Share

Memburu Calon Suami

last update Last Updated: 2025-01-16 17:56:34

"SIAPA YANG BATAL NIKAH?!"

Jantungku seolah melorot ke perut. Dengan gerakan patah-patah bak robot dan ekspresi ngeri bukan main, aku memutar kepala. Di sana, di depan pintu kamar, sudah berdesakan Bapak, Ibu, para Bude dan Bulik, entah sejak kapan. Apa jangan-jangan mereka dengar semua curhatanku ke Bayu?

"Itu ..."

"Bicara yang jelas, Naini Ritta!"

Mataku refleks terpejam erat mendengar suara menggelegar Bapak. Apalagi beliau memanggil dengan nama lengkap, sudah pasti aku tidak bisa memakai alasan konyol untuk berkelit.

Kupandangi wajah yang menanti jawabanku satu per satu. Mereka seperti peserta acara reality show Super Deal 2 Miliar yang sedang harap-harap cemas menantikan apa yang ada di balik tirai—akankah aku membawa pulang hadiah atau tidak. Sayangnya, aku yang menjadi peserta terpilih justru sudah mendapat spill kalau tirai yang kupilih ternyata isinya zonk.

Kutarik napas dalam-dalam sebelum mengembuskannya perlahan. Pandanganku terakhir berhenti di sosok Ibu yang paling terlihat cemas dan khawatir. Entah bagaimana nanti kalau beliau mendengar kenyataan yang akan kusampaikan. Semoga saja beliau tidak sampai pingsan.

"Jadi ... tadi Anggara tiba-tiba kirim WA dan—"

Rasanya aku tak sanggup melanjutkan. Fakta bahwa ini akan menyakiti dan mengecewakan semua pihak semakin memberatkanku. Bayang-bayang diriku yang mencoreng nama keluarga besar dan mempermalukan mereka karena batal menikah semakin terlihat jelas.

"—dia bilang putus."

Hening. Bahkan lalat pun rasanya sungkan bernapas dalam situasi seperti ini. Orang-orang yang tadinya menunggu penjelasanku dengan resah, tiba-tiba diam seperti patung seolah baru saja terkena kutukan Malin Kundang.

Aku memberanikan diri bicara lebih jelas, meski masih terselip rasa takut, "Kemungkinan ... rencana pernikahannya juga batal."

Gubrakk!! Mendadak Ibu jatuh pingsan, seperti yang aku khawatirkan. Suasana yang tadinya tegang langsung berubah menjadi hiruk-pikuk tak terkendali. Jeritan panik di mana-mana. Ada yang terduduk lemas, menangis, sementara Bapak dibantu Bude dan Bulik menggotong Ibu ke ruang tengah.

Di tengah kegaduhan itu, aku menoleh ke arah jendela. Kosong. Sejak kapan Bayu melarikan diri dan meninggalkanku di saat seperti ini? Padahal gara-gara dia yang tidak mengawasi pintu tadi, curhatanku jadi bocor!

***

Suara tangisan mendominasi kegaduhan di ruang tengah yang luas dan difungsikan sebagai tempat berkumpul keluarga. Tentunya tangisan pilu Ibu yang paling keras. Beliau sudah sadar sejak beberapa saat yang lalu setelah diberi bau-bauan minyak kayu putih tepat di bawah lubang hidungnya. Tubuh Ibu yang masih terbaring di sofa tampak pucat dan lemah, tetapi anehnya suara beliau masih saja sekencang geledek.

"Neniii!! Huuhuuhuuu ... Nenii!! Huuhuuu ...." Lihat saja tangisannya sudah seperti meratapi orang meninggal. Padahal aku masih ada di samping beliau dalam keadaan sehat wal afiyat. Hanya, masa depan dan harga diriku yang dalam kondisi kritis, sulit diselamatkan.

"Bu, sudah, Bu. Sudah." Aku berusaha menenangkan Ibu dengan mengusap-usap punggung tangannya lembut. Aku khawatir Ibu akan jatuh pingsan lagi akibat kelelahan karena terus histeris. Di sebelah Ibu, Bulik Narni tak henti mengayunkan kipas bambu yang beliau pegang, padahal jelas ibuku bukan sate yang lagi dipanggang. Sementaa Bude Sri juga masih siaga dengan minyak kayu putih yang penutup botolnya masih terbuka di tangan.

"Sudah apanya?! Tega ya kamu ya. Tega!!!" Suara Ibu kembali melengking usai mengibaskan tanganku kasar. Entah kenapa justru orang tua calon mempelai putri yang lebih terpukul. Bukankah di saat seperti ini aku, sebagai pihak yang ditinggalkan, harusnya juga menjerit-jerit dan menangis pilu? Namun, yang kulakukan di sini justru berusaha menenangkan orang-orang.

"Neni! Sini ikut Bapak!"

Glek! Susah payah aku menelan ludah di kerongkonganku yang seolah tersumbat isi kedondong. Dengan takut-takut, aku beringsut mendekati Bapak yang tadinya menepi ke ruangan lain untuk menenangkan diri. Sayangnya, aku tidak yakin itu berhasil, sebab wajah Bapak masih seperti banteng yang dipenuhi angkara murka.

"I-iya, Pak?" tanyaku sambil melirik Bapak yang kini berdiri menghadap jendela di kamarnya.

"Anggara masih belum bisa dihubungi?"

Aku menggeleng dengan wajah tertunduk.

Bapak menggeram dengan suara dalam. "Jarjit."

"Hah? Apa, Pak?" Aku langsung mendongak, menatap wajah Bapak karena tak yakin dengan apa yang barusan aku dengar. Jarjit, katanya? Memang apa hubungannya masalahku dengan teman mainnya Upin-Ipin itu?

"Bapak bilang, cari!" ulang Bapak dengan suara lebih jelas dan tegas. Seketika mulutku membulat.

"Ooh ... cari, toh. Aku kira Jarjit. Makanya kupikir buat apa Bapak nyuruh aku jadi Jarjit? Nanti di saat kayak gini malah berpantun, lagi! Dua tiga sayur mayur ...," cerocosku seraya menirukan lagak Jarjit di televisi.

Wajah Bapak semakin membara. "NENII!!!"

Aku berjengit kaget. "Iya! Iya, Pak! Aku berangkat! Assalamualaikum!" Lalu segera ngacir meninggalkan kamar.

Di depan pintu, tanpa sepengetahuan Bapak, aku melanjutkan pantunku yang belum selesai tadi. "Dua tiga sayur mayur, Bapak marah, ayo kabuur!"

***

Sesuai perintah Bapak, aku pun pergi mencari Anggara. Namun, aku tidak sendiri. Aku menyeret Bayu untuk ikut bersamaku karena secara tidak langsung gara-gara dia masalah ini jadi mencuat ke permukaan. Yang kedua adalah karena aku tidak bisa naik motor, dan tidak mungkin juga meminta tolong salah satu anggota keluargaku untuk mengantar di saat keadaan rumah masih gempar seperti sekarang.

"Kamu tahu alamat tempat tinggalnya?" tanya Bayu tepat sebelum aku naik ke boncengan motor bebeknya.

"Iyaa, tahu! Cepat, buruan! Sebelum janur kuning melengkung jadi bungkus ketupat!" perintahku seraya menepuk pundaknya cukup keras.

Bayu pun menjalankan motor sesuai arahanku yang memegang G****e Maps di tangan. Meski baru kenal sekitar sebulan yang lalu dari aplikasi pencarian jodoh, untunglah aku tidak lupa menanyakan alamat tempat tinggal Anggara yang masih satu kota denganku, sebab aku pernah mengirimkan makana lewat gojek ke sana.

Setengah jam kemudian, kami sudah sampai di depan sebaris rumah yang saling menyatu dindingnya antara satu dan yang lain. Aku menggaruk kepala, bingung. Ini memang pertama kalinya aku datang ke rumah Anggara. Namun, aku tidak mengira dia tinggal di rumah yang lebih mirip indekos petak seperti ini.

"Yang sebelah mana rumahnya?" tanya Bayu sambil melihat-lihat pintu yang berjajar di hadapan kami.

Sebenarnya aku sendiri tidak tahu, tetapi tengsin mengakui hal itu di depan Bayu. Oleh sebabnya, aku asal saja mengetuk salah satu pintu yang menurut instingku adalah milik Anggara. Semoga saja ikatan kami sebagai calon sepasang suami-istri benar-benar kuat.

"Raa! Garaa! Ini aku, Ra! Tolong bukain pintu!" Maksud hati aku ingin memanggilnya dengan lemah lembut, tetapi malah seperti tukang kredit panci yang mau menagih cicilan.

"Anggara!!" Aku kembali menggedor dengan berisik.

Tidak lama kemudian, pintu terbuka. Namun, bukan calon suamiku yang muncul, melainkan seorang wanita dengan tubuh semlohai yang mengenakan sepotong daster tipis.

"Astaghfirullaah!" Refleks tanganku membekap mata Bayu, menghalangi pandangannya dari pemandangan tak senonoh.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Ada Undang di Balik Kotak Bekal

    Aku terdiam sejenak, masih mencerna kehadirannya yang tiba-tiba.“Eh, Ris... ini...” Aku menunjuk kotak bekal di mejaku. “Punya kamu?”"Iya. Aku bawain buat kamu," jawabnya ringan.Aku hampir tersedak udara. "Buat aku? Kok bisa?"Risma tertawa kecil. "Aku sering lihat kamu nggak pernah bawa bekal makan siang. Selalu beli di kantin, kan? Jadi aku pikir, nggak ada salahnya kalau aku bawain bekal. Lagian, aku masaknya banyak."Aku menatapnya dengan waspada. Ini aneh. Mantan istri suamiku tiba-tiba bawain aku bekal? Apa ini semacam misi terselubung? Mungkin Risma udah nonton terlalu banyak drama Korea dan sekarang mau berteman baik sama istri suaminya yang dulu?Atau... mungkin ini trik khas mantan yang masih punya agenda tersembunyi?Tapi kalau iya, kenapa harus dimulai dengan bekal? Apa dia berharap aku luluh dengan lauk ayam goreng dan sambal?"T-terima kasih ya..." Aku mencoba bersikap sopan. "Tapi nggak usah repot-repot gitu, Ris. Aku nggak enak.""Nggak apa-apa, aku senang kok." Ris

  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Si Cuek Vs Si Kepo

    Malam itu, aku duduk di ruang tamu sambil melamun. Setelah berkunjung ke rumah Risma siang tadi, ada sesuatu yang mengganjal di pikiranku. Aku nggak bisa berhenti memikirkan suasana rumahnya yang terasa terlalu sepi.Di meja makan, Bayu sedang asyik mengetik sesuatu di laptopnya. Dari tadi dia nggak banyak bicara, hanya sesekali mendengus kesal saat mengetik. Entah apa yang dikerjakannya, tapi aku yakin itu bukan tugas kantor. Mungkin dia lagi ribut di forum jual beli telur asin atau debat online soal harga pakan bebek.Aku berdehem, mencoba menarik perhatiannya."Yu.""Hmm?" Dia menjawab tanpa mengalihkan pandangan dari layar.Aku menghela napas. "Kamu nggak merasa ada yang aneh tadi waktu kita di rumah Risma?"Bayu akhirnya mendongak sebentar. "Aneh kenapa? Karena kamu dibikinin siomai? Atau karena aku jadi tukang servis gratis?"Aku melotot. "Bukan itu, Bayu! Serius, deh!"Dia menutup laptopnya dan menyandarkan punggung ke kursi. "Terus, apanya yang aneh?""Rumahnya itu, loh. Sepi

  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Jangan Ada 'Siomai' Di Antara Kita

    Sebenarnya aku sudah curiga sejak kami di jalan tadi.Begitu telepon dari Risma selesai, Bayu langsung menyuruh aku ikut. Tanpa basa-basi, dia nyalain motor dan melambaikan tangan ke arahku.“Cepetan, Nen. Risma bilang masalahnya urgent banget!”Aku tidak langsung naik. “Kamu tahu rumahnya?” tanyaku, memicingkan mata.“Dia shareloc,” jawabnya sambil menunjuk layar ponselnya yang terpampang di dashboard motor.“Oh,” kataku pendek. Tapi dalam hati aku nggak bisa berhenti mikir: kok dia kayak terlalu santai, ya? Seolah-olah ini hal biasa.Aku bahkan bisa melihat betapa tenangnya Bayu, seperti sudah pernah berkali-kali melakukan hal serupa. Sesuatu dalam diriku mulai merasakan ada yang janggal. Kenapa dia terlihat seperti tahu apa yang sedang terjadi? Atau lebih tepatnya, kenapa dia tidak terlihat khawatir sedikit pun?Dan sekarang, di depan pintu kamar Risma, aku merasa dugaan itu ada benarnya. Bayu sudah berdiri di depan pintu kamar yang sedikit terbuka, memegang senter dari ponselnya.

  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Kunjungan ke Rumah Mantan

    Pemandangan di depan rumah Risma sudah cukup bikin aku menelan ludah. Risma berdiri di sana dengan wajah yang… gimana ya? Kagok? Syok? Kayak dia nggak nyangka bakal lihat aku ikut nimbrung.Kerudung segiempat dengan kedua ujung tersampir di pundak menutup kepalanya, dan dia pakai piyama dengan gambar kelinci yang terlalu imut buat seorang perempuan dewasa. Aku menahan tawa melihatnya. Kayak bukan Risma yang biasa aku lihat di kantor. Atau mungkin ini sekadar triknya untuk terlihat imut? Bukankah kaum Adam suka dengan cewek-cewek kawaii macam di Anime?Aku, yang masih duduk di belakang Bayu di atas motor, memiringkan kepala. Kaget, Ris? Kirain cuma mau ngobrol sama Bayu aja?“Oh, Neni ikut juga?” tanya Risma dengan senyum kecil yang—menurutku—agak dipaksakan.“Ya dong, kami ke mana-mana bareng. Paket hemat,” jawabku dengan nada santai, meskipun dalam hati aku merasa agak puas.Risma tertawa kecil, tapi aku bisa melihat matanya sekilas melirik ke arah Bayu, seolah sedang menilai reaksin

  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Si Perusak Suasana

    Setelah istirahat beberapa saat, Bayu memaksaku untuk naik sepeda tandem lagi. Meski sebenarnya enggan, aku akhirnya menyerah karena dia mulai merengek seperti anak kecil. Dia pun mulai mengayuh dengan semangat, sementara aku berusaha menjaga keseimbangan di belakang.“Yu, pelan-pelan!” teriakku ketika dia mulai melaju lebih cepat.“Ayo, Nen! Ini asyik banget!”Aku berteriak histeris setiap kali kami melewati tikungan, sementara Bayu tertawa seperti orang gila. Beberapa orang di taman memandang kami dengan tatapan aneh, tapi Bayu sepertinya tidak peduli.“Yu, pelan-pelaaan!" teriakku di sela deru angin yang menampar-nampar.“Tenang aja, Nen! Aku udah pro!" sahutnya sambil tertawa kencang yang terdengar menyebalkan di telingaku. Dia lalu menambahkan dengan suara lantang, "Kamu aman di belakangku. Aku nggak bakal ninggalin kamu kok!”Aku mendengus kesal. “Gombal banget. Udah, pelan dikit, Bayu! Aku serius!”Bayu akhirnya mengurangi kecepatan sedikit, tapi masih dengan ekspresi puas di w

  • Terjerat Cinta Duda Ting-Ting    Cara Melupakan Beban

    Hari Sabtu. Harusnya ini jadi hari buat istirahat, tapi kenyataannya aku malah tergeletak di sofa ruang tamu seperti ikan asin dijemur. Energi rasanya terkuras habis, bukan cuma buat kerjaan di perpustakaan, tapi juga buat berhadapan sama Risma setiap hari.Mungkin aku harus menulis surat pengunduran diri sebagai manusia normal dan resmi jadi karpet saja.“Bangun, Nen.”Suara Bayu memaksaku membuka mata. Dia berdiri di depan sofa dengan kaus oblong dan celana pendek, membawa kantong plastik yang sepertinya penuh dengan camilan. Aku sempat berpikir kalau dia baru saja merampok minimarket.“Ngapain sih bawa-bawa plastik kayak mau dagang keliling?” tanyaku lemas.“Ini buat nyemil kalau kamu mau merenung di sini sepanjang hari,” jawabnya santai sambil menjatuhkan dirinya ke sofa sebelahku. “Tapi aku lebih suka kalau kamu bangun dan kita jalan-jalan.”Aku mendesah panjang, menutup wajah dengan bantal. “Nggak ah, aku capek. Lagian mau jalan ke mana?”Dia menepuk lututku dengan plastik camil

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status