Kamila sampai mendongak terkejut. Lantas keadaan seperti apa yang Jennifer inginkan dari anaknya?Kondisi Daffa yang ternyata semakin membaik nyatanya tidak membuat Jenifer senang. Ibu tiri Daffa itu malah terlihat marah pada Kamila."Memangnya harus kondisi seperti apa yang Mama inginkan dari Daffa? Bukankah tadi Daffa bilang kondisinya mulai membaik dan itu cukup bagus bukan?" Kamila sengaja menyindir Jenifer. Jelas karena dia tahu khasiat dari obat yang diberikan Jenifer tempo lalu, itu bukanlah obat melainkan racun."Sudahlah, Kamila. Tugasmu di sini hanya untuk mengurus Daffa, kamu tidak usah ikut campur dengan urusan yang lain, saya tidak suka itu." Jenifer maju 2 langkah lebih dekat dengan Kamila. "Saya mau lihat obat yang kemarin. Kalau memang kamu memberikan obat itu kepada Daffa, isinya sudah pasti berkurang," tantangnya setelah itu.Kamila resah. Degup jantungnya terasa lebih kencang. Ia berusaha mengatur nafas agar terlihat tenang. "Kenapa kamu diam saja? Kamu takut keboh
Kamila merasa ada yang aneh. Apoteker sahabatnya itu tidak mungkin berbohong. Tapi apakah Jenifer yang telah berbohong?Lalu, untuk apa Jenifer meracuni anaknya sendiri? Kamila tak bergeming. Mengenai obat itu hanya dia sendiri yang mengatur. Dia memilih membuat ramuan dari rempah-rempah, tanpa sepengetahuan Jenifer."Permisi, Pak Daffa." Kamila berdiri di ambang pintu kamar Daffa yang sudah terbuka. "Mohon izin untuk memberikan obat dari nyonya besar." Dia beralasan. Padahal obat dari Jenifer sudah disembunyikannya dengan rapi."Saya tidak mau." Daffa menolak dengan ketus."Tapi, Saya hanya menjalankan tugas dari nyonya besar. Kalau tidak dilaksanakan, saya akan dihukum oleh Nyonya," ucap Kamila bagaikan seorang pembantu saja, padahal dia adalah istri Daffa Azriel. Tanpa meminta izin pun, sebenarnya dia sudah seharusnya mengurus suaminya. "Saya mohon, Pak. Izinkan saya mengurus kamu," ucap Kamila dengan mimik memelas.Bagaimana Daffa tidak luluh, dia melihat Kamila nampak pucat. Mu
Suara langkah kaki memasuki kediaman Daffa Azriel. Jenifer—ibunda Daffa baru saja tiba dari luar negri.Wanita paruh baya itu membuka kacamata hitam yang bertengger di hidungnya."Kenapa rumah terasa sepi sekali?" Jenifer merasa aneh. Dia mencari beberapa orang pembantunya yang tak terlihat dalam pandangan. "Ijah, Susi, Kokom!" panggil Jenifer seraya meletakkan tas mewah branded-nya di atas meja.Tak ada yang menyahut. Kecuali driver yang turut serta masuk ketika mendengar suara panggilan Jenifer."Permisi, Nyonya. Pembantu di rumah ini sedang dipulangkan oleh Tuan Daffa." Pria berseragam serba hitam itu melapor pada majikannya. "Oh my God! Kenapa tidak beritahu saya? Lalu siapa yang akan membereskan rumah ini?" Jenifer nampak keheranan."Sepertinya pekerjaan mereka sedang digantikan oleh Nona Kamila," terang sang driver lagi.Jenifer mendengus. "Ada-ada saja kelakuan Daffa. Tapi ya sudahlah, wanita kampung itu memang pantas menerima hukumannya." Jenifer melanjutkan langkahnya menu
"Kenapa, Pak?" Tangan Kamila bergetar. Rasa takut tiba-tiba menyeruak dalam benaknya.Tanpa terlebih dahulu menjawab. Daffa mengambil sebuah asbak beling berwarna transparan di atas meja. Di lemparkannya asbak itu ke sembarang arah hingga,Prang!!!Asbak itu pecah, berserakan di atas lantai.Kamila sampai tersentak. Napasnya seketika memburu kencang."Sudah pernah saya katakan, saya benci pembohong!" Daffa berbicara dengan hardiknya."Bo-bohong tentang apa lagi?" Kamila gugup."Kamu baca hasil tes pemeriksaan itu!" Daffa melemparkan selembar hasil tes pemeriksaan yang baru saja ia baca, kepada Kamila.Hasilnya sangat jelas, negatip. Kamila dinyatakan bersih dari penyakit HIV AIDS berbeda dengan yang dikatakan Melia kemarin lusa.Sebenarnya Kamila tidak heran, sebab dirinya sadar akan kondisi kesehatannya. Tapi, setelah membaca surat hasil tes pemeriksaan itu dia jadi tahu, kalau tempo lalu dia telah melakukan pemeriksaan tes HIV AIDS.Bibirnya gemetar. Kamila bingung harus beralasan a
Melia terlihat percaya diri. Gadis berusia 18 tahun itu masih tak mau beranjak dari sofa ruang tamu kediaman Daffa Azriel. Ia masih bertekad ingin mengacaukan kebahagiaan Kamila. Adik tiri Kamila itu memang tak rela melihat Kamila lebih beruntung darinya.HIV AIDS? Kamila sampai menaikan kedua alisnya tatkala mendengar itu. Kamila yang mengetahui dari balik dinding penyekat, berdoa dalam hatinya, semoga adiknya itu berhasil membuat Kamila lepas dari Daffa. Kamila mengira, sang adik tiri tengah berusaha menyelamatkannya."Apa buktinya?" tantang Daffa setelah itu."Ada kok." Melia langsung merogoh tas kecil yang menggantung di bahunya. Ia mengambil selembar kertas dari dalam tasnya. Kertas itu, Melia sodorkan pada Daffa."Ini buktinya."Daffa mengambil kertas yang diberikan Melia. Itu adalah kertas sebagai bukti hasil pemeriksaan dari laboratorium.Dari mana Melia mendapatkan itu?Entahlah, karena kertas itu sampai membuat Daffa terlihat menahan emosi."Kamu bisa pergi dari rumah saya
Kamila merasa pipinya ditepuk seseorang. Siapa lagi kalau bukan Daffa. Kamila menjadi semakin takut. "Jangan sentuh aku! Jangan lakukan apapun! Pergi!"Lagi-lagi Kamila merasa pipinya ditepuk-tepuk. Hingga perlahan ia segera membuka matanya lalu terkejut ketika sadar akan sesuatu."Ngapain kamu teriak-teriak? Ini sudah larut malam? Mengganggu saja!" Berkat laporan dari pembantunya, Daffa baru saja tiba di kamar itu untuk memeriksa keadaan Kamila.Suara teriakan Kamila yang kencang memang terdengar sampai ke kamar Daffa.Deretan pertanyaan yang keluar dari mulut Daffa tak langsung membuat Kamila tersadar. Wanita itu terlihat linglung.Kamila malah terlihat menelaah Daffa dari ujung rambut sampai ujung kaki. Nyatanya, Daffa masih duduk di kursi roda. Kedua kakinya masih tak mampu untuk berjalan. "Kamu bohong ya? Bukannya tadi kamu bisa berjalan?" Kamila malah berbalik tanya kepada Daffa. Melayangkan tatapan nanar penuh selidik."Apa yang kamu pikirkan, Kamila? Kalau saya bisa berjalan