Tania gelisah tidur di samping Lia, tapi Lia sudah terlelap dalam mimpi indahnya. Mata tak bisa terpejam, padahal waktu sudah menunjukan pukul sebelas malam. Ia beranjak dari tidurnya. Ingin membangunkan tubuh Lia menemani rencana malam ini, tapi tak tega. Tapi di dalam hatinya ia membulatkan tekad menjalankan rencana malam ini.
'Aku tak boleh gagal, harus berhasil malam ini' batin Tania.
Segera beranjak menyingkap selimutnya. Ia turun ke bawah. Masih ada suara televisi menyala. Tania berjalan menyusuri tangga. Melihat dari dekat, siapa gerangan yang masih nonton tv. Ryan yang sedang menikmati acara bola. Pertandingan MU dan Arsenal.
'Ini kesempatan bagus' batin Tania.
"Hai Mas Ryan, mau ku temani? Sapa Tania bersikap seramah mungkin serta senyum tak lepas dari bibirnya.
Ryan mendongak mendengarkan sumber suara. Tapi matanya segera mengalihkan pandanganya ke arah Tv lagi. Mual melihat wajah Tania.
"Nggak usah," jawab Ryan ketus.
"Ini udah malam sana tidur aja, perempuan tak baik begadang !" ujar Ryan setengah mengusir Tania. Tapi malah Tania duduk di sofa tak jauh Ryan duduk. Di meja ada teh manis.
Sepertinya semesta berpihak kepadanya.
Tania memandang gelas berisi teh manis di meja. Memandangnya tak berkedip. Ryan menangkap gelagat itu.
"Kenapa liatin gelas terus, haus? Bikin sendiri sana," ucap Ryan ketus.
Tania diam aja.
Tania tetep tak bergeming, matanya hanya fokus melihat Tv. Otaknya mencari jalan bagaimana caranya ia bubuhkan obat tidur di minuman Ryan. Tapi perutnya minta keroncongan padahal ia sudah makan tadi, makan malam bersama Tante Lia di kamar. Tania ke dapur mengambil cemilan. Camilan ia letakan di meja. Supaya Ryan ikut memakan juga.
Tania sudah terbiasa di rumah Orang Tua Ryan. Karena orang tua bersahabat. Makanya Lia ngebet menjodohkan anaknya.
"Silakan Kuenya Mas Ryan? Kata Tania basa basi. Dirinya juga mengambil dan memasukan kedalam mulut. Tapi matanya tak berhenti menatap teh di gelas besar itu. Airnya masih tinggal separo. Ingin rasanya menambahkan air lagi. Tapi takut Ryan marah.
Terpaksa mereka diam- diaman. Tania gelisah sedari tadi. Tapi Ryan bergejolak saat di golkan oleh pihak lawan. Tania meringis ikutan tersenyum karena ia tak tau sama sekali tentang bola.
Ryan merasa ingin buang hajat kecil. Ia beranjak. Tania ingin mencegahnya, tak ingin di tinggal sendiri.
"Jangan tingalin aku sendiri, Mas Ryan aku takut !" ucap Tania lebay. Ia juga memegang lengan Ryan.
Ryan mengibas tangan Tania, tak suka tanganya di pegang Tania. Menurutnya Tubuhnya hanya untuk Amelia seorang.
"Jauhkan tanganmu ! Aku tak suka disentuh olehmu!" ucap Ryan sinis. Segera ia melangkah menuju kamar mandi. Ketika Ryan di kamar mandi Tania dengan sigap membubuhkan Obat tidur di gelas Ryan.
'Akhirnya!' ucap Tania lega.
Ryan kembali setelah dari kamar mandi. Wajah sumringah terlihat dari raut wajah Tania.
Ryan heran dengan perubahan wajah Tania. Senyum sendiri tak jelas.
"Kenapa kau senyum- senyum sendiri? Udah gila ya?" Tanya Ryan heran dengan perilaku Tania.
"Nggak, aku masih waras !" Tania mengalihkan pandanganya dari sorot mata tajam Ryan beralih ke acara Tv lebih menyenangkan dari pada wajah Ryan.
'Sebentar lagi aku akan jadi Nyonya Ryan' batin Tania senang.
'Dasar orang aneh' batin Ryan, kembali fokus ke Tv.
Acara Tv pun selesai, waktu menunjukan pukul dua belas malam. Sebelum ke kamar ia menghabiskan sisa teh di gelas besarnya.
Obat mulai bereaksi. Ryan jalan terhuyung- huyung. Karena kantuk yang teramat sangat menyerangnya.
"Aku bantu ke kamar Mas Ryan !" Tawar Tania, tapi di tolak oleh Ryan.
"Tak usah, aku bisa sendiri," sembari memegang kepalanya yang terasa pusing.
Ryan mencoba berdiri tegak, tapi kepalanya terasa berat. Matanya pun tak ingin di buka. Merasa ini kesempatan Tania menangkap tubuh Ryan dan membawanya ke kamar.
Tania merebahkan tubuh Ryan dj Ranjangnya. Memperhatikan setiap inci wajah Ryan. Matanya teduh, hidung mancung serta bibir tipis nan merah. Ingin sekali Tania melumatnya.
*******
Sinar mentari menyinari tepat di wajah, Ryan merasa kepanasan. Saat membuka mata alangkah kaget dirinya tak mengenakan sehelai kain pun.
"Tania, apa yang kau lakukan? Kenapa kau di kamarku?"
Tania langsung membuka matanya. Pura- pura kaget dan menangis.
"Kau telah merenggut segalanya dari ku Mas Ryan, kau harus bertanggung jawab!" Teriak Tania.
Mendengar teriakan Tania seisi rumah menghampiri kamar Ryan. Hendri mengetok pintu Ryan.
"Ryan ada apa, Buka pintunya? Kenapa ada suara Tania di dalam?" Hendri dan Putri saling berpandangan. Lia tersenyum penuh arti.
'Anak pintar, sebentar lagi kamu akan menjadi menantuku' batin Lia.
Ryan kemudian Membuka pintu, Tania akting dengan menangis tersedu- sedu. Menutupi tubuh polosnya dengan selimut.
Lia menghampiri Tania, dan mengelua kepalanya.
"Ceritakan kejadianya Tania sayang,"
"Kejadianya begitu cepat Tante, Mas Ryan ngantuk dan aku membawanya ke kamar. Tapi saat di kamar dia memaksaku melayaninya, aku sudah berusaha menolaknya Tante tapi tenaga Mas Ryan kalah kuat. Akhirnya aku pasrah hu...hu..hu..."
"Ryan kau harus tanggung jawah dan menikahi Tania!"
"Tapi Ma, aku merasa tidak melakukan apapun!"
"Setelah kau nikmati ingin membuangnya begitu saja Ryan !"
"Aku tidak melakukan apapun samaTania Ma," Ryan masih membela dirinya. Sedangkan Hendri berdiri mematung, bukti ada di depan mata.
"Kau harus menikahinya Ryan," ucap Hendri lirih. Walau ia tak percaya apa di lihatnya. Seketika hatinya menjadi beku. Kakaknya juga ikut mendukung menikahi Tania.
"Aku merasa tak menyentuh Tania, Mas Hendri tolong percaya padaku, aku sangat mencintai Amelia, aku tak mungkin menghianatinya! Ryan memegang lengan Hendri, mengharap pembelaan kakaknya.
"Kau melakukanya sambil memanggil nama Amelia !" Teriak Tania.
Seketika Ryan diam. Ucapanya menusuk hati paling dalam.
Jleeb.
Air mata jatuh dari pelupuk mata Ryan. Tak sangup membayangkan luka yang akan di tanggung istrinya.
Tania dan Lia tersenyum penuh kemenangan, melihat wajah Ryan begitu terpuruk.
Hendri mengusap pundak adik kesayanganya, ia merasa Ryan di jebak Tania. Tapi karena bukti di depan mata Hendri menyuruh Ryan menikahi Tania.
"Kau harus menikahi Tania, Ryan! Kau tidak mau bertanggung jawab, kau bisa di kenakan pasal pemerkosaan!" ucap Hendri lirih, ikut merasa sedih yang menimpa Ryan.
Ryan masih diam, ia mengacak rambutnya sendiri.
"Aaarrrgghh."
"Tapi bagaimana dengan Amelia? Dia pasti sedih ketika tau hal ini Mas Hendri?" Ryan menunduk meratapi nasibnya sendiri. Takut kehilangan Istrinya. Kenapa dirinya begitu ceroboh saat Tania ingin menemaninya?
Bukankah ini juga yang di inginkan Mama? Menikahi Tania. Pikiran berkecamuk dalam benak Ryan.
"Sudah ! jangan mengelak dari tanggung jawab Ryan, kau harus menikahi Tania! Ultimatum Lia mengema di telingga Ryan.
Bersambung...
Tania dan Arnold pulang dari kantor. Perasaan lega menyelimuti hati. Sejatinya tak ada manusia yang sempurna yang ada hanya saling memaafkan. Minggu depan Tania dan Arnold menikah. Kebetulan Ayah Arnold adalah temen bisnis Ryan di Singapore. Ini sekaligus sebagai silaturahmi bisnis. Ryan pulang ke rumah, di depan pintu bau masakan menguar menusuk hidung. Ryan Membuka pintu, karena pintu juga tidak di kunci. Terlihat Amelia sedang sibuk di dapur. Bau masakan semakin mengaduk perut yang keroncongan. "Masak apa sayang," tanya Ryan memeluk pinggang istrinya. Amelia kaget, suaminya sudah memeluk erat pingangnya. "Masak yang gampang aja, Cumi saos tiram sama capcay bakso kesukaan Mas Ryan," "Sayang, ada kabar baik." ucap Ryan mengecup pipi istrinya. "Apa tuh?" tanya Amelia semangat. "Tania dan Arnold mau menikah." Amelia kaget sekaligus senang. Sikap tegas Ryan
Arnold dan Tania, membicarakan rencana pernikahan. Tiba-tiba ia teringat perbuatanya pada Ryan. Ia ingin meminta maaf. "Tania, sebelum kita menikah aku ingin minta maaf sama Ryan," ucap Arnold sembari memegang jemari Tania. Tania terdiam sesaat, ia teringat kejadian itu atas perintah dirinya. Yang harus meminta maaf adalah dirinya. "Aku yang harus minta maaf sama Ryan, itu kan karena atas perintah ku," Kata Tania menatap kosong di depanya. Tania kini menyadari kesalahanya. Membiarkan dendam menguasai hatinya. Arnold seneng mendengar ucapan Tania. Itu artinya Tania ingin berubah menjadi lebih baik. Tak ingin menaruh dendam berlarut pada Ryan. Karena sejati hukum tabur tuai berlaku di dunia ini. Tania memperoleh hukumanya, di campakan oleh Ryan. Ia Lebih Memilih istrinya. Ingin menghancurkan hidup Ryan, tapi dirinya yang hancur. Untung cinta Arnold menyelamatkan dirinya, hi
Arnold menyodorkan cincin di hadapan Tania. Netra Tania menatap lurus cincin berlian di hadapanya. "Menikahlah denganku Tania, aku tak bisa berjanji bahwa aku akan selalu membahagiakan mu tapi aku ingin bersama sampai menutup mata." Tania mengejap matanya berulang kali, ia tak menyangkaa akan di cintai seperti ini. 'Apa ucapan kakak harus aku turuti?' Batin Tania. Arnold masih menatap penuh harap agar menerima dirinya. "Tania ...." panggil Arnold parau. "I-ya," jawab Tania sambil terbata- bata. "Apa kau menolakku?" tanya Arnold sedih. Ia berpikir sejenak. Lalu dengan memejamkan matanya ia menjawab lamaran Arnold. "Iya Arnold, aku mau menikah denganmu" walau hati ragu. Tapi ia ingin menghilangkan bayangan tentang Ryan di kepalanya. Hati Arnold sangat bahagia mendengar ucapan Tania. Arnold membuka kotak berisi cincin berlian. Menyematkan di jemari Tania. Cincin
Selama hampir sebulan Arnold mendekati Tania. Melakukan apa saja demi mendapatkan cinta Tania. Menyuruh Tania melupakan dendam pada Ryan. Mencoba berdamai dengan kehidupan. Bahwa semua terjadi adalah kuasaNya. Tapi Tania masih terdiam semua perkataan Arnold. Ia sangat sabar menghadapi Tania. Juga berdoa semoga Tania segera sadar. Arnold memakai jas Navy. Menyemprotkan aroma maskulin di tubuhnya. Jack sudah menunggu di belakang kemudi. Ia masuk mobil sudah tak sabar menemui Tania. Gugup menguasai hati Arnold. Jack melajukan mobilnya ke Apartemen Tania. Arnold membuka cincin berlian mata satu yang berkilau Indah. 'Ya Tuhan, semoga Tania menerimaku' batin Arnold. Tania baru bangun tidur saat mentari sudah naik. Ia mengeliat. Membuka selimutanya. Ada perasaan bahagia menyelinap ke dalam kalbu. Ia tak tau kenapa. Lebih baik mandi. Air pagi menyegarkan tubuh Tania. Rambut basah Tania telah di bungkus dengan handuk. Tania
Amelia melanjutkan makannya. Ucapan mertuanya yang menohok membuat selera makanya terhenti. 'Kapan Mama akan menerimaku?' Batin Amelia sambil menunduk. Ryan mengerti istrinya sedih. "Mas, ayo kita periksa ke dokter," rajuk Amelia dengan tatapan memohon. "Iya ... sayang, besok kita periksa. Kebetulan tak ada jadwal penting di kantor," Mata Amelia menyiratkan bahagia. Keinginan memiliki zuriat begitu besar baginya. Bukan sekedar menghindari ocehan mertuanya. Tapi ada kebahagiaan tersendiri di saat bayi mungil tumbuh besar di rahimnya. Melahirkan dan membesarkan dengan penuh cinta kasih. Untungnya suaminya sangat pengertian. Tak menuntutnya memiliki keturunan segera. Tapi anak adalah rejeki dan harus berusaha meraihnya. Juga doa yang tak pernah putus. Amelia mengeliat dalam pelukan suaminya. Hangat mengaliri darah Amelia. Ia mengejap dan mengedarkan pandanganya. Masih gelap jam berapa ini?
Kembali ke Amelia. Amelia mengejap matanya berulangkali. Ia melihat jam di beker di nakas. Jam 3 sore. Ia bangkit dan melangkah ke kamar mandi tak jauh dari kamarnya. Ritual mandi dilakukan dengan cepat. Selesai mandi segera ke dapur. Memasak untuk nanti makan nanti malam. Aroma masakan menyeruak menyebar di seluruh ruangan rumah ini. Jam lima sore Ryan pulang. Pintu rumah tak di kunci. Ia langsung masuk saja. "Ceklek" "Assalamualaikum," "Walaikum salam Mas Ryan," Senyum mengembang dari kedua sudut mulut Amelia. Ia menyambut suaminya dan mencium tanganya. "Masak apa sayang?" Tanya Ryan sembari mencium kening istrinya. "Masak kesukaan Mas Ryan," ucap Amelia sembari menaruh Ayam goreng di meja. "Mas mandi dulu, nanti kita malam bareng," "Iya sayang," Ryan melangkah ke kamar. Mandi juga berganti pakaian. Ryan terlihat segar. Waj
"Kenapa diam Tania?" "Kamu masih memikirkan Ryan? Laki- laki pengecut seperti itu masih kau pikirin! Kurang kerjaan aja !" Arga selalu marah apabila Tania memikirkan Ryan. "Aku nggak mikirin Ryan kak, tapi memikirkan bagaimana membalas sakit hatiku!" ucap Tania sambil mengepalkan tangan menahan marah di dada. "Hemm ... sampai kapan kau memelihara dendam di hati? Bikin sakit aja!" "Udahlah ... tak ingin dengar alasanmu, kak Arga pingin kamu melupakan Ryan dan menerima Arnold. Itu demi kebaikanmu!" Arga berlalu dari hadapan Tania. Memberi ultimatum telak. Menbuat Tania tak berkutik. Apakah aku harus menerima Arnold? Tania melangkah gontai ke kamar. Ia menjatuhkan dirinya di Bed. Menarik selimut sampai ke leher. Memejamkan mata berharap pelangi datang lewat mimpinya. Tania mengejap matanya tatkala sinar mentari menerobos lewat celah kecil dari jendelanya. Dan m
Arnold masih berada di Hotel mewah. terpekur sendiri. Memikirkan Tania. Mencoba menghubungi gawainya tapi tak aktif. Kangen di dada serasa akan meledak. Akhirnya ia menemui kembali Tania. Bukankah cinta harus di perjuangkan? Pikir Arnold. Di depan Apartemen kakaknya. Ia memencet bel. Ting tong. Arnold berniat ingin melamar Tania secara baik- baik. Tania bangkit dan membuka pintu. Alangkah terkejutnya ia saat tau Arnold ada di depanya. "Arnold ...." gumam Tania lirih. "Iya ini aku, sambil memegangi daun pintu. Tania menatap manik mata milik Arnold. Ada cinta yang dalam di matanya. "Ada apa, kenapa menatapku seperti itu?" Arnold tersenyum semanis mungkin di hadapan belahan jiwanya. "Tania ... aku ingin melamarmu," Jantung Tania serasa ingin melompat keluar juga deg- deg an. Senang mendapat perhatian dari lak
Ryan menyuruh Mamanya duduk di sofa, ia kembali berkutat dengan pekerjaanya. Agar tak mengganggu konsentrasinya. Akhirnya Mama Lina mau menuruti anaknya duduk di sofa. Tapi mulutnya tak bisa berhenti ngomel. "Kamu tuh keterlaluan banget ya, udah lupa sama Mamamu ini hah?! Beberapa Bulan tak ada kabar!" "Tapi Ryan selalu komunikasi sama kakak Ma?" "Kalau kakakmu aja di hubungi masa sama Mama nggak?" Lina semakin emosi. Anak bungsunya ini bikin gemes. Ryan kembali menekuri pekerjaanya. Tanpa melirik Mamanya. Tapi Mamanya masih aja nyerocos. "Kamu tuh belum tau rasanya jadi orang Tua sih!" Deg Hati Ryan tercubit. Ada Nyeri menyapa. Mencoba sabar omelan Mamanya. 'Ya Tuhan, sabarkanlah hamba menghadapi Mama' "Oh ya Si Amel udah hamil belum?" "Belum, kenapa Ma?&n