Share

6. Apa Dia Anakku?

Malam mulai larut. Semua orang telah meninggalkan kediaman Hartanto. Brillian juga memasuki rumahnya setelah mengantarkan Tarisa yang kini menjadi tunangannya.

Ia frustasi dengan keadaan. Ia stress, berharap bisa bertemu dengan Naina kembali dan memutuskan untuk pergi dari rumah, menikahi Naina dan hidup bersamanya.

"Kalau bukan karena Papa, aku ogah bertunangan dengan Tarisa. Perempuan macam itu dibilang baik. Baik apanya," dengan menggerutu ia berjalan menuju kamarnya, namun setibanya di depan kamar Naina, ia terhenti saat mendengar suara tangis anak kecil.

Dia mendekatkan telinganya di kenop pintu. Terdengar sangat jelas suara anak kecil perempuan sedang menangis.

"Siapa yang menangis di sini. Bukankah semua orang sudah meninggalkan rumah ini. Tapi siapa yang ada di dalam sana. Kok ada suaranya anak kecil menangis di sini."

Bulu kuduknya mulai merinding. Bahkan ia tidak pernah takut pada siapapun, termasuk hantu sekalipun. Ia selalu menyibukkan diri dan pulang larut malam tidak pernah ada hal-hal ganjal yang menakutinya, tapi berbeda sekali di rumahnya sendiri. Ia mendengar suara anak kecil bahkan di rumah itu tidak ada anak kecil.

Perlahan ia mencoba untuk membuka kenop pintunya, namun terkunci dari dalam.

"Kok pintunya terkunci. Bukannya kamar ini tidak pernah dikunci semenjak Naina pergi dari rumah. Siapa yang sudah menguncinya. Apa Mama?"

Pikirannya mulai tidak tenang, ia bahkan tidak bisa tidur dan matanya langsung terbelalak lebar, ingin tahu apa yang sebenarnya ada di dalam kamar itu.

"Apa aku terus menemui Mama. Pasti sekarang Mama sudah tidur." Bingung, hendak membangunkan Heni tapi ia ragu, takut mengganggu Mamanya yang baru sembuh dari sakit.

Tapi rasa penasaran itu tidak bisa ditunda sampai esok. Ia mencoba untuk mencari cara bagaimana ia bisa masuk ke dalam kamar Naina, karena kamar itu sudah tidak lagi memiliki kunci cadangan.

"Ya Tuhan ... Beri aku jalan untuk bisa mengetahui siapa sosok anak kecil yang tengah menangis itu. Jangan membuatku penasaran."

Brillian mengacak rambutnya tidak bisa melakukan apapun untuk membuat rasa penasarannya terobati.

***

"Mommy, pulang. Ayo pulang!"

Di dalam kamar Syakilla menangis. Ini hari pertamanya ia tinggal di rumah yang berbeda dengan tempat tinggalnya. Ia tidak kerasan tinggal di tempat baru. Ia mengajak Naina pulang malam itu. Naina mencoba untuk membujuknya agar anaknya tenang.

"Ayolah sayang, ini di rumah Oma. Ini juga udah malem. Mommy nggak berani keluar," jawab Naina dibuat resah oleh anaknya. "Sini mommy peluk, di luar ada hantu. Memangnya Killa nggak takut sama hantu."

Sudah terbiasa Naina menakuti anaknya dengan kata hantu. Biasanya Syakilla langsung terdiam, jika ia mendengar kata hantu, tapi kali ini ia benar-benar tidak bisa diam dan malah menangis keras.

"Nggak mau, ayo pulang. Nggak ada hantu di luar. Mommy bohong!"

Anak kecil itu duduk di ranjang dengan kakinya menendang-nendang. Naina sendiri bingung, hendak keluar tapi dia takut Brillian mengetahui kehadirannya.

Dengan helaan napas panjang Naina langsung bangun dan mengambil gendongan. Mungkin dengan digendong, Syakilla bisa tenang.

"Ayo gendong Mommy." Naina mengulurkan tangannya pada Syakilla, dan Syakilla langsung berdiri meminta digendong.

"Ayo ke sana," ucapnya menunjuk ke arah pintu.

Naina menatap jam dinding di kamarnya menunjukkan pukul 00.30 dini hari. "Killa! Ini udah malem banget, Mommy nggak berani keluar," jawab Naina.

Naina dibuat kewalahan dengan anaknya yang meliuk-liukkan tubuhnya memberontak marah digendongannya, dan ia pun memaksakan diri untuk keluar kamar ia berharap semua orang sudah tidur terutama Brillian.

"Oke-oke ayo keluar. Tapi janji sama Mommy, nggak boleh nangis. Sekarang diam!" Sedikit memberikan gertakan pada putrinya agar putrinya diam tidak membuat gaduh dan membuat seisi rumah itu terbangun.

Perlahan Ia membuka pintunya dan begitu terkejutnya ia mendapati seorang laki-laki berdiri tegap dengan bersedekap dada. Ia melotot mendapati Brillian, seorang laki-laki yang selalu ingin dihindarinya.

"Kakak!" Naina memundurkan langkahnya masuk kembali ke dalam kamar dan menutup pintunya, namun Brillian menahan pintu itu agar tidak tertutup, dan malah ia yang ikut masuk ke dalam.

"Naina! Jadi kau sudah pulang. Kapan kau datang, siapa anak kecil ini?" tanya Brillian menatapnya dan beralih menatap anak kecil yang digendong oleh Naina.

Naina gemetaran, ia takut, benar-benar takut hendak menjawab apa pada Brillian. Tidak mungkin juga ia mengatakan yang sebenarnya. Brillian sudah menjadi milik orang lain, dan ia tidak mau mengacaukan hubungannya dengan gadis yang sudah menjadi tunangannya.

"Naina! Kenapa kamu diam saja, Ayo jawab aku, Na! Kau pulang-pulang membawa anak kecil. Ini anaknya siapa!" Brillian membentaknya. Dia senang mendapati gadis yang dicintainya itu kembali. Tapi ia sangat sedih melihat Naina pulang tidak lagi sendiri, tapi membawa anak kecil.

"Di ... Dia anakku," jawab Naina terbata-bata.

Brilian memicingkan bola matanya, buru-buru ia mengunci pintunya dari dalam dan mendekati Naina yang memundurkan langkah hingga betisnya menatap ranjang.

"Anakmu kau bilang! Anakmu dengan siapa? Atau ... Anak kita?" Brilian mulai berpikir bahwa anak kecil yang bersama Naina itu adalah anaknya bersama Naina. Naina pergi dari rumah dan memilih hidup sendiri, dan dia mengandung buah hatinya.

Naina menggeleng dengan cepat, "Bukan! Ini bukan anakmu, ini anakku," jawab Naina dengan gelengan kepala.

"Jangan coba-coba untuk membodohiku Naina! Kau berbohong, kau membohongiku!"

Brillian semakin mendekatkan dirinya hingga membuat Naina terduduk di sisi ranjang. Syakilla sendiri sangat ketakutan. Ia takut Brillian akan mencelakainya dan juga Mamanya.

"Tidak! Aku tidak membohongimu. Buat apa aku membohongimu! Ini memang anakku, tapi bukan anakmu. Kau jangan ganggu kami. Lihatlah! Anakku ketakutan melihatmu! Lebih baik sekarang pergilah!"

Naina memeluk erat anaknya yang tengah menangis. Dan lebih menyebalkan lagi Brillian tidak peka, ia masih berdiri menatap mereka.

Sungguh membuatnya terkejut dan kecewa. Kedatangan Naina bukannya membuatnya bahagia, tapi malah membuatnya semakin terluka.

"Kak! Kau bisa mendengarku! Aku mohon pergilah! Jangan ganggu kami. Atau aku akan pergi dari sini."

Tanpa bicara sepatah katapun, Brillian langsung melenggang pergi meninggalkan kamar Naina dan menutup pintunya cukup kencang.

Semakin kacaunya Syakilla, badannya langsung panas. Dia mudah sakit, apalagi mendengar suara yang mengagetkannya.

"Ya ampun Killa ... Badan kamu langsung panas. Maafin Mommy sayang. Mommy janji, setelah ini kita pergi dari sini ya, kita cari tempat yang nyaman buat kita tempati berdua. Killa yang tenang ya, Killa jangan takut, di sini ada Mommy yang temani Killa."

Naina mengecup pipi chubby Syakilla yang masih menangis. Ia bergegas menuju meja dan mengambilkan air minum buat Syakilla.

"Ayo nak, minum dulu airnya. Setelah ini Killa tidur ya, jangan takut," tutur Naina.

Syakilla meminum air dengan terisak-isak. Ia benar-benar ketakutan. Mommy, siapa orang tadi. Kenapa dia jahat sama kita. Ayo mom! Kita pergi sekarang, atau kita akan ..."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status