LOGINSosok Evan muncul dan berjalan menghampirinya.“Ck, apa?!” sahut Meyra dengan tatapan sinis. Wajahnya langsung berubah datar.Evan segera menghentikan langkahnya di ambang pintu ruang makan, tertegun melihat reaksi tajam istrinya. “Aku mau tanya di mana baju tidur aku?”“Ya di lemari tempat biasa,” balas Meyra singkat, tanpa menoleh. Dia berbalik dan kembali fokus mencuci alat masak yang sempat terhenti.Namun, Evan masih belum pergi juga. “Aku cari-cari nggak ada, kok.”Seketika, Meyra mendengus kasar, sama sekali tak menyembunyikan kejengkelannya yang sudah di ujung tanduk. Dia melempar spons cuci piring dan pisau dapur yang sudah ia bilas ke bak wastafel hingga menimbulkan suara berdentang keras.“Sini ikut,” ajaknya dengan ketus. Lalu, tanpa menunggu, dia melangkah pergi lebih dulu menuju kamar tidur.Evan terdiam sejenak di tempat, masih sedikit syok dan tak menyangka dengan sikap frontal dan berani Meyra saat ini.‘Dia kok jadi serem gini, sih?’ batinnya heran sekaligus muncul r
“Aku masih belum mau maafin kamu,” ucap Meyra, lebih jelas dan tegas kali ini.Rahang Evan sedikit menegang. Dia melangkah mundur, melepaskan pelukannya.“Terus mau kamu apa, hm? Apa lagi yang harus aku beli buat kamu?” tanya Evan, dengan nada yang sedikit dinaikkan, campuran frustrasi dan kelelahan.Meyra menaruh pisau dapur di tangannya, merasa ingin sekali menggunakan benda tajam itu. Namun akhirnya, dia berbalik menatap Evan.Langkahnya kian mendekat. Satu tangan Meyra perlahan naik, mengusap sisi wajah Evan yang kaku dan menegang. Sentuhannya lembut, namun penuh dengan arti yang tak bisa ditebak.Senyuman manis merekah di bibir Meyra. Dia berbisik lembut di telinga Evan. “Malam ini kita, bisa kan? Atau mau honeymoon aja sekalian?”Mendengar hal itu, seketika Evan menegang seperti patung. Jakunnya naik turun menelan ludah dalam kepanikan. Dia teringat dengan jelas pada larangan tegas Erina untuk tidak menyentuh Meyra sama sekali.Namun di sisi lain, posisi jabatan Evan dipertaruhk
Meyra menyunggingkan seringai kecil, ekspresi kemenangan terpancar di wajahnya. “Loh? Katanya pasti beliin apa pun yang aku mau?”“Ya nggak semahal itu! Kamu nggak lihat harganya? Masing-masing barang lebih dari seratus juta! Coba kamu hitung berapa totalnya!” geram Evan, suaranya memekik penuh emosi.Jika sebelumnya, di hari-hari biasa, Meyra pasti akan langsung ciut mendengar nada marah Evan. Tapi kali ini, Meyra malah menjauhkan ponselnya dari telinga karena suara yang memekakkan itu. Dengan santai dia menghela napas lelah.“Emangnya kenapa? Sebelumnya Papa pernah beliin aku gaun lebih dari seratus juta harganya,” balas Meyra ringan.“Itu karena Papa lebih kaya dari aku. Kamu harusnya mikir, dong!” bentak Evan, nada suaranya semakin tinggi, dipenuhi rasa frustrasi karena merasa diperas.Meyra memutar bola matanya, rasa sebal mulai menggelegak.“Ya terserahlah. Nggak usah pulang lagi kalau gitu,” balasnya penuh keberanian, seolah menantang.Hening sesaat memenuhi sambungan telepon.
“Tuan Evan.”Panggilan itu sontak membuat Evan yang asyik berbincang langsung mematikan panggilan di ponselnya. Dengan gerakan refleks, dia menoleh ke sumber suara. Jantung berdebar kencang.Dan ternyata, itu hanyalah Bi Tuti, pelayan setia di rumah ini. Wanita paruh baya itu kebetulan lewat saat kembali dari lantai dua setelah menjemur pakaian.“Ada apa, Bi?” tanya Evan, berusaha menenangkan suaranya yang terdengar panik, sambil menyelipkan ponsel ke saku celana.“Saya udah masak kalau Tuan mau sarapan,” jawab Bi Tuti memberitahu.Evan memutar bola matanya. Lalu mengibaskan tangannya seolah mengusir sesuatu yang mengganggu. “Iya, iya. Sana lanjut kerja aja.”Bi Tuti mengangguk patuh dan melangkah pergi menuju dapur.Diam-diam, Evan menghela napas lega. Hampir saja ketahuan. Dia takut percakapan tadi terdengar olehnya. Namun ternyata tidak.Akhirnya, setelah menenangkan diri, Evan berdiri tegak. Kemudian melangkah menuju kamar tidurnya yang masih tertutup rapat.Evan hanya bisa berdir
Evan berusaha mengambil pendekatan yang lebih lembut. Wajahnya dibuat penuh dengan ekspresi penyesalan yang mendalam."Meyra. Jangan marah, oke? Aku bener-bener lupa sama ulang tahun kamu."Namun, Meyra masih diam membatu. Ia tahu betul perkataan itu hanya untuk merayu dan membuat hatinya yang dulu lemah luluh kembali. Kali ini, ia tidak akan termakan."Kamu mau aku beliin apa, hm? Ponsel baru? Perhiasan? Aku beliin semuanya, ya," lanjut Evan segera membujuknya dengan janji materi."Yang aku mau kamu keluar dari kamar ini. Aku muak lihat muka kamu," ujar Meyra akhirnya bersuara.Namun perkataan itu langsung menohok seperti pukulan fisik bagi Evan. Pria itu terkesiap, syok. Matanya membelalak.‘Dia bisa bicara kasar begini? Ke mana Meyra yang lemah lembut dan penurut itu?’ pikirnya, bingung sekaligus tersinggung."Meyra, dengar dulu penjelasan—" Evan mencoba lagi.Tetapi belum sempat Evan menyelesaikan perkataannya, Meyra kembali menyela."Aku bilang, keluar!" bentaknya.Evan seketika
"Pah. Gimana, dong?" tanya Meyra gelisah. Matanya memandang pria itu penuh kebimbangan.Glen mengernyit, tampak sedikit kesal karena terganggu akan sesuatu. Akhirnya ia berdiri tegap. "Tenang, Meyra. Nggak perlu gugup. Bersikap biasa aja, ya."Meyra mengangguk perlahan, patuh pada perkataannya.Glen tersenyum lembut, puas. "Bagus. Kamu lanjut makan aja. Biar Papa yang temuin."Satu tangan Glen dengan lembut menarik rambut Meyra ke depan. Menata sedemikian rupa sehingga menutupi bagian lehernya. Yang tertutupi sedikit bekas ciuman kemerahan dari semalam.Meyra menyadari maksudnya. Dia langsung merapikan rambutnya lebih tertutup.Glen berbalik dan melangkah keluar dari kamar. Menutup pintu dengan rapat di belakangnya.Dari lorong menuju ruang laundry, terlihat Bi Tuti keluar dengan tergesa-gesa. Ia juga tentu mendengar teriakan Evan tadi."Bi Tuti," panggil Glen. "Evan biar saya aja yang buka pintu. Kamu beresin botol wine di ruang TV, ya. Jangan sampai ada bekas."Bi Tuti menoleh, sedi







