Apa!
Kamila terkejut. Bersamaan dengan itu, air mata yang sempat dibendung akhirnya merembes, membasahi pipinya yang mulus. "Tolong ampuni. Aku benar-benar belum siap. Kita tidak saling mengenal, aku tidak bisa melakukan—" kalimat Kamila tersendat. Bibirnya gemetar, tak sanggup menyelesaikan ucapannya. "Memangnya kamu pikir kita akan melakukan apa?" potong Daffa. Kamila mendongak. "Malam pertama adalah HB (hubungan badan) 'kan?" tanyanya sambil terisak. Daffa terlihat memutar bola mata, mendendengus kesal. "Kamu pikir Aku mau melakukan HB denganmu? Menjijikan!" "Memangnya apalagi selain itu?" Kamila menjadi tak paham. "Tugas seorang istri bukan hanya sekedar HB bersama suaminya. Tugas istri adalah, melayani keinginan suaminya. Mengurus suaminya. Tapi aku tidak ingin HB denganmu. Aku tidak akan pernah berhubungan badan dengan wanita yang tak aku cintai, termasuk kamu!" tegas Daffa. Kamila menyeringai. Nafasnya yang sempat tersengal di tenggorokan seketika menjadi lancar. Ia segera mengusap pipinya yang sudah basah. "Katakan, apa yang harus saya lakukan?" Kamila segera bertanya. "Kamu harus urus semua keperluanku. mulai dari pakaian, makanan, kamu juga harus memandikanku." Daffa memutar kedua roda pada kursinya. Sedikit menjauh dari Kamila. "Mulai besok pagi, ibuku akan pergi ke luar negeri. Hanya kita berdua yang tinggal di rumah ini," jelasnya. Kamila kembali terkejut. Ia menelan ludah begitu berat. "Memandikan? Melihat tubuhmu?" Ia sampai mengulanginya lagi. Beruntung Daffa sudah membalikan tubuhnya membelakangi Kamila. Sehingga tak bisa melihat wajah Kamila yang masih tercengang. "Kamu pikir, kamu akan melihat tubuhku dalam keadaan telanjang? Jangan negatif thinking, Kamila! Kamu cukup siapkan keperluanku untuk mandi." Daffa semakin kesal. "Oh baik." Kamila manggut-manggut paham. Akhirnya nafasnya kembali lega. Gadis berkulit putih itu tidak pernah menyangka kalau dia akan tinggal satu kamar dengan pria yang baru saja dikenal beberapa jam yang lalu. Pria itu terlihat dingin. Beruntung Daffa tidak terlalu jahat seperti yang sempat dia pikirkan. Daffa sudah terbaring lelap di atas ranjang empuknya. Sementara Kamila, memilih untuk tidur di atas sofa yang tak jauh dari tempat tidur Daffa. Malam ini Kamila tidak bisa tidur nyenyak. Bahkan ketika jarum pada benda bundar sudah menunjukkan pukul 12.00 malam, kelopak mata Kamila masih saja tidak bisa tertutup rapat. Gadis berkulit putih itu nampak gelisah. Kamila mengambil ponselnya di dalam tas selempang. Ia akan berusaha menghubungi Galang untuk menjelaskan sesuatu. Tuuttt tuutttt! Suara telepon terhubung, ketika Kamila telah menempelkan ponselnya ke telinga. Kamila langsung menyeringai, Karena itu adalah pertanda kalau nomor yang Kamila tuju masih aktif. Namun sayang, sambungan telepon dari Kamila tidak dijawab oleh Galang. Sesak di dalam dada Kamila, manakala Galang sudah tak sudi lagi menerima sambungan telepon darinya. Kamila tak bergeming, ia segera mengirimkan pesan singkat kepada Galang. Kamila: [Galang, tolong jawab telepon dari aku. Aku ingin menjelaskan sesuatu. Aku mohon.] Pesan yang dikirimkan oleh Kamila langsung ceklis dua dan berwarna biru. Tandanya, pesan dari Kamila telah dibaca oleh Galang. Tring! Kamila menyeringai senang, pesan yang ia kirimkan langsung dibalas oleh Galang. Galang: [Jangan ganggu aku lagi. Aku tidak butuh penjelasan apapun dari istri orang. Aku akan berusaha melupakanmu. Melupakan kisah pahit yang sudah kau berikan.] Balasan dari Galang nyatanya membuat isi dada Kamila semakin terasa sesak. Dia akan kembali membalas pesan dari Galang, namun pesan yang kamila kirim terlihat ceklis satu. Nampaknya Galang sudah memblokir nomor milik Kamila. Sepertinya kekecewaan yang Galang rasakan teramat dalam, sehingga sudah tak sudi lagi berhubungan dengan Kamila. Kamila menutup matanya dengan sebelah tangan. Apakah dia akan benar-benar kehilangan Galang? Kesedihan kembali menyeruak di dalam dada. Ia berusaha memejamkan mata, walau sulit untuk terlelap. "Kamila..." Samar-samar telinga Kamila mendengar suara bariton berbisik memanggil namanya. Ia segera membuka mata. Mengejutkan. Kamilah terpenjat melihat Daffa turun dari tempat tidur kemudian berjalan mendekatinya. "Kamu bisa berjalan?" Kamila terbelalak. "Memangnya Kamu pikir aku lumpuh beneran? Ayolah, Sayang. Aku sudah tidak sabar. Malam ini kita akan menikmati bulan madu, aku sudah siap." Daffa semakin mendekat kepada Kamila. Kamila yang terkejut, segera bangkit dari atas sofa. "Stop!" Dia meluruskan kedua tangannya, mencegah Daffa mendekatinya. Namun usaha Kamila sepertinya tidak berhasil. "Kenapa, Baby? Ayo kita nikmati malam ini," ajak Daffa sambil melayangkan tatapan menjijikan dalam pandangan Kamila. "Tidak! Kita sudah berjanji untuk tidak melakukan apa-apa. Kita tidak akan melakukan HB tanpa rasa cinta. Kamu sudah janji padaku. Jangan ingkar!" Kamila nampak mendorong dada Daffa, sehingga pria di depannya itu sempat mundur dua langkah. "Hey, Sayang. Kamu itu istriku. Aku berhak untuk menikmati seluruh tubuhmu malam ini." Daffa nampak menajamkan tatapannya. Pria itu segera mendorong tubuh Kamila hingga terbaring di atas kasurnya yang empuk. "Jangan lakukan apapun. Aku mohon." Kamila beringsut mundur. Namun tubuhnya sudah mentok pada sandaran kasur. Kamila tidak bisa lari kemana-mana lagi. Sementara itu, Kamila melihat Daffa mulai membuka kancing bajunya satu persatu. Pria di depan Kamila itu terlihat bagaikan singa yang siap menerkam mangsa. "Aku mohon! Beri aku waktu sampai siap. Aku belum siap malam ini. Jangan lakukan apapun malam ini. Aku mohon." Kamila menautkan kedua tangannya. Memasang wajah memelas. Menghiba belas kasihan kepada Daffa Namun Daffa Azriel tetap membuka seluruh bajunya. Pria yang sudah bertelanjang dada itu mendekati Kamila di atas kasur. "Aku mohon jangan lakukan!" Kamila masih menautkan kedua tangannya, menggelengkan kepala, memejamkan mata, berharap ada sebuah keajaiban yang bisa membuat Daffa menghindari tubuhnya. Namun sepertinya wajah Daffa semakin dekat dengan wajah Kamila. Hembusan nafas pria itu, bisa Kamila rasakan. Apakah malam ini Kamila akan benar-benar kehilangan keperawanannya, oleh pria yang baru saja menikahinya itu? Kamila tak mencintainya. "Tidak! Tolong!" Kamila menjerit meminta bantuan kepada siapapun yang mendengar suaranya. "Hey, diam!" Daffa membentak. "Berisik!" Namun Kamila masih menutup wajah dengan kedua telapak tangan. "Tolong!!!" Dia terus-menerus menjerit, meminta bantuan siapapun melalui suaranya yang keras. "Diam, Kamila!" Suara Daffa kembali membentak. "Jangan lakukan apapun. Aku mohon. Siapapun, tolong aku!" "Diam!!!" Kamila merasa pipinya ditepuk seseorang. Siapa lagi kalau bukan Daffa. Kamila menjadi semakin takut. "Jangan sentuh aku! Jangan lakukan apapun! Pergi!" "Diam, Kamila. Ini sudah malam. Berisik!" Lagi-lagi Kamila merasa pipinya ditepuk-tepuk. Hingga ia segera membuka matanya lalu terkejut ketika sadar akan sesuatu.Baru kali ini rasanya Kamila membawa uang jajan senilai 10 juta. Selama ini, sebagai pekerja buruh di pabrik, dia harus menunggu selama 3 bulan untuk mengumpulkan uang sebanyak itu. Uang gajinya tak pernah tersisa. Bahkan selalu saja kurang. Kamila selalu mencari pekerjaan tambahan, untuk memenuhi sisa-sisa kebutuhan. Menikah dengan Daffa membuatnya terpaksa harus berhenti menjadi pekerja buruh pabrik. Tapi jika boleh memilih, Kamila lebih baik menjadi pekerja buruh daripada harus terpaksa menikah dengan Daffa—pria dingin yang penuh misteri. Tapi ya sudah. Semua telah terjadi, Kamila harus belajar menghadapi setiap tantangan baru dalam hidupnya. Ketika mentari mulai turun ke ufuk Barat, Kamila sudah berada di depan sebuah kantor showroom mobil. Gadis berkulit putih itu akan menemui Galang di sana. "Galang!" Kamila memanggil kekasihnya. Ia segera mendekati Galang yang mulai menjauh saat menyadari kedatangannya. "Tunggu, Galang!" Akan tetapi, Galang malah mempercepat langkahnya m
"Apa yang kamu lakukan? ini sudah larut malam? Ngapain kamu teriak-teriak?" Deretan pertanyaan yang keluar dari mulut Daffa tak langsung membuat Kamila tersadar. Wanita itu terlihat linglung.Kamila malah terlihat menelaah Daffa dari ujung rambut sampai ujung kaki. Nyatanya, Daffa masih duduk di kursi roda. Kedua kakinya masih tak mampu untuk berjalan. "Kamu bohong ya? Bukannya tadi kamu bisa berjalan?" Kamila malah berbalik tanya kepada Daffa. Melayangkan tatapan nanar penuh selidik."Apa yang kamu pikirkan, Kamila? Kalau aku bisa berjalan, tak mungkin kekasihku pergi meninggalkanku. Teriakanmu telah mengganggu tidurku!" sentak Daffa.Kamila mematung. Dia melihat Daffa memutar kursi rodanya, kembali ke tempat tidur.Kursi roda Daffa memang terlihat otomatis. Bisa diatur melalui remote control. Kamila melihat, dapat kembali tidur di atas kasur empuknya. Sementara dia masih saja mematung sambil menepuk pelan kedua pipinya. "Jadi aku hanya mimpi?" Kamila bertanya pada dirinya sendi
Apa!Kamila terkejut. Bersamaan dengan itu, air mata yang sempat dibendung akhirnya merembes, membasahi pipinya yang mulus."Tolong ampuni. Aku benar-benar belum siap. Kita tidak saling mengenal, aku tidak bisa melakukan—" kalimat Kamila tersendat. Bibirnya gemetar, tak sanggup menyelesaikan ucapannya."Memangnya kamu pikir kita akan melakukan apa?" potong Daffa.Kamila mendongak. "Malam pertama adalah HB (hubungan badan) 'kan?" tanyanya sambil terisak.Daffa terlihat memutar bola mata, mendendengus kesal. "Kamu pikir Aku mau melakukan HB denganmu? Menjijikan!" "Memangnya apalagi selain itu?" Kamila menjadi tak paham. "Tugas seorang istri bukan hanya sekedar HB bersama suaminya. Tugas istri adalah, melayani keinginan suaminya. Mengurus suaminya. Tapi aku tidak ingin HB denganmu. Aku tidak akan pernah berhubungan badan dengan wanita yang tak aku cintai, termasuk kamu!" tegas Daffa.Kamila menyeringai. Nafasnya yang sempat tersengal di tenggorokan seketika menjadi lancar. Ia segera me
"Jangan menangis! Kau pikir ini keinginanku?!" Pria di sebelah Kamila membentak. Dia adalah Daffa Azriel, terlihat melayangkan tatapan dingin kepada Kamila.Kamila segera mengusap pipinya yang sudah basah oleh air mata. Ia segera menelan rasa sakit di dalam dada. Segera mengatur nafas yang tersengal di tenggorokan."Kalau bukan karena gara-gara kamu, kekasihku tidak akan pernah pergi meninggalkanku!" Daffa Azriel kembali membentak.Sontak Kamila mendongak terkejut. Dia menunjuk wajahnya sendiri. "Apa! Gara-gara aku?" Dia bahkan tidak pernah melakukan kesalahan apapun kepada pria di sampingnya. "Jangan pura-pura tidak paham. Aku tidak butuh penjelasan apapun darimu!"Kamila menghela nafas berat. Dia memang tidak paham dengan ucapan pria yang kini telah menjadi suaminya itu.Hingga pada malam tiba. Kamila yang kini duduk di meja rias, segera mencopot semua pernak-pernik yang menempel di kepala. Gaun pengantin yang melilit tubuh indahnya, segera diganti dengan setelan kaos dan celana j
Pukul 03.00 sore. Kamila Adelia baru saja tiba di rumah setelah seharian bekerja sebagai buruh di pabrik makanan. Dia buru-buru pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Sore ini sebelum maghrib tiba, Kamila ada janji bertemu dengan calon tunangannya di alun-alun kota. Tapi ketika baru saja dia keluar dari kamar mandi, Kamila mendengar suara tangisan dari kamar sang adik tiri. "Huaaa..." Suara tangisan dari kamar adik tiri Kamila semakin keras terdengar di telinga. Kamila penasaran. Wanita berambut pendek itu segera menempelkan telinganya pada pintu kamar. "Aku tidak mau menikah dengan orang itu, Ma. Aku 'kan tidak sengaja menabraknya. Aku tidak bersalah." Suara Melia Agustin terisak dari dalam kamar. "Tenang saja, semua pasti akan baik-baik saja." Ibu Melia terdengar menenangkan. Sementara Kamila, telinganya masih saja menempel pada pintu. Di waktu yang bersamaan, pintu dibuka dari dalam, Kamila hilang keseimbangan sehingga tubuhnya terdorong masuk ke da