Share

Profesi Baru

Matahari mulai terbangun dari peraduannya, tetapi netra ini seakan engan untuk menyambutnya. Dekapan hangat dari seseorang yang kini berbagi ranjang denganku semakin membuatku terlena, Ryan Ahmad Salim, pria yang sudah 6 bulan ini menjadi suamiku.

Terpaksa aku harus secepatnya bangkit dari kenyamanan ini, karena jika tidak bisa dipastikan kalau kami akan semakin kerepotan, apalagi 'dia' pasti sebentar lagi akan menjerit heboh karena tidak menemukanku ada di sampingnya. Alshad Ahmad Salim, putra semata wayang kami.

"Bunda!" teriaknya.

Nah kan, sesuai perkiraanku kalau sudah begini mau tidak mau aku memang harus beranjak dari dekapan erat suamiku. "Mas, lepasin itu Alshad sudah teriak-teriak," Dia hanya bergumam dan menggeser lengannya yang semula melingkar erat di pinggangku.

Segera kuhampiri anak itu, sebelum teriakannya berubah menjadi tangisan yang sangat menggangu.

"Selamat pagi, Al. Gimana tidurnya, nyenyak nggak?" sapaku sambil kupeluk tubuh mungilnya dengan sayang.

Dia lantas mencari posisi ternyamannya, yaitu dengan naik ke atas pangkuanku, "Bunda lama Al sudah panggil dari tadi tapi nggak datang-datang," rajuknya.

"Bunda sudah tau kalau Al sudah bangun. Sengaja mau lihat Al, nangis atau tidak pagi ini kalau bunda terlambat datang, ternyata anak bunda ini sudah hebat?" ucapku mencubit gemas pucuk hidungnya.

"Nanti ayah marah lagi, kalau Al nangis," adunya.

Kemarin Mas Ryan sempat memarahinya, karena dia menangis dan enggak mau diam kalau bukan aku yang menenangkannya. Saat itu aku tengah kerepotan menyiapkan sarapan juga bekalnya ke sekolah. Mungkin ayahnya sudah habis kesabaran, dan berakhir memarahi putranya itu.

"Marahnya ayah kan karena sayang sama Al. Ayah nggak mau kalau anaknya ini jadi anak yang cengeng."

"Iya, tapi Al takut, Bunda," adunya lagi lantas memberingsut kedalam pelukanku.

Aku lantas menyuruhnya untuk membangunkan sang ayah, karena kulihat jarum jam yang menggantung di dinding sudah menunjukkan angka 06.00 pagi, dan ini sudah sedikit terlambat dari biasanya.

Artinya aku harus segera menyiapkan sarapan dan keperluan anak semata wayang kami untuk pergi ke sekolah, sekaligus day care buat dia. Tidak setiap hari juga, karena ada neneknya yang menjemput saat aku dan Mas Ryan masih bekerja.

Setelah semuanya selesai aku segera kembali ke kamar untuk bersiap diri, mereka sudah rapi Mas Ryan cukup bisa diandalkan dalam mengurus anak, mungkin karena sudah terbiasa.

Dari Al masih bayi, Mas Ryan pernah bilang jika dirinya lah yang mengurus semua keperluan Alshad. Jangan tanyakan kenapa karena aku tidak tau dan tidak mau tau, karena itu urusan Mas Ryan dengan masa lalunya.

"Sudah mas siapin air untuk mandi segera bersiap, ya. Mas tunggu di meja makan sama Al," titahnya tak lupa kecupan lembut mendarat di keningku, selalu setiap pagi dilakukan olehnya dan mungkin ini menjadi kegiatan wajib baginya.

Selama 6 bulan usia pernikahan kami, aku selalu diperlakukan sangat manis olehnya. Begitupun denganku yang selalu berusaha melakukan tugasku sebaik mungkin, sebagai seorang istri, sekaligus ibu untuk anaknya.

Tidak pernah terbayang sebelumnya, jika seorang Nisya Kailandra, akan menikah dengan seorang duda sepaket dengan anaknya. Awalnya aku takut tidak bisa menjadi ibu sambung yang baik buat anaknya. Namun satu kejadian yang langsung membuatku tersadar akan arti ibu yang sesungguhnya.

Ketika 'dia', Alshad Ahmad Salim pertama kali dipertemukan denganku. Diluar dugaan bahwa Alshad langsung memanggilku 'Bunda' serta memeluk erat diriku. Saat itu juga rasanya akulah yang sudah melahirkan dia di dunia.

Tidak bisa berkata-kata lagi, kubalas pelukannya saat itu dengan tak kalah eratnya, sampai netra ini terasa panas menahan lelehan air mata yang mati-matian aku tahan namun akhirnya luruh juga.

Bukan hanya aku bahkan semua yang melihatnya pun ikut terharu. Mulai saat itu juga aku berjanji kalau akan menganggapnya sebagai anak kandungku sendiri. Meskipun tidak adanya hubungan darah diantara kami.

Karena untuk menjadi seorang ibu menuruku tidak harus melahirkankan terlebih dahulu, seperti yang kualami ini. Bukan aku yang melahirkannya, tapi ketika melihat tatapan polos dan mulut mungilnya memanggilku dengan sebutan 'Bunda' itu sudah membuatku merasakan jika akulah yang telah melahirkannya.

Terlepas dari rumitnya hubungan kami orang tuanya, aku memilih untuk tidak memikirkannya, karena tujuanku sekarang hanya akan fokus untuk merawatnya saja.

Kurasa Mas Ryan juga sadar akan hal itu, jika huhungan kami tidak melibatkan perasaan, sebagaimana mestinya pasangan suami-istri lainya. Sebab sampai saat ini, tidak pernah sekali pun Mas Ryan mengungkapkan perasaanya. Kita tetap berhubungan baik, selayaknya pasangan suami istri lainya. Namun tidak dengan interaksi kami yang cenderung dingin, dan jarang sejaki terlibat obrolan santai biarpun itu hanya sekedar berbincang sebelum tidur atau pun saat kami tidak ada kegiatan. Kami hanya akan berkomunikasi yang penting-penting saja. 

Namun itu tak lantas membuatku lalai akan tugasku sebagai seorang istri, aku tetap melayani suamiku itu, baik lahir maupun batin. Dan tetap  berusaha sebisa mungkin untuk membuatnya merasa nyaman saat berada di rumah.

Mas Ryan juga tidak pernah mempermasalahkan hal ini, sebab dia memang secuek itu. Suamiku itu cenderung pendiam orangnya, tidak terlalu banyak bicara dan lebih suka menunjukkan perhatiannya itu lewat tindakannya langsung. Seperti yang aku dapatkan tadi.

Dia hanya tidak suka jika keberadaannya diabaikan, maka dari itu aku tidak pernah berani bermain ponsel atau menyibukkan diri ketika sedang bersamanya.

Masih terngiang ucapannya kala itu.

"Mas, nggak masalah jika kamu mau bermain ponsel atau sibuk dengan pekerjaanmu, tapi tolong jangan lakukan itu ketika sedang bersama mas. Karena mas nggak suka keberadaan mas diduakan apalagi sama benda mati."

Cukup satu kali, dan aku tidak pernah mengulanginya lagi sampai saat ini. Aku sudah cukup mengerti apa yang diinginkan olehnya, dan tidak pernah sekalipun aku membantah setiap ucapannya.

Karena memang apa yang diucapkannya itu selalu tentang kebaikan, bagaimana mungkin aku bisa membantahnya, kan?

Setidaknya keputusanku untuk menerima perjodohan ini tidak sia-sia, karena aku bisa merawat anak selucu dan sepolos Alshad, hanya karena dia yang bisa membuatku bertahan sampai sekarang.

Kehadirannya bagaikan magnet buatku dan Mas Ryan, yang awalnya hubungan kami dingin menjadi lebih hangat karena adanya Alshad di tengah-tengah kami.

Aku masih heran sampai saat ini, bagaimana bisa orang sebaik dan selembut Mas Ryan bisa mengalami kegagalan dalam berrumah tangga. Sungguh betapa bodohnya wanita itu yang sudah meninggalkan orang sebaik Mas Ryan.

Lantas bagaimana denganku? Apakah aku merasa beruntung sekarang, karena sudah menjadi istrinya.

Atau malah sebaliknya Mas Ryan yang tidak beruntung mendapatkan aku sebagai istrinya? Entahlah, hubungan kami memang serumit itu.

Ataukah hanya aku saja di sini yang membuat hubungan ini rumit. Karena selama ini Mas Ryan pun terlihat biasa saja, aku juga tidak tau apa yang sebenarnya dirasakan olehnya, karena diusia pernikahan kami yang sudah menginjak setengah tahun dia tidak pernah mengungkapkan perasaannya kepadaku.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
dwi nurhayati
susah emang klo am cowok pendiem
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status