"Apa?!" Suara Alex seperti guntur yang menggema di langit yang gelap. Matanya, penuh keterkejutan, menatap tak percaya pada putra sulungnya. "Bagaimana bisa? Apa kau yakin, Mark?"
"Ya Tuhan, Mark ... kenapa kau tidak memberitahu kami sebelumnya?" ucap Sarah, suaranya penuh dengan kegelisahan dan ketidakpercayaan. Matanya, yang selalu penuh kasih, kini menatap anaknya dengan campuran perasaan yang tak bisa diuraikan dengan kata-kata.
Mark mengangkat tangan kirinya. Memperlihatkan cincin di jarinya, simbol ikatan yang tak terbantahkan.
"Ya, aku serius. Kalian tidak melihat, kami mengenakan cincin ini," katanya dengan nada dingin yang memotong udara seperti belati.
Sarah tertegun, sorot matanya yang biasa lembut kini dipenuhi kebingungan. "Tapi ... kenapa? Maksudku, kenapa kau tidak memberitahu kami jika kau sudah menikah, Mark?" tanyanya dengan suara yang hampir berbisik, seolah kata-kata itu terlalu berat untuk diucapkan.
Dania, yang sedari tadi hanya menjadi bayangan yang setia di sisi Mark, menoleh, menatap pria yang kini menjadi suaminya dengan lembut namun tegas. Pria dingin di sampingnya ini sangat jelas tidak menyukai cara orang tuanya memperlakukan dia.
Merasa perlu untuk meredakan ketegangan yang semakin menebal di udara, Dania mengambil langkah pertama. Kemudian menghela napasnya dengan panjang menatap Mark.
"Mark, izinkan aku mengenalkan diriku," katanya dengan nada yang penuh dengan kelembutan.
Mark hanya menatap lurus ke depan, membiarkan istrinya yang anggun berbicara. Dania menghela napas, mengumpulkan keberanian sebelum berbicara.
"Halo, aku Dania. Aku adalah istri Mark," ucapnya, bibirnya melengkung membentuk senyum yang meski tipis, namun menyiratkan ketulusan yang dalam.
Namun, tidak semua orang menyambut senyum itu dengan baik. Cindy, yang dari awal merasa dirinya memiliki tempat khusus di keluarga ini, mendecih penuh kekecewaan.
Harapannya untuk diperkenalkan sebagai calon menantu oleh Alex, yang selama ini dianggapnya sebagai sebuah kepastian, hancur berkeping-keping. Kini, semuanya pupus oleh kehadiran Dania, wanita yang tiba-tiba muncul dan merenggut impian yang sudah lama ia rajut.
Sarah mencoba mengendalikan kegugupannya, meski masih tampak jelas dalam suaranya. "Bagaimana kalian bisa bersama? Sudah lama menjalin hubungan dengan anakku?"
Dania tersenyum tipis, mencoba untuk tetap tenang meski hatinya berdebar kencang. "Sudah satu tahun, Bibi—"
Namun, sebelum ia bisa menyelesaikan kalimatnya, Sarah memotong dengan nada yang lebih tegas. "Jangan memanggilku Bibi, Dania. Aku ini ibu mertuamu," katanya, dengan nada yang lebih lembut namun penuh makna. "Panggil saja Ibu."
Alex, yang sedari tadi menahan diri, kini tidak bisa lagi menyembunyikan perasaannya. "Apa maksudmu, Sarah?" tanyanya, tatapannya yang tajam menyiratkan ketidaksenangan yang mulai muncul ke permukaan.
Sarah menatap balik suaminya. "Apa ada yang salah dengan ucapanku? Anak kita sudah menikah dengannya, Alex. Maka dia adalah menantu kita," katanya dengan nada yang tidak lagi ragu.
Dania, yang mendengar percakapan itu, hanya bisa menatap mereka bergantian. Dalam hatinya, ia tahu bahwa kehadirannya tidak diterima sepenuhnya oleh Alex. Tatapan dingin pria itu, dan ketidaknyamanan yang jelas tergambar di wajahnya, menyiratkan betapa sulitnya posisi yang sekarang ia tempati.
Namun, ketegangan itu belum berakhir. Cindy, yang merasa tersisih, kini berbicara dengan nada yang penuh dengan tuduhan. "Baru satu tahun, dan kalian sudah menikah. Kau mendesak Mark agar segera menikahimu, kan?" Tuduhannya meluncur dengan nada yang tajam, menusuk seperti belati yang tak terlihat.
Mark, yang sejak tadi berusaha menahan diri, kini tidak bisa lagi menutupi kemarahannya. "Tutup mulutmu!" suaranya menggelegar, memenuhi ruangan dengan intensitas yang mengejutkan. "Kau tidak tahu apa-apa."
Cindy terdiam, wajahnya memucat mendengar kata-kata tajam dari pria yang diam-diam ia kagumi. Hatinya yang terluka semakin dalam, menyisakan rasa sakit yang tak tertahankan.
Namun, dia tidak menyerah. Dengan sisa keberaniannya, ia berbicara lagi, "Aku bicara sesuai fakta. Selama ini kau tidak pernah menjalin hubungan dengan siapa pun, Mark," ucapnya, mencoba untuk kembali menguasai situasi.
Mark menyunggingkan senyum dingin. "Apakah aku harus melapor padamu, dengan siapa aku menjalin hubungan?" tanyanya, nada sarkastik yang tajam seperti pedang yang terhunus.
Dania merasa jika situasi ini tidak bisa dibiarkan semakin memanas. "Maaf jika kehadiranku membuat kalian semua bingung. Aku dan Mark memang sepakat untuk tidak mempublikasikan hubungan kami, karena alasan yang tidak bisa kami sampaikan," katanya dengan nada lembut.
Sarah menatap Dania, matanya yang semula penuh dengan kegelisahan kini sedikit melunak. "Kami hanya terkejut kalau Mark ternyata sudah menikah, Dania. Namun, kami juga sangat lega karena Mark akhirnya memiliki seorang wanita," katanya, suaranya kembali lembut dan penuh kasih.
Dania mengangguk, senyum tipis menghiasi wajahnya. "Terima kasih, telah menerimaku," ucapnya, penuh dengan ketulusan.
Namun, tidak semua orang bisa menerima kenyataan ini dengan baik. Alex, yang sejak tadi menahan diri, akhirnya memilih untuk pergi. Tanpa sepatah kata pun, ia bangkit dari tempat duduknya dan meninggalkan ruangan. Di belakangnya, Cindy mengikuti dengan langkah yang tergesa-gesa, perasaannya campur aduk antara marah dan kecewa.
Di luar rumah, di bawah langit yang mulai gelap, Cindy mendekati Alex yang sedang mengepulkan asap rokok ke udara. "Paman," katanya, suaranya penuh dengan keingintahuan dan kebencian yang tertahan. "Kau percaya, jika mereka sudah menikah bahkan saling mencintai?"
Alex, yang sejak tadi diam, akhirnya berbicara, suaranya rendah dan penuh dengan keraguan. "Menurutmu? Tentu saja tidak. Mark tidak pernah menjalin hubungan dengan siapa pun, apalagi dengan wanita itu."
Cindy menyeringai, pikirannya mulai bekerja untuk mencari cara menghancurkan Dania dan Mark. "Aku yakin, pernikahan itu hanya pernikahan sandiwara. Kita harus mencari tahu semuanya, Paman!"
Satu tahun kemudian ….Clara berdiri di depan jendela apartemen milik Stevan. Lalu pria itu menghampirinya dan memeluk wanita itu dari belakang dan mencium pipinya dengan lembut.“Hi, Stev.”“Hm. Kau tahu? Apa yang sudah ayahmu bicarakan tadi di ruang meeting?” ucap Stevan dengan suara beratnya.“Apa?” tanyanya ingin tahu.Stevan menghela napasnya dengan panjang. “Dia menagih cucu padaku.”Clara yang mendengarnya sontak tertawa. Ia kemudian membalikan badanya dan menatap Stevan.“Lalu, apa jawabanmu?” tanyanya kemudian.Stevan mengendikan bahunya. Ia lalu mengambil sesuatu di dalam saku celananya dan membukanya.Sontak Clara menutup mulutnya dengan mata membola melihatnya. “Stevan ….”“Clara. Kita sudah melewati perjalanan yang cukup panjang. Aku telah mencintaimu sejak kau masih remaja, aku telah menyayangimu sejak kau lahir ke dunia. Aku tahu, kau adalah takdir yang telah Tuhan tentukan untukku.“Meski us
Tiba-tiba, suara dentingan terdengar. Begitu cepat. Tanpa Emma sadari. Mike menendang meja. Meja menjadi miring lalu membuat pisau di tangan Emma terpental.Tring! Pisau menjauh dari Emma. Stevan bergerak dalam hitungan detik.Ia meraih lengan Emma, memelintirnya ke belakang, membuat wanita itu berteriak kesakitan.Clara tersungkur ke lantai saat Stevan berhasil menjatuhkan Emma.Napasnya memburu. "Mmmh ..." mulut itu terikat. Clara tak bisa bicara apapun.“Permainanmu selesai,” desisnya.Emma menatapnya, matanya dipenuhi amarah dan kepedihan.“Tapi aku mencintaimu …”Stevan memejamkan mata sejenak, lalu menarik napas dalam-dalam.“Tidak, Emma.” Ia menatapnya tajam. “Ini bukan cinta, tapi obsesi. Aku tidak pernah mencintaimu dan kau salah mengartikan semuanya. Bahkan kau pun tahu sejak dulu pun aku hanya mencintai Clara.”“Sekali lagi kutegas
Emma menyimpan pisaunya kembali, tetapi sorot matanya tetap menakutkan. Clara menelan ludah dengan susah payah, merasakan jantungnya berdegup begitu keras seakan ingin menerobos keluar dari dadanya.Keringat dingin mengalir di pelipisnya, membasahi kulitnya yang sudah pucat.Emma berjalan ke pintu dengan langkah santai, seolah semua ini hanya permainan baginya. Namun, sebelum keluar, ia berhenti dan berbalik."Oh, dan satu hal lagi, Clara …"Clara menahan napas, tubuhnya menegang. Tenggorokannya terasa kering, seolah ada simpul yang mengikatnya erat dari dalam."Aku ingin dia melihatmu dalam keadaan paling menyedihkan sebelum akhirnya aku menghilangkanmu dari dunia ini."Senyuman Emma penuh kepuasan, seperti seorang seniman yang baru saja menyempurnakan mahakaryanya yang keji.Kemudian, dengan gerakan lambat yang disengaja, ia mendorong pintu gudang hingga tertutup dengan suara berderak, menggema di ruang kosong yang dingin.
"Hahaha, lelaki lemah. Kau mau apa? Menangisi wanitamu? Kau memang pantas ku buang sebagai rekanku. Aku tidak suka lelaki lemah sepertimu." Emma merasa menang. Desain tawanya begitu liar."Clara? Ini berbahaya, Emma. Kendalikan dirimu!""Mike, aku ... Aku hanya mengajaknya bermain. Kau tahu, dia selalu menghalangi jalanku. Aku hanya ingin memberinya pelajaran." Suara Emma santai tanpa rasa bersalah sama sekali."Emma, jangan lakukan ini!" suara Mike meninggi, tangannya mengepal. "Kau sudah cukup membuat kekacauan!""Oh, Mike, kau selalu terlalu baik l… atau terlalu bodoh? Aku ingin melihat sampai sejauh mana kau dan Stevan bisa melindungi wanita ini. Sekarang dia ada di tanganku. Jika kau ingin menolongnya, ajak Stevan dan temui aku."“Apa yang kau lakukan pada Clara?” Mike menggertakkan giginya.Tawa Emma terdengar lebih keras. "Ah, kau akan melihatnya sendiri. Aku akan mengirim lokasi. Tapi jangan terlambat… atau
Beberapa detik kemudian, ponselnya bergetar."Seperti yang kau minta. Semuanya akan berjalan lancar."Emma tersenyum puas. Ia meletakkan ponsel itu kembali dan merapikan rambutnya di depan cermin."Malam ini akan menjadi malam yang panjang," bisiknya.Ia meraih mantel, mengenakannya dengan gerakan anggun, lalu mengambil kunci mobilnya dari meja. Satu tarikan napas panjang, satu langkah menuju pintu.Ia keluar dari kamar, menutup pintu dengan tenang.Ponselnya ia tekan. Bukan ponsel yang biasa ia gunakan. Ponsel lain dan nomor ponsel yang baru, telah ia siapkan kemarin."Nona Clara. Apa anda putri dari Tuan Mark? Papa Anda mengalami kecelakaan lalu lintas, saya menolongnya dan tuan Mark sekarang ada di Alvarado hospital medicare center. Tolong datang segera, karena saya harus mengejar jadwal penerbangan saya.""APAA?! ba-baiklah saya segera datang. Terima kasih Nona telah menolong Daddy." Hiks."Apakah Daddy baik-baik saj
Ia memiringkan kepala, tatapannya terpaku pada sosok Stevan di kejauhan. Mata hitamnya membesar, membulat seakan ia baru saja melihat sesuatu yang indah.Jantungnya berdetak lebih cepat. Pipinya merona."Ah, Stevan …" gumamnya, suaranya terdengar seperti seorang gadis jatuh cinta. "Kau masih tampan sekali. Bahkan dari kejauhan sekalipun!"Ia menempelkan telapak tangan ke pipinya sendiri, memejamkan mata, membayangkan sesuatu.Pernikahan mereka. Stevan di altar, mengenakan jas putih. Ia di sisinya, mengenakan gaun yang memesona. Semua orang tersenyum bahagia.Ya … itulah yang seharusnya terjadi setelah ini.Emma membuka matanya, ekspresinya berubah. Rahangnya mengeras, napasnya semakin cepat."Tapi sebelum aku menjemputmu, sayang …"Tangannya menyelip masuk ke dalam tas kecilnya. Jemarinya bergerak lincah, mencari sesuatu.Lalu, sesuatu berkilau di bawah lampu. Pisau kecil dengan ukiran indah di gagan
Bodyguard pertama yang mencoba melawan. Namun, Randy dengan cepat menghindar dan menghantamkan pukulan yang kuat.Pria itu jatuh ke lantai mengerang. Tidak bisa bergerak. Bodyguard kedua mencoba menahan Randy. Tapi tidak berhasil.Seperti seorang pria yang sedang berjuang untuk menyelamatkan nyawa anaknya, Randy mengamuk, membabi buta, tidak memberi ampun.Mike tergeletak di tanah. Wajahnya penuh dengan cairan merah pekat. Dan tubuhnya semakin tak berdaya.Di sebelahnya, Randy berjongkok, memeriksa keadaan anaknya. Mike masih bernapas, meskipun dengan susah payah."Mike bertahanlah." Randy berteriak, mengguncang bahu.Mike berharap ada reaksi. Tetapi Mike tidak bergerak. Cairan merah pekat itu mengalir deras dari luka-lukanya. Dan tubuhnya terasa dingin.Emma yang masih berdiri di kejauhan, karena perkelahian bodyguardnya, menyaksikan semua amukan Randy dengan tatapan penuh kebencian."Kau akan mati, Mike. Tidak ada yang bisa m
Sementara itu, di dalam mobil, Emma duduk dengan gelisah. Matanya menatap tajam ke depan, namun pikirannya jauh melayang.Botol wine di tangan kanannya hampir kosong, dan dagunya basah oleh sisa-sisa cairan yang tumpah.Ia tampak marah, kecewa, dan sangat kesal. Rasa sakit yang menggerogoti dirinya akibat kehadiran Clara begitu menyakitkan."Stevan…!" gumamnya dengan geram, suara hatinya penuh kebencian. "Kenapa dia harus ada di sana? Apa dia pikir aku tidak tahu apa yang sedang terjadi?"Emma meneguk wine lagi, tanpa peduli dengan keadaan dirinya yang semakin kacau. Ia merasakan ketidakmampuan untuk mengendalikan situasi ini."Kau pikir bisa menghindar, Stevan? Tidak. Aku akan pastikan Clara tahu siapa yang sebenarnya dia hadapi. Tidak ada yang akan bisa menghalangi rencanaku!"Tangannya yang gemetar memegang kemudi, namun di dalam dirinya, ada dorongan tak terhentikan untuk melanjutkan permainan berbahaya ini.Ia tahu bahwa j
Clara merapatkan mantelnya ketika angin malam menyelinap melalui serat kainnya. Ia baru saja keluar dari perpustakaan kampus setelah menyelesaikan tugas yang tertunda.Tatapan itu. Perasaan diawasi kembali lagi. Bahkan kali ini orang itu mengikutinya.Awalnya, ia mengira hanya kebetulan. Mungkin efek dari kurang tidur, atau mungkin hanya pikirannya yang terlalu waspada sejak Stevan memperingatkannya soal Mike.Tapi semakin hari, semakin sering ia merasakan kehadiran tak kasat mata yang seolah mengikuti setiap gerakannya.Ia menoleh ke belakang.Jalanan kampus hampir sepi. Hanya ada beberapa mahasiswa yang berjalan jauh di depannya.Lampu jalan menerangi trotoar dengan temaram, menciptakan bayangan panjang yang bergerak setiap kali angin menggoyangkan dahan pepohonan.Tidak ada siapa pun di sana.Clara meneguk ludah, mencoba menenangkan dirinya.“Hanya perasaanmu saja,” gumamnya pelan.Namun, saat ia kembali melangkah, bulu kuduknya meremang. Ada suara langkah kaki di belakangnya—terde