"Permisi, kami hendak mencari pemimpin karavan dagang Yuminose, bisa tolong antarkan kami padanya?" pinta Rei pada pria paruh baya yang tengah menghirup puntung rokoknya itu.
"Ah, apa kau juga mau ikut pergi ke kerajaan Guilstone?"
Rei mengangguk.
"Tapi anak muda, mungkin saja perjalanan ini sedikit beresiko, lho," katanya tiba-tiba.
"Lho, memangnya kenapa?"
Pria itu mendekatkan wajahnya untuk membisikan sesuatu, "Ada rumor yang mengatakan bahwa, setiap malam-malam tertentu di jalur desa Bulu Gagak menuju desa Lembah Bergetar, ada sekumpulan hewan iblis yang suka menyerang petualang atau karavan pada malam hari."
Fara terkesiap, itu mengingatkannya pada aroma mencurigakan tadi.
"Apa pemimpin karavan itu juga mengetahuinya?"
"Tentu saja, tapi bukan berarti tidak akan ada korban meski ia sudah menyiapkan prajurit penjaga, kau hanya perlu berhati-hati jika sudah mantap ingin ikut dengan mereka," ujarnya, lalu ia mengantar mereka k
Legenda mengatakan ada sembilan penyihir yang memegang kendali atas Benua Feitan. Nama sembilan penyihir itu terbagi oleh dasar perasaan manusia. Benua Feitan pada dasarnya dihuni ras campuran. Manusia dan setengah manusia bisa hidup saling berdampingan tanpa khawatir pertumpahan darah. Namun, tetap saja mereka adalah makhluk yang terkadang lupa akan harga dirinya jika hawa nafsu sudah menggerogoti jiwa. Kekayaan, Tahta, Wanita, menjadi alasan mereka untuk saling bertikai satu sama lain. Pertumpahan darah jadi tak terelakkan, membuat sembilan penyihir harus ikut turun tangan untuk menghadapi insiden berdarah. Alih-alih menjadi lebih baik, para petinggi di antara ras campuran itu malah menyatakan ketidakpuasan mereka atas keputusan para penyihir, dan itu membuat kedaulatan mereka semakin terkikis. Tanpa ampun, para penyihir menghukum mereka dengan hukuman kehendak ilahi. Me
Kedua mata Rei mengerjap-ngerjap. Tidurnya terganggu oleh cahaya matahari yang memaksa masuk ke pelupuk mata. Tubuhnya terasa hangat karena tersiram cahaya itu, Rei duduk terbangun dan mendapati dirinya berada di dalam hutan. "Dimana ini?" ia bergumam Ada cukup jarak di antara pepohonan yang membuat sinar matahari hanya terfokus pada tubuhnya. Kedua matanya menatap sekeliling, otaknya berpikir tentang apa yang sebenarnya telah terjadi. Saat memori yang dicarinya itu masuk, Rei tersentak dan spontan berdiri, membuat tas yang dibawanya terjatuh "Celia? Apa kau di sana?" Pikirannya bingung, ia ingat sekali bagaimana kejadian sebelumnya saat ia melompat untuk menyelamatkan Celia, tapi gadis itu juga malah melakukan hal yang sama, dan berakhir dengan tanpa seorangpun yang terselamatkan. Sebelum ia tak sadarkan diri, tubuh Rei terkulai tanpa tenaga, tangannya berusaha menggapai tubuh Celia,
"Hentikan!" Rei yang merasa telinganya sudah panas, tak tahan untuk menghentikan aksi mereka. Dari balik semak ia muncul, terlihatlah empat sosok pria dengan wajah garang tengah melucuti pakaian seorang gadis. "Dia seorang Elf?" Celia dan Rei tak bisa menahan keterkejutan. "Tolong! Aku mohon tolong aku!" "Diamlah!" "Oi bocah! Apa yang kau lakukan, hah? Tidakkah kau sadar akibat dari tindakanmu itu?" salah satu pria itu memelototinya. Rei menggeram dengan tangan mengepal. Seseorang yang paling kekar di antara mereka tiba-tiba datang dan membisikkan sesuatu pada temannya ini. "Begitukah?" tanyanya setelah mendengar kalimat yang disampaikan. Pria kekar itu mengangguk dan menepuk pundaknya, ia mengambil alih untuk menghadapi Rei. "Aku punya pilihan untukmu, bocah tengik! Jika kau ingin selamat, serah
"Berbicara dengan siapa? Aah, kurasa aku hanya bergumam sendiri." Gadis elf itu tidak mengubah posisi tangannya yang membuat Celia menatapnya berapi-api. "Tidak, aku yakin kau berbicara dengan seseorang. Seorang wanita, kan? Dimana dia sekarang?" Elf itu menatapnya begitu sayu, ia tampak tak bertenaga sama sekali. Andai laki-laki yang menyelamatkannya bukanlah Rei, pikiran Celia yang melihat ekspresi wajah itu sudah terbang entah kemana. Ia tampak begitu mudah untuk diserang. Sementara Rei yang mendengar kalimatnya sedikit terkejut, berpikir bahwa kemungkinan gadis ini tau sesuatu soal situasinya, tapi ia lebih memilih untuk tak serta-merta langsung mempercayai, "Sungguh, aku sendirian nona. Kau bisa lihat di sekitarku tidak ada siapapun." "Apa dia hantu? Atau penunggu bukit ini yang kau kenal? Kau tau, bukit ini terkenal dengan roh penunggunya yang sangat cantik. Juga, laki-laki sepertimu yang sudah m
"Ngomong-ngomong. Apa kakakmu jarang pulang?" Celia bertanya setelah Rei menghabiskan sup makan malamnya. Jalan dari kaki bukit menuju rumah ini cukup dekat. Letaknya tepat di pinggir jalan utama distrik. Lantai bangunannya dibuat lebih tinggi, jadi mereka bisa melihat keramaian jalan dari teras rumah. "Begitulah, kadang ia sampai tidak pulang berbulan-bulan jika sedang ada tugas ekspedisi." Rei cukup terkejut, serentetan pertanyaan jadi muncul di kepalanya, terlebih soal bagaimana kesendirian Violet di tengah ramainya kota seperti ini. "Mendengar ceritamu, mengingatkanku pada dua orang tuaku." "Ah? Orang tuamu memang seperti apa?" "Mereka hanya pekerja keras yang lebih mencintai pekerjaan daripada keluarganya." Rei dan Violet yang mendengar itu jadi ikut merasakan. "Itu pasti cukup sulit," "Tidak, aku sudah terbi
Enhem Vinyel "Enhem, kau memang cerdas!" "Yahuu! Malam ini kita akan bermantap-mantap!" "Aku pastikan elf jalang itu tidak akan bisa tidur!" "Jangan lupa soal pria yang membawanya lari! Kita harus memberinya pelajaran!" Tiga orang yang ikut menemani Enhem untuk menyelinap sahut-menyahut seolah ini hari terbaik mereka. Mereka menamakannya sebagai rencana balas dendam. Obrolan yang dibicarakan sudah bukan tentang kemanusiaan lagi. Enhem terdiam, ia hanya perlu membuat para durjana ini mengikuti arahannya kemudian ia jadikan sebagai umpan. Enhem bukan teman mereka, mereka hanya tiga orang menyedihkan yang kebetulan ia temui saat tengah mencari kebenaran tentang roh cantik penunggu bukit beberapa hari yang lalu. Ia melihat mereka selalu mengintai gadis elf yang kebetulan sering lewat, yang ke
"Rei-kun, kau tau? Aku tidak pernah merasa secemburu ini. Aku selalu ingin ada seseorang yang bisa menyatu dengan tubuhku, tapi aku tidak pernah bisa mendapatkannya. Semakin lama, aku semakin ragu kalau dua jiwa bisa menyatu dalam satu raga, sampai akhirnya kau hadir sebagai penyelamat dan menunjukkan padaku bahwa dirimu itu istimewa. Kau tau Rei-kun? hatiku berdegup kencang setiap kali aku mencium aromamu." Violet menjilat bibirnya untuk membersihkan sisa darah. Rei lemas, tak kuasa mencegah Violet untuk merenggut kendali bibirnya saat ini, Celia sepertinya tak punya tenaga barang mencegah dengan kata-kata. Apa ciuman ini artinya dia akan mengambil jiwaku? Rei terpejam pasrah, sesaat sebelum semua itu menyatu, pintu kamar dibuka secara paksa. "Cukup sampai di situ! Sang Penyendiri!" Violet menghentikan gerakannya, ia bangkit dan berbalik menghadap pada mereka yang mengganggu. Tiga o
Ternyata, apa yang terjadi lebih mengejutkan dari pada yang dipikirkan Enhem. "Enhem Vinyel? Terdengar seperti tentara Nazi!" Rei berkomentar ceplos. "Ayolah! Selain sok hebat, ternyata kau juga sok tau banget ya!" cibir Celia ketus. "Eh? Memangnya cara bicaraku seperti terlihat sok begitu?" "Tentu saja, apa-apaan kemarin itu kau bertindak seperti pahlawan wanita! Kalau aku tau akhirnya kau akan hidup kembali, aku tidak akan menangisimu!" "Heee? Celia menangisiku? Xixi, aku cukup tersanjung." "Bodoh! Dasar Rei bodoh! Kau pikir bagaimana perasaanmu saat kehilangan satu-satunya orang yang kau miliki di dunia ini?!" "Hehe, maaf-maaf. Tapi aku sangat senang begitu tau kau sangat mengkhawatirkanku." "Hmmphh! Mau bagaimama lagi, kan? Itu berarti aku masih punya sisi kemanusiaan!" Enhem hanya tersenyum melihat perbincang