FAI
Ini adalah hari keempat belas aku berada di Indonesia. Sejauh ini pekerjaanku lancar. Aku betah di sini. Apalagi rekan-rekan satu team begitu solid. Selain itu ada Cataleya yang sering mengisi waktuku dan menemaniku ke mana-mana. Aku mulai terbiasa dengan kehadirannya. Walau aku sering tidak tahan saat berada bersamanya. Bukan apa-apa. Terlalu dekat dengannya membuatku takut tidak bisa mengendalikan diri. Nggak munafik, Cataleya sangat menarik. Dia begitu menggoda tanpa perlu menjadi penggoda. Aku jamin laki-laki normal manapun tidak akan kebal dari pesonanya.
Pukul setengah tujuh malam aku mengakhiri sesi pemotretan model terakhir hari ini.
Beberapa photo props terlihat tersebar di setiap sudut studio. Aku membiarkannya. Nanti tugas Tyo membereskannya. Aku akan langsung pulang setelah ini lalu tidur sampai besok. Sebetulnya Devanka mengajak jalan tapi kutolak karena tubuhku lebih butuh untuk diistirahatkan. Pintu studio terbuka sesaat setelah aku menyimpan kamera ke dalam tas. Alan muncul lalu membawa langkah mendekatiku. "Sudah mau pulang, Fai?" "Iya nih. Last session baru kelar." "Gimana hari ini? Lancar?" "Lancar sih, tapi tadi ada kendala sedikit. Ada model yang susah banget diarahkan. Udah gitu masih kaku." "Model yang mana?" Alan mengerutkan dahinya. "Anindia." "Oh, dia. Dia memang masih baru jadi masih belum ada pengalaman, sabar ya, Fai," jawab Alan memberitahu. Aku mengangguk paham. Aku memang sering menangani model baru tapi belum ada yang sebebal tadi sehingga membuatku menghela napas berkali-kali. "Fai, by the way aku mau ajak kamu ngopi. Kamu bisa?" "Kapan?" Aku melirik arloji. "Sekarang. Kamu ada acara malam ini?" "Nggak sih, tapi pengen langsung pulang. Capek banget," jawabku jujur menolak ajakan Alan lalu memijit-mijit bahu yang pegal. Biasanya Mama yang memijitku setiap kali aku mengeluh capek setelah pulang kerja. "Oh, okay. Kapan-kapan kalo begitu." Alan tampak sedikit kecewa. "Tapi kalo aku mau ngobrol sebentar bisa kan?" tanyanya lagi. "Bisa. Ada apa, Lan?" Melihat ekspresi seriusnya aku pikir Alan akan membicarakan masalah pekerjaan. Alan mengajakku duduk di kursi dekat meja rias yang sering digunakan oleh makeup artist. "Aku udah lihat foto Leya." "Foto yang mana?" tanyaku. "Yang kamu shoot waktu itu." Aku ingat sekarang. Dua minggu yang lalu aku memotretnya di studio ini. Tapi aku belum menangkap apa maksud Alan mengatakannya. Apa ada yang salah dengan foto tersebut? Atau dia marah karena istri cantiknya aku potret tanpa seizinnya? "Ya, jadi gimana, Lan?" tanyaku hati-hati. "Aku suka fotonya. Leya cantik banget. Angle-nya juga tepat. Jadi aku ingin kamu memotret dia lagi." Alan membuatku lega dengan jawabannya. Aku pikir ada masalah. "Bisa kan, Fai?" Dia menanyakan kesediaanku. "Bisa, Lan. Tapi kalo besok udah full. Lusa deh kalo Leya mau. Dia maunya di mana? Studio atau outdoor?” tanyaku agar aku bisa menyipakan konsep terbaik untuknya.“Indoor.” Alan menjawab.
“Indoor nya di studio?”
“Bukan. Jadi begini.” Alan memperbaiki duduk lalu menjatuhkan matanya lekat di wajahku.
Aku balas menatap dan siap mendengar konsep yang akan diutarakannya.
“Aku mau kamu nge shoot Leya di tempat tidur, di apartemen kamu. Jadi nanti konsepnya nude photo. Aku tahu kamu pasti bisa. Aku mempercayakan kamu yang melakukannya karena kamu fotografer profesional yang berpengalaman. Aku harap kamu nggak menolak, Fai. Anggap ini bagian dari kerjasama kita.”***
FAINggak terasa sudah cukup lama aku dan Cataleya berumah tangga. Sejauh ini hubungan kami berjalan dengan harmonis walau ada pasang surut. Tapi setiap kali aku dan Cataleya bertengkar, senyum si kecil Xena membuat kami kembali akur. Xena menyadarkanku dan Cataleya bahwa kami sudah sejauh ini. Kami bisa bersatu seperti sekarang setelah melewati banyak rintangan dan jalan yang berliku. Jadi setelah segala perjuangan panjang itu rasanya terlalu sayang jika mengisinya dengan perpecahan dan perselisihan yang tidak penting.Xena adalah putri kecilku dan Cataleya yang saat ini sudah berumur tiga tahun.Anak itu sekarang sedang aktif-aktifnya dan hampir tidak bisa diam. Dia selalu bergerak lincah ke sana kemari dan ingin tahu segalanya. Rasa ingin tahunya terhadap sesuatu begitu besar. Mama bilang Xena seperti aku waktu kecil.Belajar dari pengalamanku dulu yang kekurangan kasih sayang Papa di awal-awal kelahiranku ke dunia, aku menghujani Xena dengan curahan kasih sayang. Aku memanjakan X
FAIMama dan Papa menatapku dan Cataleya heran karena kami ikut pulang ke rumah bersama mereka.“Lho, kenapa malah pulang ke rumah?” tanya Mama.“Jadi mentang-mentang udah nikah aku nggak boleh lagi pulang ke rumah ya, Ma? Jadi aku bukan anak Mama lagi nih?”"Bukannya begitu, tapi ini kan malam pengantin kalian, nggak mau stay di hotel aja memangnya?""Di rumah aja deh, Ma," jawabku menolak. "Mau di hotel atau di rumah sama aja kok.""Yakin?" Papa ikut bertanya padaku."Yakin, Pa. Lagian udah mainstream banget malam pengantinan di hotel," jawabku beralasan sambil tertawa.Mama dan Papa hanya geleng-geleng kepala tidak mengerti apa yang ada di pikiranku lalu mengajakku dan Cataleya pulang bersama mereka.Setiba di rumah kami langsung menyerbu kamar. Tak lupa menguncinya buat jaga-jaga karena dulu Cleo suka nyelonong masuk untuk menggangguku."Fai, bantuin bukain dong." Cataleya membelakangiku.Aku lalu berdiri di belakangnya. Kukaitkan kedua tanganku di perutnya. Dengan sedikit membung
This is the day.Hari ini adalah hari pernikahanku dengan Fai. Kami berdua menyerahkan segala penyelenggaraannya pada Daddy. Daddy lah yang mengurus, mengatur dan mewujudkan segalanya hingga acara pernikahan yang indah ini akhirnya terselenggara.Tadinya aku pikir intimate wedding yang Daddy maksud hanyalah acara pernikahan biasa yang sama seperti acara intimate wedding pada umumnya. Namun ternyata perkiraanku salah. Pesta buatan Daddy jauh lebih mewah dari yang kukira.Konsep acara buatan Daddy lebih ke acara pernikahan ala pesta kerajaan. Aku dan Fai menaiki kereta kencana yang ditarik oleh seekor kuda putih. Empat orang pengawal yang menggunakan kostum ala kerajaan mengawal kami pada sisi kanan dan kiri. Membuatku dan Fai merasa seperti raja dan ratu sungguhan.Setiba di lokasi acara kusir pun berhenti. Para orang tua kami sudah menanti.Daddy mengulurkan tangan untuk membantuku turun dari kereta. Wajahnya begitu bahagia.Setelahnya Daddy mengembalikanku pada Fai. Fai menggandengku
CATALEYASaat Fai pulang aku langsung menyampaikan perihal kedatangan Daddy tadi dan keinginannya untuk mengajak kami dinner di rumahnya, juga mengenai pesta yang dikehendakinya.“Tadi Daddy ke sini, dia minta kita dinner di rumahnya. Katanya ingin membicarakan hal yang penting,” beritahuku.“Hal penting apa?” Fai menatapku lekat sambil melepas tali sneaker-nya.Aku mengangkat bahu. “Aku juga nggak tahu. Tapi Daddy bilang sangat penting. Kita wajib datang ke rumahnya, nggak boleh menolak. Selain itu tadi Daddy juga bilang akan mengadakan party untuk kita. Aku udah jelasin kalau itu nggak akan mungkin karena aku lagi hamil. Tapi Daddy bilang nanti cuma mau ngadain intimate wedding, jadi yang diundang hanya teman-teman dan koleganya Daddy. Gimana menurut kamu?”“Jadi nanti teman-temannya Mama dan Papa nggak diundang?”“Nggak sih. Pada awalnya Daddy mau pestanya diselenggarakan secara besar-besaran, tapi itu nggak akan mungkin. Jadi jalan tengahnya Daddy mau ngadain intimate wedding buat
CATALEYA“Leya, yang ini bagus, suka nggak?”Aku memandang pada gaun putih berpotongan A line yang ditunjukkan Tante Zola padaku. Gaun itu cantik dan terkesan glamour. Modelnya yang juga strapless memperkuat kesan summer wedding.“Bagus, Tante, suka banget,” ucapku menjawab pertanyaan Tante Zola.“Cobain yuk!”Aku mengangguk setuju lalu mengikuti Tante Zola menuju fitting room setelah dia berbicara dengan penjaga butik.Selagi aku mencoba gaun tersebut Tante Zola menungguku di luar.Aku memindai diri sendiri dari puncak kepala hingga bagian paling bawah. Gaun pengantin itu kini melekat sempurna di tubuhku. Ukurannya yang longgar berhasil menyamarkan bagian perutku yang membola.Cantik. Tidak hanya gaunnya, tapi juga diriku.Karena Fai ada job hari ini maka Tante Zola yang menemaniku ke bridal butik. Beruntung kami menemukan persediaan gaun yang sesuai denganku tanpa harus memesan dulu.“Leya? G
CATALEYASejak kecil aku selalu bertanya pada Mama di mana Papa karena tidak sekali pun melihatnya. Mama bilang Papa bekerja di tempat yang jauh. Namun bukan berarti jawaban itu membuatku lekas puas. Para ayah teman-temanku juga bekerja tapi mereka pulang ke rumah setiap hari. Tapi kenapa papaku tidak?Aku menginginkan momen-momen di mana aku butuh seorang ayah. Aku ingin Papa hadir mendampingi saat merayakan ulang tahun di sekolah seperti temanku yang lain. Tapi nyatanya hanya Mama yang selalu ada untukku.Sampai setelah umurku beranjak lima belas tahun dan akal sehatku sudah tidak lagi bisa menerima alasan yang terus Mama kemukakan, aku mulai menuntut Mama kenapa Papa nggak pernah pulang. Memangnya Papa mau mencari uang sebanyak apa?Mama akhirnya jujur menceritakan kisah hidupnya. Dan aku pada saat itu begitu terguncang mengetahuinya. Tapi aku belajar ikhlas dan mencoba untuk menerima keadaan. Aku selalu menyimpan foto Papa di dompetku tanpa pernah berharap akan bertemu dengannya. K