Di tempat lain, seorang pria berumur 33 tahun dengan mengenakan kemeja kasual yang dibuka beberapa kancing bagian atasnya, pria itu tampak sedang bersantai di salah satu sofa yang ada di sebuah klub malam.
Lampu neon berwarna biru dan ungu memantulkan bayangan pria itu, sementara musik EDM berdentum keras dari speaker di sekitarnya. Di meja depannya, terdapat botol-botol minuman keras disertai gelas-gelas kaca yang telah berjejer rapi. Aroma minuman, rokok, dan wangi parfum yang menusuk hidung bercampur menjadi satu memenuhi udara. Pria itu tampak tertawa lepas bersama beberapa teman lelakinya yang juga terlihat sedang menikmati suasana malam. "Malam ini kita bisa habiskan malam panjang kita bersama wanita-wanita yang kita inginkan. Tinggal pilih mau yang mana, mereka akan dengan senang hati melayani kita sepuasnya, hahahaha." Pria itu tertawa sembari mengangkat tangannya untuk kembali menghisap rokok yang ia selipkan pada jari-jarinya. Di lain sofa, beberapa wanita berpakaian minim dengan makeup tebal dan senyum menggoda tampak sedang bercengkrama membahas pekerjaan mereka dengan penuh guyonan. Para wanita itu juga berencana untuk menghampiri sofa para lelaki yang saat ini menjadi target mereka. Para wanita itu kemudian bangkit dari tempat duduknya, berjalan menghampiri sofa tempat di mana Dio dan kawan-kawannya sedang bercengkrama. Dengan langkah pelan namun percaya diri, para wanita itu mendekat ke arah para lelaki itu, mengayunkan pinggulnya dengan gerakan yang mencuri perhatian. “Hai, Ganteng! Kita gabung sama kalian boleh? Kelihatannya dari tadi kalian belum ada yang nemenin,” sapa salah satu dari wanita bayaran itu. “Boleh, dong! Sini, Cantik.” Dio mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi seolah menyambut kedatangan mereka, membuat teman-teman Dio spontan bersorak meneriaki Dio. Sebagian dari wanita itu lantas duduk merapat di sela-sela tempat duduk Dio, sedangkan sebagian lainnya duduk di pinggir sofa seraya bergelendotan lengan teman-teman Dio. “Kayaknya asik banget dari tadi, kalian lagi bahas apa sih, Ganteng?” tanya wanita bayaran yang duduk di sebelah Dio dengan basa-basi. Suaranya tampak sengaja dibikin lembut supaya lawan bicaranya tertarik. Pembicaraan terus berlanjut. Para wanita itu tak henti-hentinya terang-terangan menggoda Dio beserta kawan-kawannya. Suaranya lembut, namun penuh rayuan ketika mereka berbicara, mereka tampak sangat pintar memilih kata-kata yang mampu membuat lawan bicaranya merasa spesial. Beberapa kali mereka tampak tertawa, seolah menikmati setiap percakapan yang sedang mereka bahas. Namun, terlihat jelas jika setiap tawa dan sentuhan yang dilakukan para wanita itu sudah terencana, mereka sengaja menciptakan suasana agar para pria itu merasa dikehendaki, namun tahu bahwa ada harga untuk perhatian yang mereka berikan. “Malam ini sepertinya terasa panjang, ya? Sayang banget kalau terbuang sia-sia," celetuk wanita yang duduk di sebelah Dio sembari mengelus manja paha Roy. Senyumannya penuh misteri, namun Dio sudah bisa menebak apa maksud dari ucapan wanita itu. “Sepertinya kau sudah tidak tahan, ya?” ledek Dio sembari tersenyum, tangannya merangkul pinggang wanita itu dan memberi kode lewat matanya agar wanita itu duduk di pangkuannya, sedangkan teman-teman Dio tertawa mendengar ledekan Dio. “Bukankah sangat sayang jika waktu yang bisa kita lewati terbuang sia-sia?” ujarnya lembut, namun penuh rayuan di dalamnya. Wanita itu sengaja menggigit bibirnya sedikit, tangannya mengelus leher belakang Dio, lalu sengaja mencondongkan badannya hingga tampak jelas gundukan yang ia miliki untuk menggoda Dio. Dio yang terpancing lantas mengeratkan rangkulannya, menghirup aroma di tubuh wanita itu, sedangkan di salah satu sudut, seorang pria tengah tersenyum miring dibalik masker hitamnya. Merekam kelakuan bejat pria yang berada tak jauh darinya, lalu mengirimkannya pada bosnya. Di sisi lain, Dio dan teman-temannya yang sudah tergoda dengan para wanita penghibur itu lantas saling mengajak satu sama lain agar segera check in untuk melampiaskan nafsu mereka. “Mau pesen kamar sendiri-sendiri atau satu kamar aja? Lumayan kan, nanti bisa ganti-gantian,” ujar salah satu teman Dio. “Wah, boleh juga, tuh!” sahut tema.n Dio yang lain. “Gass lah, kita puas-puasin malam ini juga,” seru Roy ikut menimpali. Akhirnya mereka bangkit dari tempat duduknya masing-masing, lalu pergi untuk melakukan check in.Mobil mewah memasuki halaman rumah yang tampak begitu megah, berhenti di depan pintu dengan jarak sekitar lima meter. Roy menoleh, menatap wajah cantik Alyssa yang bersandar di bahunya dengan mata yang terpejam. Tampaknya ia ragu untuk membangunkan Alyssa, sementara supirnya sudah membukakan pintu untuknya. Akhirnya, Roy mengangkat Alyssa dengan perlahan supaya Alyssa tak terbangun. Seorang pelayan dengan sigap menghampiri mobil tuannya, berdiri di depan Jerry dengan memegang payung besar guna memayungi majikannya. Roy keluar dari mobilnya dengan menggendong Alyssa ala bridal style, sedangkan Bi Ningrum memayungi keduanya hingga sampai di depan pintu, lalu memberikan payung itu pada pelayan yang lain untuk disimpan di tempat semula, sementara Bi Ningrum menyiapkan minuman untuk majikannya. Begitu minuman yang ia bikin sudah siap, Bi Ningrum dengan dibantu pelayan lainnya, lantas meletakkan minuman-minuman itu di atas nampan-nampan yang telah mereka siapkan, satu untuk Roy, dan sat
Pria itu kemudian sedikit menjauhkan badannya dari Alyssa, mengusap air mata itu dengan lembut, menatapnya dengan raut wajah bersalah. “Alyssa?” panggilnya berbisik. Suaranya bahkan hampir tak terdengar saking pelannya. “Apa sakit? Maaf jika aku mencium 'mu terlalu kasar. Sakit, ya?” Roy meniup pelan bibir Alyssa yang terlihat sedikit bengkak akibat ulahnya. “Maafkan aku.” Roy kembali meminta maaf merasa bersalah pada Alyssa. Namun, Alyssa justru meremas baju di bagian dadanya seakan memberitahu jika dadanya teramat sakit menerima takdir pahit yang selalu datang kepadanya. Mata Roy tak lepas dari gerak-gerik yang dilakukan Alyssa, ia menggenggam halus tangan Alyssa sambil bertanya, "Kenapa? Apa yang sakit?" Namun, Alyssa hanya diam, matanya tetap terpejam dengan diiringi air mata yang terus keluar. "Hey, please ... jangan nangis, dong? Tolong jangan bikin aku panik, Alyssa." Roy mengusap lembut pipi Alyssa, ia menatap sedih pada wanita di hadapannya yang terlihat sangat hancur.
Lagi-lagi Alyssa hanya menggeleng. Roy spontan mengepalkan satu tangannya melihat respon Alyssa yang jelas terlihat kalau Alyssa sedang tidak baik-baik saja. Pria itu menoleh ke arah Tiffany, meminta jawaban dari sikap Alyssa yang tampak badmood, namun Tiffany hanya menggeleng sebagai jawaban kalau dia tidak tahu Alyssa kenapa. “Mau pulang?” tanya Roy. Tangannya mengusap lembut rambut Alyssa dengan penuh kasih sayang, tatapannya sangat terpancar jika pria itu benar-benar mencintai Alyssa. “Beri aku waktu sebentar,” tukas Alyssa tanpa ingin dibantah. Roy mengangguk, lalu menyandarkan tubuhnya pada kursi yang ia duduki. Satu tangannya masih terus membelai lembut rambut Alyssa, berharap wanita di sampingnya kembali ceria seperti saat mereka berlatih tadi. “Tak usah memikirkan hal yang tidak penting, Baby. Cukup nikmati hidupmu di samping ku, maka akan ku pastikan kau bahagia bersamaku selamanya,” bisik Roy yang kemudian mengecup singkat pucuk kepala Alyssa cukup lama, sedangkan A
Dengan cepat wanita itu menggeleng, “Maaf, saya tidak tahu, Nyonya.” “Oh … ya sudah kalau gitu, biar saya tunggu di sini saja.” Alyssa mendudukkan pantatnya pada kursi yang ada di gazebo tersebut. “Baik, Nyonya. Saya akan jaga Nyonya dari situ,” ucapnya sambil menunjuk bangku yang tidak begitu jauh dari Alyssa. Alyssa spontan menoleh cepat, melihat pelayan itu berjalan ke arah bangku yang tidak jauh darinya. “Mbak, gak perlu jagain saya gak apa-apa, kok. Mbak lanjut kerja aja,” seru Alyssa yang merasa sedikit tak enak hati. “Gak apa-apa, Nyonya, sudah tugas saya untuk menemani pelanggan.” Wanita itu lantas mendudukkan bokongnya di salah satu kursi yang ada di gazebo, tentunya tidak jauh dari Alyssa untuk tetap menjaga Alyssa, hanya berjarak dua meter dari kursi yang Alyssa duduki. “Bosnya gak marah Mbak, kalau Mbak nemenin saya?” tanya Alyssa. Ia takut kalau nanti pelayan itu dimarahi oleh bosnya karena menemani dirinya. “Tidak, Nyonya. Bos saya justru akan marah kalau saya tida
“Jadi benar kau selingkuh dariku?” Alex menatap Tasya dengan penuh emosi. Tasya menoleh, menatap Alex sambil tersenyum miring. “Selingkuh? Dia calon suamiku, dan aku tidak pernah mengkhianatinya,” tukas Tasya melirik sinis. “Jadi selama ini kau mempermainkanku?” seru Alex dengan wajah yang telah memerah menahan amarah. Tasya terkekeh pelan, “Hidup itu memang seperti permainan. Kita tinggal memilih, menjadi pemainnya, atau yang dimainkan,” celetuk Tasya. Alex yang semakin terbawa emosi lantas mengepalkan kedua tangannya, lalu menarik-nariknya dan berusaha mengeluarkan tangannya dari ikatan besi yang menjeratnya. Namun, sayangnya hal itu sia-sia baginya. Tasya dan pria di sampingnya berbalik menghadap Roy, “Tugas saya sudah selesai, King. Kami izin untuk kembali berjaga,” pamit Tasya dengan membungkukkan sedikit badannya kepada Roy, lalu keduanya keluar dari ruangan itu setelah Roy memberi kode lewat gerakan telunjuknya. Tatapan Alex terkejut, “Jadi, dia orang suruhan Roy?” batin
Di sebuah ruang bawah tanah yang agak gelap, terlihat seorang pria terikat di dinding berwarna abu-abu. Kedua tangan dan kakinya diikat dengan rantai besi yang berat, memaksa tubuhnya tetap bersandar tegak pada dinding. Wajahnya penuh luka dan lebam, bekas pertarungan atas perlawanannya saat akan ditangkap oleh anak-anak buah Roy. Matanya memancarkan kelelahan, tetapi ada kilatan amarah yang belum padam. Terlihat darah yang telah mengering di bagian pelipis dan sudut bibirnya. Di sekelilingnya tak terdengar suara apapun, sangat sunyi dan sepi. Dalam kesunyian, pria itu tampak merencanakan sesuatu, menunggu momen yang tepat untuk membebaskan dirinya dari rantai-rantai yang mengikatnya. Namun, dia tidak tahu bahwa tepat di balik pintu tebal itu, dua penjaga berpakaian serba hitam berdiri dengan wajah tanpa ekspresi, dan tangan mereka masing-masing menggenggam senjata api. Dari jauh, terdengar suara langkah pelan namun tegas. Seorang pria dengan setelan santai namun tetap terlihat el
“Tempat memanah? Untuk apa kita ke sini?” tanya Alyssa bingung. Roy menoleh, menatap wajah Alyssa seraya tersenyum lembut. “Untuk apa lagi? Ayo!” pungkas Roy menaikkan dagunya, memberi kode pada Alyssa agar masuk ke lapangan tempat bermain panah. “T--tapi ... aku tidak bisa bermain panah. Aku belum pernah mencobanya,” ucap Alyssa ragu. “Maka aku yang akan mengajarimu sampai kau bisa,” sela Roy. Pria itu terlihat cukup antusias untuk mengajari Alyssa bermain panah, olahraga yang belum pernah Alyssa coba. Keduanya berjalan memasuki lapangan tempat khusus untuk memanah. Roy menerima busur dan anak panah yang diberikan oleh anak buahnya, lalu meletakkan tas kulit berisi beberapa anak panah ke samping tubuhnya. “Aku tidak yakin bisa melakukannya,” ucap Alyssa pesimis. “Tapi aku yakin kau bisa melakukannya,” sela Roy penuh percaya diri. Pria itu lantas berdiri di belakang badan Alyssa, menggenggam kedua tangan Alyssa, lalu menuntunnya untuk memegang busur dan anak panah yang se
“Ada yang bisa saya bantu?” tanya sang pemilik toko emas.“Saya ingin menjual gelang emas ini, Pak.” Dio menyodorkan gelang yang ia bawa.Pemilik toko emas lantas mengamati gelang tersebut dengan seksama. “Gelang ini bagus, kenapa dijual, Mas?”“Saya lagi butuh duit, makanya terpaksa harus saya jual ini gelang istri saya,” ujar Dio dengan ekspresi memelas supaya pria di hadapannya percaya dan kasihan kepadanya.“Oh, gitu.” Pria itu mengangguk paham. “Ya sudah, saya cek kadar emasnya dulu ya kalau gitu. Tunggu sebentar.” Pemilik toko emas itu lantas mulai memeriksa gelang yang Dio bawa menggunakan mesin penguji emas dan juga timbangan untuk memastikan kadar dan berat gelang tersebut.Setelah mengecek gelang itu beberapa saat, pria itu kembali menghadap Dio dengan tangannya membawa gelang yang akan dijual Dio tadi. “Gelang ini kadar emasnya 24 karat, dan beratnya 10 gram. Kalau sekarang harga pasarnya sekitar Rp1.533.000 per gram. Jadi totalnya sekitar Rp15.330.000. Bagaimana, mau?”Dio
Roy menoleh terkejut, menatap Alyssa dengan lekat, tatapan matanya terlihat jelas ada kesedihan sekaligus emosi secara bersamaan yang tengah pria itu sembunyikan.“Apa yang harus aku lakukan agar kau tidak pergi meninggalkanku?” tanya Roy.Tampaknya Roy mulai bingung harus bagaimana lagi agar ia bisa mengambil hati Alyssa.Alyssa memalingkan wajahnya menatap lain, menghindar dari tatapan Roy. “Aku lebih bahagia hidup sendiri. Aku ingin melupakan semua hal-hal buruk yang pernah terjadi selama hidupku,” ungkap Alyssa.Satu tangan Roy spontan mengepal, menahan emosi yang ingin meledak saat ia mendengar ungkapan sedih Alyssa. Rasanya ia ingin membunuh orang-orang yang telah membuat hati Alyssa hancur.Roy mengangkat tangannya yang lain, merangkul pinggang Alyssa, menariknya sedikit hingga badan keduanya saling bersentuhan. Tarikannya tak terlalu kuat, tetapi cukup untuk menyampaikan rasa takut kehilangan yang tersembunyi di dalam hatinya.Pria itu kemudian menundukkan kepala, wajahnya ia