Tiga hari setelah pertemuan, Vernando datang ke mansion keluarga Ariadna atas undangan makan malam. Raut mukanya tetap tanpa ekspresi walaupun dia merasa sedikit tertegun melihat Ariadna sudah berdiri di depan teras, tersenyum manis, seperti menyambut tamu kehormatan—setelah pertemuan pertama mereka yang bisa dibilang dingin kemarin.
“Selamat malam, Pak Vernando,” sapanya lembut. Senyum di bibirnya begitu halus, terkendali dan terlatih untuk acara diplomatik.
“Saya meminta ayah dan ibu menunggu di taman belakang, selagi koki kami masih sibuk dengan salmon dan panggangan. Ada yang ingin saya bicarakan lebih dahulu, mari kita ke ruang baca” lanjutnya, sopan tapi sigap.
Vernando hanya mengangguk kecil. Diikutinya langkah gadis ramping itu, menuntunnya ke dalam.
Begitu mereka duduk di ruang baca, Ariadna menyodorkan map kuning ke arahnya. Isinya tak lebih dari sepuluh lembar, tapi beratnya terasa seperti kontrak dengan iblis.
“Apa ini?” tanya Vernando singkat.
“Proposal,” jawab Ariadna pelan. “Tentang... pernikahan kita. Saya tahu Anda tidak suka basa-basi, jadi saya langsung saja.”
Vernando membuka map itu dan mulai membaca. Ia cepat, tapi matanya tak melewatkan satu baris pun. Ketika sampai di bagian tengah, ia berhenti.
“Paragraf dua. Tidak boleh tidur di ranjang yang sama?”
Ariadna menunduk sedikit. “Saya hanya ingin... menjaga jarak. Agar tidak saling menyakiti. Pernikahan ini... tidak berdasarkan cinta. Saya tak ingin menciptakan harapan yang tidak pernah ada.”
Vernando mengangkat satu alis, tapi tak berkata apa-apa. Ia melanjutkan membaca.
“Dan paragraf lima,” katanya kemudian, “Dilarang mencampuri urusan pribadi kecuali untuk kepentingan citra publik.”
Ariadna mengangguk pelan. “Saya tidak berniat mengganggu hidup Anda. Begitupun sebaliknya. Bukankah pernikahan ini sebenarnya menambah masalah anda? Saya juga punya masalah sendiri karena hal ini. Jadi mari kita buat kesepakatan waktu. Satu tahun. Setelah itu, kita bisa berpisah secara baik-baik. Saya kembali ke studi saya, Anda pun bisa hidup tanpa ikatan.”
Vernando menutup map itu perlahan. Diam sejenak.
“Masalahmu... pacarmu di Australia?” tanyanya tenang. “Sean?”
Ariadna membeku. Matanya membesar. “Anda... tahu?”
“Apa itu masih perlu ditanyakan?” sahut Vernando, matanya tidak lepas dari wajah Ariadna. “Justru aneh kalau aku tidak mengetahui informasi “sekelihatan” itu. Walaupun latar belakangmu sebagai putri pejabat sudah bagus, aku tidak mau ambil resiko dengan kelakuan calon istriku di masyarakat”
Ariadna masih terdiam. Ia tidak menyangka Sean, yang ia kira sudah ia tinggalkan di belakang, akan disebut langsung begitu saja. Sebetulnya sih hubungan mereka yang memang sudah kering bukan masalah sama sekali dalam pernikahan ini.
Vernando berdiri. Tapi alih-alih pergi, ia mendekat dan menatap Ariadna dari jarak lebih dekat.
“Aku tahu pacarmu, teman-temanmu, bahkan dosen pembimbing tugas akhirmu,” katanya dengan suara mengintimidasi. “Dan bukan hanya itu. Aku tahu karaktermu. Kamu keras kepala, blak-blakan, jujur bahkan walau menyakitkan. Kamu lebih cocok menampar orang kdaripada tersenyum palsu seperti yang kamu tunjukkan di depan teras tadi.”
Ariadna ingin menjawab tapi otaknya tidak tersambung dengan lidahnya.
“Satu hal yang kubenci,” lanjut Vernando pelan namun tajam, “adalah kepura-puraan yang terlalu kentara. Kamu memang putri ayahmu, tapi kamu tidak harus menirunya. Aku tahu betul cara ayahmu bersilat lidah dan memoles omong kosong. Aku ingin kamu lebih berterus terang dan memakai wajah aslimu di depanku, Ariadna.”
Ariadna menarik napas dalam-dalam. “Apa boleh buat. Dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Saya sedang menghadapi seorang_eh__mafia?. Saya tidak ingin leher saya hilang hanya karena sepatah kata salah.”
Vernando mendengus. “Ini bukan tahun 80-an, Sekarang kami tidak memenggal kepala sembarangan. Kotor, dan tidak efisien.”
Ariadna mengerjap. Itu sungguhan atau bercanda?
Vernando membalikkan badan. Tapi belum keluar ruangan, ia berhenti dan menoleh lagi.
“Dan untuk jawaban atas proposal itu.. tidak. Aku tidak menikah untuk perceraian. Aku tidak hidup dalam kontrak.”
“Tapi ini dipaksakan” bantah Ariadna menaikkan sedikit suaranya.
“Aku dipaksa oleh situasi, bukan oleh kamu,” potongnya tajam, kembali berjalan mendekati Ariadna. “Tapi begitu aku mengambil keputusan, aku pastikan itu keputusan yang tidak akan menodai reputasiku.”
Dia menatap lurus ke mata Ariadna. “Bayangkan headline dua tahun lagi: Putri politikus dan pengusaha hiburan cerai setelah menikah karena skandal. Menjijikkan." Ariadna tercekat mendengar Vernando memberi penekanan yang tajam pada kata terakhirnya.
Vernando membungkuk, menjajarkan tingginya dengan Ariadna. kepala mereka hampir bersentuhan. "Selama hidupku, karirku, aku tidak pernah menodainya dengan membuat keputusan yang salah, dan memang tidak akan pernah. Kalau aku harus naik ke panggung ini, aku akan main sampai tirai terakhir turun. Bersamamu.”
Ariadna menahan nafas.
“Dan kalau saya menolak?”
Vernando mengangkat bahu. “Maka kamu, ayahmu, dan keluargamu akan tenggelam sendirian.”
“Aku tidak rugi apapun. Yah, mungkin hanya harus merelakan proyek Kalijaring,” lanjutnya “Aku punya jaringan, punya proteksi. Aku bisa pindah ke Singapura, Bangkok, bahkan Meksiko dan hidup sepuluh kali lebih nyaman. Tapi ayahmu? Dia akan ditelanjangi habis-habisan di media. Kasus suap itu bukan lelucon. Dan tidak ada yang akan menyelamatkannya kalau aku memutuskan untuk tidak ikut campur.”
Sunyi.
Ruang baca yang memang biasanya sepi saat itu seperti membeku. Jarum jam terdengar sangat keras di antara mereka. Ariadna ingin menjawab, ingin marah. Tapi yang keluar dari mulutnya hanya satu kata: “Bangsat.”
Vernando tidak bereaksi. Dia malah maju sedikit dan berkata pelan tepat di telinganya, “Itu baru ucapan yang sesuai dengan Ariadna yang kudengar. Anak buahku tidak salah memberi informasi”
Dan kemudian ia berbalik pergi. Meninggalkan Ariadna sendiri, berdiri menatap kepergiannya dari pintu sampai hilang di lorong menuju taman belakang.
Ariadna hampir membanting pintu kaca besar di lobi kantor Vernando ketika ia masuk. Sepatu haknya menghentak lantai marmer, menandai setiap langkah penuh amarah. Tanpa peduli pandangan para staf, ia langsung menuju ruang utama di lantai atas.Begitu pintu terbuka, Sebastian—yang sedang berdiri di dekat meja kerja—menoleh. Vernando duduk di balik meja, memeriksa berkas. “Vernando!”Vernando mengangkat kepalanya Apa kau membunuh Sean?” Ariadna bertanya langusngVernando mengerutkan kening, melirik Sebastian.Sebastian merapatkan map ke dada. “Maaf pak, laporannya datang tadi pagi ketika Anda sedang rapat bersama pak menteri. Saya terlewat menginformasikannya...”“Tidak usah bersandiwara,” potong Ariadna. “Jelas ini kerjaannya Vernando, masa dia tidak tahu!”Sebastian menarik napas, hendak menjawab, namun pergelangan tangan Vernando terangkat ringan—perintah sunyi untuk diam.“Pertanyaanku sederhana,” kata Vernando tenang. “Apa motifku membunuh Sean?”“Cemburu,” jawab Ariadna, tajam, s
“Tehnya enak banget, Ari. Ini teh apa, ya? Aku juga mau beli buat di rumah!” Hana menutup matanya sebentar, menghirup aromanya dalam-dalam.Pagi itu, Hana datang ke mansion dengan dijemput langsung oleh Oktal—supir Ariadna yang untungnya kemarin tidak jadi dipecat meskipun lalai menjaga tuannya.“Aku nggak tahu,” jawab Ariadna tanpa mengangkat wajah dari tablet. “Nanti aku suruh staff bawakan untukmu dari dapur.”“Sudah, berhenti membaca komentar-komentar nggak masuk akal itu!” Hana merebut tablet dari tangan Ariadna lalu menyelipkannya di bawah bantal sofa, “Aku datang buat menghiburmu dan bikin kamu lupa sama netizen brengsek itu, bukan malah mendukungmu meratapi nasib,” lanjut Hana dengan nada separuh prihatin, separuh kesal.Ariadna menghela napas berat, bersandar ke sofa. “Aku cuma… penasaran. Kenapa dalam waktu beberapa jam setelah pertemuanku dengan Lysandra, ada serangan semasif itu. Ternyata fansnya memang segila itu, ya?”“Jangan polos, Ari. Selain fans, dia juga gerakin bu
Ariadna membanting ponselnya ke dinding. Kesabarannya habis. Aplikasi chat dan pesannya semua macet karena serangan pesan bertubi-tubi dari ratusan nomor yang tidak dikenalnya. Sementara itu, telepon di ruang tamu lantai satu juga tidak berhenti berderaing. Kabarnya, telepon di ruang penerimaan tamu di gerbang depan juga tak berhenti menerima panggilan. Ariadna menggigit bibir. Dia sering dengar jangan pernah menyinggung seorang selebritis media karena fansnya lebih radikal daripada komunitas apapun, tapi baru kali ini dia merasakannya sendiri. Pesan dan panggilan dari fans Lysandra tidak henti mendatanginya. Semua makian dan kata-kata kasar yang bahkan belum pernah ia dengar seumur hiduo sudah ditelannya. “Cabut saja semua sambungan teleponnya!!” teriak Ariadna frustasi“Nyonya……nyonya..!” seorang asisten menghadap Ariadna buru-buru. Ariadna menoleh garang, membuat asistennya sedikit mundur. Ariadna menghela nafas “Katakan.”“Maaf, ada laporan dari depan, kiriman makanan pesan an
Menyadari Vernando sedikit goyah, gadis itu semakin agresif memainkan lidahnya di tekinga pria itu. Vernando tak mengelak, dan mulai menikmati. Tangannya yang semula memegang lengan gadis itu untuk mendorongnya turun, tanpa sadar bergerak menyusup ke baju Lysandra yang memang berleher rendah, memperlihatkan belahan dadanya. Ketika tangan Vernando meremas dada Lysandra, gadis itu mendesah pelan di telinganya “Kulum, nando…” rengeknya manja. Vernando, bagaimanapun adalah pria biasa yang sudah lama tidak dihibur wanita. Kesibukan serta kehidupan ranjangnya bersama Ariadna yang tidak pernah terjadi membuatnya sedikit stress juga. Mendengar desahan Lysandra yang memang mantannya, instingnya berjalan duluan daripada logikanya. Ditariknya kepala gadis itu dengan kasar, dan diciumnya Lysandra dengan buas seolah hilang akal.Sambil mengulum bibir Lysandra, disentakkannya blouse gadis itu hingga setengah telanjang membuat Vernando semakin leluasa meremas dan menyentuh tubuhnya. Setelah puas
Vernando sedang menerima sejumlah berkas dari Sebastian ketika Lysandra menerobos maduk ke kantornya di lantai teratas Angels. “Nona Lysandra! Sudah lama tidak….” “Diam kau ular. Pergi dari sini aku mau bicara dengan tuanmu!” Lysandra melewati Sebastian berjalan ke meja Vernando Sebastian, masih dengan senyum lebar dan tangan merentang yang diabaikan,, melirik kepada Bosnya. Vernando memijit pelipisnya, kemudian mengibaskan tangannya pada Sebastian. “Baik. Saya ada di depan jika dibutuhkan.” kata Sebatian mundur ke arah pintu dan menutupnya.Keheningan menguasai ruangan selepas Sebastian meninggalkan mereka berdua. Vernando tahu, dengan sifat keras kepala dan ego yang begitu tinggi dari Lysandra, mau tak mau ia harus memulai percakapan. "Tak usah begitu galak padanya. Dulu kalian kan sangat dekat." Vernando berkata, melihat ke arah Sebastian pergi"Hah! Jangan kau pikir aku tidak tahu soal bagaimana dia berperan penting dalam setuap keputusanmu, termasuk pada pembatalan pe
Ariadna menatap Vernando dengan pandangan tercengang. Tidak menyangka kata-kata semanis “rindu” bisa keluar juga dari bibir itu.“......Mungkin dia rindu” kata-kata itu menggema di kepalanya yang membuatnya menunduk sedikit, menyembunyikan ekspresi yang bahkan ia sendiri belum sempat pahami. Vernando mencondongkan badan lebih dekat, menatap Ariadna “Kenapa? Apa kau terganggu?” Ariadna tak menjawab. “Atau cemburu?”Ariadna berkedip, tapi dia masih diam.Vernando menyeringai tipis, memundurkan tubuhnya, bersandar ke sofa. “Jawaban diam yang cukup nyaring.”Ariadna menahan napas sejenak, lalu berkata ringan, “Cemburu adalah reaksi atas ancaman. Dan aku tidak menganggap perempuan yang berteriak dan mencakar sebagai ancaman.”Vernando tertawa kecil. “Jawaban diplomatis. Apa semua putri pejabat punya les pribadi bermain kata seperti ini?”“Aku juga heran, apa semua mafia juga bisa mengatakan istilah perasaan semacam “rindu” sepertimu?” “Mungkin agak berbeda artinya dengan kalian tapi kam