Share

2. Dunia Pekerjaan Malam

Setelah Reksa mengantarku pulang ke kosan, aku harus kembali berangkat bekerja lagi demi cuan yang harus mengalir terus. Hanya dengan berjalan kaki saja, aku sudah sampai di tempat pekerjaan sampinganku.

"Sore menjelang malam Mas," sapaku pada Mas Dhika, pemilik angkringan dan tentunya bosku.

Mas Dhika cuman tersenyum, dia menyuruhku untuk mengambilkan barang dagangannya yang masih berada di belakang.

"Berat nggak?" tanyanya sudah berada di belakangku yang masih berusaha mengangkat baskom ukuran sedang. Berisi nasi kucing, aneka gorengan, dan sate-satean.

Mas Dhika membantuku, bukan di depanku dengan cara mengangkat sisi lainnya, tapi di belakangku seperti memelukku. Tangannya terlurur menelingkupi peganganku pada baskom. Tentu saja aku langsung mengelak, sedangkan Mas Dhika segera mengambil alih baskom yang sudah kembali aku letakkan di atas meja kayu. Tanpa mengatakan sepatah kata apapun, dia berjalan menuju ke depan lagi.

"Ada yang bisa aku bantu?" tanyaku ketika sudah menyusulnya ke depan.

Mas Dhika sekarang sudah sibuk menyusun nasi kucing di etalase  memanjang yang berada di gerobaknya. Dia hanya melirikku sekilas, tangannya menunjuk aneka gorengan di baskom untuk aku pindahkan ke nampan plastik yang sebelumnya sudah dilapisi kertas minyak.

Aku mulai menata dengan tenang, tapi kayaknya Mas Dhika suka sekali membuatku seakan terkena serangan jantung. Dia mengambil penjepit gorengan yang berada di sisi tubuhku sebelah kiri dengam tangan memanjang di belakang tubuhku. Tubuh Mas Dhika sepenuhnya condong ke arahku, sampai aku bisa merasakan kepalaku menyentuh bahunya.

"Mas kan bisa minta tolong aku buat ambilin," ucapku gemas sendiri.

Bukannya aku marah atau apa, tapi dia selalu begitu kalau butuh apa-apa akan di lakukan sendiri. Lalu gunanya aku bekerja untuknya untuk apa sih.

Mas Dhika cuman mengembangkan senyum tipis, ini orang beneran murah senyum atau bagaimana.

Aku hanya melengos ketika arah pandangnya masih tertuju padaku.

"Marah?" tanyanya terdengar pelan, tapi amat dekat dengan indera pendengaranku.

Aku mendorong tubuhnya pelan, ku kibas-kibaskan tangan di sekitar perpotongan leher. Kenapa hari ini bawaannya gerah sekali.

Pengunjung mulai berdatangan, awalnya sedikit dan hanya membeli tidak untuk dimakan di tempat. Tapi makin malam sekitar di atas jam sembilanan, pengunjung yang dominan laki-laki mulai berdatangan. Riuh sekali seperti pasar. Aku kewalahan ketika banyak yang memesan kopi, walaupun sudah bekerja sekitaran satu tahunan, tetap saja kalau ramainya seperti ini aku belum sepenuhnya sanggup menangani. Apalagi cuman berdua dengan Mas Dhika, anehnya dia tampak tidak merasa terbebani sama sekali.

"Mbak Layung, aku pesan satu lagi ya!" seru pengunjung tetap bernama Diki. Dia mengacungkan gelasnya yang tinggal tersisa ampas kopinya saja. Aku hanya memberinya acungan jempol.

"Mbak Yung, pesenanku endi rek!"

Kini giliran Teguh yang protes, gorengannya belum aku antar.

(endi=mana)

"Wes Mbak alon ae, engko lek banter-banter kurang mantep!" Reyhan ikutan berseru. Dia duduk bersama Diki, Teguh, dan Rifki.

(Udah Mbak santai saja, nanti kalau cepat-cepat kurang nikmat)

Kenapa aku sampai bisa tahu nama mereka, karena mereka orang pertama yang menyapaku saat baru bekerja di sini. Lewat mereka juga aku kenal karakter Mas Dhika. Ibaratnya mereka itu seperti emak-emak yang hobi merumpi di gerobak tukang sayur waktu pagi. Apalagi Reyhan, mulutnya itu paling nggak bisa direm di antara keempatnya.

"Yung?" Mas Dhika berbisik.

Aku cuman mengangkat alis, tanganku masih sibuk menuangkan bubuk kopi dengan takaran satu sendok teh di gelas-gelas pesanan.

Mas Dhika tidak segera berbicara, tubuhnya masih berada di dekatku bahkan lengan kami sampai bersentuhan.

"Kenapa Mas?" tanyaku tanpa melihat ke arahnya.

Mas Dhika cuman menepuk pundakku pelan, lalu bergeser lagi untuk melayani pengunjung yang baru datang.

Aneh, dia memang seaneh itu.

***

"Aku antar pulang nanti," ucapnya sambil membereskan gelas-gelas dan piring plastik di atas meja, sedangkan aku kebagian mengelapi mejanya.

Kepalaku menengadah untuk melihatnya yang menjulang tinggi berdiri di sampingku, tangannya begitu gesit menyusun rapi gelas-gelas kotor di atas nampan. Arah pandangku mengitari angkringan Mas Dhila yang berkonsep outdoor. Di atasanya masih di pasang atap baja ringan untuk mengantisipasi kalau tiba-tiba turun hujan. Pandangku terkunci pada bola-bola lampu dari tumbrl twinkle light yang menghiasi langit-langit atap, posisinya memanjang dengan saling menyilang. Tiap tiga detik sekali akan mengedip mati lalu menyala kembali. Indah sekali, menambah kesan romansa buat sepasang kekasih yang lagi di mabuk asmara.

"Nggak usah Mas, deket kok," tolakku.

"Malam banget, nanti kalau ada apa-apa kamu--

Suaranya tidak bisa aku dengar kembali. Aku lebih dulu pergi melipir ke belakang, ke bagian lebih remang yang hanya mendapat cahaya dari lampu tumbrl twinkle light.

"W*'alaikumsalam, ada apa Ni?"

["Mbak Yung!"]

Aku tahu kalau Uni sudah merengek begini, akan ada sesuatu yang tidak beres. Mas Dhika tampak mengamatiku, aku hanya memberinya senyum sambil melambaikan tangan seakan mengatakan, "Tidak ada apa-apa."

"Kenapa, ada apa?"

["Masa tadi Sinta bilang aku nggak mungkin bisa sekolah di SMAN."]

"Terus, kamu jadi ragu sama kemampuanmu sendiri?"

["Ya nggaklah! Aku kan pintar, bahkan bisa mengalahkan peringkatnya."]

Kadang aku tidak mengerti dengan cara berpikir Arunika ini. Ya aku tahu, dia merasa kesepian pasti di rumah, rumah kami lumayan berada jauh dari tetangga sekitar. Dulu, memang dia suka curhat tentang kesehariannya padaku, apapun itu, termasuk ya ... hal yang bagiku sekarang terlalu sepele ini. Dia sadar kemampuannya, tapi terkadang dia juga merasa insicure jika sudah dibandingkan dengan anak pak RT bernama Sinta itu. Bukankah setiap anak lahir dengan keistimewaan masing-masing. Lantas, apa yang masih membuatnya merasa kurang percaya diri dengan kemampuan istimewanya itu.

"Ya sudah, belajar yang lebih giat aja. Ngapain pake ditanggepin segala, kamu tahu kan mulutnya Sinta emang kaleng rombeng."

(Kaleng rombeng=berisik/banyak bicara)

Terdengar kekehan dari seberang, aku mengulas senyum tipis.

["Makasih ya Mbak, Uni sayang Mbak. Nanti kalau pulang aku dibawain oleh-oleh ya, jangan lupa lagi kayak tahun kemarin."]

"Mbak suka sayang kamu."

["Yaudah Mbak tidur ya. Udah malem lo, besok kan kerja lagi."]

"Iya kamu juga."

Aku mematikan sambungan telepon setelah Uni menjawab salamku. Kupejamkan mata sejenak, ku hirup udara sekitar dengan rakus.Tenang Layung jangan baper, kamu kan kuat masak gini aja mau mewek.

Aku terkekeh pelan, menertawakan betapa banyak kebohongan yang sudah aku berikan pada keluargaku di kampung halaman. Aku tidak pernah bilang kalau punya pekerjaan lain, aku tidak pernah bilang kalau menuju tempatku berkerja harus naik kendaraan umum setiap hari, aku juga tidak pernah bilang kalau sebenarnya ... aku ingin pulang saja, lalu bergelut manja di pelukan ibu.

"Mbak Layung!" teriakan Reyhan segera menyadarkanku.

Aku berusaha tersenyum untuk diriku sendiri sebelum melangkah menghampirinya.

"Butuh apa?" tanyaku ketika sudah berada di samping mejanya.

"Wes Mbak, gak sido. Weruh mesemmu lambungku wes warek,"

ucapnya sambil menutup wajahnya, seperti anak SMP yang baru mengenal cinta.

(Udah Mbak, nggak jadi. Lihat senyummu perutku sudah kenyang)

Aku hanya geleng-geleng kepala, kembali menghampiri Mas Dhika untuk bersiap menutup angkringannya.

"Cepet emen tutupe rek, isek jam piro iki?" tanya salah satu pengunjung dengan rambut di semir pirang, mulutnya sibuk menyesap dan mengebulkan asap rokoknya. Pria itu menutulkan ujung rokoknya di atas meja, membuat bara apinya yang seketika berubah menjadi bubuk abu mengotori meja.

(Cepat sekali tutupnya rek, masih jam berapa ini)

"Koen ae sng tekane kesuwen rek!"

sahut Reyhan dengan nada mencibir, 

(Kamu aja yang datangnya kemalaman rek)

"Cuk! Arek ngendi koen, nggak diwarahi sopan santun ta?" 

(Cuk! Anak mana kamu, nggak diajarin sopan santun ya)

Pria yang aku taksir berumur sekitar tiga puluhan ke atas itu menggebrak meja dengan cukup keras, membuat kopi yang masih belum di minumnya tumpah di meja.

Aku berjalan ke arahnya sambil membawa kain lap, ketika tanganku baru saja mengangkat gelas yang sudah tergeletak tak berdaya di atas meja, dia dengan gerakan kasar merebut gelas itu dari tanganku, lalu tanpa aku sangka malah menyiramkannya di bajuku, tepat di bagian dadaku.

Tentu saja aku kaget, bukan karena panas, kopinya sudah dingin, tapi noda kopi itu membuat baju blusku yang berwarna putih gading terlihat jelas di sana. Apalagi kainnya yang agak tipis membuat bajuku di bagian dalam tercetak. Aku segera menyilangkan tangan di dada. Keterlaluan, ingin sekali aku siram balik tepat di atas kepalanya.

"Woy!" teriak Reyhan sudah berlari menghampiriku.

Dia langsung melayangkan satu pukulan di rahang pria yang masih menatapku tanpa kedip. Pria itu termundur kecil. Sambil terkekeh memegang rahangnya dengan tubuh sempoyongan, dia berusaha berdiri kokoh kembali.

"Koen urusane karo aku, nyapo malah ngelampiasne nek wong liyo!" 

(Kamu urusannya sama aku, kenapa malah melampiaskannya ke orang lain)

Reyhan semakin memukuli pria itu secara membabi buta. Sedangkan pria itu yang merasa seperti dijadikan samsak dadakan, balas menyerang Reyhan dengan memukul balik rahangnya, memberi tendangan pada perutnya hingga membuat Reyhan termundur sambil terbatuk kecil. 

"Han, udah!" teriakku ketika teman-teman Reyhan sudah berusaha memisahkan mereka berdua.

"Setan. Asu. Jan--

REYHAN!" Kini aku benar-benar berteriak kencang sambil memberinya pelototan tajam. Reyhan berhenti memberontak, dia mengusap wajahnya secara kasar. Menurut ketika Rifki memapahnya untuk kembali duduk.

"Angkringan koyo opo iki, isine wong nggak due akhlak kabeh!" umpat pria itu sambil meludahkan cairan berwarna merah ke sisi kiri.

(Angkringan macam apa ini, isinya orang nggak punya adab semua)

Mas Dhika baru datang, entah darimana saja dia. Tangannya menarikku ke belakang tubuhnya.

"Ngapurane ya Mas. Maaf, kalau ada pelayanan yang kurang baik dari angkringan saya."

(Ngapurane=Tolong Maafkan)

Gimana-gimana, kenapa jadi dia yang minta maaf.

"Balikin duitku." 

Pria itu dengan nggak tahu dirinya malah menegadahkan tangannya. Dan Mas Dhika dengan santainya malah menurutinya. Dia merogoh kantong celananya mau mengasurkan sejumlah uang. Sebelum itu terjadi, kutarik tangannya yang masih menggenggamku.

"Mas nggak salah, dia yang mulai duluan." 

Tidak ada kata lembut dari ucapanku, yang ada nada sarkas sambil memberinya tatapan tajam.

Mas Dhika melepas tautannya, dia tetap mengasurkan uang itu kepada pria licik ini. Sebelum benar-benar pergi, dia tersenyum menyeringai sembari mengedipkan sebelah matanya ke arahku.

Aku benar-benar nggak bisa diperlakukan begini. Dengan langkah lebar, ku tinggalkan Mas Dhika yang sedang menatapku. Rasanya aku ingin segera enyah saja dari tempat ini.

"Mau kemana?" 

Mas Dhika mencekal pergelangan tanganku erat, aku memberinya tatapan nyalang sambil berusaha melepaskam cekalannya.

"Lepas," ketusku ketika dia malah semakin mencekalnya erat dan menimbulkan sedikit rasa sakit.

Mas Dhika melangkah maju lebih dekat, dia mengasurkan jaket denim yang dipakainya hari ini ke arahku. "Pakai ini."

Aku hanya diam, melengoskan wajah.

Terdengar helaan napas panjang darinya, kedua tangannya terulur ke belakang tubuhku, menyampirkan jaketnya di masing-masing bahuku. Aku segera mendekapnya erat, setelah dia menjaga jarak dariku.

Tanpa satu patah kata apapun, aku berlalu begitu saja dari hadapan Mas Dhika. Tapi lagi-lagi sepertinya hari ini kesialan dalam sejarah hidupku. Reyhan datang menghalangi jalanku dengan tampang wajah sudah bonyok. Terdapat lebam biru keunguan di pipi sebelah kanannya disertai sudut bibir yang robek. Dia berniat meminta maaf padaku.

"Mbak, maafin aku," ucapnya dengan kepala menunduk. 

Merasa tidak ada respon dariku, Reyhan mengangkat kepalanya kembali. "Aku antar ya?"

Ku gelengkan kepala cepat. Aku hanya ingin sendiri sekarang, aku ingin sekali saja egois untuk memikirkan perasaanku sendiri. Kakiku yang baru kembali berjalan dua langkah, segera kembali ditahan oleh Reyhan dengan cara mencekal lenganku.

"Mbak nggak mau maafin aku?" tanyanya terdengar sendu. "Sumpah Mbak, aku ora ndue maksud bakal kejadian koyok mau."

(Sumpah Mbak, aku nggak punya maksud bakal kejadian seperti tadi)

Aku hanya diam, kalau sampai mengeluarkan sepatah kata saja, aku takut pertahananku akan runtuh. Aku hanya berharap ada dia di sini, ada dia yang akan membawaku pergi kemana saja, asal jangan di sini.

"Mbak Layung, ak--

"Jangan ganggu Lembayung." 

Dan suara yang amat aku kenali itu, membuatku segera mengalihkan pandangan dari lantai paving ke arahnya dengan mata sepenuhnya sudah berkaca-kaca. Dia berjalan ke arahku dengan rambut panjangnya yang acak-acakan, seperti biasa di wajahnya akan selalu terukir senyum hangat setiap netra kami beradu temu.

Laki-laki ini yang aku inginkan sekarang.

***

Halo, salam kenal ya. Saya baru mulai nulis di sini. Semoga kalian suka dan terhibur. 

Gimana sama bab ke duanya, masih kurang baper wkwk. Slide bab selanjutnya yuk.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status