Share

Chapter 7 - Orang Pintar

“Hahaha…” Ghanindra tertawa terbahak-bahak. Kedua tangannya menyeka kepalanya hingga ke belakang. Bukannya mengesankan, pemandangan tersebut malah terkesan menakutkan.

“Berani-beraninya wanita itu memberitahukan rahasiaku.” Lanjutnya.

“Jadi, lebih baik kamu urungkan niatmu untuk memakanku. Karena sampai kapanpun, aku nggak akan memohon apa-apa darimu!.”

Ghanindra mendengus, “Memangnya, apa alasan para dewa itu sampai mengurungku? Kalau bukan karena aku adalah makhluk yang paling kejam yang pernah ada. Jangan yakin dulu kalau kamu akan lolos begitu saja, wahai manusia!”

Rinjani menelan ludahnya, seringai yang terlihat dari wajah siluman di depannya benar-benar membuatnya ketakutan. Tapi, dengan sekuat tenaga, gadis itu menahan agar perasaannya tak terlihat sedikitpun.

Benar, yang ia hadapi saat ini bukan sekedar preman pasar. Tapi makhluk berusia ribuan tahun dan terkenal dengan kebengisannya.

Setelah mengatakan hal itu, dalam hitungan detik tubuh Ghanindra menguap bagai tertiup angin. Tapi, bersamaan dengan itu, ia sempat berbicara lagi. “Nikmati saat-saat terakhirmu! Selagi aku masih memberimu kesempatan untuk bernafas, wahai manusia!”

Setelah makhluk itu benar-benar menghilang, tubuh Rinjani tersungkur akibat kakinya yang lemas tak bisa menahan beban tubuhnya sendiri. Nafasnya tersengal-sengal, jantungnya juga berdegup dengan kencang. Inikah rasanya rasa takut yang sebenarnya?.

“Gimana caranya aku menghadapi makhluk kejam seperti dia?” gumam Rinjani.

Setelah ini, ia merasa masa depannya sudah pasti akan menemui kesuraman. Jangankan merancang masa depan yang bahagia, berumur panjang saja sudah sangat baik untuknya.

Rinjani menggenggam liontin batu di dadanya, “Ya, bukankah manusia adalah makhluk paling sempurna? Kalau begitu, aku nggak boleh kalah melawan makhluk seperti dia!”

Setelah memastikan tenaganya sudah kembali, Rinjani bangkit kembali. Beberapa kali bertemu dengan makhluk pemakan manusia bernama Ghanindra, membuatnya penasaran akan sesuatu. Yaitu siapa ia sebenarnya.

Mungkin dari situ, ia bisa menemukan petunjuk bagaimana cara menghadapi siluman itu. Lebih baik lagi, kalau Rinjani dapat melenyapkannya sekalian.

Segera, jari-jarinya dengan lincah membantunya meluncur ke dunia maya. Mencari semua informasi terkait makhluk bernama Ghanindra. Tak lupa, dengan tajam matanya membaca kata demi kata dari semua situs yang tersaji di hadapannya.

Tak banyak informasi yang memuat tentang siluman tersebut. namun, ada beberapa situs yang dengan gamblang menceritakan tentang legenda masyarakat khususnya penduduk sekitar kaki gunung tempat Ghanindra tinggal.

Gunung tersebut tak lain merupakan tempatnya dan Sarah mendaki terakhir kali. Ada rasa sesal yang terbesit di pikirannya karena waktu itu ia tak mencari tahu terlebih dahulu tentang gunung yang akan mereka daki.

Tapi, nasi sudah menjadi bubur. Tak ada waktu untuk memikirkan waktu yang telah lewat. Kini, ia harus mencari cara agar bisa bertahan hidup.

Dalam situs itu, diceritakan bahwa di gunung tersebut terdapat siluman pemakan manusia yang terkurung. Ada waktu tertentu dimana makhluk tersebut akan keluar dari tempatnya untuk mencari mangsa, namun disana tak dijelaskan kapan ia akan berburu.

“10 tahun sekali” Tanpa sadar, rinjani bergumam. “Dan sekarang, makhluk itu sedang memburuku.” Lanjutnya.

Lama berkutat dengan perangkat elektroniknya, hanya itu informasi yang dapat ia gali. Mungkin karena legenda tersebut tak sepopuler cerita rakyat lainnya. Ditambah, gunung tersebut tak begitu familiar ditelinga para pendaki. Sehingga hanya sedikit informasi yang ia dapat mengenai Ghanindra.

Akhirnya, Rinjani menyudahi aktivitasnya. Ada sedikit kekecewaan dalam hatinya. tapi semua lebih baik, dari pada tidak mendapat informasi sama sekali.

***

“Selamat pagi rin. Kamu kenapa? Kok kayak nggak semangat gitu?” Sapa Sarah yang tiba di kantor setelah Rinjani.

“Hmm…” Rinjani memangku kepalanya menggunakan kedua tangannya di atas meja kerjanya.

Wajah Rinjani memperlihatkan ekspresi tak bersemangat. Disekitar kedua matanya tercetak dengan jelas rona kehitaman.

“Aku nggak bisa tidur.”

“Ada masalah? Cerita dong sama aku. Kali aja aku bisa nambahin beban kamu. Ups!” Sarah menutup mulutnya lalu tertawa ringan.

Mendengar lelucon dari sahabatnya, membuat Rinjani tak bisa menahan senyumnya.

“Sar, aku mau tanya deh. Tapi, kamu jangan ketawa ya!” Rinjani mendekatkan kursinya ke arah Sarah.

Gadis itu mengerutkan keningnya, “Biasanya juga kalau kamu mau tanya, nggak pake izin dulu. Emangnya kamu mau tanya apa sih?”

Rinjani memperhatikan sekeliling, ia ingin memastikan bahwa tak ada satu orang pun yang mendengarkan pembicaraan mereka.

“Kamu tahu nggak, kira-kira dimana orang pintar yang hebat? Pokoknya yang tahu semua tentang dunia supranatural gitu deh.”

Kedua mata Sarah membola, ia tak menyangka akan mendengar pertanyaan konyol yang keluar dari mulut sahabatnya. Karena yang ia tahu, Rinjani merupakan orang yang paling rasional yang pernah ia temui.

“Bentar” Sarah menyelipkan rambutnya ke belakang telinganya. “Coba ulangi lagi!” Lanjutnya sambil mendekatkan telinganya ke samping.

Rinjani menghembuskan nafasnya, lalu berbisik ke telinga yang jaraknya sangat dekat. “Kamu ada kenalan orang pintar nggak?”

“Rin… Ini bener Rinjani sahabat aku kan?” kedua mata sarah terus menelisik tiap sudut wajah Rinjani.

“Iya, ini aku. Emangnya siapa lagi?” Rinjani menjauhkan wajahnya.

“Kamu nggak lagi kesurupan kan?” Tanya Sarah lagi.

“Kalau kesurupan, aku nggak akan cuma tanya. Tapi bakal narik telinga kamu sampai puanja…ng.” Rinjani menjawab sambil merentangkan kedua tangannya sampai batas maksimal.

“Nggak usah marah gitu dong. Habis, pertanyaan kamu itu aneh tahu nggak. memangnya buat apa sih, kamu sampai tanya aku kenal orang pintar atau nggak?”

“Sstt…” Rinjani segera memberikan kode agar Sarah memelankan suaranya. “Jadi, ada atau nggak?”

Sarah berpikir sejenak, “Ada sih. Tapi…”

“Tapi apa?”

“Tempatnya jauh banget dari sini. bisa dibilang, hampir masuk ke hutan gitu. Tapi aku yakin, dia tuh hebat banget.”

“Pulang kerja, anterin aku kesana ya.” Pinta Rinjani.

“Kamu udah gila ya, Rin! Mau sampai jam berapa, kalau kita berangkatnya pulang ngantor heh?”

“Terus kapan dong?”

“Gimana kalau weekend ini? Kita berangkat dari pagi, sore pasti udah balik lagi kok.”

“Keburu tinggal nama itu sih” Rinjani bergumam.

“Maksudnya? Kamu dikerjain orang Rin? Siapa yang berani-beraninya ngelakuin itu ke kamu? Kasih tahu siapa orangnya! Biar aku yang beri pelajaran. Enak aja, kalau nggak suka, jangan pakai cara halus dong! pengecut banget tu orang.”

Sarah tak bisa mengendalikan suaranya, sehingga sebagian besar karyawan yang berada di ruangan tersebut memperhatikan tingkah lakunya.

“Stop! Apaan sih? Bukan begitu ceritanya.”

“Kamu nggak apa-apa Rin?” Percakapan antar dua sahabat itu terinterupsi oleh suara laki-laki yang berasal dari belakang Rinjani.

“Eh, pak Jo. Bukan pak, bukan apa-apa.”

Jonathan, pria keturunan cina. Yang bekerja sebagai Ketua Tim Perencanaan di perusahaan tempat Rinjani bekerja. Pria berusia 27 tahun. Usia yang masih terbilang muda untuk memegang jabatan sebagai Ketua Tim.

Ada rumor yang beredar, jika jabatan tersebut didapat karena dirinya merupakan putra kedua dari pemilik perusahaan. Disisi lain, bagi yang mengenalnya, jabatan tersebut tak berlebihan untuk ia emban. Karena Jonathan memang memiliki kemampuan yang mumpuni.

“Ya sudah kalau begitu. tapi kalau ada masalah, cerita sama saya. Nanti pasti saya bantu.” Pria itu tersenyum.

“I… Iya pak. Beneran nggak ada apa-apa kok.” Sanggah Rinjani.

Jonathan menganggukkan kepalanya, “Baiklah. Selamat bekerja Rin.” Suara dan ekspresi lembut yang hanya terdengar hanya saat dirinya berada di hadapan gadis itu.

“Terima kasih pak Jo.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status