahut Rei berkacak pinggang.Fara menghela napas, ia menyerah, mereka sama-sama keras kepalanya. Matahari juga hampir tumbang di sisi timur, waktu mereka tinggal sedikit sebelum hari menjadi gelap."Memangnya, apa tujuanmu pergi ke sana, Rei-san, Celia-san?" tanya Fara."Entahlah ...""Heee?!""Singkatnya, kami hanya ingin menjelajahi dunia yang penuh misteri ini," jawab Rei tanpa keraguan di wajahnya."Apa itu, aneh sekali," cibir Fara."Kok aneh?""Kalian suka sekali ya melakukan hal-hal yang merepotkan," ujarnya. "Tapi ... Terima kasih ya, maaf aku kurang benar mengatakannya kemarin itu," tambahnya lagi.Benar-benar sosok Fara yang terlihat berbeda di mata Rei dan Celia, sampai bingung bagaimana menanggapi perkataannya."Kenapa menatapku seperti itu?""Eh, hahaha
Fara mengucek kedua matanya yang sembab saat terbangun. Ya, setelah ia menutupkan pintu begitu Rei keluar, ia hampir tidak bisa berhenti menangis. Tirai dibuka, cahaya yang terlalu terang mengejutkan bola matanya yang masih terasa perih.Ia membetulkan kerah piyama yang turun ke bahu. Mengorek isi tas untuk mengambil pakaian ganti. Di penginapan ini terdapat pemandian air panas, sempurna untuk pagi hari setelah malam yang melelahkan. Fara meregangkan tubuhnya, lalu mengingat ada sesuatu yang kurang."Astaga, aku tidak punya sabun," gumamnya."Mungkin aku bisa meminjamnya dari kamar sebelah," Fara lalu merapikan isi tas itu dan beranjak ke kamar sebelah.Pintu diketuk, "Permisi."Tepat setelah pintu dibuka, handuk yang bawa di tangannya jatuh, mulutnya menganga tak percaya."Ah, Ohayou Fara-chan.""Ohayou Fara-chan," ujar suara yang lebih feminim."Rei-sama, apa yang kau lakukan di sini?!" tanya Fara penuh keterkejutan.R
Sebelum kejadian itu terjadi."Celia-sama, ada apa?" tanya Lumine melihat ia datang ke kamarnya tepat setelah Fara pergi."Apa, Fara-chan meninggalkan sesuatu?""Entahlah, kau bisa mengecek lemarinya."Tanpa disuruh dua kalipun Celia segera melakukan apa yang Rei minta sebelumnya."Mungkin ini agak sulit, tapi jika ada barang yang membangkitkan kenangan Fara, seharusnya kita bisa membujuknya," kata Rei sebelum itu.Celia mengorek isi lemari, mendapati sebuah kotak dan membukanya."Rei-kun, bukankah benda ini adalah ...?""Ah, sepertinya ini keberuntungan kita."Mereka juga mendapati sapu tangan Rei disitu."Anu, mau kau apakan barang-barang itu Celia-sama?" tanya Lumine"Izinkan kami menyimpannya sebagai kenang-kenangan," jawab Rei."Eh, aku sih tidak masalah, tapi mungkin yang lain merasa ingin menyimpan barang itu juga.""Aku tidak keberatan kok," kata Reina yang tiba-tiba muncul, Lucia juga
"Kau sengaja mencariku?""Maaf, seharusnya aku lebih memikirkan keadaanmu," kata Rei."Tapi, kenapa?" Air mata yang menumpuk di pelupuk mata Fara tiba-tiba saja tumpah, "Padahal aku sudah mencoba membunuhmu." Gadis itu mengusapnya dengan lengan kain panjang yang penuh noda bekas serangan Hidomi."Aku senang kau tampak baik-baik saja, Fara-chan." kata Celia."Wah, wah, tampaknya ada reuni mengharukan di sini."Rei meningkatkan kewaspadaan menatap tajam pada Hidomi."Rei-sama, pergilah, dia bukan lawanmu," ujar Fara lirih.Tentu saja Rei yang keras kepala tidak akan mendengarnya. Ia menerjang, Hidomi yang mendapati tindakan ini tak tinggal diam. Tangan mereka sama-sama memancarkan aura sihir.Bicara soal kekuatan, daun kering tentu akan kalah dilahap api, tapi yang jadi penentu saat ini adalah pengalaman, bukan seberapa kuat.Rei memukul, Hidomi menghindar, dan terjadi sebaliknya. Rei terus memusatkan tenaganya setiap ia m