Share

2. Aku Akan Bertanggung Jawab

Naina mencakari tubuhnya jijik. Terlihat jelas di kaca toilet, banyak cupang yang bertebaran di tubuhnya. Begitu liarnya Brillian malam itu.

"Argh! Kenapa aku tidak bisa mengingatnya. Setidaknya aku bisa mengingat apa yang sudah kulakukan dengannya."

Naina menyalakan shower dan mengguyur tubuhnya hingga menggigil.

Ia tidak peduli kalaupun sakit menahan dingin. Memiliki riwayat penyakit sesak nafas, ia tidak kuat menahan dingin. Bahkan ia lebih memilih untuk mati, daripada menanggung aib dikeluarganya.

"Kenapa ...? Kenapa aku dilahirkan, kalau kehadiranku tidak diinginkan. Kenapa dunia ini kejam padaku! Bahkan aku tidak diinginkan oleh orang tuaku sendiri. Miris bukan!" Naina terduduk di bawah shower dengan menangis. Ia menjambaki rambutnya hingga rontok.

***

Di kamarnya Brilian menggeliat bangun dari tidurnya. Perlahan, ia merenggangkan otot-ototnya yang kaku dengan membuka matanya.

Ditatapnya sekeliling kamar yang berbeda dengan kamarnya. Ia beranjak bangun, namun kepalanya langsung berdenyut.

"Aduh ... Sakit sekali kepalaku. Perasaan cuman dua botol. Kenapa bisa membuatku seperti ini. Badanku pegel banget."

Ia bergumam dengan menyibakkan selimutnya. Didapatinya tubuhnya sudah dalam keadaan polos tanpa memakai sehelai benangpun.

"Loh! Kok ..."

Tatapannya beralih pada sprei putih yang terdapat bercak darah segar. Bertambah terkejutnya ia, mendapati bercak darah itu.

"Loh ... Ini darah apaan? Ini kamar siapa!"

Dia benar-benar bingung menatap sekeliling kamar itu. Memang bukan kamarnya, tapi ia bisa mengingat kalau kamar itu adalah kamar Naina. Menatap ke depan, ia mendapati foto Naina yang terpampang di dinding. Namun ia masih bingung, kenapa keberadaannya kini ada di kamar Naina.

"Ini kan kamar Naina. Kenapa aku ada di sini, ya? Siapa yang membawaku ke sini," gumamnya sembari mengingat-ingat apa yang sudah terjadi padanya.

"Kenapa aku tidak bisa mengingat apapun. Apa semalaman aku tidur dengannya? Tidak ...! Itu tidak mungkin. Mana mungkin dia mau tidur denganku. Jangankan untuk tidur bersama. Bahkan dia tidak pernah peduli dengan perasaanku." Brilian tersenyum getir teringat saat dirinya ditolak mentah-mentah oleh Naina.

Menatap kembali pada sprei putih yang sudah ternoda oleh darah, pikirannya pun kembali kacau. "Kalau aku tidak bersamanya tadi malam ... Terus ini darahnya siapa? Mana mungkin aku datang bulan. Atau mungkin dia memang tidur di sini dalam keadaan datang bulan. Dasar perempuan jorok! Bisa-bisanya sampai menempel di sprei."

Ia belum menyadari sudah membuat kekacauan malam itu. Bahkan dalam keadaan yang polos tanpa memakai pakaian, ia juga tidak sadar sudah melakukan hubungan terlarang dengan adik angkatnya.

Beranjak dari tempat tidur, ia langsung memunguti pakaian dan memakainya. Hendak melangkah pergi keluar kamar, namun terhenti ketika ia mendengar seseorang tengah menangis di kamar mandi.

"Naina ...! Bukannya itu suaranya Naina. Sedang apa dia menangis di kamar mandi. Ya ampun ... Ada-ada saja, anak ini."

Ia langsung bergegas menuju kamar mandi dan menutup pintunya."Na ...! Apa yang kau lakukan di dalam? Kau sedang menangis?"

Berulang-ulang Brilian mengetuk pintunya, namun tidak mendapatkan jawaban dari dalam.

"Kebiasaan itu anak! Selalu saja merepotkan. Lagian pagi-pagi begini sudah mandi. Kalau sampai sakit bagaimana? Bukannya dia tidak tahan dingin!"

"Na ...! Kenapa kau menangis? Apa yang sudah membuatmu menangis. Apa kau sakit?" Kembali ia mengetuk pintunya, namun tidak juga Naina menjawabnya.

Ia khawatir Naina sakit di kamar mandi. Walaupun hatinya masih kesal dan kecewa, tapi ia juga tidak bisa mengabaikan Naina.

"Baiklah. Kalau kau tidak mau membukanya ... Jangan salahkan aku, kalau aku masuk!"

Tak punya kesabaran lagi, Brilian langsung nyelonong masuk ke dalam kamar mandi. Ia mendapati Naina menangis dengan tubuhnya meringkuk di bawah shower.

"Hey ...! Apa yang kau lakukan! Kenapa kau menyiksa dirimu seperti ini."

Brilian melangkahkan kakinya untuk mematikan shower. Ia meraih handuk, dan langsung melingkarkan di punggung Naina.

"Ayo bangun! Kau mau cari penyakit? Ada apa denganmu! Jika punya masalah, bisa diselesaikan dengan baik-baik. Jangan seperti ini." Brillian menegurnya. Ia benar-benar tidak sadar, kalau dirinyalah yang sudah membuatnya menangis.

"Ayo bangun!" Brillian mengulurkan tangannya untuk membantu Naina agar segera beranjak dari tempatnya. Ia lebih peduli pada kesehatan Naina. Karena ia sudah sangat paham, Naina sering jatuh sakit.

"Lepas!" Naina menghempaskan tangan Brilian yang hendak menolongnya. Tangisnya semakin keras dan membuatnya kebingungan.

"Hey! Aku hanya ingin menolongmu! Kau ini kenapa, sih! Apa yang sudah membuatmu seperti ini!"

Naina menoleh dengan matanya sembab dan memerah."Kau! Kau yang sudah membuatku seperti ini, bajingan! Kau sudah menodaiku! Laki-laki berengsek! Kurang ajar kau!"

Refleks Brilian membelalakkan bola matanya mendengar cacian yang keluar dari mulut Naina. Ia dituduh sebagai perusak kehormatannya.

"Ap ... Apa! Aku? Aku sudah menodaimu ... Kapan!" Seketika pikirannya blank. Ia benar-benar tidak sadar dengan apa yang sudah dilakukannya pada Naina.

Tapi mengingat keadaannya yang polos waktu bangun tidur, mungkin ia sudah melakukan hal kotor dengan adik angkatnya.

"Na ...! Apa kau yakin aku sudah menodaimu? Tapi aku tidak bisa mengingat apapun!"

Mereka berdua saling bertatapan. Naina tercengang mendengar penjelasan dari kakak angkatnya. Bagaimana ia mengatakan tidak mengingat apapun.

"Apa kau bilang? Kau tidak bisa mengingat apapun! Setelah Kau menghancurkan kehormatanku, sekarang kau bilang tidak mengingat apapun! Kau benar-benar jahat! Tega sekali kau mengatakan itu. Jelas-jelas kau tidur di kamarku. Kau dan aku sama-sama tidak memakai apapun. Aku memang tidak mengingat apapun, tapi aku yakin ... Kau adalah pelakunya!"

Naina beranjak, dan memukuli Brilian bertubi-tubi. Ia tidak peduli, tubuhnya yang polos, terlihat oleh kakak angkatnya. Ia sudah kehilangan harga dirinya. Sekarang yang tersisa hanyalah kehancuran.

"Na ...! Aku berkata jujur. Aku benar-benar tidak bisa mengingatnya. Aku tidak berbohong padamu. Maafkan aku jika aku sudah berbuat salah padamu.". Dengan mudahnya, Brillian bilang maaf padanya. Bahkan kata maafnya, tidak bisa mengembalikan kehormatannya yang sudah terenggut.

"Maaf kau bilang! Setelah aku hancur ... Kau bilang minta maaf. Apakah kata maafmu itu bisa mengembalikanku seperti semula? Di mana hati nuranimu, huh! Kau benar-benar jahat! Aku membencimu!"

Naina mendorong tubuh Brilian dan berlari menuju kamarnya. Ia mengambil pakaian ganti dan langsung memakainya dengan menangis.

Brilian langsung mengejarnya, meminta penjelasan. Karena ia memang benar-benar tidak bisa mengingat apa yang sudah dilakukannya malam itu.

"Na ...! Aku benar-benar minta maaf. Aku janji akan bertanggung jawab atas apa yang sudah kulakukan padamu. Aku akan mengakui semua ini di depan orang tua kita."

Naina mengusap air matanya yang tidak henti-hentinya keluar membasahi pipinya. Ia terisak-isak sampai sesak.

"Jangan pernah katakan apapun pada mereka. Aku tidak ingin mereka tahu apa yang sudah kita lakukan. Rahasia ini cukup kita berdua saja yang mengetahuinya. Aku tidak ingin kau menikahiku. Karena sampai kapanpun ... Kita tidak akan pernah mendapatkan restu. Pergilah! Berhenti untuk mengejarku. Atau aku akan nekat."

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Titi Apiani
Gimana kalau sampai Naina hamil...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status