Naina mencakari tubuhnya jijik. Terlihat jelas di kaca toilet, banyak cupang yang bertebaran di tubuhnya. Begitu liarnya Brillian malam itu.
"Argh! Kenapa aku tidak bisa mengingatnya. Setidaknya aku bisa mengingat apa yang sudah kulakukan dengannya."
Naina menyalakan shower dan mengguyur tubuhnya hingga menggigil.
Ia tidak peduli kalaupun sakit menahan dingin. Memiliki riwayat penyakit sesak nafas, ia tidak kuat menahan dingin. Bahkan ia lebih memilih untuk mati, daripada menanggung aib dikeluarganya.
"Kenapa ...? Kenapa aku dilahirkan, kalau kehadiranku tidak diinginkan. Kenapa dunia ini kejam padaku! Bahkan aku tidak diinginkan oleh orang tuaku sendiri. Miris bukan!" Naina terduduk di bawah shower dengan menangis. Ia menjambaki rambutnya hingga rontok.
***
Di kamarnya Brilian menggeliat bangun dari tidurnya. Perlahan, ia merenggangkan otot-ototnya yang kaku dengan membuka matanya.
Ditatapnya sekeliling kamar yang berbeda dengan kamarnya. Ia beranjak bangun, namun kepalanya langsung berdenyut.
"Aduh ... Sakit sekali kepalaku. Perasaan cuman dua botol. Kenapa bisa membuatku seperti ini. Badanku pegel banget."
Ia bergumam dengan menyibakkan selimutnya. Didapatinya tubuhnya sudah dalam keadaan polos tanpa memakai sehelai benangpun.
"Loh! Kok ..."
Tatapannya beralih pada sprei putih yang terdapat bercak darah segar. Bertambah terkejutnya ia, mendapati bercak darah itu.
"Loh ... Ini darah apaan? Ini kamar siapa!"
Dia benar-benar bingung menatap sekeliling kamar itu. Memang bukan kamarnya, tapi ia bisa mengingat kalau kamar itu adalah kamar Naina. Menatap ke depan, ia mendapati foto Naina yang terpampang di dinding. Namun ia masih bingung, kenapa keberadaannya kini ada di kamar Naina.
"Ini kan kamar Naina. Kenapa aku ada di sini, ya? Siapa yang membawaku ke sini," gumamnya sembari mengingat-ingat apa yang sudah terjadi padanya.
"Kenapa aku tidak bisa mengingat apapun. Apa semalaman aku tidur dengannya? Tidak ...! Itu tidak mungkin. Mana mungkin dia mau tidur denganku. Jangankan untuk tidur bersama. Bahkan dia tidak pernah peduli dengan perasaanku." Brilian tersenyum getir teringat saat dirinya ditolak mentah-mentah oleh Naina.
Menatap kembali pada sprei putih yang sudah ternoda oleh darah, pikirannya pun kembali kacau. "Kalau aku tidak bersamanya tadi malam ... Terus ini darahnya siapa? Mana mungkin aku datang bulan. Atau mungkin dia memang tidur di sini dalam keadaan datang bulan. Dasar perempuan jorok! Bisa-bisanya sampai menempel di sprei."
Ia belum menyadari sudah membuat kekacauan malam itu. Bahkan dalam keadaan yang polos tanpa memakai pakaian, ia juga tidak sadar sudah melakukan hubungan terlarang dengan adik angkatnya.
Beranjak dari tempat tidur, ia langsung memunguti pakaian dan memakainya. Hendak melangkah pergi keluar kamar, namun terhenti ketika ia mendengar seseorang tengah menangis di kamar mandi.
"Naina ...! Bukannya itu suaranya Naina. Sedang apa dia menangis di kamar mandi. Ya ampun ... Ada-ada saja, anak ini."
Ia langsung bergegas menuju kamar mandi dan menutup pintunya."Na ...! Apa yang kau lakukan di dalam? Kau sedang menangis?"
Berulang-ulang Brilian mengetuk pintunya, namun tidak mendapatkan jawaban dari dalam.
"Kebiasaan itu anak! Selalu saja merepotkan. Lagian pagi-pagi begini sudah mandi. Kalau sampai sakit bagaimana? Bukannya dia tidak tahan dingin!"
"Na ...! Kenapa kau menangis? Apa yang sudah membuatmu menangis. Apa kau sakit?" Kembali ia mengetuk pintunya, namun tidak juga Naina menjawabnya.
Ia khawatir Naina sakit di kamar mandi. Walaupun hatinya masih kesal dan kecewa, tapi ia juga tidak bisa mengabaikan Naina.
"Baiklah. Kalau kau tidak mau membukanya ... Jangan salahkan aku, kalau aku masuk!"
Tak punya kesabaran lagi, Brilian langsung nyelonong masuk ke dalam kamar mandi. Ia mendapati Naina menangis dengan tubuhnya meringkuk di bawah shower.
"Hey ...! Apa yang kau lakukan! Kenapa kau menyiksa dirimu seperti ini."
Brilian melangkahkan kakinya untuk mematikan shower. Ia meraih handuk, dan langsung melingkarkan di punggung Naina.
"Ayo bangun! Kau mau cari penyakit? Ada apa denganmu! Jika punya masalah, bisa diselesaikan dengan baik-baik. Jangan seperti ini." Brillian menegurnya. Ia benar-benar tidak sadar, kalau dirinyalah yang sudah membuatnya menangis.
"Ayo bangun!" Brillian mengulurkan tangannya untuk membantu Naina agar segera beranjak dari tempatnya. Ia lebih peduli pada kesehatan Naina. Karena ia sudah sangat paham, Naina sering jatuh sakit.
"Lepas!" Naina menghempaskan tangan Brilian yang hendak menolongnya. Tangisnya semakin keras dan membuatnya kebingungan.
"Hey! Aku hanya ingin menolongmu! Kau ini kenapa, sih! Apa yang sudah membuatmu seperti ini!"
Naina menoleh dengan matanya sembab dan memerah."Kau! Kau yang sudah membuatku seperti ini, bajingan! Kau sudah menodaiku! Laki-laki berengsek! Kurang ajar kau!"
Refleks Brilian membelalakkan bola matanya mendengar cacian yang keluar dari mulut Naina. Ia dituduh sebagai perusak kehormatannya.
"Ap ... Apa! Aku? Aku sudah menodaimu ... Kapan!" Seketika pikirannya blank. Ia benar-benar tidak sadar dengan apa yang sudah dilakukannya pada Naina.
Tapi mengingat keadaannya yang polos waktu bangun tidur, mungkin ia sudah melakukan hal kotor dengan adik angkatnya.
"Na ...! Apa kau yakin aku sudah menodaimu? Tapi aku tidak bisa mengingat apapun!"
Mereka berdua saling bertatapan. Naina tercengang mendengar penjelasan dari kakak angkatnya. Bagaimana ia mengatakan tidak mengingat apapun.
"Apa kau bilang? Kau tidak bisa mengingat apapun! Setelah Kau menghancurkan kehormatanku, sekarang kau bilang tidak mengingat apapun! Kau benar-benar jahat! Tega sekali kau mengatakan itu. Jelas-jelas kau tidur di kamarku. Kau dan aku sama-sama tidak memakai apapun. Aku memang tidak mengingat apapun, tapi aku yakin ... Kau adalah pelakunya!"
Naina beranjak, dan memukuli Brilian bertubi-tubi. Ia tidak peduli, tubuhnya yang polos, terlihat oleh kakak angkatnya. Ia sudah kehilangan harga dirinya. Sekarang yang tersisa hanyalah kehancuran.
"Na ...! Aku berkata jujur. Aku benar-benar tidak bisa mengingatnya. Aku tidak berbohong padamu. Maafkan aku jika aku sudah berbuat salah padamu.". Dengan mudahnya, Brillian bilang maaf padanya. Bahkan kata maafnya, tidak bisa mengembalikan kehormatannya yang sudah terenggut.
"Maaf kau bilang! Setelah aku hancur ... Kau bilang minta maaf. Apakah kata maafmu itu bisa mengembalikanku seperti semula? Di mana hati nuranimu, huh! Kau benar-benar jahat! Aku membencimu!"
Naina mendorong tubuh Brilian dan berlari menuju kamarnya. Ia mengambil pakaian ganti dan langsung memakainya dengan menangis.
Brilian langsung mengejarnya, meminta penjelasan. Karena ia memang benar-benar tidak bisa mengingat apa yang sudah dilakukannya malam itu.
"Na ...! Aku benar-benar minta maaf. Aku janji akan bertanggung jawab atas apa yang sudah kulakukan padamu. Aku akan mengakui semua ini di depan orang tua kita."
Naina mengusap air matanya yang tidak henti-hentinya keluar membasahi pipinya. Ia terisak-isak sampai sesak.
"Jangan pernah katakan apapun pada mereka. Aku tidak ingin mereka tahu apa yang sudah kita lakukan. Rahasia ini cukup kita berdua saja yang mengetahuinya. Aku tidak ingin kau menikahiku. Karena sampai kapanpun ... Kita tidak akan pernah mendapatkan restu. Pergilah! Berhenti untuk mengejarku. Atau aku akan nekat."
Pagi itu, Naina berkumpul bersama keluarganya menikmati sarapan bersama. Walaupun hatinya hancur, ia tetap bersikap baik-baik saja di depan keluarganya. Termasuk di depan kedua orang tua angkatnya.Untuk menutupi masalahnya, ia terpaksa berpura-pura baik, seakan-akan tidak ada masalah, agar kedua orang tua angkatnya tidak curiga dengan apa yang sudah terjadi padanya."Na! Kenapa nasinya cuma diaduk-aduk doang? Kamu lagi nggak enak badan, ya?" tanya Heni, Mama angkatnya.Naina menggeleng dan meletakkan sendok yang ada ditangannya. Lidahnya kelu, sangat sulit untuk bisa menerima makanan. Bahkan untuk meminum seteguk air saja, rasanya susah."Enggak kok, ma. Aku nggak papa. Aku baik-baik saja," jawab Naina dengan tersenyum.Tidak ingin orang tuanya mengetahui masalahnya. Ia sangat yakin, jika mereka sampai mengetahuinya, pasti sangat syok."Bohong! Nggak mungkin, kalau nggak ada apa-apa, kamu diem aja kayak gini. Kalau kamu memiliki masalah, kamu cerita saja, sama Mama. Jangan suka memen
Empat tahun sudah berlalu. Semenjak kepergian Naina, menjadi pukulan terberat untuk keluarga Hartanto. Terutama Heni, selalu saja menangis, mengingat Naina yang pergi tanpa berpamitan langsung dengannya."Pa! Ke mana kita harus mencarinya. Sampai sekarang ... Bahkan Mama tidak bisa tenang, Pa. Mama sangat merindukan Naina."Hari itu di rumahnya tengah mengadakan pesta. Brilian telah dijodohkan dengan anak dari rekan bisnis orang tuanya. Karena terlibat kerjasama yang cukup baik, Hartanto menjodohkan Brillian dengan anak gadis rekan kerjanya."Kita sudah berupaya semaksimal mungkin, Ma. Tapi kita tidak menemukan jejak Naina. Entah di mana keberadaan gadis itu. Di saat kakaknya hendak menikah, dia bahkan tidak ada di sini. Papa juga sangat berharap dia pulang, Ma."Kedua paruh baya itu tidak bisa merasakan kebahagiaan, walaupun di rumahnya tengah mengadakan pesta. Sebelum pesta itu dilaksanakan, mereka juga sempat berdebat dengan Brilian, karena Brilian menolak untuk dijodohkan.Brilian
Mendapatkan banyak perhatian dari tamu undangan, membuat Hartanto agak risih. Tidak ingin semua orang mempertanyakan tentang Naina. Ia pun meminta Naina, untuk masuk ke dalam rumah."Naina ... Lebih baik kamu istirahat di dalam, ya? Mama sama Papa akan menemui tamu-tamu dulu. Kasihan juga anakmu kecapean," tutur Hartanto pekan.Naina mengangguk, ia juga sudah lelah terlalu lama di perjalanan. "Baik, pa. Kalau begitu aku tunggu di dalam."Naina bergegas masuk ke dalam rumah. Ia langsung menuju kamarnya. Ia berharap, tidak bertemu dengan Brillian. Ia juga berencana untuk cepat pergi dari rumah orang tuanya. Setelah melepas kerinduan pada orang tuanya."Maafkan mommy ya, nak. Mommy sudah membawamu ke sini. Sebenarnya mommy tidak ingin kamu bertemu dengan Ayah kandungmu. Tapi mommy juga tidak ingin menjadi kacang lupa kulitnya. Mommy dibesarkan di rumah ini. Mommy diberikan banyak kasihsayang oleh mereka.''Tapi mommy janji. Setelah ini ... Kita pergi dari sini. Dan kita cari kehidupan ki
Malam mulai larut. Semua orang telah meninggalkan kediaman Hartanto. Brillian juga memasuki rumahnya setelah mengantarkan Tarisa yang kini menjadi tunangannya.Ia frustasi dengan keadaan. Ia stress, berharap bisa bertemu dengan Naina kembali dan memutuskan untuk pergi dari rumah, menikahi Naina dan hidup bersamanya."Kalau bukan karena Papa, aku ogah bertunangan dengan Tarisa. Perempuan macam itu dibilang baik. Baik apanya," dengan menggerutu ia berjalan menuju kamarnya, namun setibanya di depan kamar Naina, ia terhenti saat mendengar suara tangis anak kecil.Dia mendekatkan telinganya di kenop pintu. Terdengar sangat jelas suara anak kecil perempuan sedang menangis."Siapa yang menangis di sini. Bukankah semua orang sudah meninggalkan rumah ini. Tapi siapa yang ada di dalam sana. Kok ada suaranya anak kecil menangis di sini."Bulu kuduknya mulai merinding. Bahkan ia tidak pernah takut pada siapapun, termasuk hantu sekalipun. Ia selalu menyibukkan diri dan pulang larut malam tidak pern
"Tidak sayang, om hanya capek, jadinya marah sama kita. Kamu nggak usah takut ya?"Semalaman Syakilla tidak tidur sama sekali. Ia benar-benar takut Brillian akan mencelakainya.Pagi-pagi sekali Hani sudah menyiapkan sarapan keluarganya ia ingin makan bersama dengan Naina dan juga cucunya. Ini hari pertama mereka terkumpul Setelah sekian lama tidak pernah makan bersama dengan Naina."Naina, ayo keluar nak. Kita sarapan bersama," celetuk Heni mengetuk pintu kamar Naina."Ma ... Aku masih belum lapar. Mama tinggal aja dulu, nanti kalau aku lapar aku akan keluar," jawab Naina dari dalam."Loh! Kok gitu nggak lapar bagaimana? Memangnya kamu sudah makan? Nggak ada alasan! Ayo kita makan bersama."Heni keukeh meminta Naina untuk keluar dari dalam kamarnya cepat ataupun lambat Brilian juga akan segera mengetahui datangnya. Mereka belum tahu kalau Brilian dan Naina sudah bertemu malam itu."Oke baiklah. Tunggu saja aku di ruang makan."Naina beranjak dari sofa dan mengajak anaknya untuk keluar
Mendapati Naina keluar dari rumah, Brillian buru-buru mengemudikan mobilnya keluar dari garasi. Ia sengaja berlama-lama menunggunya di dalam mobil di garasi rumahnya.Ia tidak mau membuat kegaduhan dengan Naina. Ia ingin tahu banyak apa saja alasan Naina pergi dari rumah dan mengatakan bahwa anak yang bersamanya itu bukanlah anak hasil percintaannya empat tahun yang lalu.Tin tin ... Suara klakson mobil membuat Naina terkejut. Ia sampai mengumpat, karena anak yang bersamanya takut akan kegaduhan."Sialan! Siapa sih, yang membunyikan klakson seperti ini. Perasaan aku sudah ada di pinggiran jalan, apa masih kurang minggir lagi. Dasar orang tidak tahu diri."Ia menoleh ke belakang dan mendapati mobil BMW X5 berjalan pelan. Ia tidak tahu siapa pemilik mobil itu, karena kacanya terlalu tebal dan tidak bisa tembus pandang.Tiba-tiba saja mobil itu berhenti di sebelahnya, kacanya terbuka dan terlihatlah seorang pemuda dengan memakai kacamata hitam berpakaian formal yang tak lain adalah Brili
"Brillian." Dengan cepat Brillian menjawabnya.Dari situ Brillian kembali curiga kalau anak yang dimiliki oleh Naina itu adalah darah dagingnya sendiri. Naina tidak bisa memberinya keterangan pada petugas rumah sakit.Naina sendiri tampak kebingungan saat ditanya tentang orang tua dari anaknya. Ingin sekali Brillian memaki-makinya karena sudah berbohong padanya.Setelah selesai mendaftar Brillian mengajak ke lantai tiga tempat para dokter spesialis berkumpul. Mereka mengantri di depan ruang dokter. Sama-sama diam, bergeming dengan pemikirannya masing-masing."Mom, pulang," rengek Syakilla yang merasa kedinginan di ruang AC."Sayang, tunggu sebentar ya? Killa diperiksa dulu, biar cepat sembuh," tutur Naina lembut."Tapi dingin," rengek Syakilla.Naina sudah memakaikan selimut tebal, tapi tetap saja Syakilla masih juga kedinginan. Sedangkan badannya tengah demam tinggi.Brillian langsung melepas jas kerjanya dan menyelimutinya. Walaupun hatinya marah, tapi melihat Syakhilla ia tidak te
"Sudah-sudah hentikan! Ayo kita pulang!" Naina menatap kesal pada Brillian yang datang-datang langsung marah. Entah setan apa yang sudah merasukinya, tiba-tiba saja ia dibentak cukup keras di muka umum. Bahkan ada Damian bersamanya. Ia sangat malu dengan sikap kasar Brillian."Siapa sih! Dia ini. Ikut campur urusan orang saja," kesal Brillian, karena laki-laki yang bersama Naina telah membelanya."Dia temanku, nggak usah melotot," jawab Naina sengit, karena Brillian memelototi Damian."Kamu itu ngapain juga sama dia. Kan aku sudah menyuruhmu untuk menungguku di sini, tapi bukan berarti kamu enak ngobrol sama laki-laki lain. Bisakah kau menghargaiku?"Semua orang yang tengah mengantri obat di tempat itu menatapnya, dan itu membuat Naina sangat malu."Kakak! Aku di sini tidak sengaja bertemu dengan Kak Damian. Kita dulu berteman di sekolah, Apa aku harus diam saja, bertemu dengan teman sekolahku. Apakah aku salah, aku bertegur sapa dengan teman sekolahku? Jangan egois kamu!""Siapa juga